Langsung ke konten utama

Adsense

Gara-gara bos ku (Diajak karaokean sama pak bos)

Nama ku Jefri. Saat ini aku sudah berusia 24 tahun. Aku baru saja lulus kuliah.

Saat ini aku sedang bekerja di sebuah toko percetakan. Bukan sebuah pekerjaan yang aku inginkan sih sebenarnya. Tapi sudah berkali-kali aku mencoba melamar pekerjaan di berbagai tempat, namun tidak ada satu pun lamaran ku yang di terima.

Sudah hampir lima bulan aku bekerja di toko percetakan ini. Sebuah toko percetakan yang tidak terlalu besar. Hanya ada tiga orang pekerja yang bekerja disini. Pemiliknya adalah seorang laki-laki yang aku perkirakan sudah berusia 35 tahun lebih.

Namanya pak Brata. Dan setahu ku, dia belum menikah. Bahkan dia masih tinggal sendirian di ruko yang sekaligus merupakan tempat usaha percetakannya ini.

Aku sendiri tinggal di sebuah tempat kost yang berada tidak telalu dari toko tempat aku bekerja tersebut.

Sebenarnya itu adalah tempat kost saat aku masih kuliah dulu. Dan karena aku masih memutuskan untuk tetap tinggal di kota ini, sembari aku mencari pekerjaan, maka aku memilih untuk tetap tinggal di kost tersebut. Selain karena murah, aku juga sudah cukup kenal dengan pemilik kost tersebut.

Pak Brata, bos ku tersebut, adalah seorang yang cukup ramah dan selalu baik kepada para pekerjanya. Dia juga termasuk orang yang humoris. Secara fisik, pak Brata juga terlihat cukup menarik. Wajahnya tampan, dan postur tubuhnya cukup atletis.

Hal itu justru membuat aku jadi sering bertanya-tanya sendiri, kenapa pak Brata belum menikah? Padahal usianya sudah cukup matang, kehidupannya secara ekonomi juga sudah cukup mapan, di tambah lagi ia juga memiliki wajah yang tampan.

Aku yakin, pasti banyak wanita di luar sana yang suka sama pak Brata. Tapi entah mengapa ia masih tetap bertahan dengan status jomblo nya.

Tapi begitulah, pak Brata yang aku kenal. Ia terlihat nyaman dengan kesendiriannya. Kami para pekerja nya tidak pernah berani mempertanyakan hal tersebut.

*****

"nanti malam kamu ada acara gak?" tanya pak Brata padaku, suatu sore, beberapa saat sebelum aku pulang. Sementara kedua rekan kerja ku sudah pulang duluan.

Kami memang hanya bekerja pada siang hari, yakni dari jam tujuh pagi sampai jam lima sore. Itu pun kalau hari minggu kami juga libur.

"sepertinya gak ada, pak.." balasku jujur.

"nanti malam kan malam minggu, kita karaokean yuks.." ajak pak Brata kemudian, yang membuat aku jadi sedikit bingung.

Belum pernah sebelumnya pak Brata mengajak aku seperti itu. Meski pun sebenanya kami sudah cukup dekat, apa lagi hampir setiap hari aku dan pak Brata selalu bertemu di tempat kerja.

"gimana?" tanya pak Brata lagi, yang membuat aku jadi sedikit kaget.

"tapi aku gak bisa nyanyi, pak." balasku apa adanya.

Aku memang pernah beberapa kali karaokean bersama teman-teman kampus ku dulu. Tapi aku jarang bernyanyi. Aku suka mendengarkan musik. Tapi aku tidak bisa bernyanyi. Suara ku benar-benar tidak mendukung.

"karaoke bukan berarti kita harus bisa nyanyi, loh." ucap pak Brata, "kalau kita bisa nyanyi ngapain karaoke, mending jadi penyanyi aja sekalian. Kita kan karaoke hanya untuk hiburan semata. Tak peduli suara kita bagus atau tidak, yang penting kita nyanyi aja. Buat hiburan semata. Lagi pula gak di tempat karaoke, gak ada yang dengar kita nyanyi, loh..." lanjutnya panjang lebar.

"kita berdua aja, pak?" tanya ku akhirnya.

"iya.. kita berdua aja.. gak masalah, kan?" balas pak Brata sedikit bertanya.

"aku sih gak masalah, pak. Tapi ... ya itu tadi.. suara ku falls, kalau nyanyi.." jelasku.

"suara ku juga baling, loh. Dan itu gak penting. Yang penting itu, kamu mau gak?" balas pak Brata lagi.

"yah... terserah bapak aja.. saya ikut aja, pak.." jawabku akhirnya.

"ya udah... nanti malam aku jemput kamu ke tempat kost ya.." ucap pak Brata kemudian.

Dan aku hanya bisa mengangguk menyetujui ucapannya barusan.

****

Malam itu, dengan menggunakan mobil Terios miliknya, pak Brata pun menjemputku ke kost. Lalu kami pun langusng menuju salah satu tempat karaoke di kota tersebut.

Sesampai disana, pak Brata langsung memesan sebuah ruangan untuk kami. Ia juga memesan beberapa minuman dan makanan untuk kami.

Sebenarnya aku merasa sungkan harus berkaraokean bersama bos ku sendiri. Apa lagi hanya ada kami berdua. Berada berdua di ruangan tersebut, membuat aku jadi serba salah. Tapi, karena pak Brata terlihat sangat santai, aku pun mencoba menikmati hal tersebut.

"jadi kamu gak punya pacar?" tanya pak Brata di antara jeda lagu yang ia nyanyikan.

"gak, pak." balasku singkat.

"kalau begitu bagaimana kalau aku aja yang jadi pacar kamu?" tanyanya lagi, yang membuat ku jadi sedikit bingung.

"maksudnya, pak?" tanyaku dengan nada heran.

Mulanya aku hanya menganggap ucapan pak Brata tersebut, hanya sekedar bercanda. Apa lagi pak Brata memang suka bercanda orangnya.

"iya.. kita pacaran. Kan kita sama-sama jomblo." ucap pak Brata lagi.

"tapi kita kan sama-sama cowok, pak.." balasku mulai merasa risih.

"emangnya salah ya, kalau cowok pacaran sama cowok?" pak Brata bertanya lagi.

"ya salah lah, pak. Itu kan gak normal namanya. Seharunya kan, cowok itu pacarannya sama cewek bukan sama cowok.." balasku sedikit sengit.

"itu artinya kamu nolak saya?" balas pak Brata.

"ya.. jelaslah saya nolak, pak. Saya kan cowok normal. Bukan homo.." ucapku masih terdengar sengit.

"ya udah.. gak apa-apa. Berarti saya yang salah paham selama ini. Saya pikir, kamu juga suka sama saya. Karena selama ini, saya lihat kamu sering memperhatikan saya.." pak Brata berucap lagi. Ia kembali memutar lagu, yang tadi sempat ia pause sementara.

Untuk selanjutnya pak Brata sibuk menyanyikan beberapa buah lagu. Sementara aku hanya bisa terdiam. Aku menjadi bingung sendiri. Aku hanya tidak menyangka kalau ternyata pak Brata adalah seorang gay.

"padahal kalau kamu mau, aku mau ngajak kamu tinggal di tempat ku. Jadi kamu gak perlu lagi bayar kost setiap bulannya. Gaji kamu juga bakal aku tambah. Lagi pula gak ada ruginya juga loh, buat kamu. Kalau kamu mau jadi pacar ku.."

Tiba-tiba pak Brata berucap lagi, sesaat setelah ia menyanyikan lagu terakhirnya. Tapi aku tidak membalas ucapannya tersebut. Pengakuan pak Brata barusan benar-benar membuat ku merasa syok.

Sepanjang perjalanan dari tempat karaoke sampai ke kost ku, aku hanya diam. Bahkan saat sampai di kost pun, aku tetap tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aku hanya terdiam.

****

Malam itu mata ku enggan terpejam. Aku masih terus memikirkan ucapan-ucapan pak Brata saat di tempat karaoke tadi. Terutama ucapan terakhirnya. Tawarannya untuk mengajak aku tinggal bersamanya dan niatnya untuk menambah gaji ku, cukup membuatku jadi sedikit tergiur.

Selama ini, aku bekerja, gaji ku hanya cukup buat bayar kost dan untuk makan ku sehari-hari. Itu pun aku masih sering kekurangan. Tak jarang aku sering menunggak membayar kost setiap bulannya. Tak jarang pula aku masih sering meminta kiriman uang dari orangtua ku di kampung.

Aku merasa tawaran dari pak Brata cukup menarik. Lagi pula, seperti katanya, aku gak rugi apa-apa, jika memang harus berpacaran dengan pak Brata. Justru aku akan sangat diuntungkan. Setidaknya aku tidak lagi harus memikirkan pembayaran uang kost setiap bulannya. Aku juga pasti akan mendapatkan makan gratis setiap harinya dari pak Brata.

Dan uang gaji ku bisa aku kirimkan ke kampung, untuk membantu orangtua dan adik-adik ku. Atau bisa juga aku tabung, dan aku kumpulkan untuk nantinya bisa aku jadikan modal untuk membuka usaha ku sendiri.

Kalau memang pak Brata menyukai ku, kenapa tidak aku mamfaatkan saja kesempatan itu. Lagi pula, saat ini, aku juga belum punya pacar. Aku juga belum berani mendekati cewek mana pun, mengingat kehidupan ku, yang secara ekonomi, masih berantakan.

Tapi... bagaimana kalau pak Brata menuntut lebih padaku? Bagaimana kalau ia mengajak aku tidur dengannya? Apa aku bisa? Apa aku sanggup menahan rasa jijik ku?

Ah... aku merasa dilema sendiri jadinya.

****

Hari itu, hari senin, seperti biasa, aku sampai ke tempat kerja sebelum jam tujuh. Dan seperti biasa juga, toko tersebut sudah di buka pak Brata sebelum kami para pekerjanya tiba di sana.

"aku pikir kamu gak mau kerja di sini lagi.." ucap pak Brata menyambut kehadiran ku, sementara dua rekan kerja ku belum datang.

"kenapa bapak berpikir seperti itu?" tanya ku sedikit heran, meski aku sudah bisa menduganya.

"karena kejadian malam itu. Aku pikir, kamu akan jijik melihatku, dan tak ingin bertemu dengan ku lagi." balas pak Brata menjelaskan.

"aku gak punya banyak pilihan dalam hidup ini, pak. Terus terang aku butuh pekerjaan ini.." ucapku membalas.

"dan mengenai tawaran bapak malam itu, aku mungkin masih butuh waktu, untuk memikirkannya.." lanjutku kemudian.

"kamu gak usah terlalu memikirkan hal tersebut. Saya senang, kok. Kamu masih mau bekerja dengan saya. Itu sudah cukup buat saya.." balas pak Brata dengan nada berat.

Lalu pembicaraan kami pun terputus, karena kedua rekan kerja ku sudah datang. Kami pun mulai bekerja seperti biasa.

Meski pun kecil, toko percetakan ini, sudah cukup terkenal di kota ini. Toko ini sudah punya banyak pelanggan. Bahkan kami sering mendapatkan orderan yang cukup besar, dari para pejabat di kota ini.

Karena itu, hampir setiap hari, selalu saja ada yang harus kami kerjakan. Selalu saja ada orderan setiap harinya. Pak Brata sendiri, sering bekerja hingga malam. Ia juga sering membuka toko ini, meski pun hari minggu. Tapi ia tidak pernah meminta kami untuk lembur, atau pun harus bekerja di hari minggu.

Hari itu, aku bekerja tidak seperti biasanya. Karena pikiran ku masih terus terganggu oleh ucapan-ucapan pak Brata. Aku jadi kurang fokus. Hingga tanpa aku sadari, salah satu jari ku terjepit mesin percetakan. Dan mengeluarkan darah yang cukup banyak.

Kedua rekan kerja ku dan juga pak Brata segera membantu ku. Lukanya sebenarnya tidak terlalu parah, hanya saja, pak Brata bersikeras, untuk membawa aku ke klinik yang berada di dekat toko tersebut.

Setelah mendapatkan perawatan, dan sudah mulai mendingan, pak Brata meminta aku untuk beristirahat di kamarnya di lantai atas. Dengan perasaan sungkan, aku pun terpaksa memasuki kamar tersebut, dan berbaring di atas kasur empuk milik pak Brata.

Malam itu, pak Brata pun tidak mengizinkan aku untuk pulan ke kost. Ia juga membelikan makan malam. Ia meminta aku untuk tidur di tempat nya malam itu.

"kalau di kost kan kamu sendirian, takutnya nanti kalau terjadi apa-apa sama luka kamu, kamu mau minta tolong sama siapa? Kalau disini, kamu tenang aja, aku akan jaga kamu. Kalau kamu ada perlu apa-apa, kamu ngomong aja langsung.." jelas pak Brata beralasan, saat ia meminta aku untuk tidak pulang malam itu.

Aku pun tidak bisa menolak permintaan tersebut. Sejujurnya, ada benarnya ucapan pak Brata barusan. Kalau di kost nantinya, aku akan merasa sungkan kalau harus minta bantu sama ibu kost, apa lagi sama teman-teman kost lainnya.

Malam itu, pak Brata merawat ku dengan sangat baik. Dia hampir tidak tertidur, hanya untuk memastikan kalau aku baik-baik saja. Sebenarnya aku memang masih merasa sakit, apa lagi saat sudah tengah malam. Tapi aku berusaha tetap terlihat baik-baik saja, karena aku tak ingin membuat pak Brata merasa cemas dengan keadaan ku.

Tapi tetap saja, aku tidak bisa menahan rasa sakit itu. Bahkan aku merasa demam tiba-tiba. Pak Brata pun berusaha membantu ku. Ia memberi aku obat penahan rasa nyeri dan juga obat demam, yang ia beli di apotik tadi.

"biasanya kalau malam memang sakitnya semakin kerasa. Jadi kamu harus minum obat pereda nyeri ini, biar kamu bisa tidur.." ucap pak Brata, sambil ia membantu untuk meminum obat tersebut.

Beberapa saat setelah minum obat tersebut, rasa sakit itu pun mulai berkurang. Perlahan aku pun mulai bisa tertidur. Saat itu sudah hampir jam dua dini hari. Dan aku yakin, pak Brata baru tertidur, setelah memastikan kalau aku memang sudah tertidur.

Segala perhatianya itu, benar-benar membuat aku merasa sangat nyaman. Dan aku seakan menemukan rumah untuk tempat aku berlindung...

****

Kisah lainnya :

Abang penjual pisang (part3)

Abang penjual pisang (part 2)

Abang penjual pisang (part 1)

Abang penjual buah

Paman istri ku (part 4)

Paman istri ku (part 3)

Paman istri ku (part 2)

Paman istri ku (part 1)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google