Seminggu kemudian, di luar dugaan ku, di luar harapan ku, tiba-tiba pakde Rohim muncul di rumah kami. Ia datang sedirian. Saat itu hari minggu. Aku tidak bekerja, sementara istri ku sedang berada di rumah mertua ku.
Sejak menikah dengan istri ku, kami memang sudah pisah rumah dengan mertua ku. Aku sengaja menyewa sebuah rumah kontrakn kecil untuk tempat tinggal keluarga kecil ku. Rumah yang kami sewa itu jaraknya juga tidak terlalu jauh dari rumah mertua ku. Masih satu komplek.
"semakin kamu menghindar dari ku, semakin aku akan penasaran dengan kamu, Antonio. Aku akan tetap berusaha untuk bisa mendapatkan kamu. Meski aku harus mengorbankan banyak hal karenanya..." pakde Rohim berucap, saat ia berhasil duduk di samping ku, di ruang tamu.
"pakde mau apa lagi dari ku? Bukankah waktu itu, pakde hanya minta dua hal padaku? Pakde hanya minta agar aku bisa menjaga rahasia pakde, dan juga agar aku tidak membenci pakde. Aku sudah melakukan kedua hal tersebut. Aku simpan rahasia itu, dan aku tidak membenci pakde karenanya.." balasku berusaha tegas.
"lalu sekarang pakde mau apa lagi dariku?" lanjutku memperjelas pertanyaanku. Aku benar-benar merasa tidak nyaman saat ini. Kehadiran pakde Rohim di rumah kami, membuat aku merasa sedikit risih. Aku takut, kalau tiba-tiba istri ku pulang, dan mengumping pembicaraan kami.
"aku mau kamu, Ton. Aku mau kamu lebih dari sekedar orang yang aku kagumi. Aku hanya ingin merasakan keh4ngatan dari kamu, Ton. Sekali aja... setelah itu terserah kamu. Jika kamu tidak merasa nyaman, kita tidak akan pernah mengulanginya lagi. Tapi jika kamu menginginkan hal itu lagi, aku akan selalu ada untuk kamu, Ton. Kapan pun kamu membutuhkannya.." jelas pakde Rohim kemudian.
"tapi... tapi aku gak bisa pakde... aku ini laki-laki normal. Tidak ada sedikit pun rasa tertarik ku pada seorang laki-laki. Apa lagi pakde adalah paman istri ku. Aku benar-benar tidak bisa melakukan hal tersebut. Membayangkannya saja, aku sudah merasa tidak nyaman.." balasku dengan suara bergetar.
"kamu coba aja dulu, Ton. Satu kali. Nanti kamu pasti akan terbiasa dengan semua itu. Dan aku jamin kamu pasti akan ingin melakukannya lagi.." ucap pakde Rohim terdengar yakin dengan ucapannya sendiri.
"saya sarankan pakde berpikir lebih panjang lagi akan hal ini. Ini bukan hanya soal pakde seorang laki-laki atau bukan, tapi juga soal pakde adalah paman kandung dari istri ku. Kenapa pakde tega dengan ponaan pakde sendiri?" aku membalas, mencoba menyadarkan tindakan pakde Rohim yang sudah di luar batas.
"sudah saya katakan, saya tidak peduli dengan status kamu, Ton. Saya hanya menginginkan kamu. Saya hanya ingin mewujudkan impian saya tentang kamu. Saya sudah tidak sanggup menahan ini semua.." ucap pakde Rohim dengan nada sedikit lirih.
"aku tidak akan pernah berhenti sebelum kamu mau mencobanya satu kali saja dengan ku. Aku akan melakukan apa saja, untuk bisa mewujudkan hal tersebut. Jadi jika kamu ingin aku melepaskan mu, aku mohon, beri aku kesempatan, satu kali saja. Dan aku pastikan kamu tidak akan pernah menyesali hal itu. Percaya padaku.." pakde Rohim berucap lagi.
Kali ini aku terdiam. Berpikir kembali. Sebenarnya aku juga merasa kasihan melihat pakde Rohim seperti itu. Ia sangat berambisi untuk bisa mendapatkan ku. Tapi....
"kalau aku mau mencobanya satu kali, apa pakde mau berjanji, tidak akan mengejarku lagi? Apa pakde mau berjanji, untuk tidak lagi menemui ku?" akhirnya aku berucap demikian.
Entahlah... entah apa yang ada dalam pikiran ku saat ini. Antara merasa kasihan dan juga merasa penasaran. Tapi yang pasti, aku hanya ingin pakde Rohim tidak lagi mengganggu kehidupan ku.
"iya.. aku janji, Ton. Jika kamu mau mencobanya satu kali saja, aku pasti tidak akan lagi mengejar kamu. Aku akan belajar untuk melupakan mu. Aku sudah terbiasa akan hal itu.." balas pakde Rohim.
"tapi kita tidak mungkin melakukannya disini. Di rumah ini. Kita harus cari tempat yang lebih aman.." ucapku selanjutnya.
"iya, Ton. Saya juga tidak mau melakukannya disini. Kita akan cari hotel terdekat dari sini..." balas pakde Rohim.
Aku pun mengangguk setuju.
****
Aku dilahirkan dari seorang ibu yang hidupnya berantakan. Ibu ku seorang wanita penghibur. Ia hamil diluar nikah. Ia bahkan tidak tahu siapa yang menghamilinya. Tapi ia memilih untuk tetap melahirkanku, tanpa seorang suami.
Aku lahir dan dibesarkan tanpa sosok seorang ayah. Ibu ku berjuang membesarkan ku sendirian. Ia membesarkan dari hasil kerjanya sebagai wanita penghibur.
Setidaknya begitulah cerita yang aku ketahui tentang diriku, yang ibuku ceritakan padaku, sesaat sebelum akhirnya ia meninggal dunia. Saat itu aku masih kuliah. Dan sejak ibu ku meninggal, aku harus berjuang sendiri, untuk bisa bertahan hidup. Tanpa siapa-siapa.
Berbagai pekerjaan pernah aku lakukan, dari jadi kuli proyek, kuli angkut di pasar, kurir dan berbagai pekerjaan kasar lainnya, sebelum akhirnya aku lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan di perusahaan tempat aku bekerja saat ini.
Dulu aku juga pernah digoda oleh om-om dan menawarkan hidup mewah padaku. Tapi aku dengan tegas menolak. Aku tidak ingin mengikuti jejak ibu ku. Aku harus bisa hidup dengan benar.
Kemudian aku bertemu, Diana, istri ku sekarang. Sejak mengenal Diana, aku merasa hidup berubah. Aku mulai menemukan kehidupan yang lebih baik. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menikah dengan Diana.
Aku merasa bahagia. Meski sejujurnya, aku selalu merasa ada yang kurang dalam diri ku. Ada sosok yang selalu aku rindukan dalam hidupku. Dan hal itu aku rasakan sepanjang hidupku. Sosok seorang ayah. Sosok seorang lak-laki dewasa.
Tapi selama ini, aku tidak pernah menemukannya. Hal itu membuat aku selalu merasa kesepian. Meski bahkan sekarang, aku sudah punya istri dan anak. Namun selalu saja, aku merindukan sosok tersebut.
Sejujurnya, dari awal aku kenal pakde Rohim, aku mulai menyukainya, sebagai sosok seorang laki-laki dewasa. Apa lagi dari awal pakde Rohim selalu penuh perhatian padaku. Aku menganggapnya sebagai perhatian seorang ayah kepada anaknya, atau seorang kakak terhadap adiknya.
Tapi ternyata segala perhatian pakde Rohim selama ini padaku, justru karena ia menyukai ku sebagai sosok laki-laki yang ingin ia miliki, sebagai kekasih. Bukan sebagai anak, bukan pula sebagai seorang adik.
Lalu sekarang, kami berdua telah berada di dalam sebuah kamar hotel, hanya berdua. Perasaan ku tiba-tiba jadi tidak karuan. Dada ku jadi berdebar-debar hebat. Belum pernah sebelumnya, aku berada dalam kamar hotel hanya berdua dengan seorang laki-laki.
"kamu sangat tampan dan gagah sekali, Ton." ucap pakde Rohim, saat kami sudah sama-sama duduk di sisi ranjang kamar hotel tersebut.
Sekilas aku melirik ke arah pakde Rohim. Belum pernah sebelumnya aku di puji seperti itu oleh seorang laki-laki. Entah apa yang aku rasakan, entah merasa tersanjung atau justru merasa geli.
Sementara itu, pikiran ku tiba-tiba menilai sosok pakde Rohim secara fisik. Selama ini, aku tidak pernah memperhatikan hal tersebut. Pakde Rohim memiliki kulit yang putih, meski ia berasal dari kampung. Wajahnya bersih terawat. Hidungnya sedikit mancung, dengan tatapan mata yang sendu.
Postur tubuhnya juga, proporsional. Tidak gemuk, tidak pula kurus. Cukup ideal, sebagai seorang laki-laki.
"kamu juga terlihat sangat kekar... aku jadi semakin penasaran.." pakde Rohim berucap lagi, memuji ku. Entah ia berkata jujur, atau hanya sekedar untuk membuat aku merasa tersanjung dan di puja.
"kalau pakde ingin melakukannya, lakukanlah sekarang. Lebih cepat akan lebih baik. Karena kalau kita lama-lama di luar, aku takut istri ku akan curiga." ucapku akhirnya.
Kali ini pakde Rohim tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya mulai mendekat. Semakin dekat. Aku mencoba memejamkan mata. Membayangkan sesuatu yang bisa membangkitkan selera ku. Aku masih merasa geli dan jijik.
Namun semua sungguh di luar dugaan ku. Hal itu ternyata tidak seburuk yang aku takutkan. Bahkan boleh dibilang cukup berkesan. Awalnya aku memang merasa tidak nyaman.. Tapi lama kelamaan, dan karena pakde Rohim sudah sangat berpengalaman, aku mulai enjoy akan hal tersebut.
Pelan namun pasti, aku pun mulai terhanyut dalam permainan indah yang dilakukan pakde Rohim padaku. Aku ikuti permainannya. Dan aku berusaha memainkan peran ku dengan baik.
Aku dapat merasakan, betapa pakde Rohim begitu memuja ku. Dia memperlakukan ku seperti seseorang yang begitu ia sanjung, ia inginkan dan ia butuhkan.
Sampai aku benar-benar merasa sangat terkesan dengan semua itu. Benar-benar terkesan. Kesan yang sangat indah. Bahkan lebih indah dari yang pernah aku alami sebelumnya.
Langkah demi langkah yang kami lakukan untuk menuju puncak tersebut, terasa begitu indah. Bahkan ketika aku akhirnya sampai ke puncak tersebut, aku merasa lega. Sangat lega.
Rasa itu begitu sempurna.
Inikah sosok yang aku rindukan selama ini? Bathin ku penuh tanya.
****
Seperti janjinya, setelah kejadian tersebut, pakde Rohim pun menghilang dari kehidupan ku. Ia kembali ke kampung halamanya, dan tidak pernah lagi datang ke kota, walau dengan alasan apa pun.
Tapi entah mengapa, justru aku yang tiba-tiba merindukannya. Aku merindukan perhatiannya yang begitu tulus padaku. Pujiannya yang terdengar tulus dan apa adanya. Kesan indah yang ia berikan padaku. Aku merindukan semuanya.
Aku berusaha melawan semua perasaan itu. Tapi semakin aku mencoba melupakannya, semakin aku merasa tersiksa karenanya. Mungkinkah aku mulai jatuh cinta pada pakde Rohim?
Seperti yang ia katakan, aku memang tidak pernah menyesali kejadian tersebut. Aku justru merasa berterima kasih padanya, karena ia mampu memberikan aku sebuah pengalaman yang luar biasa.
Sosok laki-laki dewasa yang aku rindukan selama ini, seakan mulai aku temukan pada diri pakde Rohim. Sosok yang membuat aku merasa nyaman, merasa lengkap.
Keegoan ku selama ini, klaim ku sebagai laki-laki normal selama ini, kini telah berubah. Ternyata aku tidak senormal yang aku pikir. Aku rapuh. Kerinduanku akan sosok seorang ayah, kekosongan hati ku akan sosok laki-laki dewasa, ternyata mampu mengubah diriku. Meleburkan semua ego ku.
Aku tak mampu lagi menolak hadirnya semua rasa itu. Aku jadi semakin sering memikirkan pakde Rohim. Membayangkan semua hal-hal terindah bersamanya. Mengharapkan ia datang lagi.
Aku merindukan semua yang ia lakukan padaku. Mungkin karena semua itu, pakde Rohim lakukan dengan sepenuh hati. Dengan perasaan cinta dan kasih sayang yang tulus.
Kini aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku menjadi dilema. Di situ sisi, aku ingin bertemu dengan pakde Rohim lagi, dan mengulang lagi semuanya. Namun di sisi lain, aku juga sadar, kalau semua itu adalah sebuah kesalahan.
Biar bagaimana pun, pakde Rohim adalah paman dari istri ku sendiri. Mungkinkah aku harus menjalin hubungan dengan pakde Rohim? Dan menerima cintanya yang begitu tulus? Atau ku biarkan saja semua rasa ini. Tenggelam dalam lautan tak bertepi.
*****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih