Malam itu, sehabis mandi dan makan malam, aku pun duduk-duduk santai di depan rumah, bersama rekan-rekan kuli lainnya. Kami ngobrol seperti biasa, seperti malam-malam sebelumnya. Namun, jujur saja, pikiran ku sendiri masih tertuju pada Agri. Aku masih terus memikirkan tentang tawarannya siang tadi.
Aku dilema. Sebagian hati ku berharap, agar Agri tidak jadi datang malam ini. Namun ada bagian hati ku yang lain, seakan ingin Agri datang ingin menjemputku. Aku pun menjadi gelisah tak menentu.
Berkali-kali aku melirik jam di tangan ku, dan sekali-kali aku memperhatikan jalan masuk ke perumahan tersebut, sambil sedikit berharap, ada motor yang datang. Motor Agri.
Dan tepat jam 9 malam, sebuah motor pun datang. Ternyata itu Agri. Ia menepati janjinya, untuk datang menjemputku. Tiba-tiba dadaku berdegup kencang. Pikiran ku semakin tak karuan.
"malam mas Thoriq.." sapa Agri, sambil turun dari motornya.
"malam juga, Agri.." balasku berusaha sesantai mungkin.
"yuk, mas. Kita langsung berangkat sekarang.." ucap Agri, setelah ia berdiri di samping ku.
"kalian mau kemana?" tanya salah seorang rekan kuli ku, sebelum aku sempat membalas ucapan Agri.
"saya mau ajak mas Thoriq jalan-jalan sebentar.." Agri yang menjawab.
Teman ku tadi hanya manggut-manggut. Sepertinya ia juga tidak peduli, mau kemana kami malam itu. Begitu juga rekan-rekan kuli ku yang lain. Mereka terus saja mengobrol.
Akhirnya aku pun mengikuti langkah Agri menuju tempat motornya di parkir. Kami pun segera berlalu meninggalkan tempat tersebut.
"kita mau kemana?" tanya ku di perjalanan.
"kita ke rumah ku aja ya, mas. Biar kita lebih bebas ngobrolnya.." balas Agri.
"terserah kamu aja, Gri. Saya ngikut aja.. Selama di sana aman.." ucapku kemudian.
Beberapa menit kemudian, kami pun sampai di rumah Agri, yang ternyata cukup besar dan mewah.
"orangtua kamu kemana?" tanya ku, setelah Agri mengajak aku masuk langsung menuju kamarnya.
"biasalah mas, kalau malam minggu begini, biasanya mereka pergi ke kota. Makan-makan enak atau sekedar nonton di bioskop.." jelas Agri.
"jadi kamu sendirian di rumah?" tanyaku lagi.
"gak sendirian juga, sih. Ada bi Ijah pembantu kami, dan juga ada pak Rohim, si tukang kebun. Kalau mas Deni, ikut mama papa ke kota, jadi sopir mereka." Agri menjelaskan lagi.
"oh" kali ini aku hanya membulatkan bibir.
"mas Thoriq mau minum apa?" Agri tiba-tiba bertanya.
"terserah aja, sih.." balasku terdengar pasrah.
Lalu Agri pun segera keluar dari kamarnya, meninggalkan ku di dalam kamar yang luas dan mewah itu. Kamar itu mungkin lebih luas dari rumah kontrakan kami di kota. Agri benar-benar anak orang kaya.
Beberapa saat kemudian, Agri telah kembali dengan membawa dua botol minuman bersoda, dan setoples makanan ringan.
"mas Thoriq udah makan?" tanyanya sambil ia menyerahkan sebotol minuman padaku.
Kali ini aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya.
"ya udah... sekarang... kita mulai dari mana?" tanya Agri selanjutnya, setelah ia duduk di samping ku, di atas ranjangnya yang empuk tersebut.
"terserah Agri aja, saya gak ngerti soal beginian.." balasku terdengar polos.
"tapi kan mas Thoriq udah nikah, udah punya anak juga, sudah berpengalaman dong.." ucap Agri, kali ini terdengar sedikit manja.
"hah... itu kan beda, Agri.. Ini pertama kali nya saya bersama cowok.." balasku apa adanya.
"beda-beda tipis kok, mas.." ucap Agri dengan di akhiri sebuah tawa ringan.
"berarti kamu udah sering?" tanyaku sekedar ingin tahu.
"sering sih gak, mas. Tapi memang pernah beberapa kali, itu pun hanya dengan mantan pacarku.." balas Agri, terdengar jujur.
Aku manggut-manggut kecil mencoba memahami cerita Agri barusan. Terus terang, aku memang pernah mendengar laki-laki seperti Agri, yang punya pacar sesama jenis. Tapi selama ini, aku tidak begitu peduli dengan hal tersebut.
Namun sekarang... Sekarang aku berada di sini, bersama Agri. yang notabene nya adalah seorang cowok. Apa yang ada dalam pikiran ku saat ini? Apa yang aku lakukan disini?
Benarkah ini semua akibat aku terlalu sering jauh dari istri ku? Atau sebenarnya aku hanya penasaran?
****
"kok melamun, mas?" suara Agri tiba-tiba mengagetkan ku.
"ah, gak kok.." balasku spontan, "saya hanya menikmati suasana kamar ini, saya merasa nyaman. Kamarnya luas dan adem.."lanjutku sedikit beralasan.
"orangnya bikin nyaman juga gak, mas?" tanya Agri, seakan berusaha memancing ku.
Kali ini, aku coba menatap Agri sekilas. Agri termasuk tipe cowok yang tampan. Ia terlihat bersih, dan kulitnya juga tergolong putih. Meski pun bertubuh sedikit kurus, tapi Agri juga kelihatan sedikit berotot.
"kamu gak takut?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan, dan sedikit mengabaikan pertanyaan Agri barusan.
"takut apa?" tanya Agri dengan mimik heran.
"ya.. ngajak aku kesini? Kamu gak takut, kalau-kalau aku ini orang jahat?" balasku bertanya.
"untuk apa saya takut, mas. Saya yakin mas Thoriq orang baik. Lagi pula sejak pertama kali melihat mas Thoriq, saya sudah tertarik sama mas Thoriq." ucap Agri, kembali segala keblak-blakannya.
"apa yang membuat kamu tertarik padaku?" tanyaku sekedar ingin tahu.
"yah... mas Thoriq orangnya tampan, badannya bagus, gagah. Benar-benar tipe aku banget.." jawab Agri, entah ia mengatakan yang sebenarnya atau hanya sekedar mencoba untuk merayu ku.
"sebenarnya... sebenarnya.. aku menerima tawaran kamu ini, hanya sekedar untuk menyalurkan keinginan ku yang sudah terpendam selama dua minggu ini. Bukan karena aku menginginkannya. Jadi kamu jangan salah paham, ya. Dan aku harap, kamu jangan terlalu berharap lebih pada ku. Jangan pake perasaan juga.." ucapku aku akhirnya, mencoba untuk jujur.
"iya, mas Thoriq, aku tahu, kok. Mas Thoriq tenang aja.. Lagi pula, aku juga gak peduli, apa pun alasan mas Thoriq melakukan semua ini, yang penting aku bisa memiliki mas Thoriq malam ini, dan kalau bisa, selama mas Thoriq berada disini.." balas Agri.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Suasana kamar yang dingin, dan cara Agri memperlakukan ku malam itu, membuat aku sedikit terlena. Pikiran ku sudah tidak bisa aku kontrol lagi. Kerinduanku akan istri ku, ikut mendorong aku untuk membiarkan Agri melakukan semua keinginannya malam itu padaku.
Dan... semua itu pun terjadi... tanpa bisa aku kendali lagi. Agri benar-benar berhasil menguasai ku, sepenuhnya. Aku bahkan tidak berhak lagi akan diriku malam itu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengkhianati istri ku.
Dan lebih parah lagi, aku telah mengkhianati kodrat ku sebagai seorang laki-laki, hanya karena aku jauh dari istri ku.
Aku pun merasa berdosa dan kotor. Tapi semua sudah terjadi. Tak ada yang harus aku sesali lagi.
****
Malam itu, Agri memaksa ku untuk menginap di kamarnya. Tapi aku bersikeras, untuk diantar pulang. Karena aku tidak ingin teman-teman kuli ku mencurigai ku, jika aku tidak pulang malam itu.
Akhirnya dengan sangat berat, Agri pun mengantar aku pulang. Meski jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
"makasih, ya.. udah mengantar aku pulang.." ucapku kepada Agri, saat kami sudah berada di depan rumah tempat aku tinggal bersama kuli-kuli yang lain.
"aku yang makasih, mas. Udah memberi aku kesan yang begitu indah. Nanti kapan-kapan aku jemput lagi, ya..." balas Agri dengan suara sedikit pelan.
Ingin rasanya aku menolak tawaran itu. Tapi..
"terserah kamu aja..." hanya kalimat itu yang keluar dari mulut ku yang kering.
"ya udah... aku pulang dulu ya, mas. Selamat bobok ya, mimpi yang indah.." ucap Agri kemudian, masih dengan suara pelan, dan terdengar sedikit manja.
Sebenarnya aku sedikit jijik mendengarkannya. Tapi aku mencoba untuk tersenyum.
"oke.." balasku akhirnya, "hati-hati di jalan, ya.." lanjutku.
"siap mas ganteng.." ucap Agri, sebelum akhirnya ia menghidupkan motornya, lalu segera memacu motor tersebut dengan pelan menuju jalan pulang ke rumahnya.
Aku menarik napas sejenak, lalu menghempaskannya dengan berat. Pikiranku pun berkecamuk lagi. Ada penyesalan, ada rasa bersalah, tapi harus aku akui, ada rasa lega juga yang aku rasakan malam itu. Kesepian ku selama dua minggu ini, seakan tercurahkan malam itu. Walau dengan cara dan orang yang salah.
"dari mana, mas Thoriq?" sebuah suara mengagetkan ku tiba-tiba.
Aku melirik kearah suara tersebut. Di belakang ku sudah berdiri pak Imam, mandor ku. Aku tidak tahu, entah sudah berapa lama ia berada di sana.
Pak Imam, mandor ku tersebut, memang masih berusia 30 tahun, tapi karena ia adalah atasan ku, aku memang sengaja memanggilnya pak. Dan pak Imam, memang kadang-kadang ikut menginap disini, ada rumah khusus tempat ia tinggal sendirian. Rumah itu tepat di depan rumah tempat kami para kuli tinggal.
"saya.. saya habis jalan, pak.." jawabku akhirnya, walau dengan sedikit terbata. Sebenarnya aku juga merasa sedikit heran, tak biasanya pak Imam memanggilku dengan sebutan mas. Dan tak biasa juga ia berada di luar rumah malam-malam seperti ini. Dan satu hal lagi yang membuat aku heran, kenapa ia tiba-tiba bersuara lembut seperti itu? Bukankah selama ini, ia selalu kasar kepada kami?
"siapa pemuda tadi?" tanya pak Imam, masih terdengar lembut.
"oh.. dia Agri, pak. Pemuda sini. Kebetulan kami baru saling kenal. Jadi tadi ia mengajak ku jalan-jalan keliling-keliling daerah ini.." balasku, setengah berbohong.
Kulihat pak Imam hanya manggut-manggut, entah ia mengerti akan penjelasan ku barusan, atau hanya sekedar berpura-pura mengerti.
"besok pagi temani saya ke kota ya, ada beberapa bahan yang kurang, jadi besok sekalian kita belanja." ucap pak Iman tiba-tiba.
"tapi... besok saya kan kerja, pak." balasku dengan nada sedikit tertahan.
"saya mandor kamu loh. Yang berhak menentukan kamu kerja besok atau tidak itu saya." tiba-tiba suara kasar pak Imam muncul kembali, bahkan ia menyebutku dengan 'kamu' lagi.
"iya, pak... maaf, pak.. " suara ku benar-benar terbata, entah karena takut atau juga karena kaget dengan perubahan suara pak Imam barusan.
"ya udah... sekarang mas Thoriq tidur, biar bisa bangun pagi. Karena kita besok berangkatnya pagi." ucap pak Imam kemudian, kembali denga suara lembutnya.
Aneh nih orang. Hatiku membathin. Tiba-tiba lembut, tiba-tiba kasar. Maunya apa sih? lanjutku terus membathin.
"iya, pak. Kalau begitu saya pamit masuk ke dalam dulu ya, pak." ucapku akhirnya, sambil mulai melangkah menuju pintu rumah.
"eh.. tunggu!" suara pak Imam menghentikan langkah ku.
"iya, pak. Ada apa lagi?" tanyaku sambil memutar tubuh.
Ku lihat pak Imam sedikit berpikir. Tapi kemudian ia pun berkata, "gak apa-apa. Gak jadi." ucapnya, sambil mulai memutar tubuh dan melangkah menuju rumahnya sendiri.
Dengan perasaan heran, aku pun kembali memutar tubuhku dan melangkah maju menuju pintu rumah lagi.
Pikiran masih bertanya-tanya. Kenapa pak Imam tiba-tiba mengajak aku ikut belanja dengannya ke kota ya? Bukankah selama ini ia selalu pergi sendiri? Dan kenapa harus aku?
Berbagai pertanyaan terus menghantui pikiran ku malam itu. Terkadang aku memikirkan perbuatan ku bersama Agri. Terkadang lagi, aku memikirkan sikap pak Imam malam ini.
Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi dalam hidupku?
Tiba-tiba aku merasa terjebak, pada kehidupan yang tidak aku inginkan. Dan saat itulah bayangan istri dan anak-anak ku melintas, yang membuatku semakin merasa bersalah.
*****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih