Pagi itu, selesai mandi dan sarapan, aku dan pak Imam pun berangkat ke kota. Dengan menggunakan mobil Fortuner mewah milik pak Imam. Aku duduk di samping pak Imam dengan perasaan yang tak karuan.
"mas Thoriq udah berapa anaknya?" tanya pak Imam, entah ia hanya sekedar berbasa-basi atau memang benar-benar ingin tahu.
"udah tiga, pak.." balas ku sopan.
Pak Imam melirik ku sekilas, kemudian ia fokus kembali menatap jalanan yang masih lumayan sepi pagi itu.
"mas Thoriq gak usah panggil saya pak lah.. emangnya saya udah setua itu ya?" ucap pak Imam kemudian.
"tapi kan pak Imam atasan saya, rasanya kurang sopan kalau hanya panggil nama saja, meski pun saya tahu, pak Imam lebih muda dari saya." balasku apa adanya.
"iya... tapi kalau lagi kayak gini gak usah panggil pak, panggil Imam aja. Mas Thoriq santai aja, saya lebih suka kalau mas Thoriq manggil saya dengan sebutan nama aja. Kecuali kalau lagi di tempat kerja." ucap pak Imam selanjutnya.
Terus terang saya masih bertanya-tanya, kenapa sikap pak Imam tiba-tiba berubah baik padaku. Padahal sebelumnya, ia selalu berkata kasar, dan seakan menganggap aku gak pernah ada.
"maaf ya mas Thoriq, kalau selama ini, saya memperlakukan mas Thoriq dengan kurang baik." pak Imam berucap lagi, "sebenarnya itu semua saya lakukan hanya untuk menarik perhatian mas Thoriq padaku.." lanjutnya dengan nada tertahan.
"maksudnya, pak eh.. Mam?" tanyaku merasa ingin tahu. Terus terang aku masih merasa asing memanggil pak Imam, hanya dengan menyebut namanya saja.
Pak Imam hanya tersenyum, sambil menatap ke arah ku sekilas, "nanti juga mas Thoriq tahu.." ucapnya berlagak misterius.
Aku berusaha untuk tidak menanggapi ucapan pak Imam barusan. Tapi jujur saja, aku juga jadi penasaran sebenarnya. Kenapa pak Imam harus segitunya hanya untuk menarik perhatian ku? Apa aku sebegitu pentingnya, hingga pak Imam ingin sekali mendapat perhatian dari ku?
Dari sudut mata ku, aku mencoba memperhatikan pak Imam diam-diam. Mencoba menerka apa yang ada dalam pikirannya saat ini.
Secara fisik, sebagai laki-laki, Imam memang sosok yang cukup menarik. Wajahnya tampan, hidungnya mancung, dan ada belahan tipis di tengah-tengah dagunya. Postur tubuhnya sedikit tambun, tapi bukan gemuk, lebih gempal aja. Dia juga kelihatan sedikit berotot.
"oh, ya, mas Thoriq. Kemungkinan malam ini kita gak pulang ke perumahan dulu, kita nginap di hotel dulu malam ini, karena pagi-pagi besok saya ada meeting sama bos sebentar.." Imam berucap, setelah untuk beberapa menit kami hanya saling terdiam.
"iya.. gak apa-apa, Mam. Selama hitungan hari kerja saya tidak dikurangi.." balasku lebih terdengar pasrah.
"kalau soal itu mas Thoriq aja, selama mas Thoriq mau menemani saya, itu sudah dihitung sebagai hari kerja mas Thoriq." jelas Imam kemudian.
Untuk beberapa saat, suasana kembali hening. Tiba-tiba pikiran saya melayang mengingat kejadian tadi malam bersama Agri. Dan hal itu sedikit membuat saya merasa khawatir, gimana kalau nanti malam Agri datang mencari saya ke perumahan? Pikirku tiba-tiba.
Ah, sudahlah. Toh, aku juga tidak menjanjikan apa-apa pada Agri. Kejadian semalam hanyalah sebuah kesalahan. Belum tentu juga Agri, akan ingin mengulanginya lagi.
"jadi Imam belum menikah?" tanyaku tiba-tiba memberanikan diri, sekedar untuk mengalihkan pikiran ku tentang Agri.
"belum, mas." jawab Imam terdengar santai.
"kenapa?" tanyaku kemudian.
"yah.. memang belum kepikiran aja, sih. Masih terlalu asyik menikmati masa lajang saya.." balas Imam, masih terdengar santai.
"tapi bukannya Imam sudah kepala tiga ya?" tanyaku lagi.
"iya, sih. Tapi ini bukan hanya soal umur, mas. Lebih kepada soal selera, sih." balas Imam lagi.
Kami pun kembali terdiam, sementara perjalanan kami sudah mulai memasuki keramaian kota. Imam pun semakin fokus menyetir mobilnya. Hingga beberapa saat kemudian, kami pun sampai ke toko bangunan langgannnya.
*****
Setelah memesan beberapa bahan bangunan, dan meminta pihak toko untuk mengantarnya langsung ke perumahan tempat kami bekerja. Aku dan Imam pun segera meninggalkan toko bangunan yang cukup besar tersebut.
"kita makan siang dulu ya, mas Thoriq.." ucap Imam, sambil mulai menghidupkan mesin mobilnya kembali.
Tak lama kemudian, kami pun sampai ke sebuah rumah makan yang cukup besar dan ramai. Sebagai seorang kuli, aku bahkan belum pernah makan di rumah makan sebesar ini sebelumnya.
Sehabis makan siang, Imam pun kembali memacu mobilnya menuju sebuah hotel, yang berada di tengah-tengah kota tersebut.
"kita istirahat di sini dulu, mas Thoriq. Nanti sore kita bisa jalan-jalan sebentar, dan malam nya kita bisa kembali lagi ke hotel." jelas Imam, saat kami sudah mulai memasuki lobi hotel tersebut.
Aku tidak banyak berkomentar tentang semua rencana Imam hari itu. Toh, aku juga tidak bisa membantah setiap tindakannya. Aku hanya bisa mengikutinya, tanpa bisa protes sedikit pun. Lagi pula, hal itu juga tidak merugikan saya.
Dan akhirnya kami pun masuk ke dalam sebuah kamar hotel yang terbilang cukup mewah. Seumur-umur, baru kali ini aku masuk ke dalam kamar hotel semewah ini. Biasanya aku hanya bisa mengagumi kemegahan gedungnya dari kejauhan.
"terima kasih ya, mas Thoriq. Sudah mau menemani saya.." ucap Imam, sambil ia merebahkan tubuhnya di ranjang hotel yang empuk tersebut.
Kamar hotel itu memang sangat luas. Meski ranjangnya cuma satu, tapi ranjang cukup luas untuk kami berdua. Terdapat televisi layar datar di bagian atas dindingnya. Di sudut ruangan ada kursi tamu dan juga dua buah lemari pakaian. Dan di sudut lain, ada kamar mandi yang cukup luas dan terkesan mewah.
Suasana di dalam kamar tersebut, benar-benar membuat aku merasa nyaman. Hal itu juga kembali mengingatkan ku akan kejadian tadi malam di kamar Agri. Suasana kamarnya hampir sama. Sama-sama membuat aku merasa betah.
"mas Thoriq gak merasa kesepian, kalau berpisah jauh dari istri sekian lama?" tiba-tiba Imam bertanya demikian.
Sekilas aku melirik Imam, yang sudah terbaring di samping ku. Ia hanya memakai baju kaos oblong, dan celana pendek.
"yah.. pasti kesepian lah, Mam. Tapi mau gimana lagi, ini udah resiko dari pekerjaan saya.." balasku pelan.
"saya mau jujur sama mas Thoriq.." ucap Imam kemudian.
"jujur tentang apa?" tanya ku penasaran.
"sebenarnya saya... saya.. suka sama mas Thoriq. Itulah kenapa, saya ingin sekali menarik perhatian mas Thoriq, meski dengan cara salah sebenarnya.." ucap Imam dengan nada suara sedikit terbata.
Dan untuk kesekian kalinya, aku dibuat kaget oleh Imam. Mulai dari sikapnya yang tiba-tiba menjadi lembut, dan sekarang ia mengaku kalau ia menyukai ku.
"mas Thoriq mau gak, kalau selama kita mengerjakan proyek ini, kita menjalin hubungan. Yah... itung-itung untuk sekedar mengisi kesepian mas Thoriq, selama mas Thoriq jauh dari istri.." Imam berucap lagi, melihat keterdiaman ku.
"tapi.. saya..." ucapku terputus.
"iya.. saya tahu, mas Thoriq laki-laki normal. Tapi gak ada salahnya juga gak kan, mencoba sesuatu yang baru. Lagi pula kalau mas Thoriq menolak, saya tidak bisa menjamin, kalau mas Thoriq akan bisa bekerja lebih lama lagi bersama saya.." ucap Imam, dengan sedikit ancaman.
Sebenarnya bukan ancaman itu yang membuat aku merasa takut untuk menolak tawaran Imam. Gak ada salahnya juga aku menerima tawaran tersebut. Toh, aku juga sudah terlanjur melakukan hal tersebut bersama Agri. Tapi justru karena hal itu lah, aku jadi semakin merasa bersalah.
Ku kira Agri adalah kesalahan terakhir ku. Tapi ternyata masih ada satu lagi laki-laki yang coba mendapatkan ku. Dan ia mandor ku sendiri. Tentu saja aku tidak punya alasana untuk menolaknya.
"mas Thoriq tenang aja. Selama mas Thoriq mau mengikuti keinginan ku, mas Thoriq gak perlu kerja terlalu keras lagi. Mas Thoriq cukup menemani saya aja, jika saya ke kota. Dan nanti, jika proyek ini selesai, hubungan kita juga akan selesai. Saya juga gak mau mengganggu rumah tangga mas Thoriq." Imam kembali berucap, sementara aku masih saja terdiam.
"terserah kamu aja, Mam. Saya juga tidak punya pilihan lain, kan. Lagi pula seperti kata mu tadi, itung-itung untuk menghilangkan rasa kesepian ku, karena jauh dari istri.." ucapku akhirnya.
Dan siang itu, untuk kedua kalinya, aku pun mengkhianati istri ku. Masih dengan orang yang salah, meski orangnya berbeda.
Sekali lagi, aku pun mengkhiantai kodrat ku sebagai seorang laki-laki.
Separah inikah diriku? Apa ini masih bisa dikatakan, karena aku jauh dari istri ku? Atau kah aku sebenarnya mulai menikmati hal ini?
Berbagai pertanyaan terus menghantui pikiran ku. Sementara Imam pun mulai melakukan aksinya. Ia seakan menemukan setetes air di tengah gurun gersang. Dan aku semakin tak mampu menolak permainannya. Ternyata Imam jauh lebih berpengalaman dari pada Agri.
****
Sesuai rencana, sore itu, Imam pun mengajak aku berjalan-jalan, sekedar keliling-keliling kota, nonton di bioskop berdua, dan makan di kafe mewah. Untuk sesaat aku pun terlena dengan segala kemewahan tersebut.
Saat malam mulai menjelang kembali, Imam mengajak aku untuk kembali ke hotel. Aku pun sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi di hotel malam ini bersama Imam. Tapi aku tak berniat untuk menolaknya. Aku sudah terlanjur masuk ke dalam lumpur penuh dosa tersebut. Dan sekarang belum saatnya untuk membersihkan diri.
Aku tak bisa menolak ajakan Imam. Bukan karena aku menginginkannya. Tapi terlebih karena kebutuhan. Toh, aku juga tidak di rugikan dalam hal ini. Jadi lebih baik aku menjalani dan menikmati saja semua ini. Meski semua ini, sangat bertentangan dengan nurani ku.
Ke esokan paginya, sehabis mandi dan sarapan. Imam mengajak ku untuk menemui bos nya, di sebuah kawasan perkantoran yang elit di kota tersebut.
Imam masuk ke dalam gedung perkantoran itu sendirian. Sementara aku di mintanya untuk menunggunya di kantin, yang berada di belakang gedung tersebut.
Setelah menemui bos nya, selama lebih kurang dua jam, kami pun kembali menuju ke perumahan tempat aku bekerja. Selama perjalanan, aku lebih banyak diam.
Entah apa yang ada dalam pikiran ku saat ini. Ada rasa bersalah, ada penyesalan, tapi aku juga merasa lega.
Aku tak pernah menyangka akan bertemu dua laki-laki yang ternyata menyukai ku. Mereka memanfaatkan rasa kesepian ku, dan aku memanfaatkan mereka untuk meluahkan segala kesepianku.
Begitulah kehidupan yang aku jalani selama hampir empat bulan aku bekerja di proyek perumahan tersebut.
Kadang-kadang Agri datang menjemputku dan mengajak ku ke rumahnya, lalu kami akan melakukan hal tersebut. Di lain waktu, Imam juga sering mengajak ku untuk menemaninya ke kota, dan kami akan menyempatkan diri untuk menginap satu malam di hotel, dan kami akan melakukan hal itu lagi.
Hal itu terus terjadi selama aku bekerja di sana. Meski pun setiap kali selesai melakukan hal tersebut, baik bersama Agri atau pun Imam, aku selalu merasa bersalah. Tapi aku juga tidak bisa memungkuri, jika aku juga menikmati hal tersebut. Ada kelegaan tersendiri, saat aku berhasil menumpahkan semuanya.
Aku tahu, apa yang aku lakukan bersama Agri dan Imam, adalah sebuah kesalahan. Aku telah mengkhianati istri ku. Aku telah menodai pernikahan kami. Aku juga telah mengkhianati kodrat ku sebagai seorang laki-laki. Tapi aku juga tidak bisa berbuat banyak.
Rasa kesepian ku karena jauh dari istri, telah membuat ku harus melakukan hal tersebut. Walau aku sadar, itu bukan alasan yang tepat, untuk aku melakukan hal tersebut. Tapi.... aku hanya manusia biasa. Aku bukan malaikat. Aku hanya seorang pendosa yang sedang terombang-ambing kodrat Tuhan.
Yah.. begitulah diriku saat ini.
*****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih