"aku gak sanggup, Ken." ucap Bima lemah.
"kenapa?" tanyaku membalas.
"aku... aku merasa kalau hubungan kita ini adalah sebuah kesalahan, Ken. Dan aku gak sanggup untuk berterus terang pada Reina. Aku gak sanggup untuk memutuskan pertunangan kami." balas Bima dengan suara sendu.
"bukankah dari awal hubungan kita memang sebuah kesalahan, Bim? Lalu mengapa baru sekarang kamu mengatakan hal tersebut? Kenapa tidak dari dulu? Sebelum hubungan kita terlalu dalam seperti saat ini?" tanya ku lagi bertubi-tubi.
"maafkan aku, Ken. Aku juga gak nyangka bakal seperti ini. Ini semua di luar rencana ku." balas Bima.
Aku mengambil seonggok pasir dengan tangan kanan ku, lalu menggenggamnya erat, kemudian aku taburkan pasir itu melalui sela-sela jari ku. Hati ku meringis perih.
Aku dan Bima memang sedang duduk berdua di pinggiran sebuah pantai. Kami sedang berliburan berdua. Hal ini sudah biasa kami lakukan. Setidaknya sejak kami mulai menjalin hubungan cinta beberapa bulan yang lalu.
Bima adalah senior ku di tempat aku bekerja di sebuah perusahaan konveksi. Aku memang baru setahun bekerja di perusahaan tersebut. Dan sudah setahun juga aku mengenal Bima.
Berawal dari perkenalan sebagai rekan kerja. Lalu aku dan Bima sering makan siang bareng. Kami pun jadi dekat dan akrab. Dan pada akhirnya aku jatuh cinta pada Bima.
Gayung pun bersambut. Bima ternyata juga menyukai ku. Kami pun sepakat untuk menjalin hubungan cinta secara diam-diam, dengan berkedok sebuah persahabatan.
Bima tinggal bersama orangtua dan dua orang adik perempuannya di kota itu. Rumahnya tidak terlalu jauh dari perusahaan tempat kami bekerja.
Sementara aku sendiri adalah seorang perantau, yang tinggal di sebuah kost kecil, yang berada hanya beberapa ratus meter dari perusahaan tersebut.
Sejak aku dan Bima berpacaran, Bima memang jadi sering menginap di tempat kost ku, terutama saat malam minggu. Kami sering menghabiskan waktu berdua. Nonton di bioskop, makan di kafe-kafe atau hanya sekedar naik motor keliling-keliling kota.
Dan biasanya sekali sebulan kami pun pergi berliburan berdua, ke daerah pesisir pantai yang berada tidak terlalu jauh dari kota tempat kami tinggal.
Aku bahagia bisa mengenal Bima, aku bangga bisa memilikinya. Karena selain memilik wajah yang tampan dan postur tubuh yang gagah, Bima juga sangat baik padaku.
Hanya saja, Bima sudah punya pacar cewek waktu itu, waktu pertama kali berkenalan. Tapi hal itu tidak mengurungkan niat ku untuk bisa mendekatinya.
Dan saat aku akhirnya berhasil mendapatkan cintanya, Bima justru dipaksa oleh keluarganya untuk segera bertunangan dengan Reina, pacar ceweknya tersebut.
Awalnya aku tidak mempermasalahkan hal tersebut. Aku tak peduli, sekalipun Bima sudah menjadi tunangan orang. Karena aku merasa bahagia bisa memiliki tubuh dan hatinya. Dan Bima juga tidak merasa keberatan dengan status hubungan kami saat itu.
Dan terjadilah cinta segitiga antara aku, Bima dan Reina, tunangan Bima.
Sebuah hubungan yang tidak wajar sebenarnya. Tapi kami sangat menikmati kebersamaan kami. Bima lebih sering menghabiskan waktunya bersama ku. Baik itu di tempat kerja, di kost ku, atau pun saat kami jalan-jalan dan liburan berdua.
Sampai beberapa bulan kemudian, saat untuk kesekian kalinya, aku dan Bima berliburan berdua di sebuah pantai.
"bulan depan aku dan Reina akan menikah, Ken." ucap Bima pelan.
"iya, aku sudah tahu. Bukankah kamu sudah terlalu sering mengatakan hal tersebut?" balas ku, dengan sedikit bertanya. Aku memang sudah tahu hal itu dari awal. Tapi entah mengapa aku selalu berusaha untuk menyangkalnya. Aku bahkan kadang berharap, kalau pernikahan tersebut tidak akan pernah terjadi.
"tapi aku takut, Ken." ucap Bima lagi.
"takut kenapa?" tanyaku dengan nada heran.
"aku takut, jika nanti aku menikah, kita tidak akan bisa lagi seperti ini." balas Bima.
Ada jeda beberapa saat. Hening. Hanya ada suara deburan ombak yang menerpa pantai.
"dan aku juga merasa, kalau aku sudah tidak mencintai Reina lagi. Aku takut tidak akan bisa membuat dia bahagia." tiba-tiba Bima melanjutkan ucapannya.
Hening lagi. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Dari awal, aku tak pernah sekali pun mempermasalahkan hubungan Bima dan Reina. Lebih tepatnya aku tak peduli. Selama Bima masih punya waktu untuk ku, itu sudah cukup untuk membuat aku merasa bahagia.
Tapi sekarang...
"menurut saya, mungkin akan lebih baik, kalau kamu ngomong langsung sama Reina, Bim." ucapku akhirnya.
"itu yang aku gak sanggup, Ken. Reina pasti kecewa dan ia pasti akan sangat marah padaku." balas Bima.
"tapi bukankah itu lebih baik, dari pada kalian menyesal di kemudian hari nantinya.." ucapku lagi.
"iya.. tapi ini bukan hanya tentang aku dan Reina, Ken. Ini juga tentang keluarga besar kami. Apa kata mereka, jika tiba-tiba saja aku memutuskan pertunangan ku dengan Reina. Alasan apa yang paling masuk akal untuk hal tersebut? Aku gak mungkin menceritakan tentang hubungan kita, kan?" balas Bima dengan suara sedikit serak.
Aku terdiam lagi. Entah apa yang aku rasakan saat ini. Tapi yang pasti aku merasa kasihan melihat Bima dalam kebimbangan seperti itu. Dia pasti merasa sangat bingung saat ini.
*****
"aku sangat mencintai kamu, Ken." ucap Bima, setelah untuk beberapa saat kami hanya saling terdiam.
Aku memutar kepala, menatap Bima yang sudah duduk di sampingku sejak tadi. Bima juga menatapku. Mata kami saling pandang. Bibir kami saling terdiam.
"aku juga sangat mencintai kamu, Bima.." ucapku akhirnya, tanpa melepaskan tatapan ku dari wajah tampan dengan mata yang indah itu.
"tapi kamu tahu kan, dari awal, bagaimana hubungan kita ini?" ucap Bima bertanya.
"iya... aku tahu, Bim. Pada akhirnya aku memang harus melepaskan kamu.." balasku perih.
"itu dia masalahnya, Ken. Aku yang gak bisa melepaskan kamu. Aku ingin kita tetap seperti ini, selamanya.." ucap Bima terdengar apa adanya.
"aku juga ingin bersama kamu selamanya, Bim. Aku bertahan hingga saat ini, itu karena aku gak bisa jauh dari kamu. Aku sayang sama kamu, Bim. Aku sangat menyayangi kamu. Tapi... aku juga tidak bisa memaksa kamu, untuk tetap bersama ku. Karena kamu punya kehidupan lain yang harus kamu jalani, Bim.." aku berucap dengan suara sedikit bergetar, menahan gejolak di hati ku.
"lalu aku harus bagaimana, Ken?" suara Bima sangat lemah, dia mengambil sebuah batu kecil dan melemparkannya ke arah laut.
"aku juga gak tahu, apa yang aku inginkan dari kamu sebenarnya, Bim. Aku juga tidak ingin memberi kamu pilihan, karena itu pasti akan semakin membuat kamu jadi bingung." timpal ku lirih.
"lalu apa kamu mau, jika aku menikah nanti, kita tetap menjalin hubungan seperti ini?" tanya Bima akhirnya.
"aku bukannya gak mau, Bim. Aku hanya tidak ingin menjadi alasan buat kamu nantinya, untuk meninggalkan istri kamu. Bahkan saat ini saja, aku sudah merasa sangat bersalah terhadap Reina. Karena telah merebut kamu darinya." balasku pelan.
Hening beberapa saat. Sepertinya kami kehabisan kalimat untuk di ucapkan selanjutnya. Hubungan ini terlalu rumit. Benar-benar tidak ada pilihan yang terbaik.
"aku benar-benar dilema, Ken. Aku bingung. Di satu sisi, aku sangat mencintai kamu. Tapi di sisi lain, aku harus menjalankan kodrat ku sebagai seorang laki-laki, yaitu menikah dengan seorang perempuan." Bima berucap juga akhirnya.
"lalu apa kamu pikir, dengan tidak menikah, kita akan kehilangan kodrat kita sebagai seorang laki-laki?" tanya ku sedikit tajam.
Bima hanya diam. Dia sedikit tertunduk, jari jemarinya memainkan pasir putih yang di dudukinya sejak tadi.
"aku juga lelaki, Bim. Tapi aku gak pernah ngotot untuk bisa menikah dengan perempuan. Aku hanya menjalani takdir yang sudah di tetapkan untuk ku, sekali pun hal itu bertentangan dengan orang lain. Aku gak peduli, yang penting aku merasa bahagia. Dan salah satu takdir yang harus aku jalani, ialah mencintai kamu. Meski aku gak pernah berharap untuk bisa memiliki kamu selamanya.." lanjutku akhirnya dengan cukup panjang kali lebar.
Kali ini ku dengar Bima menarik napas dalam, kemudian ia hempaskan dengan berat. Sekali lagi ia mengambil sebongkah batu, lalu melemparkannya sejauh mungkin. Seakan ia ingin melimpahkan kegalauannya saat ini.
*****
"menurutmu, bisakah kita melupakan seseorang?" tiba-tiba Bima bertanya demikian, entah untuk tujuan apa.
"tidak, Bim. Kita tidak akan bisa melupakan seseorang. Kita hanya bisa mencoba untuk tidak memikirkannya lagi.." jawab ku sebatas teori yang aku tahu, tentang melupakan.
"lalu bagaimana kita tidak memikirkan seseorang, yang selalu ada dalam pikiran kita? Itu artinya kita tidak akan pernah bisa melupakannya.." ucap Bima kemudian.
"sebenarnya tergantung dari siapa yang ingin kita lupakan, Bim. Dan sebenarnya apa maksud dari pertanyaan mu tersebut? Siapa yang ingin kamu lupakan?" balasku dengan penuh pertanyaan.
"kamu, Ken..." suara Bima sangat pelan, aku hampir tak mendengarnya.
"kenapa?" tanyaku ingin tahu.
Bima menarik napas dalam lagi.
"karena jika aku menikah dengan Reina, aku akan belajar untuk mencintainya lagi, dan aku juga akan belajar untuk tidak memikirkan kamu lagi.." ucapan Bima terasa menusuk hati ku yang paling dalam.
Jika ia tidak lagi mau memikirkan ku, ia pasti akan melupakan ku. Selamanya.
"tapi kita akan selalu bertemu di tempat kerja, Bim. Hampir setiap hari. Bagaimana kita akan melewati itu semua?" ucapku dengan sedikit bertanya, sekedar ingin tahu pendapat Bima tentang hal tersebut.
"mungkin aku akan pindah kerja, Ken. Dan kita tidak akan pernah bertemu lagi.." balas Bima, seakan menusuk hatiku untuk kedua kalinya di tempat yang sama. Sakit sekali rasanya.
"jika itu sudah menjadi keputusan mu, aku akan belajar untuk ikhlas melepaskan mu, Bima. Meski berat. Selama hal itu bisa membuat kamu bahagia." ucapku akhirnya.
"ini bukan lagi tentang kebahagiaan kita, Ken. Bukan tentang kebahagiaan ku, bukan juga tentang kebahagiaan mu. Tapi ini tentang sebuah pilihan. Dimana kita adalah korban dari pilihan tersebut." balas Bima lagi.
Kali ini aku tidak berusaha untuk membalas ucapan Bima. Aku sudah tahu, kemana arah ucapannya barusan. Jika Bima memang memutuskan untuk menikah dengan Reina, dan memilih untuk meninggalkan ku, aku juga tidak bisa mencegahnya. Karena begitulah perjanjian kami dari awal.
"aku tahu, hubungan kita ini adalah sebuah kesalahan. Tapi asal kamu tahu aja, Bim. Kamu adalah hal terindah yang pernah aku miliki dalam hidup ku. Aku akan tetap mencintai kamu, Bim. Sekali pun nantinya, kita tidak lagi bersama." ucapku akhirnya, setelah dengan susah payah, aku mengumpulkan kekuatan agar tidak menangis.
"kamu jangan membuat aku semakin bingung dan semakin merasa bersalah, Ken." timpal Bima.
"aku gak berniat untuk membuat kamu merasa bersalah, Bim. Aku hanya mencoba mengungkapkan apa yang aku rasakan..." ucapku membalas.
"semakin aku memikirkan perasaan ku sama kamu, Ken. Semakin aku merasa bersalah. Aku hanya tidak bisa membayangkan, bagaimana hari-hari ku tanpa kehadiran kamu lagi.." Bima berucap pelan.
"maafkan aku, Ken. Maafkan aku untuk semuanya.." lanjut Bima sedikit berbisik.
Dan setelah berkata demikian, Bima pun segera berdiri. Pelan namun pasti ia mulai melangkah meninggalkan ku. Sendirian.
"bulan depan kita akan bertemu lagi disini, di tempat ini.." Bima berucap lagi, sebelum akhirnya ia benar-benar pergi.
Aku tak membalas ucapannya barusan. Karena aku sendiri tidak mengerti, apa maksud ucapannya tersebut. Bukankah bulan depan ia akan menikah?
*****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih