Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini.
Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku.
Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot.
Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut.
Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi.
Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya.
Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol.
Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak.
Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun.
Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu.
Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri.
"jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terlalu berat untuk bisas terbiasa hidup tanpa istri saya. Terlalu banyak kenangan disana. Anak-anak juga sering menangis, setiap kali mereka masuk ke kamar ibunya." jelas mas Dodi waktu itu.
"saya harap dengan pindah ke tempat yang baru, kami bisa memulai hidup kami yang baru." lanjut mas Dodi lagi.
Mas Dodi bekerja sebagai seorang kontraktor alat berat. Saya juga kurang tahu, pekerjaan jenis apa itu. Tapi begitulah yang diceritakan mas Dodi padaku.
Mas Dodi biasanya berangkat kerja pada pagi hari, sambil mengantar anak-anaknya ke sekolah.
Menurut cerita mas Dodi juga, setelah pulang sekolah anak-anaknya, biasanya tinggal di rumah penitipan anak yang memang disediakan oleh pihak sekolah, tentu saja dengan bayaran yang lebih.
Mas Dodi pulang kerja, biasanya selalu hampir malam hari. Karena itu, anak-anak ia titipkan disana. Kemudian ketika mas Dodi pulang kerja, baru ia akan menjemput anak-anak disana.
Begitulah biasanya rutinitas yang dilakukan mas Dodi setiap hari, kecuali hari sabtu dan minggu, ia libur kerja dan anak-anak libur sekolah.
Aku tinggal sendirian di rumahku. Rumah sewaan, sih, lebih tepatnya.
Aku kerja di sebuah perusahaan swasta sebagai karyawan biasa, dengan gaji yang pas-pasan. Untuk itu aku belum bisa beli rumah sendiri.
Aku seorang perantau, orangtua dan semua keluargaku berada di kampung.
Sejak kuliah aku memang sudah terbiasa hidup mandiri, dan sudah terbiasa hidup sendirian di rantau.
Sebagai tetangga yang sama-sama masih lajang, dengan status yang berbeda tentunya, kami memang lebih cepat akrab.
Hampir setiap malam, setelah selesai mandi dan makan malam, aku dan mas Dodi sering ngobrol di teras depan rumahnya.
Mas Dodi memang orang yang asyik untuk diajak ngobrol. Ia suka berbagi pengalaman hidupnya.
Usianya yang sudah kepala empat itu, memang punya banyak pengalaman, terutama di bidang pekerjaannya.
"mas Dodi gak berniat untuk menikah lagi, nih?" tanyaku pada suatu malam, saat kami ngobrol berdua.
Sesaat kulihat mas Dodi terdiam, namun segera ia menjawab,
"untuk saat ini sih belum. Saya harus memikirkan anak-anak. Mereka baru saja kehilangan Ibunya. Takkan mudah bagi mereka untuk menerima kehadiran orang baru dalam hidup mereka."
Kata-kata mas Dodi terdengar bijak di telinga saya.
"tapi apa mas Dodi gak kesepian tidur sendirian? Apa mas Dodi gak kerepotan mengurus pekerjaan rumah sendirian? Mas Dodi, kan harus kerja juga...." saya bertanya lagi, cukup blak-blakan, sih, menurut saya. Namun karena kami memang sudah dekat, mas Dodi sepertinya tidak mempermasalahkan hal tersebut.
"Kesepian sih pasti, ya. Kadang suka kangen juga, pengen ngerasain lagi, tidur bareng seseorang. Tapi demi anak-anak, saya harus kuat menahannya..." jawab mas Dodi, lalu kemudian ia menarik napas panjang.
"kalau soal kerepotan mengurus pekerjaan rumah, gak juga ya. Karena ketika almarhum istri saya masih hidup, saya juga sering membantu ia menyelesaikan pekerjaan rumah. Apa lagi sekarang, semuanya serba pakai mesin. Dan lagi pula kalau lagi malas masak, saya tinggal pesan onlline. Begitu juga kalau mau cuci pakaian, kan sudah ada loundry..." mas Dodi melanjutkan kalimatnya, yang membuat saya manggut-manggut setuju.
Hari berlalu, bulan pun berganti. Hingga tibalah saatnya musim liburan sekolah. Tentu saja hal ini membuat mas Dodi sedikit kesulitan, karena anak-anak tidak bisa dititipkan di sekolah seperti biasa. Sekolah libur, tempat penitipan itu pun libur.
Mas Dodi tidak punya keluarga lain di kota ini. Hampir semua keluarganya dan keluarga almarhum istrinya tinggal di kota lain, yang cukup jauh.
"bagaimana kalau anak-anak dititip sama saya aja, mas?" tawar saya, ketika mas Dodi menceritakan kesulitannya tersebut.
"tapi kamu kan kerja, Ri..." balas mas Dodi.
"sebenarnya saya udah berhenti kerja, mas. Saya di PHK, pengurangan karyawan katanya..." jawab saya jujur.
Saya memang sudah dipecat, beberapa hari yang lalu. Saat ini, saya sudah mencoba mengajukan lamaran ke beberapa tempat, tapi belum ada panggilan. Untunglah uang tabungan dan uang pesangon saya masih ada. Setidaknya cukuplah untuk saya bertahan hidup beberapa bulan ke depan. Sebelum saya mendapatkan pekerjaan yang baru.
"kok kamu gak cerita?" tanya mas Dodi dengan nada keheranannya.
"ini saya cerita, mas..." jawab saya, dengan nada sedikit bercanda. "sekarang saya lagi nunggu panggilan kerja. Jadi sekarang saya nganggur..." lanjut saya lagi, mencoba menebak pertanyaan mas Dodi selanjutnya.
"oh..." ucap mas Dodi membulatkan bibir. "tapi kamu gak apa-apa kan? Saya titipkan anak-anak?" lanjut mas Dodi.
"udah, gak apa-apa, mas. Santai aja kali..." balas saya santai.
Jadilah saya selama hampir dua minggu, jadi pengasuh anak-anak mas Dodi. Beruntung mereka tidak begitu nakal. Dan saya sebenarnya sangat menyukai anak-anak. Saya dan anak-anak mas Dodi menjadi sangat dekat, kamu selalu bermain bersama, selama mas Dodi bekerja.
"makasih ya, Ri. Kamu sudah sangat membantu saya..." ucap mas Dodi suatu malam, setelah masa liburan anak-anak usai.
Malam itu mas Dodi hanya memakai celana pendek dan baju singletnya. Kali ini kami mengobrol di ruang tamu rumah mas Dodi. Anak-anak sudah tertidur. Kalau tak salah saat itu sudah hampir jam sepuluh malam.
"udah... santai, mas. Saya malah senang dititipi anak-anak. Jadi ada teman saya. Dari pada bengong sendirian di rumah..." balas saya ringan.
Saya sempat memperhatikan bulu-bulu lebat yang tumbuh di sepanjang kaki mas Dodi.
"jadi kamu udah ada panggilan kerja?" tanya mas Dodi, setelah kami terdiam sesaat.
"belum sih, mas. Tapi saya yakin, sebentar lagi pasti ada, kok.." jawab saya, lebih kepada meyakinkan diri saya sendiri.
Sebenarnya saya sudah mulai tak yakin, akan segera mendapatkan pekerjaan. Namun saat ini yang bisa saya lakukan hanyalah menunggu.
Saya melihat mas Dodi merogoh saku celana pendeknya dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu.
"ini, sebagai tanda ucapan terima kasih saya..." ucap mas Dodi, sambil menyerahkan uang tersebut, "gak seberapa sih, dibanding kerepotan kamu, mengurusi anak-anak.." lanjutnya.
Saya menatap lembaran uang berwarna merah transparan itu. Ada beberapa lembar, setidaknya ada lima atau enam lembar, saya tidak tahu pasti.
"aduh... gak usah, mas..." ucap saya akhirnya, sambil sedikit mendorong tangan mas Dodi.
"udah... gak apa-apa. Terima aja..ya..!" ujar mas Dodi dengan nada sedikit memohon.
Namun saya dengan lebih memohon, terus menolaknya.
"saya gak tahu lagi, bagaimana caranya lagi berterima kasih sama kamu, Ri..." ucap mas Dodi akhirnya menyerah.
"gak harus pake uang, mas..." balas saya, sedikit menekan suara.
"kalau gak pake uang? Lalu harus pake apa saya membayar kamu?" pertanyaan mas Dodi membuat jantung saya berdetak kencang.
Dengan tubuhmu, mas Dodi. Jawab saya membathin.
"kamu yakin?" tanya mas Dodi tiba-tiba, melihat saya hanya terdiam.
"yakin maksudnya?" saya balik bertanya, yang membuat saya kemudian merasa bodoh dengan pertanyaan saya sendiri.
Sesaat mas Dodi mengerutkan kening, mendengarkan pertanyaan saya barusan.
"kamu yakin, gak mau terima uang ini..?" ucap mas Dodi akhirnya.
"iya, yakin, mas. gak apa-apa..." suara saya sedikit parau.
"lalu saya harus bayar kamu pakai apa?" mas Dodi mengulangi pertanyaannya kembali, yang membuta saya menjadi salah tingkah.
Saya benar-benar tidak tahu, harus menjawab apa.
Haruskah saya mengatakan yang sejujurnya?
Tapi bukankah hal itu beresiko?
Bagaimana kalau mas Dodi menolak?
Dia pasti akan menjauhi saya. Dan itu artinya, saya akan kehilangan kesempatan untuk bisa selalu dekat-dekat dengan duda kekar tersebut.
****
Lama suasana hening. Saya menghirup kopi yang sudah dihidangkan mas Dodi sejak tadi. Kopi itu sudah mulai dingin, saya menghirupnya beberapa kali. Sekedar menghilangkan grogi saya yang tiba-tiba datang.
"saya boleh menginap malam ini disini, mas?" tanya saya akhirnya setelah merasa cukup tenang.
"menginap? kenapa emangnya? kok, kamu tiba-tiba ingin menginap disini?" tanya mas Dodi dengan kening berkerut.
"lampu di rumah mati, mas. Pulsa PLN-ku habis, lupa tadi belinya..." jawab saya, seratus persen berbohong.
"oh, ya. gak apa-apa, sih. Tapi kamu mau tidur dimana? Rumah ini cuma punya dua kamar, satu kamar anak-anak satu kamar saya..." mas Dodi berujar sambil menatap saya.
"saya tidur di kamar mas Dodi aja. Gak apa-apa kan, mas?" ucap saya cukup berani.
"emang kamu mau tidur sekamar dengan saya?" tanya mas Dodi lagi, tanpa mengalihkan tatapannya.
Pertanyaan itu membuat jantung saya berdetak semakin kencang.
Yah, mau lah, mas. Apa lagi tidur dalam dekapan mas Dodi. Saya membathin lagi.
"iya. Mau, mas. Kalau mas Dodi gak keberatan, sih..." ucap saya akhirnya.
"ya udah, mari kita masuk. Udah ngantuk juga ini..." balas mas Dodi, yang membuat saya bersorak senang.
Kapan lagi coba? Tidur sekamar bareng duda sekeren mas Dodi.
Mas Dodi mulai menutup dan mengunci pintu kamar. Saya pun merebahkan tubuh saya, di ranjang yang terasa sangat empuk itu.
"kamu tidur seperti itu aja? Maksud saya, kamu bisa tertidur dengan pakaian lengkap seperti itu?" mas Dodi bertanya sambil ia membuka singlet dan celana pendeknya.
Mas Dodi hanya memakai celana dalam yang berwarna hitam. Dada saya semakin bergemuruh tak karuan.
"saya...saya... saya gak apa-apa, buka pakaian ini?" suara saya tergagap.
"yah, terserah kamu, sih. Senyamannya kamu aja..." ucap mas Dodi, sambil mulai merebahkan tubuhnya.
Dada mas Dodi terlihat berotot, perutnya tidak six pack, namun juga tidak buncit. Intinya tubuh mas Dodi itu besar dan berotot.
Hal itu membuat saya merasa tak karuan.
Saya segera bangkit dan membuka baju kaos dan celana jeans saya. Sebenarnya saya ingin sekalian membuka celana pendek saya. Namun karena merasa kurang sopan, saya tetap memakainya.
Lalu saya berbaring kembali, di samping mas Dodi yang hanya berjarak tidak lebih sejengkal dari saya.
"badan kamu bagus juga ya, Ri..." ucapan mas Dodi yang tiba-tiba itu, membuat saya semakin tak karuan.
"gak ah, mas. Biasa aja. Justru badan mas Dodi yang bagus banget. Padat, berotot dan kekar." balas saya, terdengar sedikit polos.
Saya lihat mas Dodi tersenyum, saat saya mencoba memutar kepala manatapnya.
"kamu udah punya pacar, Ri?" tanya mas Dodi.
"belum, mas." jawab saya jujur.
"kenapa belum? Padahal kamu cakep, lho!" kali ini mas Dodi berujar, sambil memutar kepala menatap saya. Mata kami bersirobok pandang. Jantung saya berdetak kencang lagi.
"gak tahu, mas. Masih mau fokus memikirkan pekerjaan aja dulu..." jawab saya sekenanya.
"kamu suka gak sama saya?" ucap mas Dodi tiba-tiba. Tatapan matanya semakin tajam menghujam jantung saya, yang berdetak semakin tak karuan mendengar pertanyaan tersebut.
"maksud... maksud mas Dodi apa?" tanya saya tergagap, antara merasa polos dan merasa takut salah paham.
"saya kesepian, Ri. Sejak istri saya meninggal, kamu satu-satunya orang yang paling dekat dengan saya. Selain anak-anak tentunya. Setiap hari ngobrol sama kamu, entah mengapa saya semakin merasa nyaman. Kamu orang yang baik..." mas Dodi berucap lagi, kali ini ia mulai memiringkan tubuhnya kearah saya.
Saya terdiam mendengarkannya. Saya tidak tahu, bagaimana caranya melukiskan perasaan saya saat itu. Yang pasti saya merasa sangat senang mendengarkan kalimat itu.
******
Sejak kejadian malam itu, saya dan mas Dodi jadi semakin dekat dan sangat akrab. Saya yang sudah resmi jadi pengangguran, karena tak kunjung jua mendapatkan panggilan kerja, jadi sering menghabiskan waktu bersama keluarga mas Dodi.
Saya juga jadi sering menginap di rumah mas Dodi. Saya hanya mandi dan berganti pakaian di rumah, lalu kemudian akan kembali ke rumah mas Dodi. Saya juga memasak untuk mas Dodi, membersihkan rumahnya dan sesekali mencuci pakaian mas Dodi dan anak-anaknya.
Lebih dari dua bulan aku menganggur. Beruntunglah aku mengenal keluarga mas Dodi, setidaknya aku masih punya kesibukan setiap harinya. Namun sekarang uang tabunganku sudah menipis. Aku tidak tahu lagi, bagaimana caranya bisa mendapatkan pekerjaan, atau setidaknya bisa menghasilkan uang.
Sudah dua bulan aku tidak membayar sewa rumah. Kalau sampai bulan depan aku belum juga dapat membayar, mau tidak mau, aku harus pindah dari rumah tersebut.
"udah.. kamu tinggal di rumahku aja dulu..." ucap mas Dodi, ketika aku menceritakan semuanya kepada mas Dodi. Aku memang semakin terbuka kepada mas Dodi, bukan cuma pakaianku saja yang kubuka di depannya, tapi juga seluruh cerita kehidupanku.
"tapi aku gak mau jadi beban buat mas Dodi dan anak-anak.." balasku dengan nada sedih.
"kamu bukan beban, Ri. Justru saya merasa sangat terbantu, dengan adanya kamu di rumah ini. Nanti kamu bisa sekalian antar jemput anak-anak ke sekolah, kan motormu masih ada. Jadi saya gak perlu lagi membayar lebih untuk menitipkan anak-anak di sekolah." mas Dodi berucap lagi, kali ini dengan nada yang sangat serius.
"kalau mas Dodi gak keberatan, aku mau, mas.." balasku setuju.
"tapi aku gak bisa bayar kamu pakai uang, loh.." ucap mas Dodi lagi.
"gak apa-apa, mas. Gak di bayar pakai uang, tapi bayar pakai itu aja, ya.." ucapku dengan nada menggoda, sambil menunjuk sesuatu di bawah perut mas Dodi.
"ah, kamu bisa aja. Kalau untuk itu, saya selalu siap buat kamu, Ri. Kapan pun..." mas Dodi membalas dengan nada lebih menggoda lagi. Saya hanya tersenyum.
Jadilah sejak saat itu, aku tinggal satu atap dengan mas Dodi, tentu saja dengan anak-anaknya juga. Aku harus bisa juga menjaga sikap, saat di depan anak-anak. Aku tak ingin mereka curiga, kalau aku ada apa-apa dengan ayahnya. Setiap hari aku mengantar dan menjemput anak-anak ke sekolah.
Setiap hari aku memasak, membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Dan hampir setiap malam, aku juga melayani mas Dodi di ranjang. Aku dan mas Dodi sudah hidup, bak sepasang suami istri.
Sungguh sebuah kehidupan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dulu waktu kecil, aku bercita-cita menjadi seorang pengusaha sukses dan hidup bahagia dengan sebuah keluarga kecil. Tapi itu dulu, sebelum saya menyadari, kalau saya seorang gay. Ketika mulai tumbuh dewasa, dan menyadari kalau saya seorang gay, cita-cita saya hanya satu, yakni hidup bersama pria yang saya cintai.
Mungkin ini adalah salah satu cita-cita saya yang tercapai. Tapi biar bagaimana pun, aku tetap harus mencari sebuah pekerjaan. Aku tak mungkin selamanya hidup bergantung kepada mas Dodi. Aku harus punya kehidupanku sendiri.
Hubungan kami mungkin memang indah, bahkan sangat indah bagiku. Menjadi bagian dari kehidupan mas Dodi, si duda keren tersebut, adalah sebuah keindahan. Memasak untuknya, dan melayani di ranjang, adalah sesuatu yang luar biasa. Aku begitu menikmati hal tersebut.
Namun, harus aku akui, ini semua adalah sebuah kesalahan. Kami mungkin saja tetap bisa menutupi hubungan kami di depan orang-orang. Tapi sampai kapan?
Sampai kapan, kami mampu menjaga rahasia ini?
*****
Waktu masih terus bergulir, tanpa bisa dicegah atau pun dipacu.
Aku masih saja terus melakukan semua aktivitasku bersama keluarga kecil mas Dodi. Berbulan-bulan, aku masih belum juga mendapatkan pekerjaan. Mas Dodi memang memberiku sejumlah uang, untuk kebutuhanku. Tapi tetap saja, aku mulai merasa kurang nyaman tinggal serumah dengan mas Dodi.
Berita-berita tak sedap tentang kami, sudah mulai menyebar. Aku dan mas Dodi, sepakat untuk mengabaikan hal tersebut. Namun yang aku pikirkan, efeknya bisa saja mempengaruhi anak-anak.
Hinga suatu saat, mas Dodi kedatangan kedua orangtuanya. Mereka begitu gembira bertemu dengan mas Dodi dan cucu-cucunya. Setelah lebih dari setahun mereka tidak bertemu.
Mas Dodi memperkenalkanku kepada orangtuanya, sebagai pengasuh anak-anaknya.
"kalau pengasuhnya perempuan, takutnya malah dicurigai, karena aku yang seorang duda.." jelas mas Dodi, ketika orangtuanya mempertanyakan kenapa pengasuh anaknya justru seorang laki-laki.
Orantua mas Dodi, menginap beberapa malam di rumah itu. Selama itu, aku harus bisa menjaga sikap. Terutama pada malam hari, aku harus bisa menahan keinginanku untuk bisa tidur dalam dekapan hangat mas Dodi.
Setelah orangtua mas Dodi pulang, keadaan kembali seperti sedia kala. Malam itu, aku pun memanfaatkan kesempatan untuk bisa tidur dengan mas Dodi. Setelah beberapa malam tak mendapatkan 'jatah', aku menjadi sangat liar di ranjang, yang membuat mas Dodi kewalahan.
Kami sama-sama bergairah malam itu, hingga kami melakukannya beberapa kali sampai pagi. Rasanya tubuhku terasa lemas, karena harus terus menggoyang mas Dodi hingga pagi.
*******
Setahun kemudian berlalu, aku pun akhirnya mendapatkan sebuah pekerjaan. Hal itu tentu saja, merubah semua rutinitasku. Anak-anak mas Dodi kembali ia titipkan di sekolah.
Aku pun memutuskan untuk mencari tempat tinggal sendiri. Aku bukannya gak mau, tetap tinggal seatap dengan mas Dodi, tapi kecurigaan para tetangga membuatku harus bisa menjaga jarak dari keluarga mas Dodi. Apa lagi sekarang aku sudah punya kerja, jika terus tinggal bersama mas Dodi, jelas hal itu, akan membuat orang-orang semakin curiga.
Aku masih rutin mengunjungi mas Dodi, terutama pada malam hari. Tapi tentu saja, aku tidak pernah lagi menginap. Aku disana hanya beberapa jam, hanya sekedar untuk memuaskan mas Dodi. Dan tentu saja untuk melampiaskan semua hasratku.
Hal itu terus berlanjut. Aku dan mas Dodi masih terus menjalin hubungan. Aku memang mencintai mas Dodi, tapi untuk tetap berharap agar selalu bersamanya, rasanya itu terasa mustahil.
Biar bagaimana pun, di usiaku yang hampir kepala tiga ini, keluarga dan kedua orangtuaku sudah mulai mempertanyakan tentang kapan aku akan menikah. Hal ini, jelas menjadi beban tersendiri bagiku.
Di satu sisi, aku harus menjalani kehidupan sebagaimana layaknya seorang laki-laki, punya istri, punya anak dan menjadi kepala rumah tangga. Apa lagi sekarang, aku sudah punya pekerjaan yang lumayan mapan. Aku bahkan sudah punya rumah sendiri, tentu saja masih kredit,sih.
Namun di sisi lain, aku sangat mencintai mas Dodi. Aku tak ingin berpisah darinya. Aku ingin selalu bersamanya. Menikmati setiap keindahan yang terjadi diantara kami. Meski aku sendiri tidak pernah tahu, seperti apa sebenarnya perasaan mas Dodi padaku.
Selama ini, aku hanya melayaninya. Aku tak pernah mempertanyakan perasaannya padaku. Meski aku tahu, mas Dodi selalu tersenyum puas, setiap kali ia selesai melepaskan hajatnya.
Aku tak tahu, apa ia juga mencintaiku. Atau ia hanya sekedar menjadikanku pemuas hasratnya belaka.
Aku sebenarnya juga tidak peduli dengan hal itu, yang penting bagiku, aku bisa selalu bersamanya dan mendapatkan kepuasan tersendiri, saat berhubungan dengannya.
******
Namun beginilah takdir, kita tidak terkadang tak bisa menebaknya. Semua yang terjadi terkadang di luar kendali kita. Aku tak bisa lagi menolak keinginan kedua orangtuaku untuk menjodohkanku dengan gadis pilihan mereka.
Aku mencoba menceritakan hal itu kepada mas Dodi. Tapi sepertinya mas Dodi, tidak terlihat kecewa, dan dia bahkan sangat mendukung pernikahanku. Dia tak berniat untuk mencegahku. Sepertinya ia tidak merasa takut akan kehilangan diriku.
Antara kecewa dan pasrah, aku akhirnya menikah. Mas Dodi hadir pada saat pesta pernikahanku. Ia jauh-jauh datang ke kampungku, hanya untuk mengucapkan selamat padaku.
Namun saat aku kembali ke kota, mas Dodi tidak lagi tinggal di rumah itu. Aku mencoba menemuinya, namun menurut keterangan para tetangga, mas Dodi udah pindah beberapa hari yang lalu. Aku juga tidak bisa menghubunginya, nomornya tidak pernah aktif.
Aku tak tahu, mengapa mas Dodi tiba-tiba menghilang, setelah pernikahanku. Bisa saja karena ia merasa kecewa, atau justru karena ia telah menemukan sesuatu yang baru.
Aku tak pernah menemukan jawabannya.
Aku mencoba menjalani hidupku, sebagaimana mestinya.
Melayani istriku, menjadi seorang suami dan kepala rumah tangga, sampai akhirnya aku mempunyai seorang anak perempuan.
Dan setelah lebih satu tahun tanpa kabar, tiba-tiba aku mendapat kabar, kalau mas Dodi ternyata sudah menikah lagi. Ia menikah dengan seorang janda tanpa anak.
Antara kecewa dan bahagia aku mendengar kabar itu.
Aku kecewa, karena mas Dodi-ku telah menjadi milik orang lain. Namun aku juga bahagia, setidaknya mas Dodi telah menemukan kebahagiaannya sendiri.
Aku dan mas Dodi, memang tidak pernah bertemu lagi. Tapi segala kenangan yang terjadi diantara kami, selalu kusimpan rapi di sudut hatiku.
Mas Dodi adalah hal terindah yang pernah singgah di perjalanan hidupku. Dan aku yakin, mas Dodi, juga merasakan hal yang sama.
Tapi kami harus menjalani hidup kami, sebagaimana kodrat kami sebagai seorang laki-laki.
*****
Cerita ini saya buat, setelah beberapa tahun, hal itu terjadi.
Selama ini aku hanya memendamnya sendiri.
Aku berharap, kepada siapa pun yang mendengar kisah ini, bisa menjadikannya sebuah pelajaran.
Bahwa sebuah hubungan sesama jenis, tidak akan pernah ada yang abadi. Apa lagi, kita tinggal di negara yang religius seperti negara kita ini.
Kita punya hak untuk mencintai siapapun. Kita punya hak untuk saling mencintai. Tapi kita tidak akan pernah mendapatkan kebebasan untuk bisa tinggal bersama selamanya.
Pada akhirnya, kita memang harus menjalani hidup ini sesuai dengan kodrat kita sebagai laki-laki.
Terima kasih, telah sudi mendengarkan kisah ini. Semoga terhibur, dan semoga ada hikmah yang bisa diambil dari kisah sederhana ini.
Salam santun dari saya...
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih