Namanya Arjuna, aku biasa memanggilnya Juna. Aku baru mengenal Juna beberapa hari yang lalu. Namun dia telah mampu memikat hati ku. Wajahnya yang tampan, dengan senyumnya yang manis di tambah pula dengan postur tubuhnya yang cukup atletis, telah mampu menggugah hatiku.
Juna adalah seorang mahasiswa KKN. Ia dan rombongannya datang beberapa hari yang lalu di desa ku.
Aku memang bekerja sebagai salah seorang staff di kantor desa, karena itu aku turut menyambut kedatangan Juna dan rombongannya. Dan saat itulah aku berkenalan secara formal dengan Juna.
Mahasiswa KKN memang selalu datang setiap tahun di desa kami. Namun selama ini belum pernah seorang mahasiswa KKN pun yang mampu memikat hatiku seperti halnya Juna.
Selain tampan dan atletis, Juna juga sangat ramah. Karena itu juga kami jadi lebih cepat akrab.
Ada enam belas orang mahasiswa KKN yang datang ke desa kami tahun ini. Tujuh orang laki-laki dan sembilan orang lainnya perempuan. Mahasiswa laki-lakinya memang kami tempatkan untuk tinggal di kantor desa, sementara yang perempuan tinggal di salah satu rumah warga, yang berada tidak begitu jauh dari kantor desa.
Sebagai salah seorang staff yang bekerja di kantor desa, aku memang hampir setiap hari berada di kantor desa. Kebetulan juga di kantor desa kami tersebut, hanya aku satu-satunya laki-laki yang masih lajang. Karena itu, pak Kades meminta aku yang membimbing mahasiswa KKN tersebut selama berada di desa kami.
Hal itu justru menjadi sebuah keberuntungan bagi ku. Karena dengan begitu, aku semakin punya banyak kesempatan untuk bisa mengenal Juna lebih dekat.
Aku jadi semakin menghabiskan waktu di kantor desa. Aku semakin sering mengobrol dengan para mahasiswa KKN, terutama dengan Juna.
Dari Arjuna aku jadi tahu, kalau dia adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Mereka empat bersaudara semuanya laki-laki. Ayahnya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Ibunya adalah seorang petani kelapa di kampungnya. Saat ini Arjuna lah yang membantu ibunya mengelola kebun kelapa mereka tersebut.
Kedua kakak laki-laki sudah menikah dan juga sudah punya usaha sendiri, sementara adik bungsunya, saat ini baru mulai kuliah.
"jadi bang Hakim belum menikah?" tanya Arjuna suatu sore padaku, saat kami kembali ngobrol berdua.
"iya.." balasku singkat.
"kenapa?" tanya Arjuna lagi.
"karena... aku kan masih cukup muda, masih 28 tahun loh usiaku." balasku apa adanya.
"tapi bukannya kalau orang kampung itu lebih cepat nikah ya, bang?" Arjuna bertanya kembali.
"sebagian besar sih, iya. Tapi sekarang kan jaman udah modern, menikah muda tidak lagi menjadi tradisi bagi orang kampung seperti kami ini." jelasku.
"lalu bang Hakim rencananya mau nikah pada usia berapa?" tanya Arjuna pelan.
"hmm... mungkin nanti kalau saya sudah berusia 30 tahun.." balasku tidak begitu yakin.
Aku memang tidak punya target untuk menikah saat ini, meski tuntutan dari kedua orangtua ku dan juga keluarga besarku, sangat ingin aku segera menikah. Mengingat usia ku yang sudah cukup matang, dan aku juga sudah punya pekerjaan yang tetap. Namun saat ini, aku belum memikirkan hal tersebut.
****
Aku dan Juna pun kian dekat dan akrab. Aku merasa bahagia bisa dekat dengan Juna. Perasaanku padanya pun kian hari kian berkembang. Terkadang aku tidak bisa menutupi rasa kagum ku kepada Juna. Juna memang sosok yang sempurna di mata ku.
Pada suatu sore, aku sengaja mengajak Juna untuk ikut dengan ku ke sebuah sungai yang berada di belakang desa kami. Sungai itu merupakan sebuah sungai yang saat ini sangat jarang di kunjungi oleh masyarakat desa. Karena selain jauh, sekarang masyarakat desa lebih suka mandi di kamar mandi rumahnya.
"kita ngapain kesini, bang?" tanya Juna, saat kami sudah sampai di tepian sungai tersebut.
"dulu, sebelum mengenal kamar mandi, orang-orang desa biasanya mandi di sini. Tapi sekarang, sudah hampir tidak ada lagi orang yang datang kesini." balasku, sengaja sedikit mengabaikan pertanyaan Juna barusan.
"iya, bang. Tapi kenapa mengajak saya kesini?" Juna mengulangi pertanyaannya.
"saya mau ngomong sesuatu sama kamu, Jun. Tapi kamu jangan marah ya.." balasku akhirnya.
"bang Hakim mau ngomong apa?" Juna bertanya dengan raut muka heran.
"sebenarnya... sebenarnya... sejak pertama kali kita bertemu, aku... mulai suka sama kamu, Jun. Dan semakin hari, perasaan itu semakin berkembang. Aku pun menyadari, kalau diam-diam aku telah jatuh cinta sama kamu. Kamu mau gak jadi pacar ku?" ucapku cukup berani, meski dengan suara yang terbata.
Beberapa saat Juna terdiam. Dia menatapku sekilas, kemudian memalingkan wajahnya menatap ke arah seberang sungai. Aku membiarkan Juna terdiam. Aku biarkan dia mencerna kalimatku barusan. Aku biarkan dia berpikir lebih jauh.
Aku menyadari betul, kalau kejujuran ku barusan, sangatlah besar resikonya. Apa lagi mengingat kalau aku adalah seorang staff di kantor desa. Apa jadinya, jika orang-orang tahu siapa aku sebenarnya. Namun aku memang sudah bertekad untuk berbicara jujur pada Juna. Karena aku sudah tidak bisa lagi membendung perasaan ku padanya.
"maaf, bang. Tapi aku gak bisa... " ucap Juna akhirnya, yang membuatku tiba-tiba merasa lemas.
Terus terang, aku memang sangat berharap, kalau Juna bisa menerima cinta ku. Tapi aku juga tidak bisa memaksannya untuk menyukai ku.
"'iya, Jun. Gak apa-apa, kok. Saya ngerti. Tapi saya harap, ini semua hanya akan menjadi rahasia diantara kita berdua. Dan saya juga berharap, kita masih tetap bisa berteman." ucapku dengan nada lemah.
"iya, bang. Kalau untuk itu abang gak usah khawatir. Aku pasti bisa jaga rahasia, kok. Dan kita juga masih bisa berteman." balas Juna.
"ya udah... sekarang mari kita pulang.." ucapku kemudian.
Kami pun akhirnya kembali ke desa. Sementara perasaan ku sendiri masih berkecamuk. Ada rasa lega dan ada juga rasa kecewa.
Lega karena akhirnya, aku bisa mengungkapkan perasaan ku pada Arjuna. Namun aku juga merasa kecewa, karena Juna tidak mau membalas perasaan ku.
Namun aku tidak akan berhenti hanya sampai disini. Aku akan tetap memperjuangkan cinta ku kepada Juna. Aku akan tetap berusaha merebut hatinya. Meski Juna tidak akan lama tinggal di desa kami. Tapi aku harus bisa memanfaatkan setiap kesempatan yang ada.
****
Hari-hari terus berlalu, sudah hampir satu bulan Juna menjalani masa KKN nya di desa kami, bersama teman-temannya. Aku pun masih terus berjuang, untuk bisa mendapatkan Juna. Aku selalu berbuat baik padanya. Aku selalu berusaha membantunya, terutama saat ia sedang ada kegiatan di desa.
Perlakuan baik dan pengorbanan ku pada akhirnya membuahkan hasil. Juna mulai membuka dirinya akan kehadiran ku.
"bang Hakim sudah sangat baik padaku. Aku jadi merasa punya keluarga selama disini." ucap Juna suatu saat padaku, kali ini kami mengobrol lagi di pinggiran sungai.
"aku akan selalu baik padamu, Jun. Karena aku benar-benar mencintai kamu." balasku penuh perasaan.
"tapi... seandainya aku membalas cinta bang Hakim, kita juga tidak mungkin bisa bersama selamanya, bang. Satu bulan lagi aku akan pergi dari sini. Apa bang Hakim mau menjalin hubungan sesingkat itu dengan ku?" ucap Juna sedikit bertanya.
"gak ada yang gak mungkin di dunia ini, Jun. Jika kita memang sama-sama menginginkannya. Jika pun nanti kamu sudah pergi dari sini, kita masih tetap bisa menjalin hubungan, kok. Aku bisa mengunjungi kamu kapan pun." balasku, berusaha meyakinkan Juna.
"sejujurnya, aku memang mulai merasa tertarik dengan bang Hakim. Kebaikan bang Hakim selama ini, sudah cukup menyentuh hatiku yang terdalam. Aku juga tidak ingin menyia-nyiakan orang sebaik bang Hakim. Jadi, kalau bang Hakim siap menjalin hubungan yang serius dengan ku untuk selama-lamanya, meski apa pun yang akan terjadi nanti, aku juga siap, bang." ucap Juna terdengar bersungguh-sungguh.
Dan aku merasa sangat bahagia mendengar hal tersebut. Sungguh aku tak menyangka kalau usaha ku untuk merebut hari Arjuna akan membuahkan hasil seindah ini.
"aku sangat siap, Jun. Karena aku sangat mencintai kamu.." ucapku akhirnya penuh perasaan.
"aku juga mencintai bang Hakim.." balas Juna terdengar mesra di telinga ku.
Lalu kemudian, kami pun saling tatap penuh makna. Ketampanan wajah Juna benar-benar mampu menghipnotis ku. Senyumnya yang manis, benar-benar membuat aku terpana.
"kamu sangat tampan dan manis sekali, Arjuna. Kamu juga sangat gagah. Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan kamu. Kamu sangat berarti bagi ku." ucapku sedikit berbisik.
"bang Hakim juga sangat tampan. Aku merasa beruntung bisa dicintai oleh bang Hakim." balas Juna pelan.
"aku yang beruntung bisa memiliki kamu, Jun. Semoga aku bisa selalu membuat kamu bahagia." ucapku lagi.
Dan sore itu, untuk pertama kalinya, aku dan Juna mel4kukan s3buah p3rgel4ran. Sesuatu yang selama ini hanya ada dalam angan dan mimpi ku. Kini aku bisa memiliki Juna seutuhnya. Aku bisa menyentuh hatinya yang paling dalam, dan juga bisa merasakan keindahan cinta bersamanya.
*****
Sejak saat itu, aku dan Juna pun resmi berpacaran. Kami jadi semakin sering menghabiskan waktu berdua. Aku bahkan sudah berani untuk mengajak Juna menginap di rumah ku.
Hari-hari indah terus kami lewati bersama. Cinta kami terasa begitu sempurna. Kebahagiaan terus menghiasi hari-hari kami berdua. Rasanya dunia saat ini, hanya milik kami berdua.
"beberapa hari lagi, aku akan pergi dari desa ini, bang. Rasanya begitu berat harus berpisah dari bang Hakim." ucap Juna suatu sore, saat kami bertemu lagi di pinggiran sungai tersebut, tempat biasa kami mem4du k4sih.
"abang juga merasa berat harus berpisah dari Juna. Tapi kita kan masih bisa tetap bersama, Jun. Tak peduli seberapa pun jarak yang terbentang diantara kita, aku akan menempuhnya demi bisa bersama kamu, Jun." balasku penuh perasaan.
"iya.. aku tahu, bang. Perpisahan ini bukanlah akhir dari hubungan kita. Tapi setidaknya, nanti kita akan jarang bertemu. Tidak seperti sekarang, dimana kita bisa bersama setiap harinya." ucap Juna lagi.
"semoga jarak dan waktu tidak akan mengubah keindahan cinta kita, Jun. Semoga cinta kita tetap bisa bertahan selamanya, meski akan begitu banyak rintangan yang akan menghalanginya." balasku sedikit lirih.
"selama kita sama-sama mampu menjaga hati kita, aku yakin, tidak ada yang akan mampu memisahkan kita, bang. Tidak juga jarak dan waktu.." ucap Juna.
Untuk sesaat kami pun hanya saling terdiam. Terus terang, memang terasa berat harus berpisah dari Juna. Hari-hari ku terlalu sempurna saat bersamanya. Meski pun, seperti yang Juna katakan, kalau perpisahan ini bukanlah akhirnya dari cinta kami. Tapi tetap saja, hari-hari ku akan terasa sepi, tanpa ada Juna disisi ku.
Namun aku selalu percaya, bahwa kekuatan cinta kami, akan membuat kami tetap bertahan, meski apapun yang akan terjadi nantinya.
"kita masih punya waktu selama beberapa hari lagi, Jun. Kita jangan terlalu memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Lebih baik, kita nikmati saja waktu yang tersisa, sebelum kita terpisahkan oleh jarak dan waktu. Lebih baik kita habiskan waktu selama beberapa hari ke depan, untuk merasakan keindahan cinta kita." ucapku akhirya, setelah cukup lama kami saling terdiam.
"iya, bang. Aku setuju. Aku juga tidak ingin membuang-buang waktu yang ada, hanya untuk memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi. Memang lebih baik kita habiskan waktu yang tersisa ini, dengan menikm4ti kebersamaan kita." balas Juna pelan.
*****
"ini adalah malam terakhir kita, Jun. Dan aku tidak ingin malam ini berlalu begitu saja." ucapku dengan nada lirih.
"iya, bang. Aku juga ingin menghabiskan malam ini hanya berdua bersama bang Hakim." balas Juna penuh perasaan.
Saat itu kami ngobrol berdua di pinggiran sungai tempat biasa kami bertemu.
Hari-hari yang aku lewati bersama Juna selama hampir dua bulan ini, memang terasa sangat indah bagi ku. Dunia benar-benar hanya milik kami berdua. Cinta yang tumbuh diantara kami berdua, terasa begitu sempurna.
Rasanya sangat berat harus berpisah dengan Juna. Kebersamaan kami selama, sungguh telah membuat aku terlena. Dalam hati dan pikiran ku hanya ada nama Juna. Cowok tampan dengan sejuta pesonanya.
"nanti kalau aku sudah kembali ke kota, abang mau kan sekali-kali datang menemui saya di kota?" tanya Arjuna tiba-tiba.
"abang pasti mau, Jun. Tapi... abang juga tidak mungkin bisa sering-sering menemui kamu di kota. Biar bagaimana pun, abang juga harus kerja disini. Paling ya... cuma setiap malam minggu..." balasku.
"iya, bang. Sekali seminggu itu sudah lebih dari cukup. Setidaknya kita masih punya kesempatan untuk terus bersama." ucap Juna lagi.
Dan begitulah, malam itu kami pun menghabiskan waktu berdua. Menikmati indahnya cinta kami. Menyatu dalam sebuah rasa yang sempurna. Sungguh malam yang penuh kesan bagiku. Kami benar-benar terbuai dalam alunan keindahan cinta yang kami rasakan.
*****
Keesokan harinya, Juna dan rombongannya pun pergi meninggalkan desa kami. Aku melepas kepergian Juna dengan perasaan yang sangat berat. Tapi aku memang harus mengikhlaskannya pergi. Setidaknya, perpisahan ini bukanlah akhir dari cinta kami.
Kami masih bisa terus bersama, meski jarak dan waktu akan memisahkan kami. Namun aku selalu percaya, bahwa cinta akan selalu membuat kami kuat. Sekuat cinta yang tumbuh diantara kami berdua.
Saya hanya berharap, semoga Juna bisa menepati janjinya untuk selalu setia padaku. Semoga cinta kami bisa bertahan selamanya. Ya.. selamanya..
Terima kasih sudah menyimak kisah ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi pada part berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih