Bara menatapku tajam. Ia seakan tak percaya dengan apa yang barusan aku ucapkan padanya.
"kamu serius, Be?" tanya Bara akhirnya.
"aku serius, Bar. Aku sudah tidak punya alasan lagi untuk menolak. Orangtua ku juga sudah mengatur semuanya, Bar. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi saat ini, selain menerima semuanya." jelasku kemudian.
Ku dengar Bara menarik napas berat, kemudian ia hempaskan perlahan. Aku tahu apa yang di rasakan Bara. Ia pasti sangat kecewa padaku.
"kita tetap bisa bersama-sama setelah ini, Bar. Aku janji." ucapku lagi.
"aku tidak mau lagi percaya dengan janji kamu, Be. Dulu, kamu juga janji, kalau kamu tidak akan pernah menikah. Tapi kenyataannya sekarang..." suara Bara mulai parau.
"maafkan aku, Bar. Aku hanya ingin memenuhi keinginan orangtuaku. Bukan berarti aku mengkhianati cinta kita." balasku lirih.
"gak ada bedanya bagiku, Be. Kamu menikah karena keinginan mu sendiri atau pun karena orangtua mu, tetap saja aku merasa tersakiti. Dan tetap saja kamu telah mengingkari janji mu padaku." ucap Bara.
Aku kembali terdiam. Aku tidak tahu lagi, bagaimana caranya agar Bara bisa mengikhlaskan aku menikah dengan gadis pilihan orangtua ku. Aku tahu, kalau Bara sangat mencintaiku, dan aku juga sangat mencintainya.
Lebih dari lima tahun kami bersama. Menjalin cinta dengan begitu indah. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk kami saling mendalami perasaan kami masing-masing.
Aku masih ingat dengan jelas, saat pertama kali kami bertemu, sekitar enam tahun yang lalu. Saat itu kami masih sama-sama kuliah. Kebetulan kami berada di kampus, fakultas dan kelas yang sama. kami jadi sering bersama, karena sering mengerjakan tugas kuliah bersama.
Dan beriring berjalannya waktu, kami pun semakin dekat dan akrab. Cinta pun tumbuh diantara kami berdua. Kami pun akhirnya saling jujur tentang perasaan kami masing-masing. Setelah itu kami pun sepakat untuk menjalin hubungan asmara.
Selama lebih lima tahun pacaran, belum pernah ada masalah yang berarti di antara kami. Hubungan kami terjalin dengan indah.
Setelah sama-sama lulus kuliah, kami masih tetap menjalin hubungan meski pun kami bekerja di tempat yang berbeda. Bara bekerja di sebuah perusahaan elektronik, sedangkan aku bekerja di perusahaan papa ku.
Sebagai anak tunggal, aku memang di tuntut lebih oleh kedua orangtua ku. Aku harus bekerja di perusahaan papa, karena aku satu-satunya pewaris perusahaan tersebut.
Dan sebagai anak tunggal juga, aku jadi sering di tuntut untuk segera menikah, terutama oleh mama ku.
Selama ini aku selalu mencari alasan, untuk menghindari permintaan tersebut. Aku memang tidak berencana untuk menikah. Karena aku sudah merasa sangat bahagia bisa bersama Bara. Aku merasa sudah cukup dengannya. Hidupku terasa lengkap bersama Bara.
Namun mama ku ternyata tidak tinggal diam. Ia bahkan diam-diam mencari jodoh untukku.
Saat mengetahui hal itu, aku sempat marah sama mama. Aku sempat beberapa hari tidak pulang. Mama akhirnya menyerah, dan berjanji untuk tidak lagi mengurusi tentang jodoh ku.
Tapi setahun kemudian, mama tiba-tiba mengalami sakit yang cukup kronis. Kata dokter mama mengalami penyakit jantung yang sudah cukup akut. Mama harus di rawat di rumah sakit.
Hal terakhir yang di inginkan mama dariku ialah melihat aku menikah sebelum ia benar-benar pergi. Untuk kali ini aku tidak bisa lagi menolaknya. Aku terpaksa menyetujui permintaan mama. Karena kata dokter mama tidak boleh berpikir terlalu keras. Ia tidak boleh stress.
Aku hanya berpikir, mungkin dengan memenuhi permintaannya, mama akan bisa pulih kembali.
****
"aku mencintai kamu, Be. Selalu dan selamanya. Tapi aku juga tidak bisa berbagi dirimu dengan orang lain. Aku gak sanggup, Be. Jadi, kalau kamu memang harus menikah, lebih baik kita juga tidak berhubungan lagi." ucap Bara akhirnya setelah cukup lama kami saling terdiam.
"ini tidak mudah bagiku, Bar. Ini bukan pilihan yang mudah. Kamu harusnya ngerti." balasku lirih.
"aku ngerti, Be. Karena itu aku memilih untuk mundur." ucap Bara membalas.
"itu bukan pilihan yang terbaik, Bar." sela ku ringan.
"lalu apa pilihan terbaiknya, Be?" balas Bara meninggi, "apa kamu berharap, aku akan tetap bertahan dan menyaksikan kamu menikah dengan orang lain, kemudian bersabar menunggu setiap harinya, sementara kamu sedang bersama istri mu? Apa pilihan itu yang kamu inginkan?" suara Bara makin meninggi.
"aku akan selalu ada buat kamu, Bar. Kapan pun kamu membutuhkan ku." balas ku berusaha menahan gejolak hatiku yang tiba-tiba saja terasa perih.
"aku membutuhkan kamu setiap saat, Be. Apa hal itu bisa kamu penuhi nantinya?" tanya Bara.
"kamu jangan egois gitu, dong." timpalku.
"apa? Aku egois? Kamu gak salah? Bukannya saat ini aku yang jadi korban, Be. Kenapa kamu mengatakan aku yang egois?" suara Bara meninggi lagi.
"aku juga korban dalam hal ini, Bar. Aku harus berpura-pura bahagia dengan pernikahan yang tidak aku inginkan sama sekali." balas ku ikut meninggi.
"kamu bisa memilih untuk tidak menikah, Be." ucap Bara tajam.
"dan membiarkan mama ku mati karena aku tidak bisa memenuhi permintaannya?" balasku cepat.
"kematian seseorang tidak di tentukan oleh seseorang lainnya, Be. Itu semua sudah ada yang ngatur. Kamu tidak bisa mencegah kematian mama kamu, hanya dengan kamu memenuhi keinginannya." ucap Bara.
"tapi setidaknya, aku berusaha memberikan yang terbaik buat mama ku sebelum akhirnya ia benar-benar pergi. Setidaknya aku tidak menjadi anak durhaka." balas ku lantang.
"dengan berpura-pura memenuhi keinginannya, kamu sudah jadi anak durhaka, Be." balas Bara pelan.
"terserah kamu menilai aku bagaimana, Bar. Aku capek berdebat sama kamu. Kalau kamu memang tidak mau mengerti, mungkin memang lebih baik kita akhiri saja semua ini." ucapku akhirnya.
Kali ini Bara terdiam. Dia melemparkan sebongkah batu kecil ke tengah-tengah lautan. Kami memang sedang berada di sebuah pantai saat itu. Tempat itu merupakan tempat biasa kami bertemu. Sebuah pantai yang cukup sunyi. Di mana kami merasa bebas, untuk saling berbicara.
"jadi hubungan kita yang sudah lebih dari lima tahun itu, hanya berakhir begini saja?" tanya Bara tiba-tiba, suaranya serak.
"jika itu pilihan mu, Bar." balasku lemah.
"ini bukan pilihan ku, Be. Ini pilihan kamu." ucap Bara mengeras.
"terserah kamu, Bar. Aku capek. Aku ingin pulang." balasku ringan.
Aku memang merasa lelah harus berdebat dengan Bara begitu lama. Namun perdebatan kami tidak menghasilkan apa-apa. Semuanya hanya berujung pada sebuah perpisahan. Perpisahan yang sebenarnya sama-sama tidak kami inginkan.
****
Pernikahan ku berlangsung dengan cukup meriah sebenarnya. Namun aku tak dapat menikmati kemeriahan tersebut. Pikiran ku hanya tertuju pada Bara. Sudah lebih dari sebulan kami tidak bertemu, sejak perdebatan kami di pantai waktu itu.
Bara sudah tidak pernah menghubungi ku lagi, aku pun enggan untuk menghubunginya. Karena selain kesibukan ku untuk mempersiapkan pesta pernikahan ku, aku juga merasa takut untuk menghubunginya. Takut kalau kami akan berdebat kembali. Perdebatan yang sia-sia.
Pesta pernikahan ku pun usai. Aku sekarang sudah berstatus suami orang. Aku dan istri ku masih tinggal serumah dengan papa dan mama ku, karena begitulah permintaan mama. Ia ingin menikmati saat-saat terakhir hidupnya bersama kami.
Sebagai seorang suami, aku tetap menjalankan kewajiban ku terhadap istriku. Aku tak ingin membuat istriku curiga. Aku berusaha bersikap seolah-olah aku menginginkannya. Meski dalam hati dan pikiranku hanya ada Bara.
Entah dimana dia sekarang. Entah apa yang dilakukannya saat ini.
Sampai setelah seminggu setelah pernikahanku, aku nekat mendatangi kediaman Bara. Bara memang tinggal di sebuah apartemen sendirian. Dia memang tinggal sendiri di kota ini. Orangtua dan semua keluarganya berada di kampung. Bara memang sudah hidup mandiri sejak ia kuliah.
Sesampai di apartemen itu, aku tak menemukannya. Apartemennya terkunci. Menurut keterangan dari salah seorang penghuni apartemen lainnya, Bara sudah lebih dari sebulan tidak berada di apartemennya.
Aku mencoba menghubungi ponsel Bara, tapi nomornya sudah tidak aktif. Aku kehilangan semua kontak dengannya.
Tiba-tiba aku benar-benar telah merasa kehilangan dirinya. Tiba-tiba aku merindukan sosok cowok tampan itu. Kemana Bara sebenarnya?
****
Berhari-hari, berminggu-minggu bahkan lebih dari enam bulan aku tak mendapat kabar apa pun dari Bara. Bahkan menurut keterangan dari kantor tempat ia bekerja, Bara sudah lama mengundurkan diri dari pekerjaannya.
Aku pun memutuskan untuk mendatangi kampung halaman Bara. Aku berharap bisa menemukan Bara di sana.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang dan beberapa kali harus nyasar, aku pun sampai ke kampung halaman Bara. Aku memang belum pernah ke kampung Bara. Beruntunglah dulu Bara pernah cerita sedikit banyak tentang kampung halamannya itu.
Aku sampai ke rumah Bara, saat hari sudah menjelang malam. Orangtua Bara menyambutku dengan ramah. Bara juga punya dua orang adik perempuan. Kakak tertuanya, laki-laki sudah menikah dan sudah tinggal di rumahnya sendiri, tak jauh dari kediaman orangtuanya.
"jadi nak Abe ini teman Bara waktu kuliah dulu?" tanya ibu Bara, saat aku sudah berada di dalam rumah mereka.
"sebenarnya sampai sekarang kami masih berteman, buk." balasku apa adanya.
"tapi sudah lebih dari enam bulan ini aku tak pernah bertemu Bara lagi. Aku juga tidak bisa menghubunginya, mungkin Bara udah ganti nomor." lanjut ku menjelaskan.
"Bara juga sebenarnya sudah lebih dari setahun tidak pulang, nak. Terakhir ia mengabarkan kami, kalau ia akan pindah kerja. Itu mungkin sekitar enam bulan yang lalu. Setelah itu, kami juga kehilangan kontak dengan dia." kali ini ayahnya Bara yang berbicara.
"Bara pindah kerja?" tanya ku heran. "kemana kira-kira ya, pak?" lanjutku.
"kami juga kurang tahu, nak. Katanya sih mau coba keberuntungannya di kota Bandung atau Jogja. Kami juga kurang jelas. Bara tidak menjelaskan secara rinci. Kami juga sebenarnya sangat mencemaskan Bara. Tapi kami benar-benar sudah tidak bisa menghubunginya lagi." jelas ayah Bara.
"semoga Bara baik-baik saja ya, nak Abe." ibu Bara tiba-tiba menimpali.
"iya, buk. Semoga ia baik-baik saja." balas ku pelan.
"jadi ada perlu apa, nak Abe mencari Bara sampai kesini?" tanya ayah Bara kemudian.
"hmm.. gak ada apa-apa sih, pak. Hanya saja saya kebetulan lewat daerah sini. Kemudian saya ingat kalau Bara pernah cerita kalau ia berasal dari sini. Karena sudah lama tidak mendapat kabar darinya, saya sempatkan untuk singgah." jelasku sedikit berbohong.
Ayah dan Ibu Bara hanya manggut-manggut, sepertinya mereka percaya dengan apa yang barusan aku ucapkan.
Malam itu, aku menginap di rumah orangtua Bara. Karena mereka bersikeras, agar aku bisa menginap satu malam saja disana. Aku yang memang sudah sangat lelah karena telah menempuh perjalanan yang cukup jauh, pun menerima tawaran mereka.
Setelah mandi, dan makan malam bersama keluarga Bara, aku pun meminta izin untuk segera tertidur.
Karena kelelahan aku pun tertidur cukup lelap malam itu. Meski pun pikiran ku masih memikirkan dimana Bara sebenarnya saat ini.
Keesokan paginya, aku pun segera pamit, untuk kembali ke kota. Sepanjang perjalanan aku terus bertanya-tanya kemana Bara sebenarnya.
Mengapa ia harus pergi?
Mengapa ia pergi tanpa mengabari ku?
Sebenci itukah Bara padaku?
Berbagai pertanyaan terus menghantui pikiran ku tentang Bara. Namun aku tak pernah menemukan jawabannya.
*****
Part 2
Hampir setahun Bara menghilang tanpa kabar. Aku sudah berusaha mencarinya, namun jejaknya pun tak aku temukan.Sementara itu aku tetap menjalankan kehidupanku sebagaimana layaknya seorang laki-laki. Menjadi seorang suami dari seorang yang selalu memperlakukan aku dengan baik.
Setelah hampir setahun istriku pun melahirkan putra pertama kami. Mama ku adalah orang yang paling bahagia, akan kelahiran anak pertama ku itu. Namun beliau hanya bisa bersama cucu satu-satunya itu, selama satu bulan. Mama ku akhirnya meninggal.
Meski aku merasa sedih dan sangat kehilangan beliau, tapi setidaknya aku sudah berusaha memenuhi keinginan terakhirnya, yakni melihat aku menikah dan punya anak.
Dalam setahun terakhir ini, aku telah kehilangan dua orang yang paling aku sayangi, mama ku dan Bara. Namun kehadiran putra pertama ku, cukup membuat aku tetap merasa bahagia. Meski hingga saat ini, aku belum bisa mencintai istri ku sepenuh hati. Bayangan Bara masih terus melintas di pikiranku.
Lima tahun kami menjalin hubungan asmara yang indah. Tak mudah bagiku untuk melupakannya begitu saja. Meski Bara telah menghilang selama lebih dari satu tahun. Kami tak pernah bertemu lagi, bahkan aku juga sudah kehilangan kontaknya sejak lama.
Aku mencoba menjalani hari-hari ku. Menikmati hidup yang saat ini aku jalani bersama istri dan anakku.
Pelan namun pasti, aku pun mencoba melupakan sosok Bara dalam hidupku. Karena setiap kali mengingatnya, hanya kesedihan yang aku rasakan. Sedih karena dia pergi tanpa sedikit pun memberi kabar padaku.
Aku tahu, ia sangat kecewa dengan keputusan ku menerima perjodohanku oleh orangtua ku. Tapi tidak seharusnya ia pergi begitu saja, tanpa mengabari ku.
Sampai suatu ketika, setelah hampir dua tahun, tiba-tiba Bara menemuiku. Ia sengaja mengikuti ku, ketika aku pulang dari kantor.
"apa kabar kamu?" tanya ku memulai pembicaraan, saat akhirnya kami sepakat untuk mengobrol di sebuah kafe, Bara yang memintanya.
"aku baik. Kamu sendiri gimana?" balas Bara.
"aku juga baik." ucapku pelan.
Untuk beberapa saat kami kembali terdiam. Aku seperti kehabisan kata-kata, padahal begitu banyak yang ingin aku tanyakan pada Bara. Namun karena aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya lagi, rasanya semua tanya ku tak bisa aku ungkapkan.
Di satu sisi aku merasa bahagia bisa bertemu Bara kembali, namun di sisi lain hatiku masih merasa kesal, karena kepergiannya yang tanpa kabar.
"aku minta maaf." ucap Bara lirih, setelah keterdiaman kami beberapa saat tadi.
"kamu minta maaf untuk apa?" tanya ku sekedar ingin tahu.
"aku minta maaf untuk semuanya, Be. Aku pergi tiba-tiba tanpa mengabari kamu sedikit pun." balas Bara.
Aku terdiam kembali. Meski pun sebenarnya aku masih kesal akan kepergian Bara, namun aku juga merasa senang ia kembali.
"aku pikir dengan pergi jauh dari kamu, aku akan bisa melupakan kamu, Be. Tapi ternyata, aku justru semakin tersiksa." Bara berucap lagi.
"dan kamu baru menyadarinya setelah dua tahun?" tanya ku sedikit ketus.
"aku menyadarinya sejak hari pertama aku pergi, Be." balas Bara cepat.
"lalu mengapa baru sekarang kamu kembali?" tanyaku lagi.
"panjang ceritanya, Be." balas Bara.
"dan aku juga punya banyak waktu untuk mendengarkannya." ucapku.
Aku benar-benar ingin tahu, apa yang terjadi dengan Bara selama dua tahun ini.
"kita gak mungkin ngobrol disini kan, Be? Kalau kamu mau, aku sekarang masih tinggal di apartemen lama ku, kita bisa ngobrol di sana." ucap Bara menawarkan.
Aku pun menyetujuinya. Dan kami pun segera sama-sama keluar dari kafe tersebut. Kami menaiki kendaraan masing-masing untuk menuju apartemen Bara.
****
"aku berhenti kerja, kemudian mencoba mencari pekerjaan baru di Bandung." cerita Bara memulai.
"aku memang mendapatkan pekerjaan di sana. Dan awal-awalnya semua berjalan dengan lancar. Aku mencoba melewati hari-hariku tanpa kamu. Aku mulai belajar melupakan kamu, Be." lanjut Bara lagi.
"aku pergi, karena aku tidak ingin menjadi penghalang untuk kebahagiaan kamu dan istrimu, Be. Dan terlebih dari itu semua, aku sebenarnya juga tidak sanggup melihat kamu menikah dengan orang lain. Jadi aku pikir, mungkin lebih baik kalau kita tidak pernah bertemu lagi."
"berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan lebih dari setahun, aku terus berusaha melupakan kamu, Be. Sampai akhirnya saat aku menelpon orangtua ku di kampung, setahun yang lalu, mereka cerita kalau kamu sampai kesana mencari ku."
"dari situ aku mulai merasa bersalah terhadap kamu, Be. Namun aku tidak berani menghubungi kamu. Aku tidak ingin berbicara melalui ponsel. Aku ingin bertemu kamu secara langsung. Tapi aku tidak bisa kembali ke sini begitu saja, Be. Aku sudah terikat kontrak dengan perusahaan tempat aku bekerja. Kontrak kerja ku memang selama dua tahun."
"lalu setelah kontrak kerja ku habis, baru lah aku kembali ke sini untuk menemui kamu." cerita Bara panjang lebar.
Aku mendengarkannya dalam diam. Mencoba memahami setiap kalimat yang di ucapkan Bara barusan.
"masa' iya kamu tidak ingin memberi kabar sedikit pun padaku, Bar? Setidaknya kamu bisa memberi tahu aku, dimana kamu berada. Aku bisa saja kan datang ke sana?" ucapku akhirnya.
"aku hanya berpikir kamu pasti sangat marah padaku, karena telah meninggalkanmu. Kamu pasti sudah berusaha untuk mencariku, bahkan sampai ke kampung halamanku. Namun saat kamu tidak juga dapat menemukanku, aku kira kamu akan melupakanku dan hidup berbahagia bersama istri kamu." jelas Bara.
"aku memang sudah berusaha untuk melupakan kamu, Bar. Aku sudah tidak berharap bisa bertemu kamu lagi. Namun di saat aku hampir bisa melupakanmu, sekarang kamu justru datang kembali dengan segala penyesalanmu." balasku lemah.
"aku harap kita bisa bersama seperti dulu lagi, Be. Aku masih sangat mencintai kamu." ucap Bara kemudian.
"aku juga masih mencintai kamu, Bar. Tapi saat ini, aku sudah punya istri dan anak. Aku tak bisa lagi seperti dulu. Aku punya tanggungjawab pada keluarga ku. Apa lagi mama ku juga sudah meninggal." balasku.
"aku sudah tahu semuanya, Be. Sebelum kembali kesini, aku sudah mencari info tentang kamu. Aku turut berduka atas mama kamu. Dan aku juga turut bahagia atas kelahiran anak pertama kamu." ucap Bara lagi.
"lalu setelah kamu tahu semuanya, apa kamu masih ingin bersamaku?" tanyaku ingin tahu, meski aku tidak berharap.
"jika aku tidak ingin bersama kamu lagi, aku tidak akan kembali ke sini, Be. Aku terlalu mencintai kamu, Be. Aku juga sudah rela harus berbagi dirimu dengan istrimu. Aku rela sekalipun aku hanya kamu jadikan yang kedua."
"dua tahun aku coba hidup tanpa kamu, Be. Namun hidupku terasa hampa. Aku tak punya tujuan. Aku selalu memikirkan kamu. Dan aku tersiksa akan rindu ku padamu. Jadi aku harap, kita bisa bersama lagi, Be. Meski mungkin tak sesering dulu. Tapi setidaknya kamu masih punya waktu untukku." ucap Bara panjang lebar lagi.
Untuk sesaat aku terdiam. Berpikir.
Aku memang masih sangat mencintai Bara. Aku juga berharap bisa menjalin hubungan lagi dengannya. Namun kepergiannya selama dua tahun ini, telah mengubah sebagian dari hatiku. Apa lagi selama dua tahun ini, aku juga sudah terbiasa menjalani hidupku tanpa Bara. Aku juga sudah terbiasa hidup bersama istri dan anakku.
Aku tidak tahu, jika kami kembali menjalin hubungan, apakah aku akan mampu membagi waktu ku dengan baik? Mungkinkah aku bisa menjalani itu semua?
Lalu bagaimana dengan Bara sendiri? Mungkinkah ia mampu untuk tidak terlalu mengikatku?
Ah, tiba-tiba saja aku menjadi dilema.
****
Setelah aku berpikir sangat panjang dan begitu dalam, akhirnya aku memutuskan untuk menerima Bara kembali. Kami kembali menjalin hubungan asmara. Meski pun waktu dan kesempatan kami untuk bersama sangat terbatas. Tapi kami tetap merasa bahagia dengan semua itu.
Kehadiran Bara kembali, telah mampu memberi warna baru dalam hidupku. Keindahan cinta yang dulu sempat kami rasakan selama lebih dari lima tahun, kini bersinar kembali. Bahkan rasanya hubungan kami saat jadi terasa lebih inddan dan penuh warna.
Setelah terpisah selama dua tahun, ternyata mampu memberi kami pengalaman baru. Bara jadi lebih punya semangat. Dia terasa berbeda bagiku. Dia melakukannya lebih baik dari sebelumnya. Aku jadi semakin terkesan dengannya.
"sudah dua bulan aku di sini. Tapi aku belum juga mendapatkan pekerjaan, Be. Aku bosan menganggur setiap hari." ucap Bara suatu hari, saat kami bertemu kembali di apartemennya.
"ya udah, kamu kerja di tempat ku aja." tawarku.
"emangnya ada lowongan di sana?" tanya Bara.
"kalau saat ini memang tidak ada lowongan. Tapi itu kan perusahaan papa ku, Bar. Aku bisa atur lah buat kamu. Papa juga sudah tahu kamu, kan?" balasku yakin.
"aku sih oke aja. Lagi pula dengan begitu, kita juga jadi bisa sering bertemu kan?" balas Bara, sambil tersenyum manis.
"nanti aku coba bicarakan dulu dengan papa ya, Bar. Siapa tahu ada posisi yang tepat buat kamu." ucapku.
"aku gak penting posisinya, Be. Yang penting aku ada kerjaan. Dan yang lebih penting lagi, aku jadi bisa melihat kamu setiap hari." balas Bara lagi.
"ah, kamu bisa aja, Bar." ucapku, sambil mulai mendekati Bara perlahan.
Bara pun tersenyum senang. Kami memang merasa sangat bahagia saat ini. Segala rasa cinta kami selalu kami curahkan dengan sepenuh hati.
****
Setelah membicarakannya dengan papa, dan papa pun setuju, Bara pun akhirnya bekerja di perusahaan kami. Bukan posisi penting sih, tapi seperti yang di katakan Bara, yang penting ia punya pekerjaan. Dan yang lebih penting lagi, kami jadi semakin sering bertemu.
Di kantor kami memang berusaha bersikap biasa saja. Seolah-olah kami hanyalah rekan kerja yang kebetulan sudah kenal lama. Namun setiap kali pulang kerja, aku selalu mampir di apartemen Bara. Dan saat itulah kami benar-benar menjadi sepasang kekasih, yang saling mencintai dan menyayangi.
Aku dan Bara terus menjalani itu semua dengan bahagia. Aku juga tetap berusaha menjadi kepala rumah tangga yang baik, menjadi seorang suami dan juga seorang ayah. Semua peran ku itu aku lakuka dengan baik.
Bara juga sangat mengerti dengan posisi ku. Dia tidak pernah menuntut aku macam-macam. Seperti janjinya, ia hanya ingin agar aku punya waktu untuknya. Dan hal itulah yang aku persembahkan padanya.
Apa lagi saat ini, kami juga sudah bekerja di kantor yang sama. Tentu saja hal itu cukup membantu kami menjadi lebih punya banyak waktu untuk bersama.
Cinta kami memang terjalin begitu indah, bahkan sangat indah. Memiliki orang yang kita cintai dan juga mencintai kita, memang sesuatu yang menjadi impian setiap orang. Dan itulah yang aku rasakan bersama Bara.
Namun mungkinkah kami akan tetap bisa bersama selamanya?
Seberapa lamakah hubungan kami akan bertahan?
Sementara Bara juga ingin menjalankan kodratnya sebagai seorang laki-laki. Menjadi seorang suami dan juga mempunyai anak.
****
Part 3
Hubungan cinta ku dan Bara terus terjalin dengan indah. Kami bahagia melewati hari-hari kami berdua. Aku juga tetap menjalankan kewajiban ku sebagai seorang suami dan juga sebagai seorang ayah.
Hingga pada suatu saat ...
"aku harus pulang kampung, Be." ucap Bara suatu sore.
"kenapa?" tanya ku.
"ibu ku sakit keras. Sudah beberapa hari ini beliau masuk rumah sakit." jelas Bara lemah.
"ya udah, kamu pulang aja, Bar." balasku.
Keesokan harinya, Bara pun segera pulang ke kampung halamannya. Meski berat aku harus melepaskannya pergi. Lagi pula Bara juga gak bakal lama di kampungnya, setidaknya sampai ibunya pulih kembali.
Beberapa hari kemudian, Bara pun mengabari ku, kalau ibunya akhirnya meninggal. Dan dia harus berada di kampung lebih lama lagi.
"aku turut berduka ya, Bar." balas ku di ponsel.
"iya, makasih, Be. Tapi aku akan lama disini. Kamu gak apa-apa kan?" ucap Bara membalas.
"aku gak apa-apa, Bar. Kamu disana aja dulu, keluargamu pasti sangat membutuhkan kamu saat ini. Kamu yang sabar ya.." aku membalas lagi.
Dan waktu pun terus berputar. Aku mencoba melewati hari-hari ku meski tanpa Bara. Walau kadang kami masih sering ngobrol melalui ponsel. Namun jarak yang memisahkan kami, cukup menyiksa bathin ku. Aku selalu merindukan Bara.
"aku juga rindu kamu, Be. Tapi aku belum bisa kembali kesana. Masih banyak yang aku urus disini." ucap Bara. ketika kami saling telponan lagi.
"tapi kamu pasti kembali kan, Bar?" tanya ku sekedar meyakinkan diri ku sendiri, kalau Bara pasti kembali.
"ya pastilah, Be. Aku kan gak mungkin meninggalkan pekerjaan ku di sana. Dan aku juga gak mungkin ninggalin kamu lah." balas Bara yakin.
Lebih dari sebulan Bara pergi. Dan selama itu pula aku selalu merindukannya. Kini Bara telah kembali. Kami pun membuat janji bertemu di apartemennya.
Segala rasa rindu kami pun kami curahkan saat itu.
"aku sangat merindukan kamu, Bar." ucapku berbisik dalam dekapan hangat Bara.
"aku juga rindu kamu, sayang." balas Bara ikut berbisik.
Dan segala cinta, rindu dan sayang kami, kami curahkan sepenuh hati. Kami tak ingin saling melepaskan. Rasanya setelah lebih dari sebulan tidak bersama, kami jadi sedikit tak terkendali.
Malam itu benar-benar kami habiskan dengan kebersamaan kami. Tidak ada waktu sedetik pun yang kami lewatkan, tanpa kebahagiaan. Benar-benar malam yang sempurna. Sesempurna rasa cinta di antara kami berdua.
*****
"aku pengen nikah, Be." begitu ucap Bara memulai pembicaraan kami sore itu, seperti biasa sepulang kerja kami selalu menyempatkan waktu untuk menikmati kebersamaan kami di apartemen Bara.
"sebagai seorang laki-laki aku juga ingin punya keturunan, Be. Karena itu aku harus menikah, seperti kamu." lanjut Bara lagi.
"tapi aku tidak ingin kamu menikah, Bar." balasku spontan.
"kenapa?" tanya Bara.
"karena... karena ... ya.. aku mungkin terlalu mencintai kamu. Aku takut kehilangan kamu, Bar." balasku tergagap.
"tapi kamu juga menikah, Be. Sudah punya anak juga. Aku gak apa-apa, kok. Meski pun awalnya itu berat bagiku, namun kita tetap bisa bersama kan? Lalu mengapa aku tidak boleh menikah?" ucap Bara penuh tanya.
Aku memang tidak rela kalau Bara menikah. Mungkin terdengar egois. Tapi begitulah yang aku rasakan.
"aku menikah, itu hal yang berbeda, Bar. Aku hanya terpaksa melakukannya." ucapku akhirnya.
"tapi nyatanya sampai saat ini kamu masih bertahan dengan pernikahanmu." balas Bara. "lalu apa bedanya?" lanjut Bara bertanya.
"ya jelas beda lah, Bar. Aku menikah karena terpaksa, sementara kamu karena keinginan kamu sendiri." balasku sedikit sengit.
"aku juga sebenarnya tidak ingin menikah, Be. Tapi sebagai laki-laki aku juga harus menjalankan kodrat ku." ucap Bara lagi.
"tapi aku tetap tidak rela kamu menikah, Bar." balasku.
"kenapa? Apa yang membuat kamu tidak rela?" tanya Bara heran.
"karena kalau kamu menikah, semuanya pasti tak kan sama lagi. Kita tidak akan bisa seperti ini lagi, Bar. Kamu pasti akan tinggal bersama istri mu. Lalu kapan kita akan bisa berduaan seperti ini?" ucapku mengungkapkan apa yang aku takutkan.
"kita bisa atur waktu kita untuk bersama, Be. Kita bisa bertemu di hotel misalnya. Lagi pula kita juga setiap hari akan jumpa di kantor kok. Kita tetap bisa bersama-sama, Be." balas Bara.
"tapi aku takut kamu berubah, Bar. Aku takut kehilangan kamu." ucapku lirih.
"kalau kamu tidak berubah, bahkan sekalipun kamu sudah menikah dan sudah punay anak, aku juga gak bakal berubah, Be. Kita kan memang saling mencintai, tapi kita juga harus menjalankan kodrat kita sebagai laki-laki. Harusnya kamu ngerti, dong." balas Bara sedikit sengit.
"aku bisa menjamin kalau aku tidak akan pernah berubah, tapi apa kamu bisa menjamin kalau kamu juga tidak akan berubah, jika kamu menikah nanti." ucapku lagi.
"kenapa kamu jadi egois seperti ini sih, Be?" tanya Bara meninggi.
"apa? Aku egois? Bukankah dulu, ketika aku dipaksa menikah oleh mama ku, kamu justru pergi meninggalkan ku, Bar. Apa itu tidak disebut egois?" balasku sedikit sengit.
"tapi aku tetap kembali sama kamu kan, Be. Dan kita bersama-sama hingga saat ini." ucap Bara.
"iya, kamu memang kembali, itu setelah aku bersusah mencari kamu, Bar. Kamu bisa bayangkan betapa menderitanya aku saat itu? Sakit, Bar." balas ku lagi.
"itu semua sudah berlalu, Be. Kita sudah janji tidak akan membahasnya lagi." ucap Bara sedikit melunak.
"aku tidak akan membahasnya, jika kamu tidak menuduh ku egois." balasku.
"tapi aku akan tetap menikah, dengan atau tanpa persetujuan kamu, Be." ucap Bara terdengar tegas.
"terserah kamu, Bar. Namun yang pasti aku tidak akan pernah rela kamu menikah dengan orang lain." balasku ikut tegas.
Dan pembicaraan kami pun berakhir begitu saja. Aku pun segera meninggalkan Bara sendirian di apartemennya. Aku sengaja tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi kepada Bara. Tiba-tiba saja aku merasa membenci Bara saat ini.
Kenapa juga Bara tiba-tiba ingin menikah? Padahal aku sudah terlanjur bahagia dengan hubungan kami.
Oh, kodrat. Mengapa hal itu harus menyiksa kami berdua?
Mengapa aku dan Bara tidak bisa menikah? Padahal kami saling mencintai.
Mengapa orang-orang menganggap hubungan seperti hubungan kami ini adalah sebuah kesalahan.
Mengapa kami tidak bisa menikah? Mengapa kami harus menikah dengan orang lain, sementara sebenarnya kami saling mencintai?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah bisa aku jawab. Aku tidak pernah bisa menemukan jawabannya. Tapi yang pasti, bagiku cinta adalah sebuah misteri. Aku tak bisa memilih kepada siapa aku akan jatuh cinta. Namun saat aku bertemu orang yang aku cintai, mengapa kami tidak bisa menyatu? Seperti orang-orang lain yang saling jatuh cinta.
****
Bara akhirnya menikah. Dan aku mencoba untuk tidak peduli. Meski beberapa kali Bara coba menghubungiku. Bahkan saat di kantor pun aku selalu menghindarinya.
Bara juga mengundangku ke pesta pernikahannya, dan aku memang tidak ingin datang. Aku gak sanggup melihat Bara bersanding dengan orang lain.
"kenapa mas gak datang?" tanya istri ku, "Bara itu sahabat kamu loh mas." lanjutnya mengingatkan.
"kami udah gak bersahabat lagi. Jadi kalau kamu mau datang, kamu datang sendiri aja." balasku ketus.
Istri ku pun akhirnya hanya bisa diam. Dia memang tidak pernah bisa membantah ucapanku. Istriku pun pergi bersama anak ku ke pesta pernikahan Bara. Dan aku sendirian di rumah menanggung pilu.
Kadang aku memang merasa egois. Aku sudah menikah dan sudah punya anak, tapi aku tetap rela kalau Bara juga menikah.
Mungkin ini lah yang Bara rasakan dulu, ketika aku akhirnya menikah. Dia pasti merasa sangat sakit. Tapi waktu itu aku juga tidak terlalu dengan perasaannya. Meski pun aku menikah hanya karena untuk memenuhi permintaan almarhumah mama ku.
Kini Bara juga menikah. Meski pun aku tahu, kalau ia menikah hanya sekedar menjalankan kodratnya sebagai seorang laki-laki. Hanya untuk sebuah status. Dan hanya untuk mendapatkan keturunan.
Namun tetap saja aku merasa tidak rela. Aku tidak bisa membayangkan Bara berada dalam pelukan orang lain. Aku merasa sakit mengingat hal itu. Tapi aku juga tidak mungkin bisa mencegah keinginan Bara untuk menikah.
Biar bagaimana pun sebagai seorang laki-laki, Bara memang harus menikah dan punya keturunan. Seperti aku yang juga sudah menikah dan punya anak.
Sekali lagi, aku merasa sangat membenci kodrat ku saat ini.
*****
Seminggu setelah menikah, Bara kembali bekerja. Seminggu ini, beberapa kali Bara coba menghubungiku, tapi aku masih belum bisa berbicara dengannya. Hatiku masih terasa sakit.
"aku mohon, Be. Bari aku kesempatan untuk ngomong." ucap Bara di depan meja kerjaku.
"gak ada yang harus kita omongkan lagi, Bar." balasku acuh.
"banyak, Be. Banyak yang akan kita bicarakan. Kamu jangan mendiamkan aku seperti ini, Be. Aku semakin merasa tersiksa karenanya." ucap Bara lagi.
"oke. Nanti sepulang kerja, aku tunggu kamu di kafe tempat biasanya." balasku akhirnya, karena aku memang tidak ingin berdebat dengan Bara di kantor. Aku takut orang-orang akan mendengarnya.
"aku ingin kita bertemu di hotel, bukan di kafe." ucap Bara kemudian.
"kenapa harus di hotel sih?" tanya ku.
"pembicaraan kita bukan pembicaraan yang biasa, Be. Kita gak mungkin kan ngomongin hubungan kia di tempat terbuka?" balas Bara.
Aku terdiam sejenak. Berpikir. Mungkin Bara ada benarnya.
"oke. Tapi aku yang tentu kan hotelnya. Nanti aku share lokasinya ke kamu." ucapku akhirnya.
Dan Bara pun kembali ke meja kerjanya. Aku masih terus berpikir. Aku tak tahu apa yang aku rasakan saat ini. Aku ingin marah pada Bara. Namun perasaan cinta ku mencegahnya.
Aku mungkin tak rela Bara menikah. Tapi bukankah aku sendiri juga sudah menikah? Rasanya gak adil bagi Bara, jika aku terus mendiamkannya.
*****
"aku gak tahu harus memulainya dari mana, Be. Tapi yang pasti, aku ingin minta maaf sama kamu. Mungkin keputusan ku untuk menikah, membuat kamu sakit hati. Namun seandainya kamu tahu, kalau hingga saat ini, aku masih sangat mencintai kamu." ucap Bara memulai pembicaraan kami malam itu.
Seperti janji kami siang tadi, kami pun akhirnya bertemu di sebuah kamar hotel.
"aku tahu kamu kecewa, Be. Tapi aku juga tidak ingin, hidup ku akan berlalu dengan sia-sia." lanjut Bara lagi.
"jadi menurut mu hubungan kita selama ini hanya sia-sia." timpal ku spontan.
"bukan itu maksudku, Be. Sebagai seorang laki-laki, rasanya wajar kalau kita punya keinginan untuk bisa memiliki keturunan. Dan satu-satunya cara untuk mendapatkan keturunan ya hanya dengan kita menikah dengan perempuan."
"kita memang saling mencintai, Be. Hubungan kita juga terjalin dengan indah. Tapi seindah apa pun cinta yang terjalin di antara kita, kita tetap tak bisa punya keturunan, bahkan kita juga tidak bisa menikah. Aku yakin kamu mengerti akan hal itu, Be." Bara berucap panjang lebar.
"aku ngerti, Bar. Tapi wajar kan? Kalau aku merasa sakit hati. Tidak ada seorang pun yang akan rela orang yang ia cintai menikah dengan orang lain." ucapku akhirnya.
"itu lah yang aku rasakan, pada saat kamu menikah dulu, Be. Aku gak kuat, karena itu aku pergi." balas Bara.
"lalu sekarang mau kamu gimana, Bar?" tanya ku kemudian.
"aku mau kita tetap seperti dulu, Be. Kita bisa atur waktu untuk kita bisa berduaan, seperti sekarang ini. Dan sebagai sama-sama laki-laki, kita tetap harus menjalankan tugas kita sebagai suami dan juga sebagai seorang ayah." jelas Bara selanjutnya.
"apa kamu mau berjanji, bahwa kamu tidak akan berubah?" tanya ku.
"aku janji, Be." balas Bara singkat.
"kita akan mencobanya, Bar. Tapi aku ingin, saat kita berdua, tidak ada pembicaraan sedikit pun tentang istri-istri kita." ucapku memutuskan.
"oke, Be. Aku juga setuju." balas Bara.
Lalu kemudian kami pun saling mendekat. Setelah cukup lama kami tidak pernah lagi berduaan seperti saat ini, rasanya sulit untuk kami menghindari keinginan yang selama beberapa minggu ini hanya bisa kami pendam.
Segala rasa cinta dan rindu kami, kembali tercurah dengan segenap jiwa dan raga kami. Aku tak ingin melepaskan Bara lagi. Aku ingin selamanya bersamanya. Meski pun sekarang, aku harus bisa berbagi dirinya dengan istrinya.
Tapi setidaknya, selama kami masih punya waktu untuk bersama dan menikmati indah cinta kami berdua, hal itu tidaklah terlalu jadi masalah bagi ku. Toh kami juga sama-sama sudah punya istri. Bara juga rela berbagi diriku dengan istriku.
Dan begitulah hubungan kami terus terjalin. Meski pun kami sudah sama-sama menikah, namun kami tetap sepakat untuk tetap menjalin hubungan asmara.
Demikianlah kisah cinta ku kali ini, terima kasih sudah menyimak kisah ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi di kisah-kisah selanjutnya, salam sayang untuk kalian semua.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih