Langsung ke konten utama

Adsense

Istri ku jadi TKW, aku jadi begini ... (part 1)

Kalau ada yang bertanya, "sejak kapan saya 'belok'?" jawabnya adalah, "sejak istri saya jadi TKW..."

"kenapa?", "karena saya punya kebutuhan, dan saya tidak mau mengambil resiko 'hamil' jika melakukannya dengan wanita. Dan saya juga tidak mau 'jajan' sembarangan, karena banyak 'penyakit'."

Udah gitu aja... Sesimple itu.

Lalu bagaimana semua itu bisa terjadi? Silahkan simak kisah nyata saya berikut ini, dari awal sampai akhir, biar gak gagal paham.

Berawal dari keberangkatan istri saya jadi TKW, setahun yang lalu. Saat itu seminggu sehabis lebaran, istri saya mendapatkan tawaran pekerjaan jadi TKW ke Arab Saudi. Jadi Pembantu rumah tangga.

Sebenarnya saya sudah berusaha untuk mencegah istri saya, mengingat anak kami masih kecil, masih tujuh tahun usianya. Tapi istri saya tetap bersikeras untuk pergi.

Aku yang cuma nelayan biasa di kampung tempat kami tinggal, akhirnya harus merelakan kepergian istri ku pergi ke luar negeri, jadi TKW, meski pun sebenarnya terasa begitu berat.

Mulai saat itu, aku harus terbiasa hidup tanpa istri ku. Aku harus terbiasa mengurusi diri ku sendiri dan juga mengurusi anak laki-laki kami satu-satunya, Arief, yang baru duduk di kelas 2 SD.

Mulai hari itu, aku harus terbiasa memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah dan tidur sendirian. Aku harus melakukan semuanya demi anak ku.

Sebenarnya, aku dan istri ku baru menikah sekitar delapan tahun waktu itu, kami juga sempat pacaran selama dua tahun, sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.

Aku dan istri ku, lahir dan tumbuh di kampung yang sama. Istriku adalah teman sepermainan ku waktu kecil, meski pun usia istri ku dua tahun lebih tua dari ku.

Setelah menikah, kami memang memutuskan untuk menyewa sebuah rumah kontrakan kecil, untuk kami tinggal bersama. Hingga akhirnya anak pertama kami lahir dan tumbuh bersama kami. Keluarga kecil kami cukup bahagia, meski secara ekonomi kami selalu kekurangan.

Sebagai nelayan, aku tidak selalu menghasilkan uang setiap harinya. Kadang hasil yang ku dapat juga tidak sebanding dengan pengeluaran yang kami butuhkan, apa lagi sejak anak kami masuk sekolah.

Itulah salah satu alasan, mengapa istri ku memilih untuk menjadi TKW, demi menyelamatkan perekonomian keluarga kami. Meski sebenarnya itu bukan alasan yang tepat. Karena biar bagaimana pun, sebagai kepala rumah tangga, semua itu adalah tanggungjawab ku, bukan tanggungjawab istri ku.

Namun pada akhrinya, aku memang harus merelakan kepergian istri ku. Merelakan pilihan hidupnya. Dan aku harus terbiasa hidup jauh darinya.

****



Sebagai seorang laki-laki yang sudah menikah, dan sekarang harus berada jauh dari istri, terus terang terasa ada yang kurang dalam hidup ku. Terasa ada yang hilang. Terutama saat malam hari, menjelang tidur.

Biasanya kalau tidur selalu ada yang menemani. Sekarang aku harus tidur sendiri, seperti saat masih lajang dulu. Bak sebuah lirik lagu, 'mata melirik, pikiran melayang'. Dan jujur saja, aku merasa sangat kesepian.

Masak sendiri, cuci baju sendiri, tidur juga sendiri, dan aku benar-benar berdiri sendiri.

Beruntunglah anak ku sudah cukup besar. Setidaknya aku tidak terlalu repot untuk mengurusinya. Dia sudah bisa mandi sendiri, menyiapkan peralatan sekolahnya sendiri, dan juga berangkat sekolah sendiri. Karena memang jarak sekolah dari rumah kami cukup dekat.

"melamun lagi, mas Danu?" sebuah suara mengagetkan ku sore itu. Saat itu aku baru saja pulang kerja, dan sehabis mandi aku duduk sendirian di bangku yang ada di depan rumah ku.

"eh.. ah gak, kok." balasku cukup terbata, setelah menyadari siapa yang datang.

Itu adalah Keken, tetangga ku. Ia juga menyewa rumah di samping rumah kontrakan kami. Keken adalah seorang guru olahraga di sekolah tempat anak ku bersekolah. Sudah dua tahun ia menjadi guru di desa kami.

Aku mengenal Keken, jauh sebelum istri ku jadi TKW. Kami memang sudah cukup dekat, karena Keken memang sudah sering datang ke rumah ku untuk sekedar mengobrol, apa lagi sejak istri ku pergi.

"kangen istri nya ya, mas?" ucap Keken lagi, sedikit berseloroh.

"ah, gak juga, Ken. Lagi pengen nyantai aja, sepulang kerja." balasku apa adanya.

"banyak dapat ikan hari ini, mas?" Keken bertanya lagi.

"lumayan lah, Ken. Lebih banyak dari kemarin, sih. Tapi... harga ikan hari ini turun. Jadi hasilnya sama aja. Begitulah resiko jadi nelayan, Ken. Kadang ikannya banyak, harganya murah. Giliran harganya naik, dapat ikannya dikit." balasku cukup panjang.

"enak jadi kamu, Ken. Pendapatan udah jelas setiap bulannya.." lanjut ku kemudian.

"ada enak gak enaknya, kok, mas. Sama aja. Meski pun pendapatan saya sudah pasti setiap bulannya, tapi saya kerja kan masih di perintah orang. Kalau mas Danu, kerjannya enak, bebas. Tanpa di perintah-perintah atasan.." balas Keken pelan.

"iya, sih.." balasku ringan, entah aku setuju atau tidak dengan pendapat Keken tersebut, yang penting aku berusaha untuk menghargai pendapatnya.

Ada jeda beberapa saat. Kami saling terdiam. Keken beberapa kali memainkan hp nya. Sementara aku sibuk menyalakan rokok ku.

"ngomong-ngomong, gak terasa udah setahun juga ya, mas. Istri mas Danu pergi.." ucap Kekekn tiba-tiba.

"iya.. " balasku singkat.

"jadi kapan istri mas Danu akan pulang?" tanya Keken lagi.

"yah.. belum pasti, sih. Kalau ceritanya, ia kerja kan sistem kontrak. Dia udah di kontrak selama enam tahun. Dan selama enam tahun, ia hanya boleh pulang sekali dua tahun. Itu pun cuma dua hari." balasku sedikit menjelaskan.

"wah.. kalau begitu masih lama ya, mas." ucap Keken, "mas Danu gak kesepian nih, di tinggal istri selama itu?" lanjutnya bertanya.

Aku menatap Keken beberapa saat. Mencoba memahami maksud dari pertanyaan nya barusan.

"yang namanya kesepian itu pasti, Ken. Namanya juga terpisah jauh dari istri." aku membalas juga akhirnya, setelah aku terdiam beberapa saat.

"jadi gimana dengan kebutuhan mas Danu sendiri? Gimana cara mas Danu memenuhinya?" tanya Keken selanjutnya.

"maksudnya?" tanyaku berlagak tidak paham, lebih tepatnya untuk memastikan tujuan dari pertanyaan Keken yang sebenarnya.

"yah.. mas ngertilah. Kebutuhan suami dari seorang istri itu kan banyak. Salah satunya dan yang paling penting itu kan kebutuhan biologis. Gimana cara mas Danu mengatasi hal tersebut?" tanya Keken lebih jelas.

Pertanyaan macam apa itu? bathin ku merasa heran sendiri. Mengapa Keken harus mempertanyakan hal tersebut?

"yah... sama kayak kamu lah, Ken. Kalau lagi 'pengen', saya lakukan secara mandiri aja.." jawabku akhirnya, meski pun aku masih merasa sungkan untuk membicarakan hal-hal seperti itu bersama Keken.

Kali ini Keken tersenyum, sambil ia menatap ku. Cukup lama. Mata kami sempat beberapa saat saling bertatapan, sebelum akhirnya aku berpura-pura melihat ke arah jalan di depan rumah ku.

"mas... mau gak, kalau saya bantu?" tanya Keken kemudian.

"bantu apa?" tanyaku dengan nada cukup heran.

"tapi mas jangan marah, ya. Kalau saya ngomong seperti ini." ucap Keken sedikit pelan.

"maksud kamu apa sih, Ken? Dan kenapa saya harus marah?" balasku penuh tanya.

"jadi sebenarnya... sebenarnya ... aku tuh, sudah lama suka sama mas Danu. Mas Danu sangat tampan dan juga sangat kekar. Mas Danu juga sosok yang baik dan ramah. Saya kagum sama mas Danu. Saya pengen banget bisa memiliki mas Danu. Saya pengen bisa hidup bersama mas Danu, walau hanya sementara. Setidaknya sampai istri mas Danu pulang nantinya.."

Ucap Keken cukup panjang lebar dan cukup membuat aku kaget. Sungguh itu semua di luar dugaan ku. Dan aku benar-benar tidak menyangka, kalau Keken akan berani berucap demikian padaku.

Karena meski pun kami sudah lama saling kenal, tapi setidaknya Keken tahu, kalau aku ini laki-laki normal. Aku sudah menikah dan sudah punya anak. Aku gak mungkin tertarik sama laki-laki, meski pun saat ini, istri ku berada jauh di luar negeri sana.

"mas Danu gak harus jawab sekarang. Mas Danu pikirkan aja dulu. Tapi saran saya sih, akan lebih baik kalau mas Danu terima saja tawaran saya. Mumpung istri mas gak ada di sini, loh. Kan pulangnya juga masih lama."

"dari pada mas Danu jajan sembarangan atau melakukannya sendiri, kan lebih baik kalau sama saya. Udah jelas orangnya dan gratis lagi. Bahkan saya bersedia membayar mas Danu, kalau mas Danu mau." ucap Keken lagi, masih panjang lebar dan cukup blak-blakan.

Aku masih terdiam. Bingung juga mau berkata apa. Beberapa kali aku hisap rokok ku, sambil menarik napas dalam. Mencoba menenangkan diri ku sendiri. Tiba-tiba saja jantung ku berdebar hebat, saat membayangkan hal tersebut. Membayangkan aku dan Keken.

"ya udah, mas. Kalau begitu saya pamit dulu, ya. Mau mandi. Nanti kita ngobrol lagi, kalau mas udah punya jawabannya.." Keken berucap lagi akhirnya, setelah ia melihat aku hanya terdiam.

Lalu kemudian Keken pun berdiri dan mulai melangkah menuju rumahnya yang hanya berjarak 20 meter dari situ. Dan aku masih terdiam.

****

Secara fisik dan sebagai seorang laki-laki, Keken cukup menarik. Dia berkulit putih dan bersih. Wajahnya lumayan tampan, dengan hidungnya yang bengir. Tubuhnya sedikit berisi, tidak kurus dan tidak juga gemuk. Proporsional sih menurut ku.

Tapi bukan itu masalahnya. Ini bukan soal fisiknya. Ini soal jenis kelaminnya. Kenapa Keken harus seorang laki-laki? Jika ia seorang perempuan, aku sudah pasti akan menerima tawarannya.

Berkali-kali aku coba membayangkan hal tersebut, berkali-kali juga aku merasa mual.

Bertahun-tahun mengenal Keken, baru kali ini aku benar-benar mengenalnya. Dan ternyata selama ini, diam-diam, ia menyukai ku. Dan aku yakin, Keken pasti sering mengkhayal tentang diriku, terutama saat malam menjelang tidur.

Mungkin karena itu juga, setiap kali aku bertemu Keken, aku sering merasa salah tingkah. Keken sering menatap ku lama, saat berbicara dengannya. Dia juga sering merangkul ku dengan sengaja, dan aku baru menyadari hal itu sekarang.

Itu semua juga cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan ku selama ini, tentang Keken.

Mengapa ia begitu baik padaku, terutaam sejak istri ku pergi. Ia sering membelikan makanan untuk aku dan anak ku. Ia juga sering membantu anak ku belajar di rumah.

Dan karena itu juga, Keken sampai hari ini belum menikah, meski pun ia sudah berusia 28 tahun.

Sekarang aku jadi dilema. Antara menghindar atau menerima. Karena seperti kata Keken, mumpung istri ku lagi di luar negeri. Kenapa tidak aku manfaatkan saja kesempatan ini?

Tapi kenapa harus Keken sih? Kenapa harus laki-laki?

****

Simak kisah menarik lainnya :

Nasib cinta penjual nasi goreng (part 3)

Nasib cinta penjual nasi goreng (part 2)

Nasib cinta penjual nasi goreng (part 1)

Akibat jauh dari istri part 5

Akibat jauh dari istri part 4

Akibat jauh dari istri part 3 

Akibat jauh dari istri part 2

Akibat jauh dari istri part 1

Bersama tunangan orang part 2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google