"untuk apa lagi kamu datang?" tanya ku sedikit kasar, seakan mencoba meluahkan kekesalan ku pada Arif.
"aku akan tetap datang, Bas. Sampai kamu mau memaafkan ku.." balas Arif dengan suara lembut.
"tidak ada lagi maaf untuk mu, Rif." ucapku tegas, "bagiku semua sudah berakhir.." lanjutku.
"tapi kamu sendiri kan tahu, Bas." Arif membalas, "aku melakukan semua itu, hanya karena terpaksa." lanjutnya pelan.
"apa pun alasannya, aku sudah tidak peduli, lebih baik kamu pulang, Rif. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi." ujarku merasa perih.
Aku dan Arif memang sudah pacaran hampir dua tahun. Selama dua tahun tersebut, hubungan kami baik-baik saja. Kami saling menyayangi, saling mencintai.
Arif juga orang yang baik, lembut dan penuh kasih sayang. Dia juga selalu setia padaku.
Tapi...
"aku akan menikah, Bas." begitu ucap Arif, sekitar sebulan yang lalu.
Aku menatap Arif penuh tanya. Hatiku tiba-tiba terasa pedih.
"kenapa?" tanyaku tak lazim.
"karena kedua orangtua ku menginginkan aku untuk segera menikah, Bas. Mereka juga sudah punya calon untuk ku." jelas Arif, yang membuat ku semakin perih.
"dan kamu nurut begitu aja?" tanya ku setengah heran.
"lalu aku bisa apa, Bas?" balas Arif, "kamu sendiri tahu, bagaimana orangtua ku. Apa lagi aku ini anak laki-laki mereka satu-satunya." lanjutnya.
"tapi bukankah kita sudah saling berjanji, untuk tidak akan pernah menikah, sampai kapan pun, walau apa pun yang akan terjadi." ucapku pilu.
"iya.. aku tahu. Tapi... saat ini aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Bas. Mereka sudah mempersiapkan semuanya." balas Arif.
"aku gak rela kamu menikah, Rif. Jika kamu tetap menikah, lebih baik kita putus." aku berucap dengan suara sedikit tertekan, ada yang terasa sakit di hati ku.
"kita tetap bisa bersama-sama kok, Bas. Kita masih bisa tetap bertemu, seperti biasa." ujar Arif penuh harap.
"gak semudah itu, Rif. Hubungan seperti itu, hanya akan membuat kita semakin sakit. Dan aku gak mau menyiksa diri ku sendiri, jika tetap memaksa kan hal tersebut." balas ku lemah.
"lalu kamu ingin aku bagaimana, Bas?" tanya Arif, lebih kepada dirinya sendiri.
"kita bisa pergi dari sini, Rif. Kita bisa pergi ke tempat dimana kita bisa tetap bersama." balas ku.
"maksudmu, kita kabur?" tanya Arif, dengan nada setengah tak percaya.
"iya.." balasku, "jika kamu memang mencintai ku.." lanjutku.
"aku sangat mencintai kamu, Bas. Tapi aku juga sangat menyayangi kedua orangtua ku." ucap Arif. "kamu penting bagi ku, Bas. Tapi orangtua ku juga penting. Aku gak mungkin meninggalkan mereka." Arif melanjutkan.
Dan aku terhenyak. Arif benar. Tapi... bukankah cinta memang butuh pengorbanan? Dan jika Arif tidak mau berkorban untuk hal tersebut, aku sendiri menjadi ragu.
"kalau begitu, lebih baik kita saling melupakan.." ucapku akhirnya.
Setelah berucap demikian, aku pun pergi meninggalkan Arif sendirian.
Arif pernah beberapa kali coba menghubungi ku, tapi aku tak menggubrisnya. Ia juga pernah beberapa kali datang ke tempatku, tapi aku selalu menyuruhnya pergi.
Sampai akhirnya ia pun menikah. Dan aku hanya bisa menelan kepahitan itu sendiri.
Setelah menikah pun, Arif masih mencoba berusaha untuk menemui ku, tapi aku selalu menghidar.
Sampai akhirnya, hari ini, aku memberi kesempatan Arif untuk berbicara dengan ku.
"aku hanya ingin kamu memaafkan ku, Bas. Dan... tolong beri aku kesempatan, untuk membuktikan jika perasaanku pada mu masih sama, sekali pun aku sudah menikah.." Arif berucap kemudian, setelah cukup lama kami saling terdiam.
"tidak ada yang harus dibuktikan, Rif. Aku percaya, kalau kamu masih mencintaiku. Tapi cinta saja tidak cukup. Dan bukan hubungan seperti itu yang aku inginkan. Kamu sudah menikah, dan aku tak berhak lagi ada dalam kehidupan mu." ucapku panjang lebar.
"tapi... aku sangat mencintai kamu, Bas..." suara Arif menghiba.
"aku juga sangat mencintai kamu, Rif. Tapi aku sudah memberikan kamu pilihan, dan kamu juga sudah menentukan pilihan mu.." balasku.
"semua ini bukan pilihan ku, Bas. Kamu juga tahu itu.." ucap Arif pedih.
Aku terdiam...
Entahlah... aku juga tidak tahu, apa yang aku rasakan sebenarnya saat ini. Aku memang mencintai Arif, dan aku tahu, kalau Arif juga mencintai ku. Hanya saja, aku tak pernah rela, harus berbagi dirinya dengan orang lain, apa pun alasannya.
******
Hari-hari pun terus berlalu. Arif tak pernah lagi menemui atau pun menghubungi ku. Entah ia sudah kehilangan harapan, entah ia sudah tidak lagi mencintai ku. Aku juga tidak peduli. Sejak ia menikah, bagi ku tidak ada lagi cinta untuknya. Meski sejujurnya, aku masih sering merindukannya.
Melupakan Arif bukanlah hal yang mudah bagiku. Dua tahun hubungan kami, terasa sangat indah bagiku. Tapi aku memang harus membiasakan diri hidup tanpa dirinya lagi.
Aku mencoba menjalani hari-hari ku seperti biasa. Bekerja seperti biasa.
Aku seorang perantau, yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. Aku hidup sendirian di sebuah apartemen. Usiaku sebenarnya sudah hampir kepala tiga. Tapi aku memang tidak punya rencana untuk menikah.
Sebagai seorang gay, aku menyadari, aku tidak akan pernah bisa jatuh cinta pada perempuan. Jadi untuk apa menikah, jika aku tidak bisa mencintai istri ku.
Orantua ku sendiri juga bukan orang yang fanatik akan hal tersebut. Mereka memberikan aku kebebasan sepenuhnya untuk menentukan pilihan hidup ku sendiri, meski mereka tidak pernah tahu, alasan ku yang sebenarnya, kenapa aku belum menikah hingga saat ini.
Aku sebenarnya sangat menikmati kesendirian ku. Menikmati indahnya kebebasan. Walau kadang, rasa sepi lebih sering menyiksa ku.
Menjadi seorang gay, bukanlah pilihan. Tapi menjalaninya adalah pilihan yang sulit. Menjadi berbeda di depan orang-orang, berpura-pura seperti laki-laki normal lainnya. Itu bukanlah hal yang mudah. Karena itulah, aku lebih sering memilih untuk menghabiskan waktu ku sendirian.
Aku lebih aktif di dunia maya, dari pada di dunia nyata. Aku lebih punya banyak teman di media sosial, dari pada di kehidupan ku sehari-hari. Di dunia nyata, teman-teman ku hanyalah teman-teman kantor. Aku tak punya teman untuk nongkrong, atau sekedar untuk berbagi cerita.
Kesepian kadang sering menyiksa ku. Tapi... aku sudah terbiasa dengan dengan semua itu.
****
Hari-hari kembali berlalu. Masih dengan kesendirianku. Dan sudah lebih dari lima bulan, aku tak mendapat kabar apa pun dari Arif. Sepertinya ia sudah bisa melupakanku.
"apa kabar bang Bas?" tanya Reiki, seorang pedagang roti bakar, yang biasa berjualan di simpang jalan masuk arah apartemen tempat aku tinggal.
Aku kenal Reiki sudah cukup lama. Setidaknya sejak aku mulai berlangganan roti bakarnya. Biasanya sepulang kerja, aku selalu singgah di tempatnya, untuk membeli roti bakar padanya.
"sudah lama sekali bang Bas gak singgah disini.." Reiki berucap lagi, melihat keterdiaman ku. Akhir-akhir ini, aku memang jarang sekali mampir di tempat Reiki. Entah mengapa, sejak hubunganku dengan Arif berakhir, aku jadi kurang punya selera makan.
"sibuk ya, bang?" Reiki bertanya lagi, seakan berusaha menyadarkan ku, kalau ia sedang berbicara dengan ku.
"ah.. gak juga, Ki..." balasku akhirnya.
"lagi diet ya, bang?" Reiki bertanya kembali, berbasa-basi, mencoba berkelakar. Reiki emang orangya sedikit humoris, dan hal itu yang kadang membuat aku betah berlama-lama di dekatnya.
"ah.. kamu bisa aja, Ki." ucapku pelan, "saya pesan satu ya, seperti biasa.." lanjutku mencoba mengalihkan pembicaraan. Karena aku memang tidak ingin menjelaskan apa-apa pada Reiki saat ini.
"oke, bang.. di tunggu ya.." ucap Reiki kemudian.
Aku pun duduk di kursi yang memang sudah Reiki sediakan untuk para pelanggannya, hanya berjarak satu meter dari gerobaknya.
"jadi gimana kabar pacarnya, bang?" tanya Reiki sambil ia mengolah roti yang aku pesan. Saat itu memang hanya ada kami berdua di sana.
"pacar? pacar yang mana?" tanya ku dengan nada heran.
"yang biasa pulang bersama bang Bas itu, yang sering datang ke tempat bang Bas juga.." jelas Reiki, "kalian pacaran, kan?" lanjutnya bertanya.
"kenapa kamu berpikir kalau kami pacaran?" tanyaku membalas.
"karena saya juga punya pacar cowok, bang. Jadi mungkin karena kita sama-sama gay, saya bisa menebaknya." jelas Reiki sangat terbuka.
Untuk sesaat aku hanya terdiam. Sulit rasanya untuk mempercayai semua ucapan Reiki barusan. Kenapa ia tiba-tiba menjadi begitu terbuka padaku, padahal kami tidak terlalu dekat.
"selain itu, mas Arif, pacar bang Bas itu, juga pernah mampir disini, saat bang Bas gak ada di apartemen, katanya ia mau menunggu bang Bas pulang disini. Jadi kami juga sempat ngobrol, dan sepertinya, bang Bas adalah orang yang penting baginya." Reiki menjelaskan lagi, yang membuat ku semakin terdiam.
"Arif cerita apa aja sama kamu?" tanyaku akhirnya, penasaran.
"gak banyak sih, dia juga gak ngaku kok, kalau kalian pacaran, tapi dari cara dia menyebut nama bang Bas, sepertinya dia sangat menyayangi bang Bas.." Reiki menjelaskan lagi.
"kamu sendiri gimana?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan lagi. "bagaimana hubunganmu dengan pacar cowok mu itu? Bukankah kamu sendiri sudah menikah?" lanjutku terus bertanya.
"yah.. hubungan kami sih, baik-baik saja. Aku beruntung punya pacar seperti dia. Orangnya sangat pengertian. Ia bisa menerima, meski pun aku sudah menikah. Yang penting, kami masih punya waktu untuk bertemu." jelas Reiki.
"tapi bukankah itu gak adil bagi dia?" tanya ku berpendapat.
"bukankah cinta memang tidak adil, bang? Hanya saja kita harus bisa menurunkan ego kita, demi kebahagiaan orang yang kita cintai, dan demi kebahagiaan kita sendiri." balas Reiki.
"pasti waktu kalian tidak banyak untuk bisa bersama.." ucapku lagi.
"kebahagiaan tidak bisa di ukur dengan waktu, bang. Sesingkat apa pun kebersamaan kita, yang paling penting itu, kita tetap saling menyayangi. Karena pada kenyataannya, hubungan dua orang lelaki, memang tidak mungkin bisa utuh. Jadi meski pun, waktu kami singkat, kami tetap bahagia dengan cinta kami." jelas Reiki lagi.
"bahkan saat ini, pacar cowok ku itu sudah bertunangan. Dan aku berusaha untuk ikhlas menerima hal tersebut. Cinta memang tidak boleh egois... Kenyataannya kami memang tidak bisa menikah, tapi kami masih bisa bersama, meski kami harus berbagi waktu dengan pasangan kami masing-masing." Reiki kembali berucap, dengan nada penuh keyakinan.
"lalu apa kamu bahagia dengan hubungan seperti itu?" tanyaku semakin penasaran.
"aku bahagia, pacarku juga. Kami saling menyayangi dan saling mengerti." balas Reiki yakin.
****
"aku minta maaf.." ucapku bergetar, setelah lebih dari lima bulan, aku tidak berbicara dengan Arif, aku merasa sedikit kaku.
"aku yang seharusnya minta maaf, Bas." balas Arif pelan.
"apa aku masih punya kesempatan?" tanyaku lagi.
"maksud kamu?" Arif balik bertanya.
"mungkin aku salah, Rif. Aku terlalu egois. Aku pikir, aku bisa hidup tanpa kamu. Tapi nyatanya, aku selalu merasa kesepian. Jadi aku berharap, kita bisa bersama-sama lagi." ucapku.
"kamu yakin?" tanya Arif, "meski pun aku sudah menikah?" lanjutnya.
"iya.. aku yakin, Rif. Aku tak masalah, jika kamu sudah menikah sekali pun, asalkan kamu masih punya waktu untuk ku." balasku.
"kamu serius, Bas?" tanya Arif dengan nada ragunya.
"iya.. aku serius." balasku, "tapi aku juga punya permintaan untuk kamu.." lanjutku.
"apa?" tanya Arif.
"aku ingin kita bersama lagi, meski pun tidak harus setiap waktu. Yang penting kita tetap saling menyayangi. Dan satu hal lagi, nanti jika aku juga memutuskan untuk menikah, aku harap kamu juga bisa ikhlas menerima hal tersebut." jelasku hati-hati.
"aku pasti ikhlas, Bas. Asalkan kamu masih punya waktu untuk ku. Asalkan kamu tidak melupakan dan meninggalkan ku." balas Arif penuh perasaan.
"iya, Rif. Aku gak akan pernah bisa melupakan kamu, apa lagi meninggalkan kamu. Aku sayang kamu, Rif. Selalu dan selamanya..." bisik ku pelan.
"aku juga sangat menyayangi kamu, Bas. Sampai kapan pun, dan apa pun keadaannya.." balas Arif ikut berbisik.
Dan begitulah, aku dan Arif kembali menjalin hubungan. Meski pun semuanya tak lagi sama. Tapi keindahan dari cinta yang rasakan, masih tetap sama. Selalu saja indah.
Cinta yang berbalas cinta, memang merupakan hal terindah dalam hidup ini. Dan aku menyadari, bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini, demikian juga cinta kami. Tapi yang paling penting dari semua itu adalah, kabahagiaan.
Cinta karena cinta, bukan karena alasan lain. Dan tak perlu alasan apa pun lagi bagi ku, untuk tetap menicintai Arif. Seutuhnya.
******
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih