Dua tahun aku menjalani kehidupan yang penuh dengan kebohongan. Pura-pura bahagia, pura-pura baik-baik saja. Dan ternyata hal itu gak mudah.
Aku mencoba menjalankan peran ku sebagai seorang lak-laki, menjadi seorang suami, hingga akhirnya aku pun memiliki seorang anak. Kehadiran anak pertama kami, sebenarnya cukup membuat aku bahagia. Tapi semua kebahagiaan itu rasanya semu. Aku gak benar-benar menjadi diri ku sendiri.
Dua tahun, aku berusaha melupakan Juna. Melupakan kenangan indah yang pernah kami lewati berdua. Namun rasanya hal itu sungguh melelahkan ku. Karena setiap kali aku berusaha untuk menghapus bayangan Juna di benak ku, justru bayangan itu semakin menghantui ku.
Aku gak benar-benar bisa melupakan Juna. Aku gak pernah bisa melupakannya. Perasaan ku kepada Juna masih saja sama. Aku masih sangat merindukannya. Tidak ada yang bisa menggantikan sosoknya di hati ku. Juna terlalu indah untuk dilupakan.
Hingga akhirnya aku merasa tidak tahan sendiri. Aku lelah harus menipu diri ku setiap hari.
Karena itu, aku pun memutuskan untuk meninggalkan istri dan anak ku. Meninggalkan kedua orangtua ku dan juga semua keluarga besar ku. Aku meninggalkan pekerjaan ku, dan meninggalkan kampung halaman ku. Aku pergi. Dan itu bukanlah keputusan yang mudah bagi ku.
Aku pergi untuk menemui Juna di kota. Tapi ternyata Juna sudah lulus kuliah, dan dia sudah kembali ke kampung halamannya.
Aku pun nekat untuk menemui Juna di kampung halamannya.
"untuk apa lagi bang Hakim mencari saya? Bukankah kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi?" tanya Juna, saat akhirnya aku berhasil menemuinya di kampung halamannya.
"aku kangen kamu, Jun. Aku gak bisa hidup tanpa kamu. Hidupku berantakan, Jun. Aku ingin kita kembali lagi seperti dulu. Aku sudah memutuskan untuk menceraikan istri ku dan meninggalkan anak ku, demi untuk bisa hidup bersama kamu.." ucapku apa adanya.
"tapi aku gak bisa lagi, bang. Bang Hakim udah terlambat." balas Juna pelan.
"kenapa?" tanyaku penasaran.
"karena... karena saat ini aku sudah bertunangan, bang. Ibu ku memaksa ku untuk segera menikah. Dan aku gak punya alasan untuk menolak. Jadi lebih baik, abang pulang saja." balas Juna.
"aku gak akan pernah kembali lagi pada istri ku, Jun. Aku gak mau lagi hidup dalam kemunafikan. Aku capek, Jun. Aku hanya ingin menghabiskan sisa hidupku bersama kamu, Jun. Jadi aku mohon, beri aku kesempatan lagi ya..." ucapku sedikit menghiba.
"aku bukannya gak mau, bang. Tapi aku butuh waktu. Ini gak mudah bagi ku. Selain karena aku sudah bertunangan, tidak mudah juga bagiku, untuk menerima kehadiran bang Hakim kembali, setelah lebih dari dua tahun kita berpisah, bang." jelas Juna terdengar lirih.
"aku minta maaf, Jun. Aku minta maaf untuk waktu dua tahun yang berlalu dengan sia-sia. Aku sungguh menyesali semua itu. Andai aku bisa memutar waktu kembali, aku tak ingin semua itu terjadi.." suaraku terdengar parau, hati ku pilu.
"abang gak perlu minta maaf. Semuanya sudah berlalu, bang. Namun saat ini, aku benar-benar gak bisa kembali lagi sama bang Hakim." ucap Juna lagi.
"apa kamu sudah gak mencintai saya lagi?" tanyaku tanpa sadar.
"seperti yang pernah saya katakan, bang. Bang Hakim adalah cinta terindah dalam hidup saya. Sampai kapan pun, aku akan tetap mencintai bang Hakim. Tapi aku harus realistis, bang. Aku harus menerima kenyataan, kalau cinta ku pada bang Hakim tidak akan pernah abadi. Takdir tidak pernah mendukung cinta kita, bang." balas Juna penuh perasaan.
"tapi aku disini sekarang, Jun. Aku siap memulai semuanya lagi dari awal.." ucapku.
"sesuatu yang pernah terputus, sekali pun bisa disambung, rasanya tidak akan pernah sama lagi, bang. Dan lagi pula, akan dibawa kemana hubungan kita, bang? Tidak akan ada orang yang akan merestui hubungan kita." balas Juna.
"kita bisa pergi dari sini, Jun. Kita tinggalkan semuanya. Kita mulai hidup baru, di suatu tempat. Dimana tidak ada seorang pun yang akan mengenal kita.." ucapku penuh keyakinan.
"aku butuh waktu, bang. Aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini..." balas Juna.
"aku juga tidak akan memaksa kamu, Jun. Aku akan tetap setia menunggu kamu. Jika kamu sudah punya keputusan, kamu tahu bagaimana cara menghubungi ku, kan?" ucapku akhirnya.
Setelah berkata demikian, aku pun pamit. Dan meninggalkan Juna yang masih terlihat penuh dilema.
****
Hari-hari pun berlalu, tanpa kabar apa pun dari Juna. Sudah hampir sebulan, aku menanti kepastian dari Juna. Namun kabar yang aku dapat, justru di luar dugaan ku.
"Arjuna koma, Kim. Kamu harus segera kesini.." begitu pesan yang aku dapat dari ibunya Juna.
Dengan perasaan yang tak karuan, aku pun segera menuju kampung halaman Juna. Ibu Juna tidak menjelaskan dengan pasti, apa yang membuat Juna koma, dan aku tidak berani bertanya lebih lanjut.
Sesampai di rumah sakit tempat Juna di rawat, aku disambut oleh ibunya Juna dengan isak tangisnya.
"Juna kenapa, buk?" tanya ku penuh haru.
"sebenarnya sudah lama Juna menderita kanker otak, Kim. Sudah berbagai cara kami lakukan, untuk bisa menyembuhkannya, Tapi sepertinya kanker itu sudah lama bersarang di otak Juna, hingga dokter pun menyerah. Kini... kami hanya bisa pasrah.." jelas ibu Juna masih dalam isak tangisnya.
Dan beberapa saat kemudian, dokter pun datang, dan mengabari bahwa Juna sudah tidak bisa terselamatkan. Juna telah tiada. Juna telah pergi untuk selama-lamanya. Dan aku belum bisa menerima kenyataan itu. Aku masih merasa bagai bermimpi.
Jeritan tangis ibu Juna dan keluarganya, menghiasi suasana rumah sakit sore itu. Sementara aku, berusaha sekuat mungkin untuk menahan air mata ku. Hatiku begitu perih. Sakit sekali rasanya.
Aku belum bisa kehilangan Juna. Apa lagi harus kehilangan dia selama-lamanya. Rasanya begitu sakit. Aku gak kuat lagi. Aku berlari sejauh-jauhnya, menghindari keramaian. Aku ingin berteriak. Aku ingin menjerit. Melepaskan semua kepedihan ku.
Tiba-tiba aku merasa menyesal. Aku menyesal pernah mengenal Juna. Andai aku bisa memutar waktu kembali, sungguh aku tak ingin mengenalnya. Mengapa kami harus bertemu, yang membuat aku jatuh cinta padanya. Dan sekarang dia pergi untuk selama-lamanya.
Hidupku yang mulanya terasa hancur, sekarang terasa semakin hancur. Aku benar-benar kehilangan semangat. Mengapa Juna tidak pernah cerita tentang penyakitnya padaku? Mengapa ia menyembunyikannya dari ku?
****
Keesokan harinya, setelah pemakaman, ibunya Juna memberikan selembar surat padaku. Surat itu tersimpan rapi di dalam sebuah amplop putih.
"saya gak tahu isinya apa, tapi Juna pernah berpesan, agar saya bisa memberikan surat ini padamu, kalau ia sudah tiada." begitu ucap ibunya, saat ia menyerahkan surat tersebut.
Dengan perasaan yang tak karuan, aku pun mencoba membuka surat itu, dan membaca dengan perlahan.
Teruntuk Bang Hakim..
Terima kasih sudah menciptakan sebuah kisah yang begitu indah dalam perjalanan hidup ku. Terima kasih sudah memberikan aku kesempatan untuk bisa merasakan hidup bersama orang yang aku cintai.
Maafkan aku karena tidak pernah jujur pada bang Hakim.
Mungkin aku terlalu mencintai bang Hakim, hingga aku gak ingin bang Hakim tahu, tentang penyakitku. Aku tak ingin bang Hakim merasa kasihan padaku.
Aku mengetahui kalau aku sakit, sudah sejak lama, bahkan jauh sebelum kita saling kenal. Itulah mengapa, awalnya aku berusaha menolak kehadiran bang Hakim.
Namun kemudian aku sadar, kalau aku sangat mencintai bang Hakim, karena itu aku pun mencoba menjalin hubungan bersama bang Hakim. Berharap... Tuhan masih memberikan aku waktu, untuk bisa menikmati kebahagiaan ku.
Dan saat bang Hakim memutuskan untuk menikah, aku sebenarnya tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu. Jujur, aku kecewa, karena bang Hakim akhirnya menikah. Tapi aku juga bahagia, setidaknya aku tahu, kalau bang Hakim sudah bahagia, meski bukan dengan ku.
Namun saat bang Hakim kembali lagi, dan mengatakan kalau bang Hakim sudah menceraikan istri abang, aku merasa sangat kecewa. Aku tahu, waktu ku sudah tidak lama lagi. Tapi justru abang menawarkan aku sesuatu yang tidak mungkin bisa aku jalani.
Aku berbohong, tentang aku yang sudah bertunangan, hanya agar abang tidak mengharapkan aku lagi.
Aku hanya ingin abang pergi dari hidupku, agar aku bisa pergi dengan tenang.
Maafkan aku, bang. Maafkan aku untuk semuanya..
Dan terima kasih, untuk cinta abang yang begitu besar. Semoga abang selalu bahagia..
Dari orang yang selalu mencintai mu, Juna.
Aku meremas surat itu, air mata ku sudah mengalir dari tadi. Hati ku semakin perih.
Maafkan aku, Juna... bisik ku tak terdengar siapa-siapa.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih