Langsung ke konten utama

Adsense

Santri tampan idola hati

Namanya Muhammad Farhan Rozi, tapi saya biasa memanggilnya Faroz, singkatan dari Farhan Rozi. Entah mengapa saya suka memanggilnya Faroz, dan sepertinya ia juga suka di panggil begitu. Bahkan teman-temannya ikut memanggilnya Faroz.

Tidak bisa saya pungkiri, jika Faroz memang memiliki pesona yang amat indah. Bukan  saja karena wajahnya yang tampan, atau postur tubuhnya yang ideal, tapi juga karena ia memiliki suara yang indah, merdu, sangat enak di dengar, terutama saat ia melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an, atau saat ia mengumandangkan suara adzan, bahkan ketika ia menjadi imam sholat.

Selain itu, ia juga termasuk anak yang sangat sopan, ramah, baik dan sangat bijak.

Aku menyukainya dengan segala kelebihannya itu. Aku menilainya sebagai sosok yang sempurna. Indah. Mungkin salah satu bait lirik lagu Komang, cukup untuk mewakili keindahannya. Suara merdunya, akan membuat orang-orang berhenti sejenak untuk menikmati keindahannya.

Faro memang masih sangat muda, mungkin masih 16 atau 17 tahun usianya. Ia seorang santri di salah satu pondok pesantren yang cukup terkenal. Ia masih duduk di kelas sebelas atau kelas dua tingkat SMA.

Lalu bagaimana akhirnya aku bisa bertemu dengan Faroz? dan bagaimana pula kedekatan kami selanjutnya? Simak kisah nyata ini sampai selesai ya...

****


 

Entah ini kebetulan atau tidak, Faroz dan rombongannya yang berjumlah 14 orang dan di tambah seorang guru pembimbing, melaksanakan kegiatan Pengabdian di desa ku.

Mereka tinggal di salah satu rumah kosong yang berada di samping Mesjid desa kami. Semuanya santri laki-laki, dan mereka akan melaksanakan pengabdian, selama lebih kurang 18 hari, dan itu dilaksanakan selama bulan Ramadhan. Dari hari pertama Ramadhan sampai hari ke 18.

Dan karena itulah aku bisa mengenal Faroz.

Sebagaimana biasa, seperti bulan-bulan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, aku memang rajin datang ke Mesjid. Melaksanakan sholat wajib secara berjema'ah, dan juga untuk melaksanakan sholat Tarawih berjema'ah di Mesjid kami. Serta biasanya aku juga sering ikut tadarusan, setiap malam setelah sholat Tarawih.

Kehadiran Faroz dan teman-temannya, cukup mampu mengubah suasana bulan Ramadhan di desa kami tahun ini. Apa lagi kegiatan mereka selama pengabdian, lebih banyak dilakukan di Mesjid.

Hampir setiap hari dan setiap malam datang ke Mesjid, membuat aku jadi mulai mengenal para santri tersebut satu persatu, termasuk ustadz pembimbingnya.

Mulanya, semuanya biasa aja. Aku menganggap kehadiran para santri tersebut, adalah hal yang biasa.

Sampai pada suatu jum'at, aku mendengar suara imam yang merdu dan indah. Belum pernah aku mendengar suara indah itu sebelumnya. Dan di akhir sholat aku tahu, kalau yang jadi imam jum'at waktu itu, adalah salah seorang santri tersebut.

Karena penasaran, aku pun mencoba mencari tahu, siapa diantara santri tersebut, yang menjadi imam sholat jum'at tadi. Dan melalui salah seorang santri itu juga, aku tahu kalau santri yang memiliki suara merdu itu, namanya adalah Muhammad Farhan Rozi.

Sejak saat itu, aku jadi penasaran, sama sosok santri tersebut. Aku pun mulai jadi sering ngobrol sama mereka. Aku jadi ingin mengenal mereka lebih jauh, terutama Faroz.

Dan dari sering ngobrol itulah, aku jadi tahu namanya, dan sengaja memanggilnya Faroz, agar lebih mudah akrab.

Faroz termasuk tipe anak yang pendiam. Dia juga tidak banyak tingkah. Dia termasuk anak yang taat beribadah. Berbeda dengan teman-temannya lain. Tapi hal itu justru membuat aku semakin menyukainya.

Aku selalu berusaha mencari-cari kesempatan, untuk bisa ngobrol berdua dengan Faroz. Namun hal itu tidak mudah. Selain karena kegiatan mereka yang cukup padat, tapi juga karena ternyata banyak orang yang mengagumi suara indah Faroz. Sehingga, selain saya, banyak orang lain yang ingin mengobrol dengannya.

Boleh di bilang, sejak saat itu, Faroz sudah jadi idola di desa kami. Dia disukai semua orang. Mulai dari anak-anak sampai dengan para orangtua. Dan itu wajar, karena Faroz memang punya pesona tersendiri di mata siapa saja.

*****

Aku gak mau kalah. Faroz sudah terlanjur mencuri perhatian ku, bahkan mungkin dia juga sudah mencuri hati ku. Dan aku bertekad, untuk bisa semakin dekat dengannya.

Salah satu caraku untuk mendapatkan perhatianya adalah, dengan memberinya hadiah sebuah baju koko. Agak aneh sih sebenarnya, memberi hadiah kepada orang yang baru saya kenal. Tapi saya udah gak peduli. Saya hanya ingin mendapatkan perhatian darinya.

Syukurlah, Faroz bersedia menerima hadiah tersebut. Mungkin karena ia merasa tidak enak hati untuk menolaknya. Dan hal itu mampu mengubah keadaan.

Yah.. Faroz jadi lebih terbuka padaku. Ia jadi banyak bercerita tentang keluarganya. Ternyata dia berasal dari kota yang sangat jauh dari pesantren tempat ia bersekolah. Dan ia hanya bisa pulang sekali setahun.

Semakin aku sering mendengarkan cerita kehidupannya, justru semakin membuat aku kagum padanya. Keinginannya untuk bersekolah sangatlah kuat, sementara dia bukan berasal dari keluarga yang kaya raya, seperti teman-temannya yang lain.

Namun Faroz adalah sosok anak yang baik dan berpikiran terbuka, sehingga banyak orang yang menyayanginya, begitu juga para gurunya yang ada di pondok pesantren tersebut.

"saya memang bukan dari keluarga kaya, bang. Tapi Alhamdulillah, saya tidak merasa kekurangan. Terlalu banyak orang baik yang berada di sekitar saya, termasuk bang Abe." ucapnya padaku, suatu malam, saat kami sama-sama tadarus.

"itu karena kamu orang baik, Roz. Makanya semuanya orang juga baik padamu." balasku pelan. "dan kamu juga punya suara yang merdu, semua orang suka mendengar suara kamu." lanjutku tulus.

"ah, bang Abe bisa aja. Suara teman-teman saya yang lain juga bagus, bang." ucap Faroz, sedikit tersipu.

"tapi suara kamu paling bagus diantara semuanya.." puji ku apa adanya.

Dan pembicaraan kami pun terhenti. Faroz kembali fokus membaca Al-Qur'an yang sejak tadi dibukanya. Selalu saja begitu. Faroz seperti sengaja menjaga jarak dengan orang yang baru ia kenal. Pembicaraan kami hanya paling banyak dua atau tiga kalimat saja. Mungkin karena Faroz memang termasuk tipe anak yang pendiam.

*****

Suatu sore, selesai sholat Ashar, saya nekat mengajak Faroz untuk menemani ku ke ibu kota Kecamatan, untuk membeli takjil. Saya sempatkan untuk minta izin kepada ustadz pembimbingnya. Faroz pun tidak menolak ajakan saya tersebut.

Perjalanan dari desa kami ke ibu kota kecamatan, berkisar lebih kurang setengan perjalanan naik motor. Aku ingin memanfaatkan waktu tersebut, untuk ngobrol lebih banyak dengan Faroz. Namun karena dasarnya, Faroz adalah anak yang pendiam, dia hanya lebih menjawab iya dan tidak saja.

Namun hal itu sudah cukup untuk membuat aku merasa bahagia. Setidaknya, jika nanti Faroz sudah pergi dari desa kami, dia tidak akan melupakan ku, sebagai sosok yang pernah dekat dengannya.

Faroz anak kedua dari lima bersaudara. Kakak pertamanya laki-laki, dua orang adiknya perempuan dan adik bungsu nya juga laki-laki. Setidaknya begitulah yang di ceritakan Faroz padaku.

Saya membelikan Faroz dan teman-temannya beberapa makanan untuk menu buka puasa mereka, dan saya juga sempat selipkan selembar uang ratusan ribu di saku baju Faroz, sabagai ucapan terima kasih saya, karena Faroz sudah menemani saya belanja.

Faroz sempat menolak awalnya, namun saya sedikit memaksa, sehingga akhirnya ia pun meneriam uang tersebut.

"bang Abe sudah terlalu baik sama saya." ucap Faroz, "kemarin saya di belikan baju, sekarang saya di kasih uang ini. Saya jadi merasa gak enak, bang." lanjutnya sungkan.

"kamu gak usah merasa gak enak. Saya ikhlas, kok. Dan kamu pantas mendapatkannya. Karena kamu anak baik, dan juga aku salah satu pengagum suara kamu." balasku jujur.

"terima kasih banyak ya, bang Abe. Aku pasti akan mengingat semua ini. Suatu saat aku pasti akan membalasnya." ucap Faroz lagi.

"kamu gak usah terlalu memikirkan hal tersebut. Semua itu belum seberapa, kok. Saya hanya ingin memberi kamu sedikit hadiah. Itu aja.." balasku lagi.

****

Dan waktu pun terus berlalu. Aku dan Faroz juga sudah sering mengobrol. Kami terasa mulai akrab.

Hingga hari terakhir itu pun tiba. Dan entah mengapa, aku merasa tidak rela kalau Faroz harus pergi dari desa kami. Aku merasa takut kehilangan dia.

"kampung ini pasti akan sepi, setelah kalian pergi nanti.." ucapku, suatu sore.

"kami juga pasti akan merindukan kampung ini, bang." balas Faroz.

"iyah.. " desah ku pelan, "tapi ngomong-ngomong, kamu punya nomor handphone gak?" tanyaku kemudian.

"ya gak ada lah, bang. Kami mana boleh pakai handphone di pesantren." balas Faroz.

"tapi... handphone orangtua kamu ada kan?" tanya ku lagi.

"ada sih, bang...tapi aku kan gak hafal nomornya.." balas Faroz pelan.

"oh.. ya udah.. gak apa-apa." ucapku lemah.

"emang untuk apa, bang. Nomor hp nya?" ucap Faroz sedikit bertanya.

"ya... siapa tahu nanti, jika ada waktu, saya bisa menghubungi kamu.." balasku.

"kalau nanti abang mau ketemu saya lagi, datang aja ke pesantren, bang. Bang Abe tahu kan alamat pesatrennya?" ucap Faroz kemudian.

"iya.. saya tahu... saya pasti akan datang kesana nanti.." balasku ringan.

Aku sedikti menarik napas, mencoba melepaskan rasa sesak di dadaku, yang tiba-tiba saja terasa perih.

"jadi nanti dari sini, kamu langsung pulang ke kota kamu?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"mungkin saya istirahat dulu satu atau dua hari di rumah om saya, bang. Bantu-bantu om saya kerja dulu. Habis itu, mungkin baru saya akan pulang kampung." jawab Faroz.

"bantu-bantu kerja?" tanyaku sedikit heran, "emangnya om kamu kerja apa?" tanya ku melanjutkan.

"om saya kerja jadi sopir angkutan barang antar kota, bang. Jadi mungkin dua atau tiga hari lagi, dia baru melewati kota tempat saya tinggal. Jadi nanti sekalian aja saya bantu-bantu dia, sambil saya numpang sama om saya, untuk pulang kampung." jelas Faroz.

Penjelasannya itu, membuat aku semakin kagum padanya. Selain semua kelebihannya, yang saya ketahui selama ini, ternyata Faroz juga anak yang mandiri. Ia biasa pulang sendiri, tanpa di jemput orangtuanya.

Benar-benar tipe anak yang sangat membanggakan orangtuanya.

"orangtua kamu pasti bangga ya, punya anak kayak kamu.." ucapku akhirnya tanpa sadar.

Kali ini, Faroz tidak menjawab. Dia hanya terlihat tersenyum kecut.

****

Dan waktu perpisahan pun tiba. Di hari ke delapan belas Ramadhan, selesai sholat subuh, Faroz dan rombongannya pun di jemput oleh sebuah mobil bus. Entah mengapa, aku tak mampu menahan air mata ku sendiri, melepaskan kepergian mereka.

Aku merasa sedih. Aku merasa kehilangan. Terutama Faroz.

"jangan sedih gitu dong, bang.." tegur Faroz, sesaat sebelum ia naik ke bus.

"aku gak akan pernah lagi mendengar suara indah kamu menjadi imam, Faroz. Aku gak akan mendengar lagi lantunan ayat-ayat Al-Qur'an yang kamu baca setiap habis sholat dan saat kita tadarus. Aku juga tidak akan mendengar lagi suara adzan mu yang merdu. Jadi... wajar, kan? Kalau saya merasa sedih?" balas ku sedikit berbisik, dan sedikit menahan rasa perih di hatiku.

"kalau Tuhan berkehendak, bang. Suatu saat kita pasti akan dipertemukan lagi..." ucap Faroz pelan.

"semoga ya, Faroz. Karena aku pasti akan sangat merindukan suara mu.." balasku.

"bang Abe orang baik. Dan terima kasih sudah menjadi teman saya selama saya di sini, bang. Terima kasih juga untuk semua hadiah yang abang berikan. Saya pasti tidak akan pernah melupakan bang Abe." ucap Faroz kemudian.

Setelah berkata demikian, Faroz mulai melangkah menuju tempat bus jemputannya di parkir.

"tunggu Faroz.." cegah ku memberanikan diri.

Faroz memutar tubuh kembali menatapku, " ada apa lagi, bang?" tanya nya.

"saya hanya ingin menyerahkan ini, sebagai kenang-kenangan dari saya.." ucapku sambil menyerahkan sebuah bungkusan kepada Faroz. Bungkusan itu berisi sebuah baju kaos, yang memang sudah aku persiapkan sejak kemarin.

"apa ini, bang?" tanya Faroz, dengan sedikit ragu ia menerima bungkusan terebut.

"kamu ambil aja. Gak boleh menolak rezeki loh." balas ku, dengan sedikit memaksa bibir ku untuk tersenyum.

Faroz menatap bungkusan itu sedikit lama, kemudia ia berujar, "terima kasih banyak ya, bang. Bang Abe sudah terlalu baik padaku."

Lalu kemudian ia pun mulai melangkah lagi. Meninggalkan ku selangkah demi selangkah.

Aku hanya menatapi kepergiannya, sampai ia pun menghilang di dalam bus. Dan bus itu pun mulai bergerak pelan meninggalkan halaman Mesjid. Aku menatap kepergia bus itu tanpa kedip, sampai bus itu benar-benar menghilang dari tatapan ku. Dan akhirnya air mata ku pun menetes. Sedih. Sakit. Dan perih.

Perpisahan memang selalu menyisakan luka, terutama bagi orang yang di tinggalkan. Namun kenangan singkat ku bersama Faroz, akan selalu tersimpan abadi di suatu sisi hatiku yang terdalam.

Faroz akan menjadi cerita tersendiri dalam perjalanan hidup ku. Namanya akan tetap tersimpan di relung hati ku. Di tempat tersuci di dalam hatiku.

Muhammad Farhan Rozi. Santri tampan, idola hati ku.

Terima kasih telah hadir dalam hidupku, meski hanya sekejab. Meski hanya sesaat. Sesaat yang sangat indah bagi ku. Dan  aku tidak akan pernah melupakannya.

Alu hanya berharap, semoga Faroz selalu bahagia, dan menjadi orang yang sukses nantinya.

Dan semoga ia tidak akan pernah melupakan ku, meski aku hanya satu alinia singkat dalam buku kisah hidupnya.

Yah... semoga.

****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google