Aku mencoba menjalani hari-hari ku seperti biasa. Menjalankan kewajiban ku sebagai seorang suami dan juga seorang ayah. Dan karena tidak ada proyek yang harus aku kerjakan, aku pun membantu istri ku mengerjakan pesanan kateringnya.
Sudah hampir sebulan, aku dan Agri tidak pernah bertemu lagi, bahkan ia tidak pernah menghubungi ku lagi. Agri benar-benar menepati janjinya padaku.
Tapi entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidup ku. Ada yang terasa kurang dari hari-hari yang aku lewati, tanpa kabar dari Agri. Tiba-tiba saja aku merasa rindu pada sosok Agri yang penuh kelembutan dan ketulusan.
Entah mengapa akhir-akhir ini, bayangan wajah tampan yang selalu tersenyum itu, terus menghiasi angan dan khayalan ku. Aku terus memikirkan Agri. Mengingat setiap detail kejadian yang aku alami bersamanya, terutama saat terakhir kami melakukan hal tersebut.
Ah, betapa saat ini aku merindukannya. Aku ingin bertemu dengannya. Mendengarkan rayuan manjanya dan pujiannya yang begitu tulus.
Apa sebenarnya yang aku rasakan ini? Aku gak mungkin jatuh cinta pada Agri , kan? Aku sudah punya istri dan anak. Lagi pula Agri itu kan seorang cowok. Gak mungkin aku bisa jatuh cinta pada cowok, kan?
Berbagai pertanyaan terus menghantui ku, akhir-akhir ini. Yang membuat aku merasa semakin tak karuan. Di tambah pula, saat ini aku sedang menganggur. Sudah hampir dua bulan belum ada pekerjaan baru yang aku dapatkan.
Karena merasa suntuk, tiba-tiba aku berpikir untuk menghubungi Agri.
'apa kabar, Agri?' sebuah pesan ku kirimkan melalui ponsel ku kepada Agri.
Terkirim. Tapi belum dibaca.
Aku masih menunggu. Semenit, dua menit bahkan hampir sepuluh menit, Agri belum juga membaca pesan ku. Akhirnya aku pun mengabaikan hal tersebut.
Sampai akhirnya setelah hampir setengah jam kemudian, balasan dari Agri pun masuk ke ponsel ku.
'kabar baik, mas Thoriq. Mas Thoriq apa kabar? Tumben mas Thoriq menghubungi saya. Kangen ya..?!' balasan dari Agri.
'kenapa lama kali balas pesannya?' aku membalas dan mengabaikan pertanyaan-pertanyaan Agri barusan.
'maaf, mas. Baru bangun tidur.' balas Agri.
'mas kangen ya?' Agri mengirim pesan lagi, sebelum aku sempat menulis sesuatu di ponsel ku.
Ada jeda beberapa saat. Aku harus berpikir panjang untuk menjawab pertanyaan Agri barusan. Aku memang kangen, tapi aku juga tidak ingin Agri tahu.
'ya.. udah kalau gak mau jawab. Tapi kalau mas Thoriq kangen, datang aja ke kost. Pintu hati ku selalu terbuka untuk mas Thoriq yang ganteng... he..he..' Agri mengirim pesan lagi.
'oke..' balasku akhirnya singkat.
Aku memang berniat untuk datang menemui Agri. Selain karena aku merasa suntuk di rumah, aku sebenarnya memang kangen sama Agri. Kangen akan perlakuan manjanya padaku. Meski itu artinya, aku melanggar sendiri kesepakatan kami.
*****
Setengah jam kemudian, aku sudah berdiri di depan pintu kamar kost Agri. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera mengetuk pintu kamar tersebut. Dan beberapa saat kemudian, Agri pun muncul dari balik pintu, dengan memamerkan senyum sumringahnya. Senyum selalu aku impikan akhir-akhir ini.
Setelah sedikit berbasa-basi, aku pun segera masuk dan duduk di atas dipan di samping Agri, yang hanya memakai baju singlet putih dan celana pendek.
"sebenarnya aku sangat mencintai mas Thoriq, bahkan sejak pertama kali kita bertemu dulu. Semakin hari, aku semakin sayang sama mas Thoriq. Namun aku sadar, kalau mas Thoriq sudah menikah dan sudah punya anak. Aku sadar, kalau mas Thoriq tidak mungkin akan mencintai ku."
"aku sadar, kalau mas Thoriq hanya menjadikan aku sebagai pelarian dari rasa kesepian mas Thoriq, karena mas Thoriq sedang berada jauh dari istri." ucap Agri memulai pembicaraan kami.
"karena itu aku tidak pernah berani berharap lebih. Sejak pertemuan terakhir kita waktu itu, aku pun berjanji pada diriku sendiri, untuk belajar melupakan semua harapanku tentang mas Thoriq. Aku harus bisa melupakan mas Thoriq. Aku harus bisa menghapus perasaan ku pada mas Thoriq."
"dan di saat aku hampir berhasil melakukan itu semua, tiba-tiba mas Thoriq menghubungi ku, yang membuat aku jadi ragu. Haruskah aku melupakan mas Thoriq atau kah aku harus berjuang lagi untuk bisa mendapatkan mas Thoriq?" Agri terus berucap panjang lebar.
Aku memang sengaja memberi Agri kesempatan untuk bisa meluahkan semuanya. Meluahkan semua perasaannya padaku. Setidaknya untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa keputusan ku untuk menemuinya kali ini, bukanlah keputusan yang salah.
"maafkan aku, Agri.." ucapku akhirnya, "jujur saja, aku memang hanya memanfaatkan kamu waktu itu, untuk sekedar mengisi kesepian ku. Tapi sekarang... sekarang aku tidak tahu apa yang aku rasakan terhadap kamu, Agri." lanjutku.
"akhir-akhir ini aku jadi sering memikirkan kamu. Dan sejujurnya, aku juga sangat merindukan kamu. Karena itulah aku memberanikan diri untuk menghubungi mu lagi. Meski pun dari awal kita sudah sepakat, untuk tidak lagi saling bertemu." aku berucap lagi.
"lalu bagaimana sekarang?" tany Agri, "aku juga butuh kepastian, mas. Kalau memang mas Thoriq tidak punya perasaan apa-apa padaku, jangan pernah memberi aku harapan, mas. Tapi jika mas Thoriq juga menginginkan ku, aku siap untuk melanjutkan hubungan ini.." lanjut Agri kemudian.
"tapi aku sudah punya istri dan anak, Agri. Apa kamu mau punya pacar yang sudah menikah seperti aku ini?" balasku bertanya.
"aku gak peduli dengan status mas Thoriq. Selama mas Thoriq masih punya waktu untuk ku, aku gak masalah.." jawab Agri terdengar tulus.
"tapi aku gak bisa menjanjikan kamu apa-apa, Agri. Aku hanya seorang kuli.." ucapku selanjutnya.
"aku juga tidak mengharapkan apa-apa dari mas Thoriq, selain cinta dan kasih sayang.. dan..." Agri seperti sengaja menggantung kalimatnya.
"dan apa?" tanyaku penasaran.
"dan... pissang ambon nya.. ha..ha..ha..." jawab Agri sambil tertawa tersipu.
"ah kamu bisa aja, Gri. Itu memang sudah menjadi milik kamu seutuhnya..." balasku pelan.
"yakin?" tanya Agri.
"iya.. yakin.." balasku tegas.
"bagaimana dengan istri mas Thoriq?" tanya Agri lagi.
"itu kan hal yang berbeda, Gri. Kamu memang harus siap berbagi dengannya." balasku polos.
"oke deh.. gak apa-apa kok di bagi, kan gede.. he...he.. he..." Agri berucap dengan diakhiri sebuah tawa geli nya.
"kamu tuh memang paling bisa bikin aku ....." kali ini aku sengaja menggantung kalimat ku.
"bikin apa? Ayo.." tanya Agri.
"bikin aku jadi pengen.. he.. he.. he.." balasku dengan diakhiri sebuah tawa ringan.
"ya.. udah.. ayok..." ucap Agri, sambil mulai mendekat.
****
Tidak ada yang salah dengan semua itu. Aku dan Agri saling mencintai. Meski aku sendiri sudah menikah dan sudah punya anak. Tapi tetap saja aku membutuhkan Agri untuk melengkapi hidup ku.
Bersama Agri aku merasa sempurna. Bersama Agri aku merasa utuh. Sikap manjanya, ketulusannya dan cara dia memperlakukanku, benar-benar membuat aku semakin menyayanginya. Aku membutuhkannya.
Aku dan Agri pun memutuskan untuk terus bersama. Meski apapun yang akan terjadi nantinya. Aku dan Agri pun resmi berpacaran. Aku selalu menyempatkan waktu untuk bisa bertemu Agri di kost nya, terutama saat aku sedang tidak ada pekerjaan.
"aku sangat mencintai mas Thoriq, dan aku tidak akan pernah melepaskan mas Thoriq walau dengan cara dan alasan apa pun." ucap Agri suatu hari, ketika untuk kesekian kali nya aku berada di kost-nya.
"aku juga sangat mencintai kamu, Agri. Dan kita akan bersama selamanya.." balasku mesra.
"apa mas gak menyesal?" tanya Agri.
"kenapa aku harus menyesal?" aku balik nanya.
"karena aku seorang laki-laki.." balas Agri.
"bukankah cinta itu universal, kita bebas mencintai siapa saja dan dicinta oleh siapa saja. Jadi gak ada yang harus aku sesali, karena aku merasa bahagia bisa mengenal kamu, Agri.." ucapku apa adanya.
"terima kasih ya, mas. Untuk cintanya dan untuk semuanya.." Agri berucap sambil, menggenggam erat jemari ku.
"aku yang makasih sama kamu, Agri. Sudah mencintai ku dengan begitu tulus, padahal aku sudah menikah dan juga hanya seorang kuli.." balasku terdengar sedikit lirih.
"mas Thoriq jangan berkata seperti itu lagi. Bagiku mas Thoriq adalah sosok laki-laki sempurna. Mas Thoriq adalah hal paling indah yang pernah aku miliki. Mas Thoriq adalah segalanya bagi ku." ucap Agri, sambil terus menggenggam jemari ku semakin erat.
Aku mengecup lembut keningnya, sekedar meyakinkannya, bahwa ia juga adalah hal terindah dalam hidupku.
Dan begitulah awalnya aku bisa menjalin hubungan dengan sesama laki-laki. Begitulah kisahku yan terjalin bersama Agri. Semua itu terjadi hanya karena aku sering berada jauh dari istri ku.
Aku tak tahu, apa yang akan terjadi dengan hubungan kami ke depannya. Aku tak berani memikirkan hall tersebut. Yang penting saat ini, aku ingin menikmati kebahagiaan ku bersama Agri. Selagi kami masih punya waktu. Selagi kami masih punya kesempatan.
Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah. Dan membiarkan takdir menjalankan tugasnya. Apa pun yang akan terjadi nantinya, akan aku terima sebagai resiko dari pilihan yang aku ambil saat ini.
***
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih