Karena merasa tidak yakin, saya akhirnya hanya bisa pasrah. Saya hanya bisa menikmati perasaan indah itu, dalam diam.
Sampai suatu ketika, kami melakukan sebuah perjalanan. Kami mengikuti sebuah even turnament voli di suatu daerah yang cukup jauh dari kota tempat kami tinggal.
Dalam perjalanan tersebut, saya dan Rio berangkat naik motor gede milik Rio. Duduk satu motor dan berada di belakang Rio, benar-benar membuat jantung saya berdebar hebat.
Perjalanan kurang lebih 60 kilometer itu terasa begitu singkat bagiku. Saya ingin melakukan perjalanan itu seumur hidup, agar selalu bisa mendekap tubuh kekar Rio dari belakang. Karena motor Rio yang gede itu, secara tidak langsung memaksa saya untuk harus mendekapnya. Dan saya sangat menikmati hal tersebut. Saya bahkan dengan sengaja melingkarkan tangan saya di pinggang Rio.
Saya tidak tahu apa yang dirasakan Rio waktu itu, tapi yang pasti, ia hanya membiarkan saya melakukannya.
Perjalanan indah itu, akhirnya berakhir, saat kami sudah sampai di tempat tujuan.
Selama pertandingan, saya merasa begitu bersemangat. Karena bayangan keindahan bersama Rio diatas motornya terus melintas di pikiranku. Setidaknya nanti saat pulang, saya juga masih punya kesempatan untuk menikmati hal tersebut.
"saya keringatan, loh.." ucap Rio, ketika kami sudah menuju arah pulang. Saat itu saya memang secara repleks segera melingkarkan tangan di tubuh Rio.
"gak apa-apa, Rio.." balasku seadanya. Karena memang saya menyukai aroma tubuh Rio yang berkeringat itu. Untuk itu saya terus mendekapnya erat, seolah-olah tidak ingin melepaskannya walau sejenak.
Saat hampir di separoh perjalanan, tiba-tiba hujan deras datang dengan tiba-tiba. Kami sepakat untuk singgah berteduh di sebuah pondok kecil yang berada di pinggir jalan raya itu.
Daerah itu memang masih sunyi, hanya ada kebun-kebun masyarakat di sepanjang jalan. Tidak ada rumah-rumah penduduk yang terlihat. Hari pun sudah mulai gelap.
Kami hanya berteduh berdua di pondok kecil itu. Teman-teman kami yang lain sepertinya tetap melanjutkan perjalanan, meski hujan turun sangat lebat.
"dingin ya..." bisik Rio. Kami duduk hampir berdempetan, karena memang pondok itu cukup kecil.
Saya repleks pun mengangguk. Saya menatap Rio dengan senyuman yang khas.
Rio membalas tersenyum, dengan senyum yang tak kalah menarik. Jantungku kembali berdebar hebat. Wajah kami hanya berjarak tidak sampai setengah meter.
"bang Abe manis ..." ucap Rio tiba-tiba, yang membuat jantungku kian berdegup kencang.
"Rio suka lihat bang Abe tersenyum..." lanjutnya lagi, tanpa mengalihkan tatapannya.
Rasanya jantungku seakan copot waktu itu. Tapi saya segera sekuat mungkin mengatur napasku kembali. Saya tidak ingin gagal paham dengan ucapan Rio barusan.
Namun kemudian saya pikir, mungkin inilah kesempatan saya untuk mengungkap perasaan saya pada Rio. Suasananya sungguh sangat mendukung.
"kamu juga sangat tampan, Rio..." ucapku akhirnya dengan suara bergetar.
"aku ... aku suka sama kamu..." aku melanjutkan kalimatku, meski dengan suara yang kian bergetar.
Saya lihat Rio membelalakkan mata, ia seperti tak percaya.
"bang Abe serius?" tanya Rio. Keningnya berkerut.
"iya. Saya serius, Rio. Abang suka sama kamu. Sudah sejak lama. Kamu tampan dan kekar. Kamu juga cowok yang baik. Kamu sempurna dimataku, Rio." kali ini suaraku sudah mulai terdengar santai.
"abang tahu ini salah. Tapi abang gak bisa lagi menyembunyikan semua ini. Abang selalu memikirkan Rio, setiap malam. Abang ingin hubungan kita lebih dari sekedar sahabat. Abang ingin selalu ada disamping Rio..." lanjutku lagi semakin berani, karena saya lihat Rio hanya terdiam.
Tiba-tiba senyum Rio mengembang. Lalu perlahan ia mendekatkan wajahnya. Kami sama-sama semakin merapat, wajah kami hanya berjarak sejengkal. Debaran di jantungku kian hebat dan tak beraturan.
Saya repleks mengangkat tangan, lalu kemudian perlahan mulai mengelus-elus pipi Rio dengan lembut. Aku merasakan tanganku bergetar. Wajah Rio terlalu indah.
Semakin lama, wajah kami kami semakin mendekat. Aroma napas Rio tercium wangi di hidungku. Aku mulai memejamkan mata dan membuka bibirku perlahan.
Saat itulah tiba-tiba suara raungan motor terdengar di depan pondok. Sontak kami pun terkaget. Ternyata sebuah motor mengalami kecelakaan kecil, yang membuat motor itu terpental ke arah pondok.
Saya dan Rio segera berhamburan keluar pondok, untuk menolong pengemudi motor yang naas itu.
Keadaannya tidak begitu parah. Hanya ada beberapa lecet kecil di tangan dan kakinya. Motornyapun masih dalam keadaan baik-baik saja. Beberapa kendaraan lain mulai ikut menepi melihat hal tersebut. Hujan pun sudah mulai reda. Meski kegelapan malam kian pekat.
Apa pun alasannya, kejadian naas itu, telah membuatku sedikit kecewa. Karena hampir saja, aku bisa merasakan bibir Rio yang selama ini hanya ada dalam khayalanku. Namun semua itu harus terhenti tiba-tiba.
Setelah semuanya selesai dan si pengendara naas itu sudah pergi, kami pun segera menaiki motor kami, untuk menuju pulang. Kami tidak mungkin terus berada di pondok itu, karena hujan sudah reda dan malam pun sudah mulai larut.
Sepanjang perjalanan pulang, kami tidak berbicara sepatah kata pun. Tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Namun aku tetap melingkarkan tanganku di tubuh Rio, dan Rio masih membiarkannya.
Suasana malam yang pekat dan sedikit sunyi, membuatku semakin leluasa melakuka hal itu.
Kami tetap saling diam, hingga Rio mengantarku sampai di depan rumah kost, dan Rio melanjutkan perjalanan menuju rumahnya.
Malam itu mataku enggan terpejam, bayangan wajah Rio yang begitu dekat, terus melintas.
Aku tidak tahu pasti apa yang sebenarnya Rio rasakan saat itu.
Benarkah ia juga menyukaiku?
Atau semua itu terjadi hanya sebuah kebetulan belaka?
Ahk, cinta memang sesuatu yang rumit.
***********
"maaf, bang. Tentang kejadian tadi malam di pondok. Saya hanya terbawa suasana waktu itu. Saya harap abang mengerti.."
Sebuah pesan singkat masuk ke handphone-ku pagi itu, saat aku terbangun. Aku merasa terluka membacanya. Ternyata Rio tidak menyukaiku, seperti yang aku harapkan.
Tapi apa iya, seorang cowok normal, bisa terbawa suasana ketika berduaan dengan seorang cowok?
Rasanya penjelasan Rio tidak bisa diterima begitu saja. Setengah hatiku tak percaya.
Pasti ada yang salah. Pasti Rio terlalu takut untuk jujur.
"kamu yakin?" ku beranikan diri membalas pesan itu.
"maksud abang?" balas Rio cepat.
"kamu yakin, hanya terbawa suasana?" aku membalas lagi.
Lama Rio tak membalas. Aku menunggu beberapa saat, namun balasan Rio tak kunjung datang.
Akhirnya aku memutuskan untuk segera mandi, karena harus bergegas berangkat kuliah.
Seharian aku tidak mendapat balasan dari Rio. Aku pun tak berani menghubunginya.
Saat di lapangan voli, sikap Rio tiba-tiba berubah. Ia tak lagi semanis dulu. Ia bahkan seperti sengaja menghindar. Aku tidak terlalu berusaha untuk mendekatinya.
Aku hanya berharap, Rio segera menyadari kekeliruannya. Aku berharap, Rio mau jujur dengan dirinya sendiri.
Beberapa hari kami tidak pernah lagi saling berhubungan dan saling bertegur sapa. Kini semua terasa berbeda. Rio semakin menjauh dariku. Hubungan kami menjadi retak.
Pernah beberapa kali aku coba menghubunginya, tapi Rio tak pernah mengangkat telponku. Akhirnya aku hanya mendiamkannya.
Mungkin Rio memang tak menyukaiku. Mungkin kejadian malam di pondok itu, hanya sebuah kebetulan. Mungkin benar, Rio hanya terbawa suasana.
Aku perlahan mulai mengikhlaskannya. Setidaknya sekarang Rio sudah tahu, kalau aku menyukainya. Selanjutnya biarkan waktu yang berbicara. bathinku.
Sampai dua minggu kemudian, tiba-tiba Rio datang ke kost-ku. Saat itu malam minggu. Aku cukup kaget, sih. Karena Rio datang sudah hampir larut malam, sudah hampir jam 11 malam.
Rio memang sudah sering main ke kost-ku, tapi tak pernah selarut ini.
"boleh saya masuk?" tanya Rio, saat aku hanya terdiam menatap Rio di depan pintu.
Aku terlonjak, lalu spontan mempersilahkan Rio masuk. Suasana terasa canggung, terutama bagiku.
Seperti biasa, Rio langsung duduk di sisi ranjang. Aku masih berdiri menatapnya penuh tanya.
Ada apa kamu kesini? Ingin rasanya aku melontarkan pertanyaan itu. Tapi aku hanya tetap terdiam. Kali ini aku melangkah mendekat dan duduk sedikit jauh dari Rio.
Rio mengalihkan pandangan menatapku.
"abang marah sama Rio?" ucapnya pelan.
Aku menggeleng ringan. Karena aku sendiri tidak tahu, haruskah aku marah pada Rio?
Dan kenapa aku harus marah coba? Rio tidak berbuat salah apapun.
"Rio minta maaf, bang. Karena selalu berusaha menghindari abang akhir-akhir ini." ucap Rio lagi.
"aku bingung dengan perasaanku, bang. Aku bingung dengan semuanya. Sejak kejadian di pondok itu, pikiranku mulai kacau. Setiap malam wajah abang selalu abang selalu membayangiku. Harus Rio akui, kalau Rio memang mengagumi abang dari awal. Tapi menurut Rio, itu sesuatu yang wajar. Karena abang memang patut untuk dikagumi. Abang juga sangat baik padaku." Rio mengatur napas sejenak.
"aku pikir perasaan kagumku pada abang, hanyalah hal yang biasa. Aku pikir perasaan itu tidak akan berkembang. Karena aku sudah punya pacar cewek, seperti yang abang tahu. Tapi terkadang justru yang hadir dalam anganku adalah wajah abang." Rio menarik napas lagi.
Aku masih terdiam. Mencoba mencerna setiap kalimat yang Rio ucapkan.
"sampai akhirnya aku sadar, bahwa aku telah jatuh cinta sama abang. Sekuat mungkin aku menolak hadirnya rasa itu, tapi justru kian hari rasa itu kian berkembang. Sampai abang berkata jujur pada malam itu, yang membuatku semakin sadar. Kalau aku benar-benar telah jatuh cinta sama abang." Rio melanjutkan kalimatnya. Kali ini ia menggeser duduknya kian mendekat.
"setelah kejadian malam itu, aku mulai berpikir, kalau aku tidak mungkin selamanya bisa menghindari semua rasa suka pada abang. Untuk itu aku pun berusaha mencari alasan agar bisa memutuskan pacarku dengan cara baik-baik. Karena aku tidak mungkin menjalin hubungan dengan pacarku, sementara yang ada dalam pikiranku hanyalah abang..." Rio terus berujar, tubuhnya kian mendekat.
Debaran di jantungku semakin kuat. Aku kembali bisa menatap wajah tampan itu dari jarak yang sangat dekat. Dan aku menyukainya.
"sekarang aku sudah memutuskan hubunganku dengan pacarku. Sekarang aku sudah sangat siap, untuk menjalin hubungan asmara dengan abang. Itupun jika abang masih menginginkanku.." Rio mengakhiri kalimatnya dengan sentuhan lembut di tanganku.
Aku bergetar. Tapi aku membiarkannya. Tangan itu terasa hangat menyentuh kulitku.
"lalu mengapa kamu mengatakan, kalau malam itu kamu hanya terbawa suasana?" aku mengeluarkan suara juga akhirnya. Aku memang penasaran, sih.
"itu karena aku tak ingin abang berharap lebih. Karena saat itu aku masih yakin, kalau aku akan bisa menutupi semua perasaaanku kepada abang. Aku juga masih terlalu malu, untuk mengakui semuanya." jelas Rio, meski akal sehatku belum bisa menerima alasan itu.
Tapi bukankah hal itu tidak penting lagi saat ini?
Bukankah Rio sudah disini sekarang? Dia disini dengan segala rasa cintanya padaku.
Aku meremas jemari Rio lembut. Perlahan aku angkat tangan itu, lalu mengecupnya.
Rio tersenyum menatapaku. Mata kami saling pandang, dengan perasaan cinta yang begitu besar.
Di mata itu, kulihat begitu banyak cinta. Dan hatiku masih sangat besar untuk bisa menampungnya.
Perlahan wajah kami pun mendekat. Keinginanku yang tertunda saat kejadian di pondok, malam itu akhirnya tersalurkan.
"kamu gak pulang?" tanyaku pada Rio, karena kulihat jam dinding, sudah lewat dari jam dua belas.
"Rio pengen tidur malam ini bersama abang..." ucap Rio pelan, sambil ia membaringkan tubuhnya di ranjang.
Aku ikut membaringkan tubuhku. Kali ini aku merapatkan tubuhku mendekap erat tubuh kekar Rio.
Malam itu, kami pun tertidur penuh kehangatan.
Semua mimpiku tentang Rio, malam itu menjadi nyata. Ternyata Rio tidak senormal yang aku perkirakan selama ini.
Ternyata perjuangan dan penantianku salama ini tidaklah sia-sia. Semuanya berakhir dengan indah. Aku bisa memiliki cowok tampan yang aku cintai itu.
Ternyata semuanya hanya butuh kesabaran dan keikhlasan.
Dan buah dari sebuah kesabaran itu ternyata sangat manis. Semanis kisah cintaku bersama Rio.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih