Nama ku Zulkarnain, orang-orang biasa memanggil ku bang Zul. Dan aku seorang duda. Aku juga punya seorang putri yang baru berusia lima tahun lebih. Istri ku meninggal setahun yang lalu karena mengalami sebuah kecelakaan motor.
Aku dan istri ku menikah sekitar enam tahun yang lalu, tepat saat itu usia ku baru 26 tahun, sedangkan istri ku berusia 23 tahun waktu itu. Kami sempat pacaran selama satu tahun lebih, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menikah.
Aku dan istri ku sama-sama merantau di kota ini. Dulu kami sama-sama bekerja di sebuah mini market. Tapi karena sudah menikah, kami tidak bisa lagi bekerja di mini market tersebut, karena memang seperti itu perjanjian kerjanya dari awal.
Setelah melangsungkan pernikahan di kampung istri ku, dan tentu juga di hadiri oleh orangtua dan keluarga ku, kami pun memutuskan untuk kembali ke kota, karena di kampung aku tidak punya pekerjaan tetap.
Di kota, kami menyewa sebuah rumah kontrakan untuk kami tinggal sementara. Dan untuk bertahan hidup kami pun membuka usaha warung nasi goreng di depan rumah kontrakan kami. Kebetulan di daerah tersebut memang cukup ramai. Dan belum ada juga yang menjual nasi goreng di sana.
Di seberang rumah kontrakan kami, terdapat sebuah rumah kost putra yang cukup ramai. Dan ada perumahan juga disana.Karena itulah kami berani membuka usaha nasi goreng tersebut.
Setahun kemudian, anak pertama kami pun lahir. Dan saat usia anak kami baru 4 tahun, tiba-tiba sebuah kecelakaan merenggut nyawa istri ku. Aku benar-benar terpukul akan kejadian tersebut. Aku kehilangan pegangan. Aku sempat berpikir untuk kembali ke kampung.
Tapi niatku tersebut aku urungkan, karena aku ingin melanjutkan perjuangan kami, yakni membesarkan anak kami satu-satunya. Walau pun sekarang, aku hanya berjuang sendiri.
Aku mencoba bangkit, setidaknya demi anak ku. Aku tidak ingin terlarut dalam kesedihan ku karena kehilangan istri ku. Aku tidak ingin anak ku ikut merasakan efeknya.
Karena itulah, aku memutuskan untuk terus membuka warung nasi goreng tersebut, meski aku harus bekerja sendiri.
Warung nasi goreng tersebut, aku buka dari jam dua siang sampai jam dua belas malam.
Sebenarnya aku sudah punya pelanggan tetap, terutama dari anak-anak kost yang ada di seberang warung kami tersebut. Jadi biasanya nasi goreng ku selalu habis, sebelum jam 12 malam.
****
Sebagai seorang duda, aku memang sering merasa kesepian. Apa lagi sudah lebih dari setahun aku hidup tanpa istri ku.
Pernah terpikir sih, untuk menikah lagi. Tapi aku tidak ingin anak ku jadi korban ibu tirinya. Karena akan sulit menemukan wanita yang mau menyayangi anak ku, seperti anaknya sendiri.
Bahkan dari pihak keluarga ku juga sering meminta aku untuk menikah lagi. Karena mengingat usia ku masih 32 tahun saat ini. Tapi aku selalu menolaknya, dengan alasan aku masih menunggu anak ku tumbuh besar, dan sudah bisa mandiri.
Aku mencoba menikmati kesendirian ku, melakukan berbagai kesibukan untuk mengusir rasa kesepian ku. Memendam semua kebutuhan biologis ku sebagai seorang laki-laki. Aku mencoba untuk tetap setia pada almarhumah istri ku.
Kadang tak jarang, ada beberapa pelanggan wanita, yang coba menggoda ku. Tapi aku tidak menggubris mereka, karena aku tahu, mereka hanya sekedar penasaran. Dan aku tidak ingin tergoda oleh cinta sesaat.
Begitulah hari-hari yang aku lewati saat ini. Bangun pagi, mengurus anak ku dan mengantarkannya ke sekolah. Setelah itu, aku sibuk mempersiapkan dagangan ku. Pada jam dua siang, aku mulai membuka warung ku, hingga jam 12 malam.
****
Dari sekian banyak pelanggan nasi goreng ku, ada seorang pelanggan laki-laki, yang baru-baru ini sangat rajin mampir di warung ku. Dia salah seorang anak kost di seberang sana. Dan yang aku tahu, dia baru beberapa bulan tinggal di sana. Karena sebelumnya aku belum pernah melihatnya.
Namanya Aby, begitu ia menyebut namanya, saat kami berkenalan, ketika sudah beberapa kali ia makan di tempat ku. Dan Aby adalah seorang karyawan swasta. Ia bekerja di sebuah perusahaan yang berada tidak terlalu jauh dari tempat kost tersebut.
Aby memang seorang yang supel. Meski pun baru tinggal disana, ia sudah cukup dikenal. Aby suka ngobrol dengan ku, terutama saat ia makan nasi goreng di tempat ku. Bahkan Aby bisa menghabiskan waktu berjam-jam, untuk menemani aku mengobrol.
Kadang-kadang, Aby juga membantu aku melayani pembeli, ketika warung ku cukup ramai. Dan kehadirannya tersebut, cukup membuat aku merasa terbantu.
"makasih ya, By. Kami udah terlalu sering membantu saya disini.." ucapku pada Aby pada suatu malam, beberapa saat menjelang warung ku tutup. Saat itu memang sudah hampir 12 malam.
"santai bang Zul, saya malah senang bisa bantu-bantu abang. Kasihan juga melihat abang kerepotaan sendirian..." balas Aby.
Aku dan Aby memang sudah cukup dekat. Setidaknya sejak ia sering mampir di warung ku. Aby bahkan sudah tahu tentang cerita kehidupan ku. Tentang istri ku yang sudah meninggal, dan juga tentang perjalanan hidupku sampai saat ini.
Karena keramahan Aby, aku jadi lebih terbuka padanya. Aku jadi sering bercerita tentang kehidupan ku pada Aby. Demikian juga dengan Aby sendiri, ia tidak sungkan untuk bercerita tentang dirinya padaku.
Aby anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adiknya perempuan. Satu sudah kuliah dan satu lagi masih SMA. Orangtua Aby hanyalah nelayan di kampung halamannya.
Tapi Aby mampu menyelesaikan kuliahnya, dengan bantuan beasiswa yang ia dapat atas prestasinya selama sekolah.
Saat ini pun, meski pun sudah bekerja, Aby harus membantu orangtua nya untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Karena itulah Aby harus tetap hidup hemat, meski pun gajinya sudah lumayan besar.
"jadi bang Zul, masih belum mau menikah lagi, nih?" tanya Aby, suatu malam. Saat itu pelanggan memang lagi sepi.
"belum.." jawabku singkat.
"kenapa?" tanya Aby lagi.
"karena aku masih menunggu anak ku tumbuh besar, By. Aku tidak ingin anak ku tumbuh di tangan orang yang salah..." balas ku apa adanya.
"wah.. itu masih lama loh, bang.." ucap Aby.
"yah... mau gimana lagi. Aku memang harus menjalaninya dengan sabar. Demmi anakku." balasku kemudian.
Hening sesaat. Aby menatapku beberapa saat. Tatapan yang tak biasa bagi ku.
"lalu... apa bang Zul gak merasa kesepian?" tiba-tiba Aby bertanya seperti itu padaku.
Aku menarik napas sejenak. Lalu menghempaskannya perlahan.
"walau pun aku merasa kesepian, tapi itu bukan alasan bagiku, untuk buru-buru menikah lagi.." balasku sedikit lirih.
"lalu bagaimana cara abang untuk melepaskan rasa kesepian tersebut, terutama untuk kebutuhan biologis bang Zul sendiri?" Aby bertanya kembali, cukup blak-blakan sih, menurutku.
Aku tidak segera menjawab. Bukan karena aku tidak ingin menjawab pertanyaan Aby barusan. Hanya saja, aku merasa pertanyaan tersebut terlalu pribadi sifatnya. Meski pun aku dan Aby sudah cukup dekat, tapi tetap saja aku merasa sungkan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"kenapa kamu bertanya seperti itu?" akhirnya aku balik bertanya.
"gak apa-apa sih, bang. Cuma pengen tahu aja. Siapa tahu bang Zul butuh tempat untuk mencurahkannya, saya siap menampungnya.." balas Aby semakin blak-blakan.
"maksud kamu?" aku bertanya kembali, berlagak tidak memahami maksud dari kalimat Aby barusan.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam waktu itu. Keadaan juga sudah mulai sepi. Hanya ada satu dua kendaraan yang terlihat masih melintas di jalan. Suasana malam itu memang cukup dingin. Dan sepertinya, Aby ingin memanfaatkan kesempatan tersebut, dengan memancing ku bercerita tentang sesuatu yang membangkitkan 'selera' ku.
"maksud ku, dari pada mubazir, kan.. jadi lebih baik...." Aby sengaja menggantung kalimatnya.
Saat aku hendak membalas ucapannya barusan, tiba-tiba sebuah motor berhenti di depan warungku. Sepertinya sepasang kekasih yang hendak makan nasi goreng malam-malam.
"masih ada nasi gorengnya, bang?" tanya si pengendara.
"masih, bang." balasku, sambil mulai berdiri menghampiri pembeli tersebut untuk menanyakan pesanannya.
"nasi gorengnya dua ya, bang.." ucap si pembeli tadi. "makan sini.." lanjutnya, sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut.
Lalu kemudian, aku pun sibuk membuatkan pesanan orang tersebut. Sementara Aby, tampak masih duduk tenang, di bangku belakang ku.
Pikiranku sendiri tiba-tiba berkecamuk, mengingat pembicaraanku bersama Aby barusan. Aku hanya tidak menyangkan, kalau Aby akan menawarkan hal tersebut padaku. Ternyata Aby adalah seorang gay. Dan sepertinya ia menyukai ku. Mungkin karena itu juga, ia selama ini sangat baik padaku.
Tapi... apa aku harus menerima tawarannya? Hanya karena ia sudah sangat baik padaku? Atau justru karena aku telah lama merasa kesepian, dan aku butuh tempat untuk mencurahkannya?
Tapi.. masa' iya, harus sama laki-laki?
Ah, kepalaku jadi sedikit pusing memikirkan hal tersebut. Sementara Aby terus memandangi ku dengan pandangan penuh harap.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih