Namaku Thoriq. Saat ini aku sudah berusia 35 tahun lebih. Aku sudah menikah dan sudah memiliki 3 orang anak.
Anak pertama ku perempuan, sudah berusia 10 tahun. Anak kedua ku juga perempuan, dan sudah berusia 6 tahun lebih. Sedangkan anak bungsu ku laki-laki, ia baru berusia satu tahun.
Aku memang menikah pada saat usia ku masih 24 tahun waktu itu. Sementara istri ku sendiri saat itu masih 22 tahun usianya.
Aku dan istri ku menikah atas dasar saling cinta. Kami sempat pacaran selama hampir tiga tahun.
Setamat SMA, aku tidak melanjutkan kuliah, karena kondisi ekonomi orangtua ku yang memang hanya pas-pasan. Di tambah pula ketiga orang adik-adik ku masih butuh biaya banyak waktu itu.
Sementara istri ku sendiri juga tidak kuliah, ia hanya lulusan SMA, sama seperti ku. Orang tua istri ku juga termasuk golongan orang yang tidak mampu.
Sebenarnya aku dan istri ku berasal dari kampung yang sama, karena itulah kami sudah saling kenal sejak lama. Namun setelah menikah, kami memutuskan untuk pergi merantau ke kota. Demi mendapatkan hidup yang lebih baik. Karena di kampung aku hanya bekerja sabagai buruh tani.
Pindah ke kota, ternyata tak seindah yang kami bayangkan. Bahkan kehidupan tidak kunjung membaik, meski telah berbagai usaha kami lakukan, untuk mengubah nasib kami.
Di kota aku hanya bisa menjadi seorang kuli bangunan. Tak jarang aku lebih sering menganggur, karena tidak ada proyek yang harus aku kerjakan. Beruntunglah istri ku punya usaha katering kecil-kecilan, sehingga kami masih bisa bertahan hingga saat ini.
Sebagai seorang kuli, aku memang sering tidak berada di rumah. Mengingat, kadang, tempat kerja ku cukup jauh. Sehingga mau tidak mau, aku harus sering menginap di proyek tempat aku bekerja sebagai kuli.
Tak jarang pula, aku harus menginap di tempat kerja ku, selama berminggu-minggu, agar bisa menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu.
Sebenarnya aku, istri ku dan anak-anak ku, sudah terbiasa dengan hal tersebut. Kami sudah terbiasa terpisah beberapa hari bahkan hingga berbulan-bulan. Apa lagi jika lokasi tempat aku bekerja berada jauh di luar kota.
Berada jauh dari istri dan anak-anak ku, sudah menjadi hal yang biasa bagi ku. Meski kadang, aku harus kuat menahan kerinduan ku kepada mereka.
Beurntunglah, aku punya banyak rekan kerja, sesama kuli. dan sama-sama jauh dari keluarga. Sehingga aku tidak terlalu merasa kesepian.
Dan begitulah kehidupan yang aku jalani selama bertahun-tahun, bahkan hingga saat ini.
****
Pada suatu waktu, aku dan rekan-rekan sesama kuli ku, mendapatkan sebuah proyek pembangunan perumahan, di daerah yang cukup jauh dari kota tempat aku tinggal. Perjalanan untuk sampai kesana bisa memakan waktu satu hari lebih, naik bis.
Karena berada cukup jauh, kami semua memang dianjurkan untuk tinggal sementara di tempat pembangunan perumahan tersebut. Ada rumah khusus tempat kami para kuli tinggal sementara di sana.
Menurut keterangan dari mandor kami waktu itu, proyek perumahan tersebut, baru akan selesai sekitar 3 atau 4 bulan ke depan. Dan selama itu, kami hanya boleh pulang sekali dalam sebulan.
Sebenarnya hal itu tidak terlalu jadi masalah bagi kami, terutama bagi ku. Karena kami sudah terbiasa berpisah berbulan-bulan dengan istri dan anak kami.
Namun sebagai laki-laki yang sudah menikah, kadang ada kerinduan tersendiri akan istri di rumah. Sebagai seorang laki-laki normal, kami juga punya kebutuhan biologis yang harus disalurkan. Namun karena sering berada jauh dari istri, kadang kami hanya bisa menyelesaikannya sendirian.
Aku sendiri sering merindukan istri ku, terutama ketika malam mulai menjelang. Aku hanya bisa membayangkan wajah istri ku, saat menjelang tidur.
Hingga pada suatu malam. Saat itu, untuk menghilang suntuk, aku sengaja berjalan kaki sendirian ke sebuah pusat keramaian di daerah tersebut. Disana terdapat beberapa ruko berderetan di sepanjang jalan. Meski pun tidak terlalu ramai. Kendaraan juga jarang berlalu lalang disana.
Daerah itu memang berada di pinggiran sebuah kota, yang penduduknya belum terlalu ramai. Dan rata-rata penduduk yang tinggal di sana, adalah pendatang, bukan penduduk setempat.
Aku berjalan kaki sendirian, menyelusuri jalan-jalan di depan ruko-ruko tersebut. Beberapa ruko terlihat ramai pengunjung, sebagian lagi terlihat sepi.
Karena merasa sedikit capek dan haus, aku sengaja mampir di sebuah warung harian yang berada tepat di pinggiran jalan tempat aku lewat. Aku membeli sebotol air mineral dan sebungkus rokok. Aku pun berniat untuk duduk sejenak di depan warung tersebut.
Saat itu juga ada seorang laki-laki yang terlihat masih sangat muda, juga mampir di warung tersebut. Ia sedang membeli sesuatu.
Pemuda yang ku perkirakan masih berusia 20 tahun itu, tersenyum ramah padaku. Kemudian tanpa sungkan ia pun duduk di samping ku.
"dari mana, mas?" sapanya ramah.
Aku menunjuk arah perumahan tempat aku bekerja. Pemuda itu pun mengalihkan pandangannya ke arah yang aku tunjuk tadi.
"oh.." ia membulatkan bibir, "tinggal disana?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng ringan, "saya kerja jadi kuli disana." ucapku apa adanya.
Terlihat pemuda itu manggut-manggut ringan.
"sudah berapa lama?" tanya pemuda itu lagi.
"sudah hampir dua minggu, sih." balasku.
Sekali lagi pemuda itu membulatkan bibirnya. Kemudian ia pun menyalakan sebatang rokok. Menghisapnya perlahan, kemudian ia hembuskan asap rokok itu dengan pelan.
"oh, ya.. kenalkan nama saya Agri, saya penduduk asli sini.." ucap pemuda itu kemudian, sambil ia mengulurkan tangannya padaku. Sungguh pemuda yang supel, bathinku.
"Thoriq.." balasku ringan, sambil menjabat tangan pemuda tersebut. Tangan itu terasa lembut. Ia pasti anak orang kaya, yang tak biasa bekerja keras.
"kamu masih kuliah?" tanyaku, sesaat setelah tangan kami saling melepaskan. Aku mencoba untuk ramah.
"iya.." balas pemuda yang mengaku bernama Agri tersebut, "kebetulan lagi libur semester, jadi pulang kampung.." lanjutnya.
"kuliah dimana?" tanyaku lagi, masih dalam upaya ku untuk terlihat ramah.
Agri pun menyebutkan kampus tempat ia kuliah, yang kebetulan kampus yang ia sebutkan itu, berada di kota tempat aku tinggal, meski jaraknya cukup jauh dari rumah ku.
"saya kost disana.." jelas Agri, ketika aku mempertanyakan hal tersebut.
Dan untuk selanjutnya pembicaran kami pun semakin meluas. Agri banyak bercerita tentang keadaan daerah tersebut. Agri juga cukup terbuka untuk bercerita tentang keluarganya.
Ternyata papa Agri adalah salah seorang pengusaha kaya disana. Dan Agri adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya juga laki-laki, yang saat ini sedang kuliah S2 di luar negeri.
Singkat cerita aku dan Agri malam itu, tiba-tiba saja menjadi akrab. Aku cukup senang bisa ngobrol sama Agri. Aku jadi tidak suntuk lagi. Aku merasa terhibur, karena Agri cukup pandai bercerita. Dan wawasannya juga luas, meski ia baru berusia 20 tahun.
Bahkan malam itu, Agri pun mengantarkan ku ke perumahan tempat aku tinggal dengan menaiki motornya. Meski jaraknya hanya beberapa ratus meter.
"udah larut mas Thoriq, jadi lebih baik mas Thoriq saya antar aja naik motor saya, lagi pula jalan ke arah sana juga gelap, kan?!" ucap Agri bersikeras untuk mengantarku pulang malam itu.
*****
Keesokan harinya, tepatnya ketika kami istirahat siang, tiba-tiba Agri muncul di tempat aku bekerja.
"lagi gabut nih, mas.." ucap Agri, ketika ku tanya kenapa ia datang ke tempat ku.
"maklumlah, mas Thoriq, di daerah sini kan cukup sepi, gak ada tempat nongkrong yang asyik, kayak di kota.." lanjutnya memberi alasan.
Aku pun hanya bisa tersenyum ramah, mendengar ucapannya barusan. Mumpung lagi istirahat, aku pun menyempatkan diri untuk mengobrol lagi bersama Agri.
"jadi mas Thoriq udah nikah?" tanya Agri, entah sekedar berbasa-basi atau hanya sekedar ingin tahu.
Aku menjawab pertanyaannya dengan sedikit mengangguk, karena aku yakin Agri sudah tahu jawabannya.
"punya anak berapa?" tanya Agri lagi.
"tiga.." balasku ringan.
"berarti usia mas Thoriq sekarang berapa?" Agri bertanya lagi, dia sepertinya memang tipe orang yang serba ingin tahu.
"35 tahun.." jawabku apa adanya.
"berarti mas Thoriq nikah muda juga ya..?" ucap Agri lagi.
"yah.. kalau usia 24 tahun dianggap masih muda, iya, saya termasuk orang yang nikah muda." balasku pelan.
Kami terdiam beberapa saat. Aku melirik jam di tangan ku, sepuluh menit lagi waktu kami untuk beristirahat.
"mas Thoriq gak merasa kesepian jauh dari istri?" tiba-tiba Agri bertanya kembali.
"yah... kadang-kadang merasa kesepian juga. Tapi mau gimana lagi, itu sudah menjadi resiko dari pekerjaan saya.." balasku lebih kepada diriku sendiri.
"jadi gimana cara mas Thoriq melepaskannya, kalau tiba-tiba butuh hal tersebut?" tanya Agri cukup blak-blakan. Dan itu salah satu hal yang membuat aku suka ngobrol sama Agri. Dia terdengar apa adanya.
"paling.. yah di tahan aja.. Atau kalau gak, yah dilepaskan sendiri aja.." balasku ikut blak-blakan.
Aku lihat Agri sedikit tersenyum, mendengar ucapan ku barusan.
"mas Thoriq mau gak, kalau aku bantu?" Agri bertanya lagi.
"bantu apa?" tanya ku sedikit heran.
"yah... bantu mengeluarkannya lah, mas. Biar gak mubazir gitu.." balas Agri, yang membuat aku sedikit mengerutkan kening, mencoba memahami maksud dari kalimatnya.
"emang kamu mau?" tanyaku kemudian, setelah sedikit paham maksud dari ucapan Agri barusan.
"kalau mas Thoriq gak keberatan. Gratis kok, mas. Dan aman juga.." balas Agri, sangat blak-blakan.
"ah, kamu bisa aja, Gri. Tapi boleh juga tuh di coba.." kataku pelan.
"kalau gitu, gimana kalau nanti malam, saya jemput mas Thoriq kesini?" tanya Agri kemudian.
Aku terdiam sejenak. Pandangan ku tertuju pada rekan-rekan kerja ku yang mulai berdiri satu persatu, pertanda jam istirahat kami telah habis.
"saya kerja dulu, ya. Nanti malam, saya tunggu kamu disini.." ucapku akhirnya, sambil mulai berdiri.
"oke.. siap, mas.." balas Agri, sambil ia juga ikut berdiri.
Lalu aku pun mulai melangkah pelan menuju tempat kerja ku. Agri juga ikut melangkah menuju tempat motornya yang ia parkir tidak terlalu jauh dari tempat tempat kami ngobrol tadi.
Setelah Agri pergi, pikiran ku pun melayang entah kemana. Aku hanya tidak menyangka Agri akan menawarkan hal tersebut padaku. Padahal kami baru saja saling kenal.
Dan lebih tidak aku sangka lagi, mengapa aku dengan begitu mudahnya menerima tawaran Agri tadi. Sebegitu kesepian kah aku? tanya ku membathin.
Inikah akibat karena aku terlalu sering jauh dari istri ku? aku terus membathin.
Aku tidak bisa membayangkan hal tersebut lebih jauh lagi. Setengah hati ku berusaha menolak, namun ada bagian dari diri ku yang sepertinya juga menginginkan hal tersebut.
Akh, aku masygul. Tiba-tiba saja aku menjadi dilema. Antara ingin mencoba sesuatu yang baru dan melepaskan dahaga ku, setelah hampir dua minggu ini aku pendam, atau aku tolak saja tawaran Agri tersebut. Toh, aku masih belum terlambat untuk menolaknya.
"hei. kamu kenapa melamun aja dari tadi?" suara mandor ku tiba-tiba mengagetkan ku.
"eh.. iya, pak. Maaf.." balasku terbata.
"maaf.. maaf.... kerja sana, kamu dibayar bukan untuk melamun.." ucap si mandor lagi, dengan nada sedikit kasar.
Sang mandor, yang aku ketahui bernama Imam tersebut, memang terkenal cukup keras kepada kami para kulinya. Padahal ia masih cukup muda, setidaknya lebih muda dari ku, mungkin baru 30 tahun usianya.
Sebagai seorang kuli yang sudah cukup berpengalaman, aku sudah banyak bertemu mandor-mandor sebelumnya, tapi jarang yang suka berkata kasar seperti pak Imam, mandor ku yang sekarang ini.
Tapi ya sudahlah, sebagai bawahannya, saya juga tidak bisa berbuat banyak. Apa lagi aku memang dari tadi hanya lebih sering melamun. Memikirkan Agri dan segala tawarannya barusan.
Bahkan hingga sore, dan waktu kerja kami selesai untuk hari itu, pikiran ku masih belum bisa tenang. Kalimat-kalimat yang di ucapkan Agri siang tadi, masih terus berkeliaran di pikiranku. Kalimat-kalimat itu, benar-benar mengganggu konsentrasi ku.
Ah... aku manarik napas dalam beberapa kali, sebelum akhirnya aku putuskan untuk segera mandi. setidaknya dengan mandi, aku bisa berpikir lebih jernih lagi. Dan aku berharap, semoga aku bisa mengambil keputusan yang terbaik dari semua ini.
Yah... semoga saja..
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih