Aku dan Arjuna akhirnya terpisah oleh jarak dan waktu. Namun seperti janjiku pada Juna, aku pun rutin mengunjunginya setiap malam minggu di kota. Hubungan kami masih terus berlanjut. Kami masih bisa menikmati kebersamaan kami, meski hanya sekali seminggu. Dan sebenarnya hal itu sudah lebih dari cukup untuk membuat kami tetap bahagia.
Tapi ternyata kebahagiaan itu tidak bisa bertahan lama. Kenyataan dan kodrat membuat kami harus berada dalam sebuah dilema. Antara bertahan dengan cinta kami, dengan mengorbankan banyak hal. Atau membiarkan takdir memisahkan cinta kami, meski kami harus terluka karenanya.
Berawal dari keinginan orangtua dan keluarga besarku, yang menginginkan aku untuk segera menikah. Aku tak kuasa menolak. Aku tak punya alasan yang masuk akal untuk menolak. Sebagai laki-laki yang sudah cukup berumur, dan juga sudah punya pekerjaan yang tetap, aku memang dituntut untuk segera punya pasangan hidup.
Aku pun mencoba menceritakan hal tersebut kepada Juna. Dan tentu saja Juna tidak bisa menerima hal itu begitu saja. Juna terlihat sangat kecewa.
"abang janji, Jun. Sekali pun abang sudah menikah nantinya, abang akan tetap mengunjungi kamu setiap malam minggu. Kita masih bisa tetap bersama, kok." ucapku berusaha membuat Arjuna mengerti.
"tapi aku yang gak bisa, bang. Aku yang gak bisa berbagi bang Hakim dengan siapa pun. Aku mungkin terlalu mencintai bang Hakim. Dan bukankah hal ini bang Hakim sendiri yang memulainya, lalu kenapa sekarang abang tidak bisa menepati janji abang?" balas Juna dengan nada lirih.
"abang minta maaf, Jun. Abang benar-benar terpaksa. Abang gak bisa lagi menolak perjodohan ini." suaraku pilu.
"kalau begitu... lebih baik abang gak usah lagi datang kesini.." balas Juna bergetar.
"tapi.. Jun... " ucapanku terputus.
"maaf, bang. Tapi aku gak bisa, tetap berhubungan dengan bang Hakim, sementara bang Hakim sudah menjadi suami orang. Cinta harusnya gak seperti itu, bang. Jika abang memang benar-benar mencintaiku, seharusnya tidak ada pihak lain dalam hubungan kita, apa pun alasannya." Juna sedikit memotong ucapan ku.
"jangan buat abang semakin merasa bersalah, Jun. Abang sangat mencintai kamu. Tapi abang tidak bisa membuktikannya, jika abang dipaksa untuk memilih.." balasku parau.
"aku gak pernah memaksa abang untuk memilih. Tapi abang sendiri yang menempatkan diri abang berada pada dua pilihan tersebut. Lagi pula, apa susahnya sih, menolak perjodohan tersebut." Juna berucap dengan nada sedikit meninggi.
"aku sangat mencintai kamu, Jun. Tapi aku juga sangat menyayangi orangtua ku. Aku hanya gak ingin membuat mereka kecewa. Sebagai seorang anak, aku memang harus berbakti kepada orangtua ku. Dan sebagai seorang laki-laki dewasa, aku juga punya hati, aku juga punya perasaan."
"aku sadar, mungkin terdengar egois, jika aku tetap memaksa kamu untuk bersamaku, sementara aku justru menikah dengan orang lain. Namun, kita berdua sama-sama tahu, kalau hubungan kita ini adalah sebuah kesalahan.." ucapku berusaha menahan rasa perih di hati ku, yang tiba-tiba saja aku rasakan.
"kalau abang tahu ini adalah sebuah kesalahan, lalu mengapa abang harus memulainya? Mengapa abang memulai semua ini, jika abang sendiri tidak yakin akan bisa mempertahankannya?" Juna membalas masih dengan nada tinggi.
"kita tidak bisa menebak apa yang akan terjadi dalam hidup kita ke depannya, Jun. Saat pertama kali mengenal kamu, yang ada dalam pikiran ku saat itu, hanyalah perasaan ingin memiliki kamu. Dan saat akhirnya kita bisa bersama, yang ada dalam pikiran, hanyalah perasaan ingin bersama kamu selamanya."
"aku tidak pernah berpikir, kalau orangtua ku akan memaksa ku menikah seperti ini. Aku pikir, mereka akan memberikan aku kebebasan, untuk aku bisa hidup melajang selamanya. Namun karena kami tinggal di desa, orangtua ku sudah tidak tahan lagi mendengar ocehan orang-orang yang terus membicarakan tentang aku yang belum menikah." aku berucap panjang lebar lagi, masih berusaha membuat Juna mengerti akan posisi ku.
Kali ini Juna terdiam. Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang ada dalam pikiran Juna saat ini. Apakah ia bisa menerima semua itu, atau justru sebaliknya.
****
Aku pun akhirnya menikah. Aku menikah dengan gadis pilihan orangtua ku. Seorang gadis yang boleh dibilang masih lugu. Namanya Elsa. Sebenarnya dia gadis yang cantik, baik dan juga lembut. Andai saja aku ini laki-laki normal, mungkin Elsa adalah pilihan terbaik bagiku, untuk bisa menjadi pendamping hidupku.
Aku menikahi Elsa bukan karena cinta. Aku menikahinya hanya karena tidak ingin membuat kedua orangtua ku kecewa. Aku menikahinya, hanya karena aku berusaha menjalankan kodrat ku sebagai seorang laki-laki.
Aku tahu keputusan ku ini salah. Aku telah menyakiti hati orang yang aku cintai, Juna. Dan aku juga telah membohongi Elsa, yang sekarang telah resmi menjadi istriku. Aku bahkan juga telah membohongi diriku sendiri, dengan berpura-pura bahagia dengan pernikahan ini.
Tapi aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Setiap keputusan yang aku ambil selalu mengandung resiko yang sama besarnya. Aku harus memilih antara menyakiti hati orang yang aku cintai, atau mengecewakan hati orangtua ku.
Itu bukanlah pilihan yang mudah. Seandainya saja, hubungan ku dengan Juna adalah hubungan yang wajar dan bisa diterima semua orang, mungkin aku akan berjuang sepenuh hatiku, untuk bisa mempertahankannya, meski pun orangtua ku tidak merestuinya.
Namun kenyataannya, hubunganku dengan Juna adalah sebuah kesalahan. Dan sekuat apa pun aku berjuang, cinta kami juga tidak akan pernah bisa diterima oleh siapa pun, apa lagi oleh kedua orangtua ku.
Aku terluka oleh keputusan ku sendiri. Aku juga telah melukai hati Juna. Tapi kenyataan ini harus aku hadapi.
Aku tidak tahu bagaimana keadaan Juna saat ini. Sejak mendapat kabar kalau aku akan menikah, Juna tidak mau lagi mengangkat telponku. Ia juga tidak mau membalas pesan ku. Bahkan saat terakhir kali aku berkunjung ke tempatnya, ia tidak mau menemui ku seperti biasa.
Kini setelah seminggu aku dan Elsa menikah, aku kembali mencoba menghubungi Juna. Ia tetap tidak mau mengangkatnya, pesanku masih belum ia balas. Karena itu, aku pun nekat datang ke kota, agar aku bisa bertemu Juna lagi.
"untuk apa lagi bang Hakim datang ke sini? Bukankah bang Hakim sudah membuat keputusan?" ucap Juna, saat akhirnya aku berhasil menemuinya.
"aku belum membuat keputusan apa-apa, Jun." balasku pelan.
"dengan memilih untuk tetap menikah, itu berarti bang Hakim sudah membuat keputusan." ucap Juna lagi.
"tapi aku tetap ingin bersama kamu, Jun." balasku lagi.
"abang jangan egois gitu, dong. Abang gak bisa terus memiliki aku, sementara abang sudah hidup bersama istri abang." suara Juna sedikit meninggi.
"lalu aku harus bagaimana, Jun? Aku capek, Jun. Aku lelah. Aku hanya ingin kamu mengerti dengan posisi ku saat ini. Ini gak mudah bagi ku, Jun." aku berkata dengan suara berat.
"ini juga gak mudah bagiku, bang. Gak ada seorang pun manusia di dunia ini, yang rela orang yang ia cintai hidup bersama orang lain. Tidak terkecuali saya. Apa pun alasannya. Dan aku memilih untuk mundur, bang. Meski itu artinya, aku harus melukai hatiku sendiri." Juna berucap dengan suara lirih.
"tapi aku juga terluka dengan pilihanmu itu, Jun." balasku pilu.
"aku hanya tidak ingin menyiksa diriku sendiri, dengan terus bersama bang Hakim. Karena setiap kali kita bersama, yang ada hanya rasa sakit yang akan aku rasakan, bang. Karena aku tidak pernah rela, abang hidup bersama orang lain." ucap Juna tercekat.
Aku menarik napas berat beberapa kali. Hatiku benar-benar terasa perih. Sungguh sebuah pilihan yang teramat sangat sulit bagiku. Di satu sisi aku sangat mencintai Juna. Namun di sisi lain, aku juga tidak mungkin membuat keluargaku kecewa.
"aku sarankan, sebaiknya abang pulang, dan belajarlah untuk mencintai istri abang. Perjalanan ku sendiri masih panjang, bang. Mungkin memang sudah saatnya abang berubah. Dan aku tidak ingin menjadi penghalang bagi abang untuk berubah." Juna berucap lagi, kali ini lebih tenang.
"lalu hubungan kita berakhir begitu saja?" tanyaku pilu.
"setidaknya kita pernah bersama, bang. Kita pernah melewati hari-hari indah berdua. Setidaknya kita pernah hidup bersama orang yang kita cintai. Mungkin memang sudah saatnya cinta kita harus berakhir. Dan itu demi kebaikan kita berdua." balas Juna tiba-tiba terdengat bijak.
"lalu apa salah, jika aku tetap ingin bersama kamu, meski pun aku sudah menikah?" tanyaku lebih kepada diriku sendiri.
"gak ada yang salah, bang. Kita juga tidak bisa menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini. Kita juga tidak bisa menyalahkan takdir atau pun kodrat kita sebagai seorang laki-laki. Pada akhirnya semua memang harus berakhir, kan? Apa pun alasannya, kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya." balas Juna pelan.
Entah mengapa, kali ini aku merasa semua ucapan Juna itu benar adanya. Sejujurnya aku sangat setuju dengan semua itu. Namun jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku benar-benar belum rela harus kehilangan Juna secepat ini.
"aku juga tidak rela harus kehilang bang Hakim." ucap Juna lagi, seakan bisa menebak apa yang ada dalam pikiranku saat ini. "tapi kita harus realistis, bang. Kita harus menerima kenyataan ini. Kenyataan bahwa cinta seperti yang kita rasakan saat ini, adalah sebuah kesalahan. Dan kita tidak harus bertahan pada kenyataan yang sudah jelas-jelas salah itu." lanjut Juna.
Sekali lagi aku membenarkan ucapan Juna. Tapi...
"maafkan aku, Jun..." hanya itu yang keluar dari bibirku yang kering.
"abang tak perlu minta maaf lagi. Aku yang harusnya minta maaf, karena telah membuat abang berada pada pilihan yang sulit." balas Juna kemudian, yang membuatku sedikit terhenyak.
"aku hanya tidak ingin ada dendam diantara kita, Jun. Kita memulainya dengan cara baik-baik dan aku ingin kita juga mengakhiri dengan cara yang baik-baik pula." ucapku akhirnya.
"iya, bang. Aku juga sedang berjuang untuk menerima kenyataan ini, bang. Meski berat, tapi kita harus bisa. Bukankah cinta suci tidak selamanya harus bersama? Dan harus aku akui, abang adalah hal terindah yang pernah singgah dalam perjalanan hidupku." balas Juna dengan nada lirih.
"abang juga ingin mengucapkan terima kasih pada Juna, karena telah memberikan abang kesempatan untuk bisa merasakan indahnya cinta. Terima kasih atas segala kenangan indah yang pernah tercipta diantara kita. Terima kasih atas setiap detik waktu yang Juna habiskan bersama abang. Juna adalah cinta terindah dalam hidup abang. Dan abang tidak akan pernah melupakan Juna, seumur hidup abang." ucapku tiba-tiba saja menjadi sedikit puitis.
Setelah berkata demikian, aku pun pamit untuk pulang. Meski hatiku saat ini terasa begitu teriris. Perih sekali rasanya. Bibirku mungkin bisa berkata, kalau aku telah merelakan semuanya. Tapi hatiku belum bisa menerima semua itu. Biar bagaimana pun, aku sangat mencintai Juna. Tapi aku juga tidak bisa memaksakan kenyataan, untuk bisa menjadi seperti yang aku inginkan.
Mungkin Juna benar, cinta suci tidak selamanya harus bersama. Dan aku terlalu egois, untuk berharap bisa bersama Juna selamanya, sementara aku tidak berani melawan kodrat ku sendiri.
Hidup bersama Juna adalah impian terindahku, namun hidup bersama istriku adalah kodrat ku.
Dan antara impian dan kodrat, kadang memang tidak pernah sejalan. Dan kita harus menerima kenyataan itu.
Terima kasih sudah menyimak kisah ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi pada kisah-kisah menarik lainnya, salam sayang untuk kalian semua.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih