Nama ku Revan, dan aku adalah seorang mahasiswa saat ini.
Aku kuliah di sebuah kampus yang cukup ternama, saat ini aku masih semester empat.
Aku kost sendirian di sekitaran kampus tempat aku kuliah.
Aku anak ketiga dari empat bersaudara. Kakak pertama ku perempuan sudah menikah dan juga sudah punya anak. Kakak kedua ku laki-laki, belum menikah tapi sudah kerja. Sedangkan adik bungsu ku perempuan, masih sekolah tingkat SMA. Ayah dan ibu ku adalah pedagang pakaian jadi.
Semua keluarga ku itu tinggal di kota lain, setidaknya berjarak kurang lebih enam jam perjalanan dari kota tempat aku kuliah.
Aku memang jarang pulang, selain karena untuk menghemat biaya, aku juga kadang merasa sedikit malas untuk pulang ke rumah. Aku lebih menikmati kesendirian ku di kota ini.
Sebagai anak kost dan juga masih kuliah, aku memang butuh biaya besar. Beruntunglah ayah dan ibu ku selalu mengirimi aku uang yang cukup. Karena selain sebagai pedagang orangtua ku juga punya kebun sawit yang cukup luas.
Kehidupan ku sebenarnya secara keseluruhan cukup sederhana. Aku hidup sebagaimana layaknya seorang perantau pada umumnya.
Di sekitaran tempat kost ku itu, terdapatlah sebuah mini market yang cukup ramai di kunjungi, karena kebetulan itu adalah satu-satunya mini market terdekat yang ada di gang tempat aku tinggal tersebut.
Aku juga sering berbelanja di sana, sekedar membeli mie instan biasanya atau peralatan mandi ku.
Di mini market itu ada seorang karyawan mini market yang cukup menarik perhatian ku. Dia seorang pemuda yang aku perkirakan masih berusia 23 tahun.
Namanya Yudha, dia memiliki wajah yang cukup tampan dengan postur tubuh yang juga cukup atletis. Sejak awal melihat Yudha aku memang sudah tertarik dengannya.
Aku sering sengaja berlama-lama di mini market tersebut, hanya untuk bisa melihat wajah tampan Yudha. Dan aku juga memberanikan diri untuk sekedar mengajak Yudha ngobrol, sambil aku berpura-pura memilih barang yang ingin aku beli.
Dari perbincangan ringan ku dengan Yudha tersebutlah aku jadi tahu namannya, aku jadi tahu dimana dia tinggal dan beberapa hal umum lainnya tentang Yudha.
Yudha juga seorang pemuda yang cukup ramah. Dia cukup asyik di ajak ngobrol.
Sampai pada suatu kesempatan, aku beranikan diri untuk mengajak Yudha makan malam bersama di sebuah restoran. Yudha pun menyetujuinya.
Kami makan malam berdua sambil mengobrol banyak hal. Aku dan Yudha pun saling bertukar homor handphone.
Dari situ kami pun mulai akrab. Aku juga jadi sering mengirim pesan kepada Yudha, sekedar berbasa-basi. Yudha juga cukup aktif membalas setiap pesan ku.
Hari-hari berikutnya, kami pun semakin akrab dan dekat.
Yudha sebenarnya juga seorang perantau, tapi ia tinggal bersama pamannya di kota ini.
Yudha merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Kedua adik-adiknya masih sekolah. Sedangkan ibunya bekerja sebagai seorang petani di kampung. Sementara ayahnya sudah bertahun-tahun meninggal.
"boleh di bilang saat ini, aku adalah tulang punggung keluarga ku." ucap Yudha bercerita.
"penghasilan ibu ku sebagai petani yang hanya mengupah kerja di sawah orang tidaklah cukup untuk biaya hidup mereka, apa lagi kedua adik-adikku masih butuh biaya banyak untuk sekolah." lanjut Yudha lagi.
Yudha memang cukup terbuka padaku, karena kami memang benar-benar sudah dekat.
"jadi aku harus kerja keras demi membantu ibu dan kedua adikku." Yudha berucap lagi.
"setiap bulan aku harus mengirimkan sebagian besar gaji ku ke kampung." lanjutnya pelan.
Aku turut merasa perihatin mendengar cerita Yudha tentang kehidupannya. Aku semakin bersimpati padanya. Selain memiliki wajah yang tampan, Yudha juga punya hati yang lembut dan penuh kasih sayang. Dia rela bekerja keras demi membantu ibu dan adik-adiknya.
"jadi aku juga harus hidup hemat selama di sini. Beruntunglah pamanku mau menampung ku, setidaknya dengan tinggal bersama pamanku, cukup membantu aku untuk menghemat biaya hidup." cerita Yudha kemudian.
"pamanku seorang satpam dan istrinya berjualan kue secara online, sedangkan anak mereka satu-satunya masih bersekolah di sekolah dasar." lanjut Yudha lagi.
Yudha memang bukan pemuda biasa, terutama di mataku. Bagiku dia luar biasa. Meski pun secara ekonomi dia tidak cukup beruntung, namun dia punya jiwa tanggungjawab yang besar.
"kamu sih enak, Van. Bisa kuliah." ucap Yudha tiba-tiba setelah untuk beberapa saat kami saling terdiam.
"sekilas mungkin kehidupan memang terlihat enak, Yud. Tapi ... sebenarnya aku tak benar-benar merasa bahagia dengan semua ini." ucapku membalas.
"kenapa?" tanya Yudha.
"sulit untuk aku jelaskan saat ini, Yud. Tapi yang pasti, aku merasa beruntung bisa mengenal kamu." jawabku apa adanya.
"akh, kamu bisa aja, Van. Justru aku yang merasa beruntung bisa mengenal kamu. Aku jadi punya teman untuk berbagi cerita, aku juga jadi sering dapat makan gratis kan." balas Yudha dengan nada sedikit ceria.
Dan begitulah, aku dan Yudha pun berteman dekat. Kami semakin sering menghabiskan waktu bersama.
*****
Waktu pun terus bergulir, tanpa bisa dicegah atau pun di pacu.
Aku pun semakin terbuka pada Yudha. Hingga akhirnya aku pun memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan ku padanya.
"aku suka sama kamu, Yud." ucapku sedikit bergetar.
Yudha menatapku sekilas, sekedar meyakin pendengarannya.
"aku cinta sama kamu, sudah sejak lama." ucapku mengulang.
"tapi aku bukan orang yang pantas untuk kamu cintai, Revan. Aku hanya laki-laki kampung yang miskin dan tak punya apa-apa." ucap Yudha lirih.
"cinta tak seegois itu, Yud. Cinta tak butuh alasan apa pun untuk bisa tumbuh. Mungkin kamu memang tak punya untuk materi untuk di banggakan, tapi kamu punya hati yang penuh kasih sayang, Yud. Dan aku mencintaimu karena itu." ucapku kemudian.
"tapi apa kamu yakin, bisa bahagia denganku?" tanya Yudha pelan.
"aku yakin, Yud. Aku sangat mencintai kamu. Aku bahagia bisa menghabiskan waktu bersamamu. Dan aku ingin kita selalu bersama-sama selamanya." balasku yakin.
"aku juga sebenarnya sangat menyayangi kamu, Revan. Tapi aku merasa tidak pantas untuk bisa memiliki kamu. Aku tak ingin hanya akan menjadi beban buat kamu." ucap Yudha lagi.
"bagiku kamu bukan beban, Yud. Kamu adalah penyemangat dalam hidupku. Izinkan aku menjadi bagian penting dalam hidupmu. Dan berikan aku kesempatan untuk bisa memiliki cintamu." ucapku kemudian.
"jika kamu memang bisa menerima aku apa adanya, Revan. Aku juga akan sangat bahagia bisa menjadi kekasihmu." ucap Yudha dengan lembut.
Aku melangkah mendekati Yudha, yang duduk di tepian ranjang kamar kost ku. Yudha sekarang memang sudah sering main ke kost ku, terutama saat ia tidak masuk kerja.
Aku duduk di samping Yudha, kemudian aku raih tangan kekarnya itu. Pelan aku mengangkat tangan itu, lalu menciuminya dengan lembut.
Yudha tersenyum manis, mata kami pun saling tatap penuh arti.
Sejuta rasa cinta terpancar dari setiap tatapan mata kami. Aku membalas senyum Yudha.
Kami saling tersenyum, dan perlahan wajah kami pun saling mendekat.
****
Hari-hari selanjutnya terasa berbeda bagiku. Hidupku jadi penuh warna dengan kehadiran Yudha. Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.
Pemuda tampan dan gagah sang karyawan mini market itu, benar-benar mampu memberikan aku kebahagiaan yang utuh. Aku merasa lengkap.
Cinta kami menyatu padu, terbaur menjadi sebuah kebahagiaan. Hari-hari ku terasa indah.
Apa lagi Yudha selalu memanjakan ku dengan keindahan cintanya. Hampir setiap malam, Yudha selalu datang ke tempat kost ku. Kami pun memadu kasih, saling mencurahkan rasa.
Keindahan demi keindahan yang aku rasakan bersama Yudha, sungguh membuat aku terlena.
Aku terbuai dalam lautan keindahan penuh cinta. Aku serahkan seluruh jiwa raga ku hanya untuk Yudha, sang karyawan mini market yang tampan dan gagah itu.
Seluruh hati dan cinta ku telah ku persembahkan padanya. Dunia jadi begitu indah bagiku.
"aku sangat menyayangi kamu, Yudha. Aku mohon, kamu jangan pernah tinggalkan aku ya.." ucapku suatu malam.
"aku juga sayang kamu, Revan. Semoga kita tidak akan berpisah selamanya." balas Yudha penuh perasaan.
Dan seperti biasa, malam itu pun berlalu penuh keindahan cinta di antara kami.
****
"aku di pindah tugas kan ke kota lain, Van." ucap Yudha memulai pembicaraan sore itu.
Yudha datang ke kost ku, dengan raut wajah sedikit murung.
"lalu kenapa?" tanya ku pura-pura tidak paham.
"masa' kamu gak ngerti sih, Revan? Kalau aku pindah, itu artinya kita tidak bisa seperti ini lagi." balas Yudha terdengar sedikit kesal.
"oh," aku hanya membulatkan bibir. Sebenarnya aku juga sudah sangat mengerti kemana arah pembicaraan Yudha. Tapi apa yang bisa aku lakukan?
Aku gak mungkin kan, mencegah hal tersebut?
Aku tahu, betapa butuhnya Yudha akan pekerjaan tersebut. Ia tak mungkin meninggalkan pekerjaannya hanya demi untuk bersama ku. Meski pun itu artinya aku harus kehilangan dia.
"kamu kok terlihat santai gitu, Van? Kamu seolah-olah tidak apa-apa kalau aku pergi." ucap Yudha lagi, suaranya masih terdengat kesal.
"lalu aku harus bagaimana, Yud? Aku ngerti perasaan kamu saat ini. Karena itu, aku memberikan kamu kebebasan untuk memilih." ucapku membalas.
"ini tidak mudah bagiku, Van. Aku tidak ingin berpisah denganmu, tapi aku juga tidak mungkin melepaskan pekerjaanku." ucap Yudha kemudian.
"asal kamu tahu, Yud. Aku juga tidak bisa berpisah dengan kamu. Tapi aku juga tidak ingin kamu melepaskan pekerjaanmu hanya demi aku. Ibu dan adik-adikmu jauh lebih penting, Yud." balas ku.
"lalu kita harus bagaimana, Van?" tanya Yudha bimbang.
"mungkin lebih baik kita jalani saja semuanya seperti ini, Yud. Aku yakin, jarak dan waktu tidak akan mengubah perasaan kita. Suatu saat aku pasti akan berkunjung ke tempat baru mu, Yud." ucapku dengan nada tidak begitu yakin.
"ini bukan hanya soal perasaan kita, Revan. Ini tentang kwalitas kebersamaan kita. Jika kita tidak pernah bertemu, hanya lewat video call atau sejenisnya, aku yakin lama kelamaan kita akan merasa bosan." balas Yudha kemudian.
"lalu kamu maunya bagaimana, Yud?" tanya ku lemah.
"aku ingin kamu ikut dengan ku, Van." suara Yudha pelan.
"kamu jangan egois gitu dong, Yud. Kamu kan tahu, aku kuliah di sini. Aku gak mungkin bisa ikut kamu. Aku gak mungkin berhenti kuliah, kan?" suara ku sedikit mengeras.
"kamu kan bisa pindah kuliah, Van." ucap Yudha ringan.
"yah, gak semudah itu lah, Yud. Aku tak punya alasan yang kuat kepada orangtua ku untuk aku pindah kuliah. Lagian kamu pikir pindah kuliah itu gampang?" suaraku masih terdengar keras.
"kalau kamu memang benar-benar mencintaiku, kamu harusnya bisa melakukan hal itu dengan mudah." suara Yudha tegas.
Aku menatap Yudha sekilas, mencoba memahami jalan pikirannya yang sedikit aneh bagiku.
"cinta gak seegois itu, Yud. Kamu tak berhak memberikan aku pilihan seperti itu." ucapku akhirnya, suara ku mulai memelan.
"tapi itu satu-satunya cara, agar kita tetap bisa bersama, Van." balas Yudha lagi.
"itu bukan satu-satunya cara, Yud. Dan jika kamu memang benar-benar mencintaiku, kamu tak seharusnya memberikan aku pilihan seperti itu." ucapku lemah.
"karena saat ini, hanya kamu yang punya pilihan, Van. Sementara aku tidak punya pilihan apa-apa dalam hal ini." suara Yudha serak.
"aku memilih untuk tetap kuliah di sini, Yud. Dan aku memilih untuk mengikhlaskan kamu untuk pergi. Itu pilihanku. Dan jika kamu memang mencintaiku, aku harap untuk sementara kita tetap bisa menjalin hubungan jarak jauh." ucapku berusaha setegas mungkin.
"tapi hubungan jarak jauh kita tidak akan berhasil, Van." suara Yudah lemah.
"bagaimana kita tahu, sesuatu itu berhasil atau tidak, kalau kita belum mencobanya? Hubungan kita seharusnya bukan hanya masalah fisik, Yud. Tapi juga hati dan perasaan kita. Jika kita memang saling mencintai, jarak dan waktu bukanlah penghalang untuk kita tetap saling mencintai." ucapku membalas.
Kali ini Yudha terdiam. Aku tidak tahu arti dari keterdiamannya. Apakah ia bisa menerima semua ucapanku, atau sebenarnya ia masih ragu dengan semua ini?
Namun yang pasti beberapa saat kemudian, Yudha pun pergi meninggalkan ku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Dan aku hanya bisa membiarkan ia pergi, tanpa tahu harus berbuat apa.
Lalu bagaimanakah kelanjutan kisah cintaku bersama karyawan mini market yang tampan dan gagah itu selanjutnya?
*****
Part 2
Yudha akhirnya benar-benar pergi. Aku juga tak berniat untuk mencegahnya.
Mungkin semua memang harus seperti ini. Kami dipertemukan, saling jatuh cinta lalu kemudian harus terpisahkan oleh jarak dan waktu.
Namun meski pun kami terpisah secara fisik, kami tetap bisa saling berkomunikasi dan saling memberi kabar meski hanya melalui ponsel.
Sudah hampir tiga bulan Yudha pergi. Dan seperti yang Yudha takutkan, kebosanan mulai menghantui hubungan kami.
Kami hanya bisa saling telpon-telponan atau hanya sekedar video call, dan hal itu justru semakin menyiksa perasaan ku. Rasanya hubungan seperti itu terasa hambar bagiku.
Yudha benar. Hubungan jarak jauh kami tidak akan berhasil. Aku sendiri yang akhirnya merasa mulai menyerah.
Kami pun semakin jarang berkomunikasi dan memberi kabar. Rasanya jarak dan waktu benar-benar telah mampu mengubah segalanya. Meski pun sejujurnya aku masih sangat mencintai Yudha. Tapi rasanya semakin aku menyadari perasaanku tersebut, semakin aku merasa tersiksa dengan rindu ku padanya.
Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Jarak antara aku dan Yudha terbentang sangat jauh.
Ingin rasanya aku segera menyusul Yudha kesana, tapi aku masih harus menyelesaikan kuliah ku di sini. Aku tak mungkin mengabaikan kuliah ku hanya demi untuk bersama Yudha. Dan lagi pula butuh ongkos yang cukup besar untuk bisa sampai ke tempat Yudha.
Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah dan membiarkan semuanya mengalir seperti seharusnya. Meski kadang segala kerinduan ku akan Yudha begitu menyiksa perasaan ku.
****
Dan waktu pun terus bergulir, tanpa bisa dicegah atau pun di pacu.
Aku mencoba menjalani hidupku, meski tanpa kehadiran Yudha lagi. Kami masih saling berkomunikasi meski tak serutin dulu.
Dua tahun pun berlalu dengan begitu berat bagiku. Berat karena harus menahan kerinduanku pada Yudha, berat karena harus menyelesaikan kuliah ku.
Hingga akhirnya aku pun lulus kuliah.
Setelah lulus kuliah, aku pun meminta izin kepada orangtuaku untuk mencari pekerjaan di kota dimana Yudha tinggal. Meski berat orangtua ku tetap memberikan aku izin.
Aku sengaja datang ke kota Yudha tinggal. Aku juga sengaja tidak memberi kabar kepada Yudha terlebih dahulu. Aku ingin memberi kejutan kecil untuk Yudha, dengan mengunjunginya diam-diam.
Dan sesampai disana, justru aku yang merasa terkejut. Karena saat aku datang ke kost Yudha, aku justru menemukan Yudha sedang berduaan dengan laki-laki lain di kamar kost-nya.
"Revan?!" setengah tak percaya Yudha berucap, saat ia membuka pintu kamar kost nya untuk ku.
Saat aku hendak membuka mulut untuk berucap, tiba-tiba dari dalam kamar kost itu terdengar suara seorang laki-laki.
"siapa, sayang?" suara itu terdengar lembut dari dalam.
"oh, ini teman saya dari jauh.." balas Yudha terlihat salah tingkah.
"sayang? Teman?" suara ku cukup tercekat mendengar pembicaraan singkat itu.
Wajah Yudha pucat pasi tiba-tiba.
"tega kamu, Yud.." hanya kalimat itu yang akhirnya keluar dari mulutku, meski begitu banyak yang ingin aku katakan.
"aku bisa jelaskan, Van." balas Yudha sedikit berbisik, mungkin takut di dengar oleh 'sayang'nya yang di dalam.
"gak ada yang harus di jelaskan, Yud. Aku pergi. Ternyata aku datang ke tempat yang salah." ucapku kemudian, sambil memutar tubuh.
"ini semua gak seperti yang kamu pikirkan, Van." ucap Yudha mencoba menahan langkahku.
Tapi aku mengabaikannya. Aku terus saja melangkah meninggalkan kamar kost tersebut. Yudha pun tak lagi berusaha menahanku. Aku mendengar suara pintu tertutup, sepertinya Yudha sudah masuk kembali ke dalam kamarnya.
Aku melangkah dengan tertatih. Hatiku sakit. Perih sekali rasanya. Bertahun-tahun aku menanggung rindu ini, namun saat aku telah bersusah payah untuk datang kesini, justru aku hanya mendapatkan sebuah kepahitan.
Mengapa Yudha tega mengkhianati ku?
Mengapa ia justru mencari pengganti ku disini, sementara aku sudah dengan susah peyah menjaga kesetiaanku selama ini?
Oh, aku terluka.
****
Dalam kepatahhatianku, aku mencoba mencari tempat kost untuk aku tinggal sementara. Karena aku tidak mungkin kembali ke rumahku saat ini. Aku sudah terlanjur mengatakan kepada orangtuaku kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan di kota ini.
Padahal aku mengatakan begitu, hanya agar aku di beri izin untuk pergi. Jika aku kembali sekarang, orangtua ku pasti akan memarahiku, karena telah membohongi mereka.
Aku memang terluka, karena Yudha telah mengecewakanku. Tapi aku harus tetap berada di sini. Aku akan mencari pekerjaan, dan memulai hidup baru ku di kota ini.
Setelah berkeliling selama hampir seharian, aku pun akhirnya menemukan sebuah tempat kost yang cukup jauh dari kediaman Yudha.
Aku sudah bertekad untuk tidak lagi bertemu dengan Yudha. Aku harus bisa melupakannya.
Beberapa kali Yudha coba menghubungiku, tapi aku tak menggubrisnya. Bahkan aku sengaja memblokir nomornya dari ponsel ku.
Setelah mendapatkan kesepakatan dengan pemilik kost, aku pun segera masuk ke kamar kost baru ku itu. Aku ingin beristirahat. Aku merasa sangat lelah.
Setelah menempuh perjalanan selama sehari semalam naik bis dari kota ku menuju kota ini, dan sesampai di sini, aku justru menemukan Yudha bersama laki-laki lain. Dan setelah seharian aku harus berkeliling naik taksi online, untuk bisa menemukan tempat kost ini. Kini saatnya aku harus beristirahat.
Aku harus mengistirahatkan tubuh dan pikiran ku. Karena aku benar-benar merasa lelah.
****
Keesokan harinya, aku pun mulai berkeliling kembali untuk mencari pekerjaan. Aku juga mengirimkan beberapa lamaran kerja ke beberapa tempat. Aku memang harus segera mendapatkan pekerjaan, karena uang persediaanku sudah mulai menipis.
Saat aku sedang beristirahat di sebuah halte, tiba-tiba Yudha datang menghampiri ku.
"dari mana kamu tahu aku di sini?" tanya ku, mencoba bersikap biasa saja.
"itu gak penting, Revan. Yang pasti sejak kemarin aku selalu berusaha mencari kamu. Kebetulan tadi aku melihat kamu dari kejauhan, jadi aku datang kesini." jelas Yudha.
"untuk apa lagi kamu menemui ku, Yud?" tanya ku dengan nada sinis.
"aku harus menjelaskan semuanya, Van." balas Yudha.
"kamu tak perlu menjelaskan apa-apa lagi, Yud. Aku gak apa-apa, kok. Aku juga sudah melupakan tentang kita." ucapku membalas.
"semuanya tidak seperti yang kamu pikirkan, Van." ucap Yudha lagi.
"aku tidak memikirkan apa-apa saat ini, Yud. Aku hanya ingin mendapatkan pekerjaan di sini." balasku.
"aku tahu kamu kecewa padaku, Van. Tapi sejujurnya aku terpaksa melakukan itu semua." suara Yudha pelan.
"maksud kamu?" tanyaku sedikit merasa penasaran.
"bagaimana kalau kita ngobrolnya di kost kamu aja?" ucap Yudha menawarkan.
"dari mana kamu tahu, kalau aku sudah mengambil kost?" tanyaku heran.
"aku hanya menebak, Van. Lagi pula apa hal itu penting untuk di bahas." balas Yudha.
Aku pun akhirnya menyetujui tawaran Yudha untuk ngobrol di kost ku. Lagi pula tempat kost ku juga tidak seberapa jauh dari halte tersebut.
*****
"laki-laki yang di kamar kost ku waktu itu adalah pak Rusli." ucap Yudha memulai obrolannya, saat kami sudah berada di dalam kamar kost ku.
"aku gak mau tahu, siapa nama laki-laki itu." balasku sinis.
"pak Rusli adalah manager mini market tempat aku bekerja sekarang. Ia sebenarnya sudah menikah dan sudah punya dua orang anak. Pak Rusli sudah berusia 40 tahun lebih." cerita Yudha lagi.
"apa kamu ingin mengatakan bahwa kamu lebih menyukai laki-laki yang lebih tua?" tanya ku menyela.
"biarkan aku menyelesaikan ceritaku dulu, Van. Nanti setelah aku selesai bercerita, kamu bebas menilai siapa aku sebenarnya." balas Yudha cepat.
"oke." ucapku singkat.
"aku terpaksa menjalin hubungan dengan pak Rusli, karena... karena aku harus melunasi hutang ku padanya." cerita Yudha lagi.
"kenapa kamu sampai punya hutang pada orang itu?" aku bertanya lagi, tak bisa menahan keingintahuanku.
"setahun yang lalu, aku mendapat kabar dari kampung ku, kalau ibu ku sakit parah dan harus segera di operasi. Seperti yang kamu tahu, kami hanyalah keluarga miskin. Jadi jelas kami gak punya uang untuk biaya operasi ibu."
"aku pun nekat, meminjam uang pada pak Rusli demi biaya operasi ibuku. Pak Rusli bersedia meminjami ku, tapi dengan syarat, aku harus melunasinya dengan cara di cicil dan di potong melalui gaji ku setiap bulan."
"tapi ternyata tidak cukup hanya seperti itu. Sebelum hutangku lunas, pak Rusli juga mengharuskan aku untuk menjadi laki-laki simpanannya. Aku tak bisa menolak, apa lagi dengan menjadi laki-laki simpanannya, aku juga hanya harus melunasi separoh dari semua hutang ku padanya."
"aku terpaksa menerima semua tawaran dari pak Rusli, demi mendapatkan uang untuk biaya operasi ibu ku. Pak Rusli bahkan membuat perjanjian tertulis dengan ku, bahwa aku akan menjadi lelaki simpanannya, sampai semua hutang ku padanya lunas."
Yudha beberapa kali menarik napas panjang kemudian menghempaskannya dengan berat. Sementara aku hanya terdiam mendengarkannya, mencoba memahami setiap kalimat yang di ucapkannya.
"lalu berapa lama lagi kamu akan menjadi simpanan laki-laki itu?" tanya ku akhirnya.
"karena aku hanya harus membayar separoh dari semua hutangku, jadi kemungkinan hutangku akan lunas sekitar dua atau tiga tahun lagi." balas Yudha lirih.
"dua atau tiga tahun lagi bukan waktu yang singkat, Yud." sela ku tanpa sadar.
"iya, aku tahu. Tapi jika aku tidak hanya membayar separoh dari hutangku, mungkin hutangku baru lunas, enam atau tujuh tahun lagi. Jadi aku merasa hal ini jauh lebih baik, karena aku juga tidak mau selamanya menjadi simpanan pak Rusli." jelas Yudha.
"lalu untuk apa kamu menceritakan ini semua padaku?" tanyaku kemudian.
"aku hanya ingin kamu tahu, Van. Kalau sebenarnya aku tidak pernah mengkhianati cinta kita. Aku selalu mencintai kamu, Revan. Tapi seperti yang pernah aku katakan padamu, kalau aku hanya laki-laki miskin, dan sudah pasti tidak bisa memberikan yang terbaik buat kamu." balas Yudha.
"aku tidak berharap kamu mengerti dan memaafkan ku, Revan. Aku juga tidak akan meminta untuk kamu tetap bertahan denganku. Tapi aku hanya berharap, agar kamu tidak membenci ku karena ini." lanjut Yudha lagi.
"aku tidak tahu harus mengatakan apa saat ini, Yud. Semua ini benar-benar membuat aku semakin bingung. Tadinya aku sangat membenci kamu. Tapi setelah aku tahu semua ceritanya seperti itu, aku tak tahu lagi apa yang aku rasakan saat ini terhadap kamu, Yud." ucapku membalas.
"aku ngerti, Van. Aku juga tidak akan meminta apa-apa darimu. Aku harap kamu bisa menemukan pengganti diriku yang jauh lebih baik dariku." ucap Yudha pelan.
"aku belum berencana untuk mencari pengganti mu, Yud. Tapi ... kita juga gak mungkin bisa bersama lagi kan?" ujarku sedikit bertanya.
"maaf, Van. Sampai hutang ku lunas, aku tidak bisa berbuat banyak. Karena dalam surat perjanjian antara aku dan pak Rusli salah satu point nya tertulis, jika aku kedapatan menjalin hubungan dengan lak-laki lain selain pak Rusli, maka hutangku akan bertambah dua kali lipat." jelas Yudha kemudian.
"jadi aku harus menunggu dua tahun lagi untuk bisa bersama kamu kembali?" tanyaku tak yakin.
"aku tak meminta kamu untuk menunggu, Van. Dan kamu tidak harus menunggu ku. Mungkin memang lebih baik kamu mencari pengganti ku saja." balas Yudha.
Akh, tidak mudah bagiku untuk mencari pengganti Yudha. Aku terlalu mencintainya. Bertahun-tahun aku berusaha menjaga kesetiaanku padanya. Aku tak mungkin mencari penggantinya begitu saja. Lagi pula Yudha juga masih mencintaiku.
Tapi apa mungkin aku harus menunggunya?
Jika pun nantinya kami kembali bersama, tentu semuanya akan terasa berbeda. Semuanya tak akan lagi sama. Dan aku tidak bisa menerima kenyataan itu begitu saja.
"semua terserah padamu, Revan. Aku begini adanya. Aku hargai apa pun keputusan mu." ucap Yudha kemudian.
Setelah berkata demikian, Yudha pun segera pamit dan meninggalkan aku sendirian di dalam kamar kost tersebut.
Aku masih terpaku. Terdiam. Tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Tidak tahu harus memutuskan apa saat ini. Mungkin lebih baik aku biarkan saja semuanya mengalir apa adanya.
Kalau memang cinta kami begitu kuat, aku yakin sang waktu akan menyatu kami kembali. Dan jika pun kami tidak bisa bersatu lagi, aku juga sudah merelakan kepergian Yudha dari hidupku.
Lalu seperti apakah kisah ku bersama lelaki karyawan mini market yang tampan dan gagah itu selanjutnya?
Mungkinkah kami akan bersama lagi?
*****
Part 3
Yudha dan aku akhirnya memutuskan untuk berpisah secara baik-baik. Aku mencoba mengerti posisi Yudha saat ini, meski pun hati ku tidak bisa menerima hal itu dengan ikhlas. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.
Kami memang masih saling mencintai. Tapi keadaan tidak memungkinkan kami untuk tetap bersama. Bukankah cinta tak selamanya harus menyatu?
Setidaknya begitulahyang bisa aku simpulkan saat ini.
Aku mulai belajar menjalani hari-hari ku tanpa Yudha. Bukankah juga sudah bertahun-tahun aku melakukannya?
Ah, mengapa cinta begitu rumit? Mengapa begitu alasan yang membuat kami untuk tidak bisa bersama? Padahal kami saling mencintai.
Namun begitulah kenyataannya saat ini. Aku dan Yudha tidak bisa bersama lagi. Dengan alasan yang aku sendiri tidak bisa menerimanya.
Hari-hari pun berlalu. Hingga setelah hampir dua bulan, aku pun mendapatkan sebuah pekerjaan. Aku bekerja menjadi seorang sales di sebuah perusahaan elektronik. Bukan pekerjaan yang aku impikan sebenarnya. Hanya saja aku tidak punya pilihan lain saat ini. Setidaknya aku jadi punya penghasilan, untuk aku tetap bertahan hidup di kota asing ini.
Di tempat kerja baru ku itu, aku pun berkenalan dengan Rangga. Aku memanggilnya mas Rangga, karena ia lebih tua empat tahun dari ku.
Mas Rangga memang sudah berusia 28 tahun, tapi ia belum menikah. Ia sudah bekerja menjadi sales sudah bertahun-tahun. Mas Rangga juga seorang perantau. Dia juga kost sendirian, tak jauh dari tempat aku kost.
Karena tinggal di kompleks yang sama, dan bekerja di perusahaan yang sama. Aku dan mas Rangga ppun menjadi dekat. Kami jadi sering menghabiskan waktu berdua. Mas Rangga juga sangat baik padaku. Ia banyak membantu ku, terutama untuk urusan pekerjaan kami.
Mas Rangga tidak terlalu tampan, tapi ia memiliki postur tubuh yang lumayan atletis. Tubuhnya cukup jangkung, sehingga ia terlihat sedikit kurus. Namun tubuhnya berotot dan juga kekar.
Secara fisik mas Rangga memang tidak semenarik Yudha. Tapi ia sangat baik dan penuh perhatian padaku. Aku juga merasa cukup terkesan dengan sikap baiknya padaku.
"kenapa mas Rangga begitu baik padaku?" tanya ku suatu sore, saat kami pulang kerja. Seperti biasa aku pun mampir di tempat kost nya.
"apakah untuk berbuat baik itu harus ada alasannya?" tanya mas Rangga balik.
"ya gak mesti sih. Tapi aku hanya ingin tahu, karena menurut ku mas Rangga terlalu baik. Padahal kita baru beberapa bulan saling kenal." ucapku pelan.
"sebenarnya kamu mengingatkan aku akan seseorang, Revan." balas mas Rangga.
"siapa?" tanyaku polos.
"dia adalah mantan pacarku. Tapi kami sudah berpisah selama bertahun-tahun." jelas mas Rangga.
"kenapa?" tanyaku lagi.
"emangnya kamu mau mendengar kisah masa lalu ku?" mas Rangga balik bertanya.
"yah, kalau mas Rangga mau cerita aku siap mendengarkannya." balasku.
"dulu aku pernah punya seorang kekasih. Kami saling mencintai. Hubungan kami sudah berjalan selama bertahun-tahun. Namun kemudian, kami harus berpisah. Bukan karena kami tidak lagi saling cinta. Tapi karena pacarku di paksa menikah dengan seorang gadis oleh orangtuanya." cerita mas Rangga.
"dengan seorang gadis? Itu berarti pacar mas Rangga itu cowok?" tanya ku tak yakin.
"yah, pacarku itu seorang cowok. Namanya Andi. Aku memang seorang gay, Revan." balas mas Rangga.
Aku terdiam kembali. Meski pun aku cukup terkejut dengan pengakuan jujur mas Rangga barusan, namun aku berusaha bersikap sewajar mungkin.
"kenapa? Kamu jijik ya mendengarnya?" tanya mas Rangga tiba-tiba.
"ah, gak kok, mas. Hanya saja aku tidak menyangkanya sama sekali." jawabku jujur.
"kamu masih mau mendengarkan ceritanya kan?" tanya mas Rangga lagi.
"iya, mas. Lanjutkan aja." balas ku pelan.
"aku merasa patah hati saat itu. Meski pun setelah menikah, aku dan Andi masih tetap menjalin hubungan. Namun lama kelamaan hubungan kami kian renggang. Andi sudah tidak punya banyak waktu lagi untukku. Sampai akhirnya ia pun benar-benar meninggalkan ku."
"aku tidak bisa menerima semua itu begitu saja. Tapi aku juga tidak mungkin memaksa Andi untuk tetap bersama ku. Dan pada akhirnya aku memang harus merelakan dia."
"butuh waktu lama bagiku untuk bisa melupakan Andi. Hubungan kami sebenarnya sudah cukup dalam. Tapi kami memang harus berpisah. Dan aku ternyata tidak siap kehilangan Andi. Aku terlarut dalam kekecewaan ku. Cukup lama. Sampai aku pernah berniat untuk mengakhiri hidupku."
"namun kemudian aku sadar, bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa di paksakan. Cinta memang tak selamanya harus bersama. Apa lagi hubungan cinta sesama jenis seperti yang kami alami." mas Rangga bercerita panjang lebar.
Aku masih menjadi pendengar setianya. Aku tidak tahu harus berkomentar apa tentang hal tersebut. Bukan karena aku tidak memahami kisah yang di utarakan mas Rangga. Tapi karena aku merasa kisah cinta mas Rangga ternyata jauh lebih rumit dari kisah cinta ku sendiri bersama Yudha.
*****
"aku ingin jujur pada mas Rangga." ucapku suatu malam, saat kami berjalan-jalan di taman dekat kompleks kami tinggal.
"jujur tentang apa?" tanya mas Rangga.
"sebenarnya ... sebenarnya ... aku juga seorang gay, mas. Dan aku juga punya kisah yang ingin aku ceritakan pada mas Rangga." ucapku sedikit bergetar.
Mas Rangga menatapku penuh tanya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja aku ucapkan.
"aku sudah menduga sih sebenarnya, kalau kamu juga gay. Tapi aku tidak begitu yakin." ucap mas Rangga tiba-tiba, tanpa mengalihkan tatapannya.
"kenapa mas Rangga bisa menduganya?" tanyaku ingin tahu.
"karena.. karena kamu tetap mau berteman dengan ku, meski pun kamu tahu kalau aku adalah seorang gay. Jika kamu bukan gay, kamu pasti akan menjauhi ku, kan?" balas mas Rangga.
"iya, itu analisis yang masuk akal." ucapku ringan.
"lalu kisah apa yang ingin kamu cerita kan padaku?" tanya mas Rangga kemudian.
Aku menarik napas beberapa kali, kemudian menghempaskannya perlahan. Dengan cukup berat aku pun menceritakan kisah ku bersama Yudha kepada mas Rangga.
"apa kamu masih mencintainya?" tanya mas Rangga sesaat setelah aku mengakhiri ceritaku.
Aku terdiam. Aku juga tidak yakin dengan perasaan ku saat ini. Apa aku masih mencintai Yudha atau tidak? Meski pun aku masih sering mengingatnya, namun aku tidak pernah lagi mengharapkannya.
"kalau kamu tidak bisa menjawabnya, itu berarti kamu masih punya rasa untuknya." ucap mas Rangga melihat keterdiamanku.
"Yudha adalah pacar pertama ku, mas. Jadi tidak mudah bagiku untuk melupakannya." ucapku lirih.
"tapi kalian kan masih punya kesempatan untuk bisa bersama kembali." balas mas Rangga.
"iya. Itu yang membuat aku ragu. Sejujurnya aku tidak bisa terima semua yang dilakukan Yudha saat ini. Aku merasa sakit hati. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang rela orang yang ia cintai hidup bersama orang lain, apa pun alasannya." ucapku sok puitis.
"tingkat tertinggi dari mencintai adalah merelakan, Revan. Terkadang kita memang harus merelakan orang yang kita cintai pergi bersama orang lain, meski pun kita sangat mencintainya. Dan disitulah rasa cinta kita di uji. Seberapa ikhlas kah kita? Atau mampukah kita ikut bahagia saat melihat orang yang kita cintai bahagia bersama orang lain?" ucap mas Rangga penuh makna.
"masalahnya bagiku adalah, Yudha tidak benar-benar bahagia saat ini, mas. Ia terpaksa melakukannya." balasku pilu.
"dulu Andi, mantan pacarku itu, juga terpaksa harus menikah. Ia juga tidak bahagia awalnya. Namun pada akhirnya, ia justru menemukan kebahagiaan lain dengan pernikahannya." ungkap mas Rangga.
"itu kisah yang berbeda, mas." sela ku ringan.
"apa kamu yakin, kalau Yudha masih tidak bahagia dengan hubungannya dengan kekasihnya sekarang?" tanya mas Rangga.
Untuk kali ini aku terdiam. Mungkin mas Rangga ada benarnya. Bisa saja, karena selalu bersama dengan pak Rusli, Yudha justru jatuh cinta padanya. Dan bisa saja saat ini Yudha sudah merasa bahagia dengan kehidupannya yang sekarang.
****
Hari-hari kembali berlalu. Tanpa bisa di cegah atau pun di pacu.
Sudah hampir setahun aku dan mas Rangga berteman dekat. Kami juga semakin akrab.
Sebagai dua orang yang pernah mengalami patah hati, kedekatan mampu mengobati segala luka dari masa lalu kami.
"apa kamu masih mau menunggu Yudha? Sementara ada seseorang yang begitu tulus mengharapkan kamu disini?" tanya mas Rangga suatu malam di kamar kost nya.
"maksud mas Rangga?" tanya ku tidak paham.
"harus ku akui, Revan. Setelah lama kita bersama, aku mulai menyukai kamu. Aku mungkin juga telah jatuh cinta sama kamu. Tapi aku tahu, kalau sampai saat ini, pintu hatimu masih tertutup untuk kehadiran cinta lain, karena kamu masih mengharapkan Yudha." jelas mas Rangga.
Meski pun aku sudah menduga hal tersebut, namun tetap saja aku merasa kaget mendengar pengakuan jujur mas Rangga barusan.
"apa kamu mau kalau kita mulai menjalin hubungan yang lebih serius?" tanya mas Rangga selanjutnya.
Ah, aku menjadi dilema dengan pertanyaan itu.
Mas Rangga memang cukup menarik. Ia juga sangat baik padaku. Kami juga sudah sangat dekat. Tak ada alasan bagiku sebenarnya untuk menolak kehadirannya dalam hidupku. Tapi seperti yang ia katakan, hatiku masih tertutup, karena sejujurnya aku masih berharap untuk bisa bersama Yudha kembali.
"maaf, mas Rangga. Aku butuh waktu untuk bisa menjawab semua itu." ucapku lirih.
"iya, gak apa-apa, Revan. Aku ngerti, kok. Namun asal kamu tahu, aku benar-benar mencintai kamu. Dan aku akan tetap memberi kamu waktu sebanyak yang kamu butuhkan." balas mas Rangga.
"makasih atas pengertiannya, mas. Makasih juga karena sudah selalu baik padaku." ucapku tulus.
****
"aku sudah melunasi semua hutang-hutang ku pada pak Rusli." suara Yudha berat, ketika pada suatu malam ia datang ke tempat kost ku, setelah lebih dari dua tahun kami tidak bertemu.
"aku juga sudah terbebas darinya. Aku tidak lagi punya ikatan apa-apa dengannya." lanjut Yudha lagi.
"lalu sekarang gimana?" tanya ku setelah tidak tahu lagi harus berkata apa mendengat semua itu.
"sekarang, aku ingin kita kembali seperti dulu lagi, Revan." balas Yudha.
"tapi.. aku..." ucapan ku terbata.
"kamu tak harus jawab sekarang, Revan. Aku tahu, ini berat bagi kamu. Aku datang kesini, hanya ingin memberitahu kamu, bahwa aku masih mencintai kamu. Aku masih berharap kita bisa bersama lagi, karena sekarang aku sudah bebas dari pak Rusli." Yudha memotong kalimat ku cepat.
Dan setelah berkata demikian, Yudha pun pamit.
Aku masih termangu dalam dilema hatiku. Di satu sisi, aku merasa bahagia, mengetahui kalau Yudha masih mencintaiku, dan sekarang ia sudah tidak punya ikatan apa-apa lagi dengan pak Rusli. Namun di sisi lain, bayangan senyum tulus mas Rangga juga terus menghantuiku.
Aku tidak bisa mengabaikan kehadiran mas Rangga begitu saja. Apa lagi selama ini ia begitu baik padaku. Kami juga sudah sangat dekat dan sudah kenal pribadi masing-masing. Apa lagi ia juga sangat mencintaiku dengan tulus.
Tapi sejujurnya aku masih mencintai Yudha. Aku belum bisa melepaskan perasaanku padanya. Aku masih sering membayangkannya.
Ah, kenapa aku harus terjebak dalam dilema sesulit ini?
****
"Yudha datang tadi malam ke tempatku, mas." cerita ku pada mas Rangga ke esokan harinya.
"ia memintaku untuk kembali lagi. Karena sekarang ia sudah tidak lagi bersama pak Rusli." lanjutku.
"lalu apa kamu menerimanya?" tanya mas Rangga dengan nada sedikit cemburu.
"aku belum menjawabnya, mas. Aku masih bingung dengan perasaan ku." jawabku apa adanya.
"kamu tidak perlu bingung, Revan. Ikuti saja kata hatimu." ucap mas Rangga bijak.
"kalau seandainya aku kembali lagi sama Yudha, apa mas Rangga gak keberatan?" tanyaku ragu.
"tingkat tertinggi dari mencintai adalah merelakan, Revan. Aku pernah mengatakan hal itu padamu, kan. Jadi aku tidak masalah, kalau kamu harus kembali lagi pada Yudha, jika itu adalah pilihan hatimu. Selama kamu bahagia dengan pilihanmu, aku ikhlas, kok." balas mas Rangga ringan.
"tapi kita masih tetap bisa berteman, kan?" tanya ku lagi.
"aku akan selalu jadi teman mu, Revan. Kamu tak perlu mencemaskan aku. Aku sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini." jawab mas Rangga.
Oh, aku semakin tersentuh mendengar kalimat mas Rangga barusan. Begitu tuluskah ia mencintaiku?
Lalu apa yang aku rasakan padanya sebenarnya?
Aku sendiri juga tidak mengerti dengan perasaan ku saat ini. Tapi aku memang harus memilih. Aku tak mungkin menggantung kedua pria baik itu. Aku harus segera membuat keputusan.
Aku tahu, apa pun keputusanku jelas akan ada yang akan terluka. Bahkan aku sendiri juga akan terluka. Tapi bukankah hidup ini pilihan?
Hanya saja pilihan yang aku punya saat ini terasa begitu sulit. Mas Rangga dengan segala kebaikannya dan juga cintanya yang begitu tulus. Yudha dengan segala kenangan indah kami di masa lalu, dan dengan cintanya yang ku rasakan juga begitu tulus.
Mas Rangga yang telah menemani hari-hari sepiku, saat Yudha tak bersamaku. Mas Rangga juga yang mampu membuatku bangkit, ia tanpa aku sadari telah mengobati luka ku.
Yudha dengan segala kesetiaannya padaku. Meski pun ia terpaksa menjalin hubungan dengan laki-laki lain, namun ia tetap mampu menjaga hatinya untuk tidak berpaling dariku. Ia tetap setia dalam kepahitan hidupnya.
Aku tidak tahu harus memilih siapa dalam hal ini.
Tolong bantu aku dalam membuat keputusan yang benar-benar tepat.
Silahkan tulis pilihan kalian dalam kolom komentar video ini ya.
Yudha atau mas Rangga.
Karena pilihan kalian akan menentukan kelanjutan dari kisah cinta ku ini.
Terima kasih..
*****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih