Ini kisah ku.
Kisah seorang laki-laki yang harus berjuang keras untuk bisa merubah takdirnya.
Kisah seorang laki-laki yang harus berusaha bisa membunuh cintanya karena cinta tumbuh di hatinya untuk orang yang salah.
Dan hal itu terjadi berkali-kali.
Kisah ini berawal ketika aku masih berusia 16 tahun, masih remaja.
Masa di mana seseorang sedang tumbuh dan mencari jati dirinya.
Pada masa itulah, seseorang mulai merasakan yang namanya jatuh cinta.
Ya, pada usia itulah untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan jatuh cinta.
Sebuah rasa yang kemudian harus aku sesali.
Rasa itu tumbuh begitu saja, tanpa pernah aku rencanakan dan tanpa pernah aku inginkan.
Entah mengapa, tiba-tiba saja aku menyukai seseorang dan bahkan aku begitu mengaguminya.
Dia seorang laki-laki yang berusia terpaut cukup jauh dari ku, waktu itu dia sudah berusia 23 tahun.
Dia seorang pemuda yang sangat tampan dan gagah.
Aku tinggal di sebuah desa yang cukup jauh dari perkotaan. Pada saat itu, di desa kami belum ada listrik masuk. Jalan menuju desa kami pun sangat parah dan berlumpur.
sebagian besar penduduk desa bekerja sebagai nelayan, karena memang desa kami terletak di pinggir sungai.
Di desa kami pada waktu itu, hanya berdiri satu sekolah dasar. Belum ada SMP apa lagi SMA.
Jadi kebanyakan dari kami, hanya sekolah sampai tamat SD. Kecuali bagi mereka yang mempunyai ekonomi yang cukup mapan.
Bagi mereka yang mampu, akan melanjutkan sekolah keluar.
Dan aku bukanlah dari keluarga mampu.
Aku seorang yatim piatu, Ibu ku meninggal pada saat aku berusia 6 tahun dan ayahku meninggal pada saat aku berusia 11 tahun.
Semenjak kedua orang tua ku meninggal, aku tinggal bersama kakak perempuan tertua ku, yang waktu itu sudah menikah dan memiliki anak.
Kami ada empat bersaudara, sebenarnya lima, tapi abangku yang nomor tiga meninggal pada usia nya 20 tahun.
Kakak pertama dan kedua ku perempuan, kemudian ada abangku yang hanya lebih tua 4 tahun dari ku.
Aku jatuh cinta pada seorang pemuda yang juga tinggal satu desa denganku. Namanya Hafis (bukan nama sebenarnya), dia pemuda yang sangat aku kagumi. Meski juga terlahir dan besar dari keluarga yang kurang mampu, ia juga seorang yatim piatu seperti ku. Hanya bedanya Ayahnya meninggal pada saat ia sudah berusia 13 tahun dan Ibunya meninggal pada saat ia berusia kira-kira 15 tahun.
Aku tidak begitu tahu tentang kisahnya. Yang aku tahu ia seorang pemuda yang punya banyak kepandaian, yang aku sendiri tidak bisa.
Dia pemuda yang pandai di bidang olahraga, terutama bola kaki. Dia juga pandai bermain bola voli.
Aku sangat mengaguminya.
Dia juga sangat aktif dalam kepemudaan di desa kami.
Intinya di mata ku waktu itu, ia adalah sosok yang sangat sempurna.
Dan aku jatuh cinta padanya karena kesempurnaannya itu.
Kisah seorang laki-laki yang harus berjuang keras untuk bisa merubah takdirnya.
Kisah seorang laki-laki yang harus berusaha bisa membunuh cintanya karena cinta tumbuh di hatinya untuk orang yang salah.
Dan hal itu terjadi berkali-kali.
Kisah ini berawal ketika aku masih berusia 16 tahun, masih remaja.
Masa di mana seseorang sedang tumbuh dan mencari jati dirinya.
Pada masa itulah, seseorang mulai merasakan yang namanya jatuh cinta.
Ya, pada usia itulah untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan jatuh cinta.
Sebuah rasa yang kemudian harus aku sesali.
Rasa itu tumbuh begitu saja, tanpa pernah aku rencanakan dan tanpa pernah aku inginkan.
Entah mengapa, tiba-tiba saja aku menyukai seseorang dan bahkan aku begitu mengaguminya.
Dia seorang laki-laki yang berusia terpaut cukup jauh dari ku, waktu itu dia sudah berusia 23 tahun.
Dia seorang pemuda yang sangat tampan dan gagah.
Aku tinggal di sebuah desa yang cukup jauh dari perkotaan. Pada saat itu, di desa kami belum ada listrik masuk. Jalan menuju desa kami pun sangat parah dan berlumpur.
sebagian besar penduduk desa bekerja sebagai nelayan, karena memang desa kami terletak di pinggir sungai.
Di desa kami pada waktu itu, hanya berdiri satu sekolah dasar. Belum ada SMP apa lagi SMA.
Jadi kebanyakan dari kami, hanya sekolah sampai tamat SD. Kecuali bagi mereka yang mempunyai ekonomi yang cukup mapan.
Bagi mereka yang mampu, akan melanjutkan sekolah keluar.
Dan aku bukanlah dari keluarga mampu.
Aku seorang yatim piatu, Ibu ku meninggal pada saat aku berusia 6 tahun dan ayahku meninggal pada saat aku berusia 11 tahun.
Semenjak kedua orang tua ku meninggal, aku tinggal bersama kakak perempuan tertua ku, yang waktu itu sudah menikah dan memiliki anak.
Kami ada empat bersaudara, sebenarnya lima, tapi abangku yang nomor tiga meninggal pada usia nya 20 tahun.
Kakak pertama dan kedua ku perempuan, kemudian ada abangku yang hanya lebih tua 4 tahun dari ku.
Aku jatuh cinta pada seorang pemuda yang juga tinggal satu desa denganku. Namanya Hafis (bukan nama sebenarnya), dia pemuda yang sangat aku kagumi. Meski juga terlahir dan besar dari keluarga yang kurang mampu, ia juga seorang yatim piatu seperti ku. Hanya bedanya Ayahnya meninggal pada saat ia sudah berusia 13 tahun dan Ibunya meninggal pada saat ia berusia kira-kira 15 tahun.
Aku tidak begitu tahu tentang kisahnya. Yang aku tahu ia seorang pemuda yang punya banyak kepandaian, yang aku sendiri tidak bisa.
Dia pemuda yang pandai di bidang olahraga, terutama bola kaki. Dia juga pandai bermain bola voli.
Aku sangat mengaguminya.
Dia juga sangat aktif dalam kepemudaan di desa kami.
Intinya di mata ku waktu itu, ia adalah sosok yang sangat sempurna.
Dan aku jatuh cinta padanya karena kesempurnaannya itu.
Secara pergaulan dia juga orang yang supel. Pandai bergaul dan punya banyak teman.
Aku tidak begitu dekat dengannya, selain karena usia kami yang terpaut jauh, aku juga bukan orang yang mudah bergaul.
Aku terkenal sebagai anak yang pendiam dan pemalu.
Aku memang punya beberapa orang teman yang cukup akrab.
Tapi untuk menjadi dekat dengan Hafis bukanlah hal yang mudah bagiku.
Sejak aku jatuh cinta padanya, aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan, aku hanya bisa melamunkannya di hampir setiap malam ku.
Perasaan ingin memilikinya tumbuh begitu besar di hatiku.
Walau aku sadar, kalau perasaanku kepada Hafis waktu itu adalah sebuah kesalahan besar.
Sebagai laki-laki harusnya aku menyukai perempuan sebagaimana layaknya seorang laki-laki.
Dan aku juga tahu, kalau Hafis sudah punya pacar. Sebagai pemuda yang memiliki wajah yang sangat tampan, sudah sewajarnya Hafis mempunyai pacar yang cantik.
Aku benar-benar tidak tahu, mengapa aku begitu mengaguminya, mengapa aku
jatuh cinta padanya, dan mengapa aku begitu menginginkannya.
Aku pun menyadari, kalau aku adalah laki-laki yang tidak normal. Ada yang salah pada diriku.
Namun semua perasaanku terhadap Hafis tumbuh begitu saja. Meski aku tidak menginginkannya sama sekali.
Sebagai seseorang yang tinggal jauh dari perkotaan, dan juga minim teknologi, aku saat itu belum mengenal istilah gay, homo atau apa pun sebutannya untuk laki-laki tidak normal sepertiku.
Yang aku tahu waktu itu, aku sedang jatuh cinta.
Perasaanku begitu bahagia meski hanya bisa melihatnya dari kejauhan dan melamunkannya setiap malam.
Berharap suatu saat kelak ia bisa menjadi bagian dari hidupku. Sebuah harapan yang kemudian harus aku sesali.
Aku tidak pernah menceritakan kepada siapa pun tentang perasaanku, apa lagi kepada Hafis. Perasaan itu hanya ku pendam sendiri. Entah untuk berapa lama.
Aku mencintai Hafis bahkan sangat mencintainya, aku juga sangat menginginkannya. Meski aku sadar, cintaku tidak akan pernah berbalas dengan alasan apa pun.
Hafis jelas seorang laki-laki normal yang sudah pasti mencintai dan menyukai perempuan.
Saat menyadari itu semua, kadang ada rasa sakit di hatiku.
Pertama kali nya aku jatuh cinta dalam hidupku, aku justru jatuh cinta kepada seseorang yang tidak akan pernah bisa aku miliki.
Tapi aku tidak peduli dengan semua itu, bagiku bisa melihat nya tersenyum saja itu sudah cukup membuat aku bahagia, meski dia tersenyum bukan karena ku dan bukan untukku.
Pahit memang, tapi aku begitu menikmati semua itu. Aku begitu menikmati perasaan indah ku terhadap Hafis. Aku sangat mengaguminya. Yang aku inginkan hanyalah melihat dia bahagia meski bukan denganku.
Bagiku cinta bukan berarti harus memiliki.
Dan aku cukup bahagia, bisa menghayalkannya dalam angan paling liarku.
Aku bisa memeluknya, aku bisa mengecupnya, aku bisa menggenggam tangannya. Meski hanya dalam hayalku.
*************************
Aku pun menyadari, kalau aku adalah laki-laki yang tidak normal. Ada yang salah pada diriku.
Namun semua perasaanku terhadap Hafis tumbuh begitu saja. Meski aku tidak menginginkannya sama sekali.
Sebagai seseorang yang tinggal jauh dari perkotaan, dan juga minim teknologi, aku saat itu belum mengenal istilah gay, homo atau apa pun sebutannya untuk laki-laki tidak normal sepertiku.
Yang aku tahu waktu itu, aku sedang jatuh cinta.
Perasaanku begitu bahagia meski hanya bisa melihatnya dari kejauhan dan melamunkannya setiap malam.
Berharap suatu saat kelak ia bisa menjadi bagian dari hidupku. Sebuah harapan yang kemudian harus aku sesali.
Aku tidak pernah menceritakan kepada siapa pun tentang perasaanku, apa lagi kepada Hafis. Perasaan itu hanya ku pendam sendiri. Entah untuk berapa lama.
Aku mencintai Hafis bahkan sangat mencintainya, aku juga sangat menginginkannya. Meski aku sadar, cintaku tidak akan pernah berbalas dengan alasan apa pun.
Hafis jelas seorang laki-laki normal yang sudah pasti mencintai dan menyukai perempuan.
Saat menyadari itu semua, kadang ada rasa sakit di hatiku.
Pertama kali nya aku jatuh cinta dalam hidupku, aku justru jatuh cinta kepada seseorang yang tidak akan pernah bisa aku miliki.
Tapi aku tidak peduli dengan semua itu, bagiku bisa melihat nya tersenyum saja itu sudah cukup membuat aku bahagia, meski dia tersenyum bukan karena ku dan bukan untukku.
Pahit memang, tapi aku begitu menikmati semua itu. Aku begitu menikmati perasaan indah ku terhadap Hafis. Aku sangat mengaguminya. Yang aku inginkan hanyalah melihat dia bahagia meski bukan denganku.
Bagiku cinta bukan berarti harus memiliki.
Dan aku cukup bahagia, bisa menghayalkannya dalam angan paling liarku.
Aku bisa memeluknya, aku bisa mengecupnya, aku bisa menggenggam tangannya. Meski hanya dalam hayalku.
*************************
Lima tahun berlalu, dengan perasaan ku yang masih sama terhadap Hafis. Dengan keadaan aku masih belum bisa dekat dengannya.
Hari-hari ku berlalu seperti biasa, aku tumbuh menjadi dewasa dengan tetap memendam perasaan cintaku kepada Hafis.
Tidak ada yang istimewa dalam kisahku, kecuali ketika aku berhayal tentang Hafis.
Ya, selalu tentangnya.
Lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk bisa memendam semua rasa ini.
Aku masih mengaguminya, aku bahkan semakin mengaguminya. Hafis terlalu sempurna di mataku.
Selama lima tahun, ia masih saja begitu mempesona. Aku masih saja merasa sangat bahagia ketika melihat ia tersenyum.
Aku masih saja hanya bisa menatapnya dari kejauhan.
Segala hayalku masih saja berisi tentangnya. Semua anganku hanya tentangnya. Hatiku sudah dipenuhi dengan namanya.
Bagiku dia adalah segalanya, meski aku tidak bisa memilikinya.
Aku tetap setia dengan perasaanku padanya.
Setelah lima tahun, sepertinya nasib baik mulai berpihak padaku. Setelah dengan sangat susah payah, akhirnya Hafis mulai dekat denganku.
Ya, akhir-akhir ini, kami sering ngobrol bareng. Mungkin karena aku sendiri sudah cukup dewasa dan harus aku akui kalau aku selalu berusaha menyukai apa yang ia suka. Seperti main bola voli misalnya.
Dan aku juga sering terlibat organisasi kepemudaan di desa kami dengannya. Jadi secara otomatis kami jadi sering bersama.
Ngobrol masalah bola voli, ngobrol masalah organisasi kepemudaan dan beberapa hal lainnya.
Jujur, aku merasa sangat bahagia setiap kali aku bisa berbicara dengannya, meski kadang aku hanya sekedar mendengar ceritanya.
Semakin lama aku dan Hafis semakin akrab. Kami jadi sering jalan bareng, main bareng dan melakukan banyak hal bersama.
Aku tak pernah memperlihatkan rasa suka kepada Hafis, aku berusaha bersikap biasa saja setiap kali bersamanya.
Meski jantung ku terkadang berdegup, setiap kali melihat dia tersenyum.
Rasa kagum ku semakin besar kepadanya, setiap kali aku mendengar ceritanya.
Rasa kagum itu selalu ada, tiap kali menatap mata beningnya dan setiap kali mendengar tawanya. Kejujuran, senyuman dan ceria yang tak pernah ia paksakan bagai air segar bagi hatiku yang tawar.
Bicaranya yang ceplas-ceplos, blak-blakan, sederhana dan jujur. Aku seperti memandang setetes embun yang bening, bersih dan belum terkotori. Berada di dekatnya, aku bagai mendapatkan setetes air di tengah gurun gersang.
Betapa kubutuh dirinya.
Kadang Ingin rasanya aku selalu berada di dekatnya, sekedar mendengar cerita dan candanya. Aku ingin selalu ada di dekatnya.
Menjaga saat suntuk menyergapnya, saat kesunyian menyelimuti hatinya. Menawarkan hatinya yang lagi gusar atau menampung curhat dan candanya, lalu berbagi suka dan duka.
Ah… Mungkinkah itu aku lakukan ..?!
Justru sebaliknya, ia yang selalu berhasil membuatku tertawa dan tersenyum. Ketika aku hampir menyerah oleh kehidupan yang kurasa mulai membosankan dan menggerogoti nafasku perlahan.
Dia selalu jadi penawar, ketika kuanggap hidupku terasa hambar dan datar. Dan ketika kuanggap hidupku sudah tiada berarti, hampa dan tak bergairah…
Dia selalu buat aku tersenyum dan merasa berarti.
Kadang ingin ku menjadi bagian dari dirinya
dan selalu berada disamping nya. Tapi mustahil, ada takdir yang tidak bisa aku ubah, takdirku sebagai laki-laki.
Aku hanya berharap semoga dia tetap menjadi seseorang yang aku kagumi.
Moga ceria dan sinar itu gak lekang, semoga ia tetap mampu menawarkan hati orang-orang disekelilingnya, yang butuh kasih dan keceriaan.
Seperti ia mampu membuat ku tersenyum, tertawa dan kadang menangis, karena kangen mendengar tawa nya, rindu mendengar cerita nya.
Saat ini, rasanya hatiku begitu bahagia, meski kedekatan kami hanya sebatas teman. Namun aku selalu butuh canda nya yang kocak, cerita nya yang blak-blakan atau senyum nya yang tak pernah lepas dari bibir nya yang manis.
Ah, dia seperti cahaya bagi ku ….
Aku selalu berharap semoga ia mampu tetap bertahan dengan tantangan zaman, tidak pernah menyerah dengan segala cobaan hidup.
Karena kami yang semakin dekat, Hafis mulai sering curhat kepadaku tentang segala persoalannya, dan aku selalu jadi pendengar setia baginya. Aku selalu suka mendengar setiap ceritanya, meski kadang cerita yang berulang-ulang.
Aku juga sering memberi masukan dan saran untuk nya. Dan dia senang menerimanya.
Makin lama kami semakin sangat akrab.
Hubungan kami bukan lagi sekedar teman biasa, tapi sudah menjadi sahabat.
Hafis sudah menjadi sahabatku, yang selalu ada kapan pun aku butuh dirinya. Begitu juga sebaliknya, aku selalu berusaha ada untuknya.
Menjadi sahabat dekatnya merupakan anugerah terindah dalam perjalanan hidupku.
Menjadi sahabatnya adalah salah satu mimpi ku yang terwujud.
Menjadi sahabatnya adalah salah satu bentuk do'a yang terkabulkan.
Kami sering tidur bareng, bahkan hampir setiap malam. Meski tentu saja tidak akan terjadi apa-apa diantara kami.
Aku hanya bisa menatapnya tapi tidak bisa mendekapnya, namun bagiku itu semua sudah lebih dari pada cukup.
Aku bahagia bisa menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Aku rela melakukan apa pun selama hal itu bisa membuatnya tersenyum dan bahagia.
Bagiku cinta sejati selalu punya kekuatan untuk memberi tanpa keinginan untuk berharap.
Mungkin aku memang tidak bisa memiliki sebagai kekasih seperti yang selalu aku harapkan.
Tapi setidaknya, aku bisa menjadi sahabat terbaiknya. Dan itu, sekali lagi sudah jauh lebih dari cukup.
Cukup membuat aku bahagia. Cukup membuatku tetap kuat menghadapi segala tantangan kehidupan yang kian berat ku rasakan.
Bagiku menjadi bahagia itu sederhana, cukup dengan melihat orang yang kita cinta tersenyum bahagia.
Dan itu yang aku rasakan.
Aku bahagia setiap kali ia mampu mewujudkan mimpi-mimpinya.
Aku bahagia setiap kali melihat ia berhasil menyelesaikan persoalan hidupnya.
Aku bahkan kadang diam-diam membantunya, tanpa ia ketahui.
Ya, begitulah cinta seharusnya. Bukan tentang kebahagiaan kita, tapi tentang kebahagiaan orang yang kita cintai.
Meski harus mengorbankan banyak hal.
Selama
setahun lebih kami dekat, aku masih sangat mampu menyembunyikan semua
perasaanku. Aku selalu berusaha untuk bersikap sebagaimana layaknya
laki-laki normal. Dan Hafis tidak pernah tahu atau pun curiga tentang
semua itu.
Meski yang aku lakukan padanya lebih dari perlakuan seorang sahabat.
Aku memperlakukannya lebih dari seorang sahabat.
Bahkan jika kau punya kesempatan, aku akan sangat rela mengorbankan nyawa ku untuknya.
Begitu besar nya rasa cinta ku padanya.
Sampai akhirnya setelah setahun lebih, Hafis yang saat itu sudah berusia 29 tahun, memutuskan untuk menikah dengan seorang gadis juga dari desa kami.
Gadis itu memang cantik dan baik, aku cukup mengenalnya. Tapi usianya masih sangat muda waktu itu, 19 tahun. Beda 10 tahun dengan Hafis.
Di satu sisi, sebagai sahabat, tentu saja aku merasa bahagia melihat Hafis akhirnya menikah dan menemukan gadis yang ia cintai.
Namun sejujurnya di sisi hatiku yang lain, ada luka yang begitu besar menyayat hatiku.
Entah mengapa, aku masih tidak rela Hafis menikah dengan orang lain, meski dengan gadis ia cintai sekalipun.
Aku terlanjur berharap banyak kepadanya.
Aku terlalu mencintainya.
Aku tetap merasa kecewa, karena pada akhirnya ia tidak berhasil aku miliki seutuhnya.
Hatiku merasa sakit dan terluka sangat parah, bahkan aku menangisi semuanya.
Hafis yang sudah menjadi bagian dari hidupku, harus pergi dan menjalani kehidupan barunya dengan orang lain.
Aku hanya menangis sendiri, meratapi kisah cintaku yang tidak kesampaian.
Semua teori ku tentang cinta berubah. Aku tidak percaya lagi dengan yang namanya cinta sejati.
Aku tidak percaya dengan yang namanya pengorbanan tanpa pamrih.
Aku merasa segala pengorbanan ku selama ini sia-sia.
Setelah menikah, Hafis tentu saja, tidak punya waktu lagi denganku. Dan itu membuat aku semakin terpuruk. Aku kehilangan gairahku. Rasanya dunia ku begitu hampa.
Aku tidak punya tujuan apa-apa lagi dalam hidup.
Aku benar-benar hancur dan berantakan.
Sebagai pelarian dari semua rasa kecewa ku, aku mulai mengenal dunia hitam.
Ya, akhirnya kau terjerumus dalam dunia kelam penuh dosa.
Aku mulai memakai narkoba dan sejenisnya.
Aku berusaha bisa melupakan Hafis seutuhnya. Menganggapnya tidak pernah ada.
Tapi justru aku semakin terluka karenanya, yang membuatku semakin sering memakai narkoba.
Karena hanya pada saat aku berada dalam kondisi mabuk narkoba lah aku bisa melupakan sosok Hafis dalam hidupku.
Bertahun-tahun aku terpuruk dan terjerumus dalam dunia hitam, sampai aku bahkan menjadi pecandu barang terlarang tersebut.
Aku tak peduli lagi dengan hidupku, aku tak peduli lagi dengan masa depanku. Bahkan aku tidak peduli lagi dengan diriku.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari desa ku.
Ya, aku pikir dengan pergi dari desa ini, aku bisa melupakan semua tentang Hafis.
Karena jika aku masih berada di kampung ini, aku masih sering melihat dan bertemu dengan Hafis yang membuatku semakin terluka. Yang mengingatkan akan semua kekecewaanku.
Hafis memang masih tinggal di desa kami, dan aku sengaja menjaga jaraknya. Aku selalu berusaha menghindar setiap kali akan berpapasan dengannya.
Tapi Hafis sepertinya memang juga tidak peduli dengan semua itu. Ia sudah mendapatkan kebahagiaannya sendiri. Dia bahkan sudah tidak punya waktu lagi untuk sekedar berkumpul dengan teman-temannya. Hari-hari nya di sibukkan dengan bekerja dan membina keluarga kecilnya.
Meski yang aku lakukan padanya lebih dari perlakuan seorang sahabat.
Aku memperlakukannya lebih dari seorang sahabat.
Bahkan jika kau punya kesempatan, aku akan sangat rela mengorbankan nyawa ku untuknya.
Begitu besar nya rasa cinta ku padanya.
Sampai akhirnya setelah setahun lebih, Hafis yang saat itu sudah berusia 29 tahun, memutuskan untuk menikah dengan seorang gadis juga dari desa kami.
Gadis itu memang cantik dan baik, aku cukup mengenalnya. Tapi usianya masih sangat muda waktu itu, 19 tahun. Beda 10 tahun dengan Hafis.
Di satu sisi, sebagai sahabat, tentu saja aku merasa bahagia melihat Hafis akhirnya menikah dan menemukan gadis yang ia cintai.
Namun sejujurnya di sisi hatiku yang lain, ada luka yang begitu besar menyayat hatiku.
Entah mengapa, aku masih tidak rela Hafis menikah dengan orang lain, meski dengan gadis ia cintai sekalipun.
Aku terlanjur berharap banyak kepadanya.
Aku terlalu mencintainya.
Aku tetap merasa kecewa, karena pada akhirnya ia tidak berhasil aku miliki seutuhnya.
Hatiku merasa sakit dan terluka sangat parah, bahkan aku menangisi semuanya.
Hafis yang sudah menjadi bagian dari hidupku, harus pergi dan menjalani kehidupan barunya dengan orang lain.
Aku hanya menangis sendiri, meratapi kisah cintaku yang tidak kesampaian.
Semua teori ku tentang cinta berubah. Aku tidak percaya lagi dengan yang namanya cinta sejati.
Aku tidak percaya dengan yang namanya pengorbanan tanpa pamrih.
Aku merasa segala pengorbanan ku selama ini sia-sia.
Setelah menikah, Hafis tentu saja, tidak punya waktu lagi denganku. Dan itu membuat aku semakin terpuruk. Aku kehilangan gairahku. Rasanya dunia ku begitu hampa.
Aku tidak punya tujuan apa-apa lagi dalam hidup.
Aku benar-benar hancur dan berantakan.
Sebagai pelarian dari semua rasa kecewa ku, aku mulai mengenal dunia hitam.
Ya, akhirnya kau terjerumus dalam dunia kelam penuh dosa.
Aku mulai memakai narkoba dan sejenisnya.
Aku berusaha bisa melupakan Hafis seutuhnya. Menganggapnya tidak pernah ada.
Tapi justru aku semakin terluka karenanya, yang membuatku semakin sering memakai narkoba.
Karena hanya pada saat aku berada dalam kondisi mabuk narkoba lah aku bisa melupakan sosok Hafis dalam hidupku.
Bertahun-tahun aku terpuruk dan terjerumus dalam dunia hitam, sampai aku bahkan menjadi pecandu barang terlarang tersebut.
Aku tak peduli lagi dengan hidupku, aku tak peduli lagi dengan masa depanku. Bahkan aku tidak peduli lagi dengan diriku.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari desa ku.
Ya, aku pikir dengan pergi dari desa ini, aku bisa melupakan semua tentang Hafis.
Karena jika aku masih berada di kampung ini, aku masih sering melihat dan bertemu dengan Hafis yang membuatku semakin terluka. Yang mengingatkan akan semua kekecewaanku.
Hafis memang masih tinggal di desa kami, dan aku sengaja menjaga jaraknya. Aku selalu berusaha menghindar setiap kali akan berpapasan dengannya.
Tapi Hafis sepertinya memang juga tidak peduli dengan semua itu. Ia sudah mendapatkan kebahagiaannya sendiri. Dia bahkan sudah tidak punya waktu lagi untuk sekedar berkumpul dengan teman-temannya. Hari-hari nya di sibukkan dengan bekerja dan membina keluarga kecilnya.
Aku pun akhirnya pergi dari desa ku. Pergi jauh-jauh tanpa tujuan yang jelas.
Aku hanya berharap dengan pergi, aku bisa melupakan Hafis seutuhnya dan juga segala kecanduanku dengan narkoba.
Aku ingin memulai hidup baru, di tempat yang baru dan bertemu dengan orang-orang baru.
Sejujurnya, pergi dari kampung bukanlah hal yang mudah bagiku.
Aku harus meninggalkan semua keluarga, teman-teman dan segala kenangan yang pernah tercipta.
Dan ini merupakan pertama kali nya aku pergi dari kampung dalam waktu yang sangat lama.
Aku pergi ke sebuah kota yang tidak aku kenal, dengan hanya membawa uang secukupnya dan bermodalkan hanya ijazah SD.
Keluarga ku sebenarnya tidak mengizinkan aku pergi, tapi karena melihat keinginan ku yang begitu kuat untuk pergi, akhirnya keluargaku melepaskan aku pergi meski dengan sangat berat.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih