Hampr sebulan aku dan Bima tidak berkomunikasi sama sekali. Kami tidak pernah bertemu, kecuali saat di tempat kerja. Itu pun kami tidak pernah berbicara berdua. Kami pura-pura sibuk dengan pekerjaan kami, pura-pura sibuk ngobrol dengan rekan kerja yang lain.
Aku gak tahu, apa sebenarnya yang terjadi diantara kami berdua saat ini. Bagaimana hubungan kami selanjutnya? Apakah Bima sudah membuat pilihan?
Aku tak berani bertanya. Aku berusaha untuk tidak memikirkan hal tersebut. Apa pun pilihan Bima saat ini, aku akan mencoba untuk ikhlas menerimanya.
Hingga seminggu menjelang hari pernikahannya, Bima tidak lagi masuk kerja. Ia sengaja mengambil cuti lebih awal. Setidaknya begitulah yang aku ketahui, kabar tentang Bima sampai saat ini.
Aku yakin, sebentar lagi, undangan pernikahan Bima dan Reina, akan segera menyebar, terutama di tempat kerja kami. Aku berusaha kuat untuk bisa menghadapi itu semua. Hal terpahit, yang akan aku alami beberapa hari lagi.
Merelakan orang yang kita cintai menikah dengan orang lain, apa pun alasannya, tetap merupakan hal yang paling menyakitkan. Terutama karena kita tahu, kalau orang itu juga mencintai kita. Tapi ia memilih untuk menikah dengan orang lain.
Setiap malam aku menangis. Meratapi kisah cinta ku yang tak sempurna. Kisah cinta ku yang harus berakhir karena kodrat. Tapi aku harus kuat. Karena dari awal, aku sudah bisa menebak semua ini bakal terjadi. Aku harus bisa mengikhlaskan Bima hidup bersama orang lain.
Mungkin cinta memang untuk ku. Tapi ia tidak di takdirkan untuk hidup bersama ku. Begitulah cinta. Tidak selamanya kisah cinta harus berakhir dengan indah.
Hampir enam bulan, aku dan Bima menjalin kisah asmara yang indah. Merajut benang-benang cinta dengan sejuta bahagia. Enam bulan yang terasa begitu sempurna bagiku. Kehadiran Bima benar-benar telah memberi warna indah dalam perjalanan hidup ku.
****
Tepat di hari ini, Bima akan menikah. Dan aku jadi ingat, ucapan terakhir Bima waktu itu. Ia mengatakan akan menemui ku disini. Di tepian pantai ini. Di tempat biasa kami memadu kasih, di setiap bulannya. Di tempat biasa kami berliburan berdua.
Dan entah dorongan dari mana, aku mencoba untuk datang sendirian kesini. Mencoba menikmati perihnya luka yang aku rasakan saat ini. Membayangkan Bima akan bersanding bersama orang lain. Aku menangis sendiri, dalam kepedihan hati ku.
Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh pundak ku. Aku memutar kepala ke samping kiri ku. Menatap orang yang baru saja menyentuh pundak ku. Ternyata orang itu sudah duduk di samping ku. Seperti biasa.
"Bima?" suara ku setengah tak percaya.
Bima hanya tersenyum kecut. Ia melemparkan sebongkah batu yang sudah ada di genggamannya dari tadi. Kebiasaan Bima saat berada di pantai, terutama saat dia ada masalah.
"bukankah seharusnya hari ini, kamu akan menikah?" tanya ku lagi, melihat Bima yang hanya terdiam.
"yah... seharusnya.." ucap Bima, "tapi nyatanya, aku berada disini sekarang, kan? Di samping kamu.." lanjutnya, sambil kali ini ia menatapku.
"lalu apa yang terjadi?" tanya ku penasaran.
"tidak ada yang terjadi.." balas Bima terdengar santai, "aku membatalkan pernikahan dengan Reina.." lanjutnya pelan.
Aku terkesiap sesaat. Sungguh aku tak pernah menyangka, kalau Bima akan bertindak senekat itu.
"kamu serius?" tanya ku tak yakin.
"apa aku terlihat sedang bercanda?" balas Bima balik bertanya.
Aku terdiam. Hening. Deburan ombak yang menerpa pantai pun, serasa tidak begitu jelas ku dengar. Kepala ku pusing tiba-tiba. Aku benar-benar tidak tahu, apa yang aku rasakan saat ini.
"lalu apa yang terjadi?" ucapku kemudian, seakan mengulang pertanyaan yang sama.
"yang terjadi selanjutnya, orangtua ku murka pada ku, Reina marah pada ku, semua keluarga ku dan keluarga Reina menghujatku, karena telah berhasil mencoreng muka mereka semua. Bahkan yang paling 'indah' dari itu semua, aku di usir dari rumah oleh kedua orangtua ku.." meski suara Bima terdengar santai, tapi ada luka yang terungkap dari kalimatnya barusan.
Aku yakin, itu bukan keputusan yang mudah bagi Bima. Dia harus kehilangan semua keluarganya, hanya demi untuk tetap bisa bersama ku.
"sekarang ini, aku benar-benar sebatang kara. Aku tak punya siapa-siapa lagi. Semua keluarga ku sudah terlanjur membenci ku. Dan aku hanya berharap, jika pilihan ku ini tidak salah. Karena saat ini, aku hanya punya kamu, Ken..." Bima melanjutkan, suaranya mulai terdengar sendu.
"kenapa aku harus bertanggungjawab atas keputusan hidupmu?" tanya ku tiba-tiba.
"karena aku melakukan semua ini, demi kamu, Ken. Demi cinta kita.." balas Bima tegas.
"tapi aku gak pernah meminta, untuk kamu melakukan semua ini.." ucapku membalas.
"lalu mau kamu apa? Apa kamu ingin aku kembali lagi ke rumah, lalu memohon untuk tetap menikahi Reina, meski mereka akan menghujatku habis-habisan?" Bima berucap dengan sedikit emosi.
"bukan itu maksud ku, Bim.." aku berusaha melembutkan suara ku. Aku tahu Bima sedang tidak stabil, setelah kejadian itu.
"lalu apa?' tanya Bima sedikit melunak.
"aku memang sangat mencintai kamu, Bim. Dan jujur saja, aku memang ingin memiliki kamu seutuhnya, aku ingin hidup bersama kamu selamanya. Tapi tidak dengan cara seperti ini.." balasku.
"lalu cara apa lagi yang bisa aku lakukan, untuk membuktikan betapa besarnya aku mencintai kamu, Ken? Aku harus melakukan apa lagi?" tanya Bima lirih.
"kamu tidak harus membuktikan apa pun, Bim. Aku tahu kamu sangat mencintai ku. Tapi tidak mengorbankan keluarga kamu.." balasku lagi.
"aku sudah tidak peduli dengan semua itu, Ken. Aku hanya ingin hidup bersama kamu selamanya. Apa pun caranya.." ucap Bima kemudian.
Hening lagi. Aku terdiam lagi. Ku akui keputusan Bima benar-benar luar biasa nekat. Dan aku harus menghargai itu. Tapi jujur saja, aku juga merasa bersalah, pada Reina dan juga kepada keluarga Bima, terutama kedua orangtuanya.
"lalu apa rencana kamu selanjutnya?" tanyaku akhirnya.
Bima menarik napas sejenak, kemudian menghempaskannya perlahan. Ia usap wajahnya beberapa kali.
"kita pergi dari sini. Kita pindah ke tempat dimana kita bebas menjalin hubungan, tanpa siapa pun yang mengenal kita. Kita hidup berdua selamanya, dan kita akan menua bersama.." ucap Bima akhirnya.
"tapi gak semudah itu juga, Bim. Aku juga punya keluarga, aku juga punya orangtua. Aku gak mungkin pergi begitu aja, tanpa alasan yang jelas. Apa kata orangtua ku nanti, jika tiba-tiba aku menghilang, tanpa mengabari mereka lagi." balasku sedikit sengit.
"seharusnya kamu ngomong dulu sama saya, tentang hal ini, Bim. Kamu gak bisa membuat keputusan sepihak seperti ini." lanjutku kemudian.
Bima mengambil sebongkah batu kecil lagi, kemudian seperti biasa, ia pun melemparkan batu itu sekuat mungkin, hingga batu itu jatuh tepat di ujung ombak yang bergulung-gulung menjauhi pantai.
"sekarang terserah kamu, Ken. Aku sudah membuat keputusan. Aku akan pergi, meninggalkan kota ini, meninggalkan semua keluarga ku. Terserah kamu setuju atau tidak. Terserah kamu mau ikut atau tidak. Aku akan tetap pergi." Bima berucap dengan pelan.
Yah... Bima benar, cinta memang butuh pengorbanan. Hanya saja, rasanya aku belum benar-benar siap dengan semua ini.
***
"apa kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini?" tanya ku akhirnya, setelah untuk beberapa saat, kami hanya saling terdiam, tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.
"kalau aku gak yakin, aku gak mungkin melakukan semua ini, Ken." balas Bima, kali ini suaranya terdengar lemah.
"kemana kita akan pergi?" tanyaku lagi.
"kemana pun, asalkan kita tetap bersama.." balas Bima.
"terlalu banyak yang harus kita korbankan untuk hal ini, Bim. Meski pun sejujurnya, aku juga menginginkan semua ini. Aku hanya berharap, agar kamu tidak menyesal nantinya. Karena aku hanya orang biasa, Bim. Aku gak punya apa-apa, kecuali cinta dan kesetiaan." ucapku penuh perasaan.
"aku juga gak punya apa-apa, Ken. Aku juga hanya punya cinta, cinta yang begitu besar untuk kamu. Dan itu seharusnya sudah cukup, untuk membuat kita tetap bahagia. Dan kita akan berjuang bersama, Ken. Melewati setiap rintangan, yang akan menghadang cinta kita berdua.." balas Bima lembut.
"yah... kita memang harus berjuang, Bim. Kita harus memulai semuanya lagi dari awal. Aku berharap, kita tetap bisa bersama, meski apa pun yang akan terjadi nantinya." ucapku lagi.
"aku janji, Ken. Aku akan tetap berjuang agar kita tetap bisa hidup bersama selamanya. Tapi aku tidak bisa melakukannya sendiri, aku butuh bantuan kamu, Ken." ucap Bima.
"kita akan melakukannya bersama-sama, Bim. Aku juga berjanji untuk hal itu. Percayalah, tidak ada hal yang lebih membuat aku merasa bahagia, selain menghabiskan waktu bersama kamu. Dan seperti kata mu tadi, kita akan menua bersama, hingga maut memisahkan kita.." aku berucap, sambil meraih jemari tangan Bima dengan lembut.
Bima membalas genggaman tangan ku. Lebih erat. Kami seakan tak ingin terpisahkan lagi.
Dan begitulah, aku dan Bima pun memutuskan untuk pergi jauh dari kota itu. Meninggalkan semua keluarga Bima. Aku juga tidak mengabarkan keluarga ku. Aku biarkan diriku menghilang bersama Bima. Tanpa kabar. Tanpa tahu, sampai kapan semua ini akan berakhir.
Namun yang pasti, selama kami masih bisa bersama, kami akan tetap bersama. Merajut cinta kami yang indah.
Aku tahu, ini bukan keputusan yang tepat. Terlalu banyak hal yang harus kami korbankan. Akan begitu banyak batu sandungan yang akan menghadang langkah kami ke depannya. Akan begitu banyak rintangan dan tantangan yang harus kami hadapi ke depannya.
Aku hanya berharap, semoga kami tetap mampu bertahan, walau sebesar apa pun batu sandungan yang akan menghalangi langkah kami. Semoga kami tetap mampu melewati setiap rintangan yang datang menghadang.
Yah, semoga saja..
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih