Tak terasa, sudah dua bulan aku pindah ke kota ini. Sudah dua bulan juga aku tinggal di perumahan ini. Sebuah perumahan sederhana, yang berada di pinggiran kota.
Aku sengaja menyewa sebuah rumah di perumahan tersebut, untuk tempat aku tinggal. Karena sudah dua bulan ini, aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota tersebut.
Sebagai karyawan baru, dan juga sebagai orang yang baru pindah, aku memang belum begitu mengenal lingkungan sekitar ku. Aku juga belum begitu kenal dengan rekan-rekan kerja ku, dan juga para tetangga di sekitaran perumahan tempat aku tinggal.
Namun begitu, aku berusaha untuk menikmati kehidupan baru ku di kota ini. Sejak aku diterima bekerja di perusahaan tersebut, aku memang telah mempersiapkan untuk bisa hidup di rantau orang sendirian.
Setahun yang lulus kuliah, lalu kemudian aku pun mengirimkan lamaran kerja ke beberapa perusahaan. Dan kebetulan, hanya perusahaan di kota ini yang menerima lamaran ku.
Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak laki-laki ku juga sudah bekerja di kota lain, dan baru setahun yang lalu ia menikah. Sementara adik perempuan ku, sekarang masih kuliah.
Aku sudah berusia 25 tahun saat ini. Dan aku sudah menyadari kalau aku adalah seorang gay, pada saat aku masih berusia 15 tahun. Waktu itu, untuk pertama kalinya, aku merasa tertarik dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu adalah guru olahraga ku, dan merupakan cinta pertama ku.
Meski pun aku sudah beberapa kali jatuh cinta pada laki-laki, namun aku belum pernah sekali pun, berpacaran dengan laki-laki. Aku masih ragu untuk mengungkap jati diri ku yang sebenarnya. Aku masih mampu memendam semua itu, hingga saat ini.
****
Di perumahan tempat aku tinggal tersebut, memang terbilang cukup ramai. Hampir semua rumah yang ada di perumahan tersebut sudah berpenghuni. Namun demikian, pada pagi hingga sore, keadaan perumahan tersebut cukup sepi. Karena rata-rata penghuni disana, banyak yang bekerja pada siang hari.
Dan baru beberapa hari yang lalu, aku mengetahui, kalau tetangga di samping kiri rumah ku, adalah pasangan muda yang baru menikah. Sang suami, yang aku ketahui bernama Amir tersebut, bekerja sebagai salah seorang karyawan di Dinas Pemadam Kebakaran atau Damkar di kota tersebut.
Bang Amir, begitu aku memanggilnya, ia bekerja dari pagi sampai sore hari. Kecuali pada saat-saat tertentu, ia mendapat panggilan kerja pada malam hari. Jika ada kejadian kebakaran di kota tersebut.
Sedangkan sang istri bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Ia bekerja dengan shift atau bergiliran. Kadang ia masuk pagi pulang sore, atau masuk sore pulang malam, dan atau masuk malam pulang pagi.
Aku mengenal bang Amir, karena kebetulan rumahnya bersebelahan dengan rumah ku. Awalnya, kami hanya saling senyum, saat kebetulan kami bertemu di depan rumah. Namun sudah beberapa hari ini, aku dan bang Amir, sudah berani saling sapa. Dan bahkan kami juga sempat ngobrol beberap kali.
Saat istrinya dapat shift malam, biasanya bang Amir, akan duduk sendirian di teras depan rumahnya. Karena itu aku jadi sering memperhatikannya. Lalu kemudian, aku pun memberanikan diri untuk sekedar menyapanya.
Dari sekedar menyapa, lalu kemudian kami pun mulai saling tanya jawab dan mulai mengobrol berdua. Dari obrolan kami tersebutlah, aku jadi tahu, sedikit tentang kehidupan bang Amir.
Dia dan istrinya baru menikah sekitar delapan bulan yang lalu. Dan karena sudah sama-sama bekerja, mereka pun memutuskan untuk membeli rumah secara kredit di perumahan tersebut.
Bang Amir dan istri, sebenarnya sama-sama berasal dari kota ini. Namun karena sudah menikah, mereka memutuskan untuk pisah rumah dari orangtua mereka masing-masing.
Bang Amir merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Sedangkan sang istri, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Setidaknya, begitulah sedikit hal yang aku ketahui tentang kehidupan bang Amir dan istri, dari hasil beberapa kali kami sempat mengobrol.
****
"jadi bang Amir lebih suka di atas?" tanya ku, pada suatu malam, kami mengobrol lagi di teras rumahnya. Kebetulan malam itu, istrinya mendapat shift malam.
Saat itu bang Amir sedang bercerita tentang pekerjaannya sebagai pemadan kebakaran. Mereka sudah punya bagian-bagian tersendiri dalam setiap kali melaksanakan tugas mereka sebagai pemadam kebakaran.
Ada yang mendapatkan bagian bawah, yang bertugas terjun langsung menuju titik api dengan segala peralatan mereka. Dan ada juga yang mendapatkan tugas bagian atas mobil, yang mengendalikan peralatan pemadam kebakaran.
Meski pun aku tidak begitu paham bagaimana proses dan sistem kerja mereka, namun aku berusaha untuk memahami setiap cerita bang Amir tentang tugasnya tersebut.
"sebenarnya mau di atas atau di bawah, resiko nya sama saja. Yang paling penting itu, adalah kekompakan kami dalam menyelesaikan tugas kami.." begitu balas bang Amir dengan sedikit menjelaskan.
Bercerita bersama bang Amir, memang membuat aku merasa betah. Selain karena bang Amir adalah sosok yang ramah, baik dan sedikit humoris. Ia juga memiliki wajah yang lumayan tampan, dengan postur tubuh yang cukup atletis dan terlihat kekar.
Diam-diam aku pun mulai mengagumi sosok bang Amir. Hati ku yang sudah cukup lama kosong, tiba-tiba mulai merasakan ketertarikan lagi pada seorang laki-laki. Dan laki-laki itu adalah bang Amir, si pemadam kebakaran, yang merupakan suami tetanggan ku.
Aku jadi mulai sering mengkhayalkan bang Amir, di setiap malam ku. Wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang gagah, benar-benar membuat aku merasa tertarik padanya. Aku bahkan mungkin telah jatuh cinta padanya.
Namun, untuk kesekian kalinya, aku sadar, kalau bang Amir jelas tidak akan bisa aku miliki. Bukan saja karena ia sudah menikah, tapi juga karena, aku yakin, bang Amir adalah laki-laki normal. Ia tidak mungkin akan punya perasaan yang sama dengan ku.
Tapi mencintai sosok laki-laki secara diam-diam adalah hobi ku sejak lama. Aku sudah terbiasa dengan hal tersebut. Aku sudah terlalu sering mengalaminya. Dan aku sangat menikmati hal tersebut. Aku merasa bahagia, bisa mencintai seseorang dalam diam. Mengaguminya dari kejauhan, tanpa berharap bisa memilikinya.
"kamu sendiri gimana?" tiba-tiba bang Amir bertanya, yang membuatku sedikit kaget. Lamunanku buyar seketika.
"aku?" tanyaku balik dengan kening berkerut.
"iya... kamu sendiri sudah punya pacar?" bang Amir memperjelas pertanyaannya.
"oh.." aku sedikit membulatkan bibir, lalu kemudian aku menggelengkan kepala dengan lemah.
"kenapa belum? Padahal kamu ... cukup tampan loh.." ucap bang Amir, dengan sedikit memuji, yang membuat aku jadi merasa tersipu. Belum pernah sebelumnya aku di puji seperti itu, oleh seorang laki-laki. Apa lagi oleh laki-laki yang aku sukai. Aku merasa sedikit tersanjung, meski aku tidak tahu, apa maksud dari pujian tersebut.
"ah.. bang Amir bisa aja... tampan aja gak cukup loh, bang." balasku sekenanya.
"iya.. sih... tapi setidaknya kamu kan sudah punya modal awal, untuk mendekati seorang cewek.." ucap bang Amir lagi.
'masalahnya aku gak suka cewek, bang. Aku sukanya sama abang.' ucapku dalam hati.
"atau.. jangan-jangan... kamu gak suka cewek lagi..." bang Amir berucap kembali, seperti bisa membaca apa yang sedang aku pikirkan.
"ah.. gak lah, bang.." balasku berusaha terlihat biasa saja.
"tapi gak apa-apa loh, kalau kamu gak suka cewek.. itu artinya saya jadi punya sedikit peluang.." bang Amir terus berucap lagi. Kali ini aku mengerutkan kening lagi.
"maksudnya, bang?" tanya ku dengan nada heran.
"bukan apa-apa. Saya hanya bercanda. Lupakan saja.." balas bang Amir, dengan sedikit memalingkan wajah, ketika mata kami untuk beberapa saat saling bersirobok pandang.
Akhirnya aku hanya terdiam. Tak berani berpikir lebih jauh lagi, tentang maksud dari ucapan bang Amir barusan. Setengah hati ku percaya, kalau bang Amir hanya bercanda. Namun setengah hati ku yang lain, merasa ragu.
"ya udah.. sudah malam, saya mau tidur dulu, besok mau kerja lagi.." akhirnya bang Amir berucap lagi. Ia juga mulai berdiri, dan terlihat berpura-pura menguap beberapa kali.
"ya, bang. Kalau begitu saya pamit ya.." balasku kemudian, sambil ikut berdiri, dan mulai melangkah menuju rumahku.
****
Aku dan bang Amir pun semakin sering mengobrol, kami juga sudah semakin dekat. Dan aku juga semakin mengaguminya. Khayalan tentang dirinya, terus menghiasi fantasi ku.
Namun entah mengapa, sejak ucapan bang Amir beberapa malam yang lalu, tentang ia yang punya sedikit peluang tersebut, aku jadi merasa curiga. Jangan-jangan bang Amir juga punya perasaan yang sama dengan ku?
Jangan-jangan.. dia juga menyukaiku..
Tapi... bukankah bang Amir sudah punya istri? Gak mungkin kan dia menikah, kalau dia penyuka sesama jenis?
Ah... sudahlah... terlepas bang Amir juga menyukai ku atau tidak, aku memang tidak ingin berharap lebih padanya. Aku takut, harapan ku hanya akan membuat aku kecewa dan terluka. Mungkin cukup bagiku, tetap mecintainya diam-diam. Tanpa ia harus tahu semuanya.
Selama bang Amir masih mau berteman dan ngobrol dengan ku, aku sudah merasa bahagia. Aku bisa melihat wajah tampannya setiap hari. Mendengar suaranya yang merdu, atau tawanya yang begitu renyah masuk ke kuping ku.
Aku merasakan keindahan sebuah cinta, hadir di hati ku untuk bang Amir. Sebuah rasa yang sudah lama tidak aku rasakan. Dan aku ingin menikmati keindahan itu selamanya.
Mungkin pada saatnya nanti, aku akan mengungkapkan perasaan ku pada bang Amir. Aku akan jujur padanya, meski pun resikonya, ia akan membenci diriku.
Namun saat ini yang pasti, aku akan membuat bang Amir merasa terkesan dengan ku. Aku akan memberikan perhatian lebih padanya. Aku akan membuat ia juga jatuh hati padaku.
Meski saat ini, aku tidak tahu, harus memulainya dari mana.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih