Aku pernah berharap, suatu saat aku bisa bertemu dengan orang yang bisa mencintaiku apa adanya.
Orang yang bisa menerima segala kekuranganku. Orang yang benar-benar tulus mencintaiku.
Dan jika aku telah menemukannya, maka akan aku habiskan sisa hidupku hanya untuk membahagiakannya.
Sejak aku mengenal cinta, selalu ku tanamkan hal itu di dalam hatiku.
Bertahun-tahun aku mencari sosok seperti yang aku harapkan. Hingga saat ini usia ku sudah mencapai 23 tahun, aku masih belum menemukannya.
Saat ini aku masih kuliah, semester akhir.
Aku lahir dari keluarga yang cukup sederhana. Ayahku hanya seorang buruh pabrik, sedangkan Ibu ku seorang penjual kue keliling.
Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Saat ini kakak pertama ku yang seorang laki-laki, telah menikah dan sudah bekerja menjadi seorang security di sebuah perusahaan.
Adik ku perempuan, masih kuliah semester awal saat ini.
Aku, sebut saja namaku Ruben, memang sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Sejak kecil orangtua ku telah mengajarkan aku untuk selalu berhemat.
Aku hanya di tuntut oleh orangtua ku untuk belajar, belajar dan belajar. Karena itulah, sejak SD aku selalu juara kelas.
Namun karena itu juga, aku menjadi seorang yang kurang bergaul, sedikit pemalu dan sangat pendiam.
Karena itu juga, aku jadi jarang berteman atau pun dekat dengan seseorang, yang membuat aku belum pernah pacaran sama sekali hingga saat ini.
Aku pernah beberapa kali jatuh cinta, tapi aku tidak pernah berani untuk mewujudkannya.
Selama ini aku hanya bisa mencintai dalam diam, mengagumi dalam sepi, dan membayangkannya dalam khayalanku.
Sampai akhirnya aku bertemu mas Arifin, seorang laki-laki yang merupakan asisten dosen pembimbingku.
Mas Arifin saat ini sedang kuliah untuk mendapatkan gelar S2 nya. Usianya sekitar 26 tahun saat ini.
Selain
sebagai asisten dosen, mas Arifin juga punya usaha sendiri. Dia seorang
desain grafis. Hasil-hasil karya nya itu ia jual secara online.
Mas Arifin tinggal sendiri di kota ini, ia menyewa sebuah apartemen. Dia belum menikah.
Padahal mas Arifin memiliki wajah yang cukup tampan. Hidungnya mancung, dengan belahan tipis di tengah dagunya. Rahangnya kokoh, dengan tatapan mata yang berbinar.
Postur tubuhnya juga sangat atletis, dengan tinggi hampir 180 cm. Otot lengan dan dadanya terlihat sangat gagah, terutama ketika ia hanya memakai kaos oblong.
Aku dan mas Arifin jadi kenal dan dekat, karena ia sering membantu ku menyelesaikan beberapa tugas yang di berikan dosen pembimbing ku.
Mas Arifin memang baik orangnya, dan karena itu juga aku menyukainya.
Kedekatan kami kian lama membuat aku kian mengaguminya. Hingga akhirnya aku menyadari kalau aku telah jatuh cinta padanya.
Namun seperti biasa aku hanya bisa memendam semua itu. Aku hanya bisa mengkhayalkan mas Arifin dalam angan paling indah ku.
*****
Hampir setahun aku mengenal dan mengagumi mas Arifin diam-diam. Hingga akhirnya aku pun lulus kuliah, dan berhasil meraih gelar sarjana ku dengan baik.
"makasih ya, mas Arifin." ucapku, beberapa hari setelah aku di wisuda. Aku sengaja mengajak mas Arifin untuk bertemu di sebuah kafe.
Aku berani kan diri untuk mengundangnya, dengan alasan sebagai ucapan terima kasih, karena ia sudah sangat banyak membantu selama proses kelulusan ku.
Di luar dugaan ku, mas Arifin ternyata bersedia untuk datang.
"makasih untuk apa nih?" tanya mas Arifin dengan nada riangnya.
"untuk semuanya, mas." jawabku menahan gugup.
Aku memang selalu merasa gugup saat berbicara berdua dengan mas Arifin.
"salah satunya?" tanya mas Arifin lagi.
"salah satunya.... ya... karena mas Arifin bersedia memenuhi undanganku untuk datang kesini." balas ku ringan.
"ah, kamu bisa aja, Ben. Justru seharusnya aku yang terima kasih sama kamu. Kamu udah sudi ngundang aku kesini. Aku jadi dapat makan gratis kan.." balas mas Arifin dengan nada candanya.
Aku beranikan diri untuk menatap wajah tampan mas Arifin, beberapa saat.
"sebenarnya aku berterima kasih pada mas Arifin karena telah banyak membantu aku selama ini, hingga aku bisa menyelesaikan kuliah ku dengan baik." ucapku kemudian.
"kamu gak usah berterima kasih untuk hal itu padaku. Aku melakukannya dengan tulus, kok. Lagi pula aku hanya sekedar memberi saran, selebihnya kan kamu juga yang menyelesaikannya." balas mas Arifin.
"tapi kalau bukan karena bantuan mas Arifin, aku belum tentu bisa menyelesaikannya secepat ini." ucapku lagi.
"ah, sudahlah. Lupakan saja. Yang penting saat ini, kamu sudah lulus kuliah." balas mas Arifin.
"lalu apa sekarang rencana mu ke depannya?" lanjut mas Arifin bertanya.
Aku menggelang ringan. "entahlah, mas. Aku sudah coba mengirim lamaran kerja ke beberapa tempat." ucapku pelan.
"bagaimana kalau untuk sementara, kamu kerja sama aku aja dulu. Ya.. buat nambah-nambah pengalaman lah. Sebelum kamu mendapatkan panggilan kerja." ucap mas Arifin menawarkan.
"mas Arifin serius?" tanya ku setengah tak percaya.
"iya, saya serius. Kebetulan usaha ku saat ini, sudah cukup berkembang. Jadi aku butuh bantuan untuk mengerjakan beberapa hal." jawab mas Arifin terdengar serius.
"saya mau, mas. Dari pada nganggur gak jelas seperti ini kan?" ucapku akhirnya.
****
Dan sejak saat itulah aku pun semakin dekat dengan mas Arifin. Hampir setiap hari aku ke apartemennya, untuk membantunya bekerja.
Aku memang sedikit menguasai ilmu desain grafis, yang cukup membantu ku untuk bekerja dengan mas Arifin.
Mas Arifin juga juga cukup puas dengan hasil kerja ku.
"kenapa mas Arifin belum nikah?" tanya ku suatu hari di apartemen nya.
"kenapa kamu bertanya seperti itu?" balas mas Arifin balik bertanya.
"gak kenapa-kenapa, sih. Hanya sekedar ingin tahu aja." balasku.
"kan sekarang usia mas Arifin sudah lebih dari 27 tahun. Mas juga sudah punya penghasilan yang lumayan, dan sebentar lagi bakal dapat gelar S2 nya." lanjut ku.
Aku sekarang memang cukup berani berbicara panjang lebar dengan mas Arifin. Mengingat kami memang sudah cukup dekat.
"kamu yakin mau tahu, kenapa aku belum nikah?" tanya mas Arifin kemudian, setelah ia terdiam beberapa saat.
"kalau mas Arifin mau cerita sih." balas ku.
"tapi kamu bisa jaga rahasia kan, Ben?" ucap mas Arifin pelan.
"mas tenang aja. Selain mas Arifin aku mana punya teman lain. Jadi rahasia mas aman sama saya." jawabku penuh keyakinan.
"kamu janji ya, gak bakal ceritakan hal ini pada siapa pun." ucap mas Arifin lagi.
"iya, saya janji, mas." balas ku mantap.
Mas Arifin menarik napas panjang beberapa kali kemudian menghempaskannya dengan berat.
"sebenarnya... sebenarnya aku ini seorang gay, Ben." suara mas Arifin cukup bergetar.
Suara itu sangat pelan. Namun aku mampu mendengarnya dengan baik. Ucapan itu membuat aku tercekat beberapa saat.
Aku hampir tidak percaya, kalau mas Arifin akan berkata seperti itu.
"mas... mas Arifin serius?" tanya ku dengan nada ragu.
"iya, saya serius, Ben. Itulah saya yang sebenarnya. Itu lah kenapa sampai saat ini, aku belum berencana untuk menikah, karena aku memang tidak punya ketertarikan pada perempuan." jelas mas Arifin lagi.
Aku terdiam kembali. Pikiran ku jadi campur aduk.
Aku merasa senang mengetahui, kalau mas Arifin adalah penyuka sesama jenis. Itu artinya aku jadi punya kesempatan untuk mendapatkannya.
Tapi apa mungkin mas Arifin yang gagah dan tampan itu, bisa suka sama saya?
Apa mas Arifin mau punya pacar seperti saya ini?
Berbagai pertanyaan menghantui pikiran ku tiba-tiba.
Namun terlepas dari semua pertanyaan itu, jujur saja aku memang merasa sedikit lega mengetahui semua itu. Aku merasa punya harapan untuk bisa memiliki cinta mas Arifin.
***
"kamu jijik ya mendengarnya?" tanya mas Arifin tiba-tiba melihat keterdiaman ku.
"ah, gak kok, mas. Biasa aja. Aku justru kagum dengan kejujuran mas Arifin." balas ku apa adanya.
"lalu bagaimana dengan kamu, Ben? Apa kamu sudah punya pacar sekarang?" tanya mas Arifin kemudian.
"aku? Aku ... aku gak punya pacar, mas." jawabku jujur.
"kenapa?" tanya mas Arifin lagi.
Aku terdiam kembali. Bingung harus menjawab apa.
Haruskah aku jujur kepada mas Arifin? Seperti yang dilakukannya.
Atau tetap ku pendam saja semua ini?
Tapi sampai kapan aku akan mampu menyimpan semua rahasia dalam hidupku?
Apa lagi perasaan ku kepada mas Arifin kian hari kian membesar.
Sanggupkah aku terus menyimpannya?
Akh, rasanya semakin banyak pertanyaan yang bermunculan di benak ku saat ini.
"kenapa kamu diam, Ben?" tanya mas Arifin yang membuatku sedikit kaget.
"aku... aku belum pernah pacaran, mas." ucapku tanpa sadar.
"kenapa?" tanya mas Arifin lagi.
"karena... karena aku sebenarnya juga sama dengan mas Arifin." jawabku terbata.
"maksud kamu? Kamu juga seorang gay?" tanya mas Arifin menebak.
"iya, mas." jawabku lemah.
"pantas." ucap mas Arifin spontan.
"pantas.... kenapa, mas?" tanya ku.
"ya... pantas, kamu gak pernah pacaran." balas mas Arifin.
"emangnya mas Arifin juga gak pernah pacaran?" tanya ku lagi.
"aku pernah pacaran. Beberapa kali malah." jawab mas Arifin.
"dengan cowok?" tanya ku ragu.
"ya, dengan cowok lah, Ben. Aku kan sudah bilang, kalau aku gak suka cewek. Jadi aku pacarannya ya sama cowok." balas mas Arifin.
"apa sekarang mas Arifin masih punya pacar?" tanya ku ingin tahu.
"itu dia masalahnya, Ben. Aku sendiri tidak yakin, apa aku masih punya pacar atau sudah tidak punya pacar lagi." balas mas Arifin.
"maksudnya, mas?" tanyaku dengan nada heran.
"panjang ceritanya, Ben. Tapi kalau kamu mau mendengarkan cerita ku, kita lanjut ke part berikutnya aja ya." ucap mas Arifin kemudian.
"baiklah, mas. Saya siap mendengarkan cerita mas Arifin kapan saja. Aku tunggu di part berikutnya ya, mas." balas ku yakin.
Mas Arifin pun mengangguk setuju.
Dan kisah ini pun berlanjut ke part berikutnya, dengan kisah yang semakin seru dan penuh kehangatan.
****
Part 2
Malam itu mas Arifin pun mulai menceritakan kisah hidupnya pada ku. Aku pun siap sedia mendengarkan kisah mas Arifin. Aku benar-benar ingin tahu, kenapa laki-laki segagah dan setampan mas Arifin bisa menjadi seorang gay.
Dan beginilah cerita mas Arifin pada ku.
Nama ku Arifin. Aku anak kelima dari enam bersaudara. Lima dari kami bersaudara adalah laki-laki, hanya adik bungsu ku yang seorang perempuan.
Ayah ku seorang petani di kampung, demikian juga ibu ku. Kami sekeluarga memang tinggal di kampung.
Namun sejak lulus SMA, aku pun memutuskan untuk merantau ke kota, untuk kuliah dan juga sambil bekerja. Ayah dan ibu ku memang tidak mampu membiayai aku kuliah.
Semua kakak-kakak ku juga tidak ada yang kuliah, bahkan kakak tertua ku hanya lulusas SD.
Tapi aku tidak ingin mengikuti jejak kakak-kakak ku, yang tidak bersekolah dan menikah dini. Semua kakak-kakak ku hanya bekerja di kampung, ada yang jadi petani dan ada juga yang hanya menjadi buruh.
Sejak kecil aku memang terkenal sebagai anak yang pintar, aku selalu juara kelas. Karena itu, aku tidak ingin menyia-nyiakan kepintaran ku tersebut.
Aku pun meminta restu kepada orangtua ku, untuk pergi ke kota mencari pekerjaan dan juga untuk kuliah.
Awalnya semua terasa berat bagi ku, karena aku tidak punya kenalan di kota. Tapi dengan tekad ku yang kuat, aku akhirnya berhasil menyelesaikan kuliah ku sambil tetap bekerja.
Aku pun kemudian melanjutkan kuliah untuk meraih gelar S2 ku. Aku benar-benar melakukan semuanya sendiri.
Berbagai pekerjaan pernah aku jalani selama aku tinggal di kota. Namun aku tidak pernah menyerah. Meski pun aku hanya sendirian di kota ini.
Dan untuk urusan cinta, aku memang sedikit kurang beruntung. Bukan karena aku tak laku. Tapi karena aku memang punya selera yang berbeda dari laki-laki pada umumnya.
Aku lebih punya ketertarikan pada sesama laki-laki bukan kepada perempuan, sebagaimana seharusnya.
Namun hal itu terjadi bukan tanpa sebab. Ada kisah pilu yang aku alami, hingga aku punya selera yang berbeda.
Kisah pilu itu terjadi pada saat aku pertama kali datang ke kota. Saat itu aku masih sangat muda, aku baru saja lulus SMA.
Seorang laki-laki paroh baya saat itu, namanya mas Doni, menjanjikan aku sebuah pekerjaan. Karena aku memang butuh pekerjaan, aku pun menuruti saja setiap perkataan laki-laki tersebut.
Tapi ternyata mas Doni hanya memanfaatkan ku. Ia berjanji akan memberikan aku pekerjaan dengan syarat aku harus bersedia melayaninya, untuk memenuhi hasrat nya yang menyimpang.
Aku ingin menolak waktu itu, tapi demi mendapatkan pekerjaan aku pun mencoba mengikuti keinginan laki-laki bejat itu.
Hampir sebulan aku tinggal berdua bersama mas Doni, dan hampir setiap malam aku harus memenuhi hasratnya. Namun mas Doni tak kunjung memberikan aku pekerjaan.
Setiap kali aku mempertanyakan tentang pekerjaan yang di janjikannya, ia selalu memberikan aku harapan dan meminta aku untuk tetap sabar menunggu.
Aku mencoba menunggu awalnya. Namun lama kelamaan aku mulai curiga, kalau mas Doni hanya sekedar memberi janji padaku. Ia hanya menginginkan tubuh ku. Ia hanya memanfaatkan ku. Padahal ia sebenarnya tidak punya pekerjaan apa-apa untukku, selain melayaninya.
Menyadari hal tersebut, aku pun berinisiatif untuk melarikan diri. Aku ingin pergi dari kehidupan mas Doni. Aku tak ingin selamanya terkurung dalam janji-janji laki-laki itu. Dan aku pun akhirnya benar-benar kabur dari rumah mas Doni.
Aku berhasil kabur dan mulai mencari pekerjaan dengan cara ku. Aku memang berhasil mendapatkan pekerjaan dan juga aku pun kemudian bisa kuliah. Tapi ada satu hal yang tersisa dari kejadian ku dengan mas Doni, yakni selera ku terhadap perempuan.
Dulu aku selalu mengagumi sosok perempuan, aku bahkan pernah pacaran dengan perempuan ketika SMA. Tapi sejak kejadian yang aku alami bersama mas Doni, aku tiba-tiba saja lebih sering memikirkan sosok seorang laki-laki dalam hidupku.
Semakin lama hal tersebut semakin besar aku rasakan. Aku merasa tersiksa dengan semua itu.
Bayangan aku melakukan hal tersebut bersama mas Doni, masih sering melintas dalam pikiran ku.
Dan aku juga sering mengkhayalkan hal tersebut, bahkan aku mengkhayalkannya dengan beberapa orang laki-laki yang aku kenal.
Untuk menutupi hal tersebut, aku pernah mencoba pacaran dengan perempuan, teman kampus ku. Tapi aku tidak bisa merasakan apa-apa terhadap pacar perempuan ku tersebut. Aku justru semakin sering memikirkan laki-laki dalam hidup ku.
*****
Karena sudah tidak mampu lagi menahan perasaan ku, aku pun memutuskan pacar perempuan ku dan mencoba berselancar di dunia maya. Aku mencoba mencari laki-laki yang punya selera yang sama dengan ku.
Sampai akhirnya aku bertemu Dito, seorang pemuda tampan yang waktu bekerja di sebuah mini market.
Dito lebih muda satu tahun dari ku, namun ia sudah cukup berpengalaman dalam dunia gay.
Karena merasa sama-sama tertarik, aku dan Dito pun sepakat untuk menjalin hubungan asmara. Tentu saja secara diam-diam.
Sejak berpacaran dengan Dito, aku pun seolah telah menemukan apa yang aku cari. Aku merasa kalau saat itu, aku telah menjadi diri ku sendiri, diriku yang sebenarnya.
Aku sangat menikmati dunia itu. Bersama Dito aku merasakan kebahagiaan. Hidupku terasa lengkap dan indah.
Namun hubungan kami hanya bertahan lebih kurang dua tahun. Karena setelah hampir dua tahun hubungan kami, Dito tiba-tiba menghilang.
Dito seperti sengaja menghindariku. Aku tak pernah tahu apa alasannya. Mungkin ia merasa bosan atau ia telah menemukan laki-laki lain. Aku tak pernah mendapatkan jawabannya. Namun yang pasti, sejak saat itu aku tak lagi pernah bertemu dengan Dito.
Aku pun belajar untuk melupakan Dito, dan mencoba menjalani kehidupan lagi, meski tanpa Dito.
Setahun kesendirian ku, aku pun kemudian bertemu dengan Arya. Seorang laki-laki paroh baya yang saat itu sudah menikah dan sudah punya anak.
Tapi aku dan Arya saling tertarik. Dan kami pun menjalin hubungan asmara.
Namun hubunga ku dengan Arya tidak bertahan lama. Karena aku tidak bisa berbagi Arya dengan istrinya. Aku selalu merasa cemburu, setiap kali Arya harus pulang ke rumah istrinya.
Padahal dari awal perjanjian kami memang seperti itu. Namun karena aku terlalu mencintai Arya, aku pun memberikannya pilihan, antara bertahan dengan ku tapi ia harus menceraikan istrinya atau tetap hidup bersama istrinya dan melepaskan ku.
Arya jelas saja lebih memilih istrinya. Selain karena ia lebih dulu bersama istrinya di banding aku, juga karena sudah jelas sekali hubungannya dengan ku tidak akan bertahan lama.
Aku pun akhirnya harus melepaskan Arya, meski pun hatiku sakit karenanya. Tapi aku tidak ingin menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri, karena itu sangat menyiksaku.
****
Aku pun kembali dengan kesendirian ku. Aku lebih fokus pada kuliah dan pekerjaan ku. Sampai kemudian aku pun lulus kuliah.
Aku kemudian mengajukan diri untuk menjadi seorang asisten dosen, sambil tetap menjalankan usaha desain grafis online ku.
Dan saat itulah aku bertemu mas Angga. Dia seorang dosen dan juga seorang duda.
Mas Angga meminta ku untuk menjadi asisten dosennya. Aku setuju dengan syarat aku di beri kesempatan untuk melanjutkan kuliah S2 ku.
Aku dan mas Angga pun menjadi dekat. Aku jadi tahu semuanya tentang mas Angga.
Istri mas Angga meninggal beberapa tahun yang lalu, dengan meninggalkan seorang putri dan juga seorang putra. Putrinya sudah berusia enam belas tahun, sedangkan putranya sudah berusia dua belas tahun.
Mas Angga memang sudah berusia 42 tahun waktu itu. Namun raut ketampanannya masih terlihat jelas. Sisa-sisa kegagahannya masih terlihat, meski sekarang tubuhnya sedikit gempal.
Mendengar semua kisah hidup mas Angga dan juga karena ketampanan dan kegagahannya, aku pun mulai jatuh hati padanya.
Karena sudah merasa sangat dekat, aku pun nekat mengungkapkan perasaanku padanya. Dan di luar dugaanku mas Angga ternyata bersedia menerima cinta ku. Katanya semenjak istrinya meninggal ia selalu merasa kesepian, dan kehadiran ku telah mampu mengusir setiap kesepian itu.
Aku dan mas Angga pun menjalin hubungan asmara secara diam-diam. Meski pun di mata orang-orang termasuk di mata anak-anak mas Angga, hubungan kami hanyalah hubungan seorang dosen dengan asistennya.
Kami sering menghabiskan waktu berdua. Kami sangat menikmati kebersamaan kami. Aku pun merasa sangat bahagia dengan semua itu.
Namun kebahagiaan ku tidak berlangsung lama. Karena setahun kemudian, keluarga mas Angga meminta mas Angga untuk segera menikah lagi. Mereka bahkan sudah menyiapkan jodoh untuk mas Angga.
Mas Angga tak kuasa menolak, karena hal itu juga menjadi permintaan dari anak-anaknya. Biar bagaimana pun, anak-anak mas Angga butuh sosok seorang ibu dalam hidup mereka.
Aku merasa patah mendengar hal tersebut, namun mas Angga berjanji akan tetap menjalin hubungan dengan ku, meski pun ia sudah menikah.
Aku yang sudah penah mencoba menjalin hubungan dengan laki-laki sudah menikah, merasa sangat tidak siap untuk mengulangi hal itu lagi.
Aku pun menjadi dilema. Di satu sisi, aku sangat mencintai mas Angga, namun di sisi lain, aku tak siap berbagi dirinya dengan siapa pun.
"dan itulah penjelasanku tentang jawaban ku padamu, Ben. Tentang jawaban ku, yang aku tidak tahu, apa aku masih punya pacar atau sudah tidak punya pacar lagi." ucap mas Arifin mengakhiri ceritanya.
"jadi apa sekarang mas Angga itu sudah menikah?" tanya ku penasaran.
"dia masih menunggu persetujuan ku, Ben. Namun aku belum bisa memberi kepastian. Aku masih dilema. Aku tak mungkin mencegah mas Angga untuk menikah, karena itu demi kebahagiaan anak-anaknya. Tapi aku juga tidak bisa merelakannya hidup bersama orang lain." jelas mas Arifin pilu.
"tapi bukannya mas Angga itu berjanji akan tetap bersama mas Arifin meski pun ia sudah menikah nantinya." ucap ku lagi.
"iya, tapi aku yang tidak bisa berbagi dirinya dengan orang lain. Seperti yang aku ceritakan, kalau aku pernah mencoba menjalin hubungan dengan laki-laki beristri dan rasanya itu menyakitkan bagi ku. Karena itu, aku tidak ingin mengulanginya lagi." jelas mas Arifin.
"mungkin memang sudah saatnya mas Arifin untuk merelakan mas Angga menikah lagi." ucapku tanpa sadar.
"kenapa kamu berpikir seperti itu?" tanya mas Arifin.
"karena... karena menurutku itu adalah yang terbaik untuk kalian berdua. Dan karena mungkin setelah itu, mas Arifin akan bisa menemukan penggantinya." balas ku sedikit bergetar.
"ah, tak mudah bagi ku untuk melepaskan mas Angga. Dan aku tidak akan mudah untuk menemukan penggantinya." ucap mas Arifin kemudian.
"lalu apa yang akan mas Arifin lakukan sekarang?" tanya ku.
"entahlah, Ben. Aku mungkin butuh waktu untuk memikirkan ini semua. Namun apa pun keputuan ku, hanya bisa kita saksikan pada part berikutnya." jawab mas Arifin pelan.
"baiklah, mas. Kita tunggu aja kelanjutannya di part berikutnya." ucapku ringan.
*****
Part 3
Hari-hari terus berlalu. Aku dan mas Arifin semakin dekat dan akrab. Kami juga sudah saling terbuka satu sama lain, tentang siapa kami sebenarnya. Meski pun hingga saat ini aku masih belum berani untuk jujur kepada mas Arifin tentang perasaan ku padanya.
Aku tidak berani untuk jujur, bukan saja karena aku takut mas Arifin akan menolakku, tapi juga karena mas Arifin saat ini masih berstatus pacar orang. Walau pun hubungan mas Arifin dan mas Angga, pacarnya itu, sedang dalam masalah.
Namun aku tidak mungkin selamanya memendam perasaan ku pada mas Arifin. Apa lagi saat ini kami semakin sering menghabiskan waktu berdua.
"jadi, sekarang gimana hubungan mas Arifin dengan mas Angga?" tanyaku suatu hari di apartemennya.
"yah, begitulah, Ben. Belum ada kejelasan. Tapi sepertinya mas Angga tetap akan harus menikah. Aku tak bisa mencegahnya lagi." balas mas Arifin dengar nada lirih.
"mungkin memang harus seperti itu, mas. Lagi pula meski pun mas Angga akhirnya menikah, kalian kan tetap bisa berhubungan." ucapku pelan.
"iya, sih. Tapi seperti yang selalu aku katakan, aku tak bisa menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri. Namun untuk saat ini, mungkin aku akan mencobanya lagi, karena aku belum siap berpisah dari mas Angga." balas mas Arifin lagi.
Aku merasa kecewa sebenarnya mendengar semua itu. Aku berharapnya sih, mas Arifin bisa berpisah dari mas Angga. Karena dengan begitu aku jadi punya kesempatan untuk mendapatkannya.
Aku merasa tersiksa dengan perasaan ku pada mas Arifin. Dia berada sangat dekat dengan ku, namun aku tidak bisa menggapainya. Aku hanya bisa mengkhayalkannya setiap malam, berharap suatu saat kelak kami bisa menjalin hubungan cinta.
Akh, cinta? Tak bolehkah aku memilikinya? Mengapa cinta begitu menyiksa perasaan ku?
Cinta yang begitu termasyhur, mengapa harus begitu menyakitkan bagi ku?
Tak adakah sedikit celah di hati mas Arifin untuk bisa menerima kehadiran ku?
Dan pada akhirnya aku pun menyerah.
****
"aku diterima kerja di salah satu perusahaan IT, mas. Jadi mulai besok aku sudah tidak bekerja bersama mas Arifin lagi." ucapku pada mas Arifin, suatu sore.
"iya, gak apa-apa, Ben. Memang sudah saatnya kamu mendapatkan pekerjaan yang layak." balas mas Arifin ringan.
"makasih ya, mas. Sudah memberikan aku kesempatan untuk bekerja bersama mas Arifin selama ini. Sudah sangat banyak pengalaman yang aku dapat selama bekerja di sini. Dan aku juga minta maaf, karena belum bisa memberikan yang terbaik buat mas Arifin." ucap ku lagi.
"akh, kamu ngomonh apa sih, Ben. Aku yang harusnya terima kasih sama kamu, kamu sudah sangat banyak membantu pekerjaan saya. Saya juga yang harusnya minta maaf, karena sudah merepotkan kamu. Saya juga tidak bisa memberi kamu gaji yang layak." balas mas Arifin kemudian.
Sebenarnya aku merasa berat harus berhenti bekerja dengan mas Arifin. Tapi tawaran kerja dari perusahaan IT yang aku dapat, memang sangat menjanjikan. Dan itu adalah impian ku sejak lama.
Lagi pula jika aku terus bekerja bersama mas Arifin, aku takut, aku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku. Dan hal itu jelas akan merusak keakraban kami selama ini.
"sebelum aku pergi, ada satu hal yang ingin aku utarakan pada mas Arifin." ucapku selanjutnya.
"apa?" tanya mas Arifin singkat.
"sebenarnya.. .sebenarnya aku suka sama mas Arifin sudah sejak lama." ucapku dengan suara terbata.
Mas Arifin menatapku tajam. Namun ia tidak mengatakan apa-apa untuk menanggapi ucapan ku barusan.
"sudah sejak lama juga aku ingin mengatakan ini pada mas Arifin. Tapi aku takut. Aku tidak pernah punya keberanian untuk mengungkapkannya." aku berucap lagi.
Aku memang sudah bertekad untuk mengatakan semuanya pada mas Arifin, sebelum aku benar-benar pergi dari kehidupannya.
"saat aku tahu, kalau mas Arifin juga seorang gay, aku merasa punya harapan untuk bisa memiliki mas Arifin. Namun ketika aku tahu, kalau mas Arifin masih punya hubungan dengan mas Angga, seperti yang mas Arifin ceritakan, aku kembali mengubur harapanku itu." lanjutku lagi.
"aku mengatakan ini semua, bukan karena aku berharap mas Arifin akan membalas perasaanku, karena hal itu jelas tidak mungkin saat ini. Tapi aku mengatakan ini, hanya agar mas Arifin bahwa aku mencintai mas Arifin. Dan bahwa masih ada seseorang yang mengharapkan mas Arifin dengan tulus." ucapku lagi melanjutkan.
"maafkan aku, Ben.." pelan suara mas Arifin berucap.
Aku hanya mengangguk ringan. Meski pun aku tidak tahu pasti, entah bagian mana yang membuat mas Arifin harus minta maaf.
Namun yang pasti, setelah berpamitan, aku pun segera pergi meninggalkan apartemen mas Arifin sore itu. Begitu banyak kenangan sebenarnya di apartemen sederhana tersebut. Namun aku harus bisa melupakannya. Karena setelah ini dan selanjutnya, mas Arifin hanya akan menjadi cerita yang akan segera berlalu.
*****
Aku pun mulai menjalani kehidupan baru ku. Meski pun sebenarnya tidak banyak yang berubah dari rutinitas yang aku lakukan.
Semuanya masih terasa sama. Hanya saja sekarang aku sudah bekerja di kantor yang cukup elite, meski pun aku masih menjadi staff di sana.
Selain hal itu, semuanya masih tetap sama bagiku. Aku masih sering memikirkan mas Arifin. Aku masih belum bisa melupakannya. Meski aku telah melakukan banyak cara untuk bisa menghapus bayangan wajah tampannya itu. Tapi tetap saja senyum tulusnya itu terus menghantui setiap khayalanku.
Di kantor baru ku, aku pun mulai berkenalan dengan beberapa orang rekan kerja baru ku. Salah satunya adalah mas Danang. Dia rekan kerja senior ku.
Mas Danang orangnya cukup baik. Dia juga dengan sabar membimbingku dalam pekerjaan.
Mas Danang sudah cukup berumur. Dia juga sudah menikah dan sudah punya dua orang anak.
Mas Danang tidak terlalu tampan, namun postur tubuhnya cukup atletis dan kekar. Kadang-kadang aku juga sering mengkhayalkannya.
Hal itu aku lakukan bukan karena aku benar-benar tertarik padanya, tapi karena aku ingin mengalihkan perasaan ku yang masih saja memikirkan mas Arifin.
Aku berharap dengan memikirkan laki-laki lain selain mas Arifin, aku bisa segera melupakannya.
Tapi sepertinya hal itu terasa sia-sia bagiku, karena semakin aku coba melupakan mas Arifin, semakin aku tersiksa karenanya.
"melamun lagi, Ben?" suara mas Danang mengagetkan ku tiba-tiba.
"ah, gak kok, mas." jawabku sedikit berdusta.
"ya udah, mari kita makan siang." ajak mas Danang selanjutnya. Karena memang sudah waktunya jam istirahat siang.
Aku pun segera bangkit dari tempat dudukku dan mengikuti langkah mas Danang keluar dari ruangan kerja kami.
Seperti biasa kami pun segera menuju kantin yang berada di lantai dasar gedung tersebut.
Aku dan mas Danang memang sudah cukup dekat, kami juga sering makan bersama.
"kamu kenapa belum menikah, Ben?" tanya mas Danang.
Aku hanya diam. Tak berniat untuk menjawab pertanyaan basa-basi tersebut.
"kamu sebaiknya segera nikah, Ben. Agar kamu gak sering melamun lagi." ucap mas Danang lagi.
"sebenarnya apa sih yang sering kamu lamunkan, Ben?" tanya mas Danang melanjutkan ucapannya, melihat aku hanya terdiam.
"aku melamunkan mas Danang." jawabku dengan sengaja bernada canda.
"ah, kamu bisa aja, Ben. Tapi kalau memang benar kamu melamunkan saya, saya malah senang." balas mas Danang, sambil sedikit tersenyum.
"mas Danang serius?" tanya ku benar-benar ingin tahu.
"iya, saya serius. Aku juga kadang-kadang sering memikirkan kamu, Ben." balas mas Danang.
"tapi.. kan... mas Danang udah punya istri dan anak?" tanya ku sedikit ragu.
"emangnya gak boleh ya, laki-laki yang sudah punya istri dan anak memikirkan laki-laki juga?" tanya mas Danang lagi.
"ya... boleh aja, sih. Tapi itu kan berarti kalau mas Danang juga punya selera terhadapa laki-laki." balasku.
"sebenarnya dari dulu aku juga punya selera terhadap laki-laki. Tapi karena keadaan dan kodrat, aku pun terpaksa harus menikah. Meski pun aku sebenarnya tidak menginginkan hal tersebut." ucap mas Danang terdengar jujur.
"jadi kalau seandainya aku suka sama mas Danang, apa mas Danang mau?" tanyaku dengan suara tertekan.
"aku sih mau aja, Ben. Lagi pula sudah lama aku tidak pernah dekat dengan laki-laki. Tapi kamunya mau gak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah menikah?" balas mas Arifin dengan nada tanya.
"itu dia masalahnya, mas. Aku tidak suka menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri." ungkap ku jujur.
Untuk kali ini, mas Danang pun terdiam. Sepertinya ia cukup merasa kecewa mendengar kalimat ku barusan.
"tapi... kalau untuk mas Danang, sepertinya aku punya pertimbangan sendiri. Namun untuk saat ini, aku masih harus memikirkannya lebih dalam lagi." ucapku kemudian.
Bukan sekedar untuk menyenangkan hati mas Danang, tapi juga sebenarnya aku memang harus mempertimbangkan hal tersebut. Karena aku tidak ingin selamanya hidup dalam bayang-bayang ku tentang mas Arifin.
*****
"aku kangen kamu, Ben." begitu ucap mas Arifin memulai pembicaraan kami sore itu.
Yah, setelah hampir tiga bulan kami tidak bertemu, tiba-tiba mas Arifin meminta aku untuk datang ke apartemennya. Dan sore itu sepulang kerja, aku pun mampir di apartemen mas Arifin.
"aku juga kangen sama mas Arifin." balas ku jujur.
"apa rasa cintamu padaku masih ada sampai saat ini untukku, Ben?" tanya mas Arifin kemudian.
"kenapa mas Arifin mempertanyakan hal tersebut?" tanya ku balik.
"aku sudah memikirkan semuanya, Ben. Aku akhirnya membiarkan mas Angga untuk menikah. Dan kami pun sepakat untuk saling melepaskan. Kami sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Dan dalam kesendirian ku itulah, akhirnya aku sadar, bahwa aku sebenarnya juga menyukai kamu, Ben." ucap mas Arifin membalas.
"aku juga menyayangi kamu, Ben. Namun selama ini hatiku tertutup, karena selalu memikirkan hubunganku dengan mas Angga. Aku selalu mengabaikan kehadiran kamu, karena selalu memikirkan mas Angga. Dan ketika akhirnya mas Angga benar-benar pergi, aku baru menyadari semua itu." lanjut mas Arifin lagi.
Aku masih terdiam. Mencoba mencerna setiap kalimat yang di ucapkan mas Arifin barusan.
Akh, hati ku tiba-tiba saja menjadi dilema. Kenapa mas Arifin baru datang sekarang? Saat aku mulai membuka hatiku untuk kehadiran laki-laki lain. Untuk mas Danang.
"kamu sudah tidak mencintai ku lagi ya, Ben?" tanya mas Arifin dengan nada pilu.
Aku menatap mas Arifin. Memandanginya dengan penuh perasaan. Untuk sekedar memastikan perasaanku padanya saat ini.
Aku memang masih sangat mencintai mas Arifin. Aku tak bisa memungkiri hal tersebut. Tapi aku sudah terlanjur memberi harapan kepada mas Danang. Aku tak ingin mengecewakan laki-laki baik itu.
"jawab aku, Ben. Aku butuh kepastian." suara mas Arifin cukup mengagetkan ku.
"aku... aku .. sebenarnya... masih sangat mencintai mas Arifin. Tapi aku butuh waktu, mas." ucapku akhirnya.
"butuh waktu untuk apa?" tanya mas Arifin.
"entahlah, mas. Aku hanya merasa belum siap menerima semua kenyataan ini. Aku sudah terlanjur mencoba mengubur harapan ku tentang mas Arifin. Dan saat aku hampir bisa melakukannya, mas Arifin datang. Aku merasa belum siap." ucapku tak menentu.
"tapi kamu masih mencintaiku kan, Ben?" tanya mas Arifin dengan nada ragu.
"iya, mas. Aku masih mencintai mas Arifin." jawabku jujur.
"lalu apa lagi yang kamu pikirkan?" tanya mas Arifin lagi.
Aku terdiam kembali. Aku tidak mungkin menceritakan tentang mas Danang pada mas Arifin. Namun aku juga tidak mungkin menolak kesempatan untuk bisa bersama mas Arifin.
Mungkin memang lebih baik aku menerima kehadiran mas Arifin yang memang sudah sangat lama aku nantikan. Dan tentang mas Danang, aku pasti bisa memberi pengertian padanya. Lagi pula aku juga tidak menjanjikan apa-apa pada mas Danang, dan lagi pula bukankah mas Danang juga sudah punya istri dan anak, dan lagi pula aku juga sebenarnya tidak terlalu tertarik padanya.
"aku mau, mas. Tapi...aku harap mas Arifin jangan pernah meninggalkan aku... selamanya.." ucapku akhirnya yang membuat mas Arifin tersenyum senang.
"aku janji, Ben. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu." ucap mas Arifin yakin.
Dan aku pun merebahkan tubuhku di dada bidang mas Arifin. Aku merasa hangat dan nyaman.
Oh, beginikah rasanya bisa memiliki orang yang kita cintai?
Aku merasa sangat bahagia saat ini.
"apa masih ada part berikutnya untuk kisah cinta kita, mas?" tanya ku masih dalam dekapan mas Arifin.
"aku rasa cukup, Ben. Kita tidak perlu part berikutnya untuk menceritakan keindahan cinta kita. Cukup hanya kita berdua yang akan merasakannya." balas mas Arifin mantap.
Dan kisah ini pun berakhir dengan indah. Dua hati yang saling jatuh cinta pun akhirnya menyatu.
Demikian kisah cinta laki-laki biasa ini terlukis.
Sampai jumpa lagi di cerita-cerita selanjutnya, salam sayang selalu buat kalian semua.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih