"sebenarnya rahasia apa yang ingin pakde cerita kan padaku?" tanya ku akhirnya, setelah cukup lama kami hanya saling terdiam. Sepertinya pakde Rohim masih ragu untuk menceritakan hal tersebut pada ku.
"kamu ingin tahu, apa alasan ku sebenarnya masih belum menikah sampai saat ini?" pakde Rohim balik bertanya.
"jika pakde bersedia untuk menceritakannya, saya siap mendengarkannya. Dan saya janji, saya tidak akan menceritakan hal tersebut kepada siapa pun.." balasku.
"termasuk kepada istri mu?" ucap pakde Rohim lagi.
"iya... termasuk kepada istri ku.." balasku cepat. Karena aku semakin penasaran dengannya.
Pakde Rohim terlihat menarik napas beberapa kali. Kemudian ia pun akhirnya berucap,
"aku dilahirkan tidak seberuntung orang-orang pada umumnya. Aku dilahirkan berbeda. Aku tidak sedang menyalahkan takdir, atau pun membenci keadaan.. tapi... kadang... aku membenci diriku sendiri.." begitu ia memulai ceritanya.
"sejak remaja, aku sudah menyadari, bahwa ada yang salah dengan diriku. Pertama kali aku menyadari hal tersebut ialah ketika aku masih duduk di kelas 2 SMP. Saat itu, entah kenapa, tiba-tiba saja aku menyukai seseorang. Ia kakak kelas ku. Dan ia seorang laki-laki. Namanya Mario.."
"Mario adalah cinta pertama ku. Hampir setiap malam aku selalu berkhayal tentangnya. Berharap suatu saat nanti aku bisa memilikinya. Tapi ... aku hanya bisa memendam semua perasaan itu. Karena aku sadar, kalau semua itu adalah sebuah kesalahan.."
"lalu kemudian, aku coba melupakannya. Menghapus bayangannya dari ingatan ku. Memupus semua harapanku tentangnya. Dan aku berhasil, meski tak sepenuhnya aku bisa melupakan Mario. Tapi setidaknya, setelah ia lulus, aku tak lagi memikirkannya.."
"aku pikir, setelah aku berhasil memupus perasaanku pada Mario. Aku akan bisa menjadi laki-laki pada umumnya. Jatuh cinta pada perempuan. Tapi ternyata aku salah.." pakde Rohim menarik napasnya sekali lagi.
"aku sudah coba mendekati gadis-gadis, berharap aku bisa jatuh cinta kepada mereka. Tapi... pada saat SMA, aku justru jatuh cinta lagi. Kali ini dengan adik kelas ku. Masih dengan seorang laki-laki. Dan sekali lagi, aku hanya bisa memendam semua itu..."
"begitulah kehidupan yang aku harus lalui, selama bertahun-tahun. Jatuh cinta pada orang yang salah. Berkali-kali. Dan selalu saja, aku hanya bisa memendamnya. Aku tak pernah bisa mewujudkan satu saja, dari sekian banyak impian ku tentang cinta.."
"aku sudah coba melawan takdir itu, aku sudah coba melawan semua perasaan itu. Berkali-kali. Tak terhitung. Tapi pada akhirnya, hal itu tetap terus saja terjadi. Semakin aku coba menghindar, semakin aku terjerumus di dalamnya.."
"akhirnya aku coba mengikuti arus kehidupan yang sebenarnya tidak aku inginkan. Aku memutuskan untuk masuk ke dunia tersebut. Aku berkenalan dengan beberapa orang laki-laki yang punya selera yang sama dengan ku. Menyukai laki-laki. Tentu saja melalui media sosia."
"aku nikmati dunia itu. Aku tenggelam di dalamnya. Dan semakin lama, aku semakin tidak bisa keluar. Bahkan aku pernah mencoba pacaran serius dengan seorang laki-laki. Tapi akhirnya hubungan kami kandas, karena memang hubungan seperti itu tidak akan pernah berujung.."
"sampai akhirnya aku memutuskan untuk berhenti. Aku fokus pada pekerjaan dan usaha ku. Melupakan semua harapan tentang sosok seorang laki-laki dalam hidup ku. Aku pernah mencoba untuk menikah dengan perempuan pilihan orangtua ku. Tapi gagal. Karena aku tidak menemukan kebahagiaan di situ.."
"bertahun-tahun aku hidup dalam kesendirian ku. Menjaga hati ku agar tidak jatuh cinta lagi. Dan itu berhasil, meski tak sepenuhnya. Sampai akhirnya aku bertemu kamu. Antonio Sudrajat, suami dari ponaan ku sendiri.." kali ini pakde Rohim coba menatap ku.
"entah mengapa, sejak pertama kali melihat kamu. Aku jadi tertarik sama kamu. Aku merasakan jatuh cinta lagi, untuk kesekian kalinya. Dan untuk kesekian kalinya juga, aku harus jatuh cinta pada orang yang salah. Yaitu kamu, Ton."
"itulah mengapa, sejak aku mengenal kamu, aku jadi sering jalan-jalan ke kota, dengan alasan untuk mengunjungi kakak ku. Padahal sebenarnya, aku hanya ingin melihat kamu. Padahal sebelumnya, aku hampir tidak pernah mengunjungi kakak ku di kota."
"dan jujur saja.. aku yang meminta istri mu, untuk mengajak liburan di desa ini. Karena aku ingin mengenal kamu lebih dekat, Ton. Dan aku ingin sekali kamu bisa memiliki kamu. Meski aku sadar, kamu adalah suami dari ponaan ku sendiri. Aku juga sadar, kalau kamu itu laki-laki normal. Kamu tidak mungkin akan tertarik padaku.."
"tapi setidaknya, aku ingin kamu tahu, kalau aku sangat mencintai kamu. Aku sayang kamu, Toni. Dan andai kamu tahu, betapa besarnya keinginan ku untuk bisa memiliki diri mu. Meski aku hanya akan jadi yang kedua bagi mu. Aku rela..."
Pakde Rohim mengakhiri ceritanya dengan sebuah helaan napas berat. Ia tak berani menatap ku lagi. Sejak tadi, ia hanya tertunduk. Sementara hari sudah mulai gelap. Keremangan senja mulai menyelimuti daerah tersebut.
Aku ikut menghela napas berkali-kali. Kejujuran pakde Rohim barusan, benar-benar di luar dugaan ku. Bahkan hampir di luar nalar ku. Aku mencoba untuk tidak percaya. Tapi ini nyata. Semuanya nyata.
****
"kini setelah kamu tahu semuanya, aku pasrah, Ton. Aku hanya berharap, kamu bisa menjaga rahasia ini, dan aku juga berharap, agar kamu tidak membenci ku karena ini." pakde Rohim berucap lagi, setelah cukup lama suasana hening tercipta diantara kami.
Dan aku bingung. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku kaget. Tak percaya. Tak berani berkata-kata apa-apa.
Pakde Rohim adalah paman kandung dari istri ku. Dan dia adalah seorang gay. Dan lebih mengejutkannya lagi, dia mencintai ku. Lalu aku harus apa? Apa yang harus aku lakukan? Aku tak mungkin menerima cintanya, kan?
Terlepas pakde Rohim adalah paman istri ku atau bukan. Ia tetaplah seorang laki-laki. Dan aku tidak mungkin jatuh cinta kepada seorang laki-laki. Apa pun alasannya. Jelas hal itu tidak mungkin. Membayangkannya saja, aku sudah merasa jijik.
Kalau saja pakde Rohim bukan paman istri ku, mungkin aku sudah pergi meninggalkannya dari tadi. Bahkan mungkin aku sudah menonjoknya berkali-kali, agar dia sadar, kalau aku ini laki-laki normal.
"aku mohon, Ton.. beri aku satu kesempatan untuk bisa membuktikan betapa besarnya aku mencintai kamu. Setidaknya beri aku kesempatan untuk bisa merasakan keh4ngatan dari laki-laki yang aku cintai... satu kali aja. Itu sudah cukup..." pakde Rohim berkata lagi, suaranya terdengar menghiba.
Tidak! Teriak bathin ku. Aku tidak mungkin menjatuhkan harga diri ku sebagai laki-laki normal, hanya untuk menghargai perasaan orang lain, sekali pun itu adalah pakde Rohim, paman dari istri ku.
"aku... aku ... ingin kita pulang sekarang, pakde..." ucapku akhirnya dengan sangat terbata, setelah tidak tahu harus berkata apa lagi.
"kamu menolakku?" tanya pakde Rohim dengan nada sangat datar. Mungkin kecewa.
"bukan... bukan itu maksud ku. Tapi hari sudah malam. Dan ini tidak mudah bagi ku, pakde. Bukan saja, karena aku ini laki-laki normal. Tapi juga karena pakde adalah paman dari istri ku. Aku ... aku benar-benar butuh waktu, untuk bisa mencerna semua ini. Kepala ku rasanya pusing, pakde.. Aku mohon... kita pulang sekarang, ya..." aku membalas dengan suara terbata dan bergetar.
"oke.. kita pulang sekarang.. tapi aku harap, aku sudah mendapatkan jawabannya sebelum malam tahun baru.." ucap pakde Rohim akhirnya memutuskan.
Sebelum malam tahun baru? bathinku. Itu berarti besok malam aku sudah harus punya jawabannya. Ahh.. ada apa ini? Kepala ku benar-benar jadi pusing karenanya.
"bagaimana kalau aku menolak?" tanya ku memberani kan diri, "apa yang akan pakde lakukan terhadapku?" lanjutku.
"aku tidak akan pernah berhenti berjuang, Ton. Untuk bisa mendapatkan kamu. Apa pun caranya." balas pakde Rohim terdengar tegas.
Dan sekali lagi, aku merasa dunia ini berputar-putar tiba-tiba. Apa pun caranya? bathin ku lagi. Itu berarti pakde Rohim akan tega melakukan apa saja, untuk bisa mewujudkan impiannya tentang ku. Membayangkan hal itu, aku merasa mual, ingin muntah.
*****
"besok subuh-subuh kita harus pulang ke kota.." ucapku pada istriku, saat akhirnya aku sampai ke rumah malam itu.
"kenapa buru-buru sih, mas. Kita udah sepakat, kalau kita pulangnya sehabis malam tahun baru.." balas istri ku, dengan nada sedikit heran.
"bos nelpon, katanya besok ada yang harus saya kerjakan.." alasan ku berbohong.
"tapi bukankah semua karyawan libur. Biasanya juga masuk kerjanya sehabis tahun baru. Kok, sekarang tiba-tiba harus masuk kerja?" balas istri ku lagi, setengah tak percaya dengan alasan ku.
"iya.. tapi.. ini ada kerjaan mendadak, dan besok sudah harus selesai. Aku gak mungkin menolak, kan?" balasku terus berbohong.
Istri ku terdiam sesaat. Ia seperti mencoba mencerna setiap ucapanku barusan.
"ya.. udah.. terserah mas aja.. kalau begitu saya siap-siap dulu, sekalian minta izin sama nenek dan pakde Rohim..." balas istri ku akhirnya, yang membuat aku merasa sedikit lega.
Aku memang berniat untuk segera pulang. Aku tidak ingin lebih lama lagi disini. Bukan karena aku membenci pakde Rohim. Tapi, jika aku tetap disini, ia pasti akan terus menuntut jawabanku. Sementara aku tidak berani menolaknya, dan aku juga tidak mungkin menerimanya.
Cinta pakde Rohim padaku, tanpa logika. Seharusnya, ia tidak seperti itu. Seharusnya, logikanya bisa berpikir lebih jernih. Bukankah aku ini suami dari ponaannya? Aku ini menantu dari kakak kandungnya. Yang berarti, aku juga menantunya.
Tapi mengapa ia harus bersikeras untuk bisa memiliki ku?
Tak kusangka, pikiran pakde Rohim bisa sepicik itu. Mungkin pikirannya masih terlalu sempit, untuk menerima kenyataan, bahwa aku adalah laki-laki normal yang sudah beristri dan punya anak. Lebih parahnya lagi, aku ini suami dari ponaannya sendiri.
Kalau saja, ia bukan seorang laki-laki. Mungkin aku masih bisa mempertimbangkan hal tersebut.
Tapi...
Ah.. sudahlah...
Yang penting saat ini, aku harus segera pulang ke kota, dan melupakan semua yang terjadi di kampung ini. Aku tak ingin mengingatnya. Aku akan menganggapnya hanya sebuah mimpi. Bukan kenyataan.
Tapi.. mampukah aku melupakan semua ini begitu saja? Akankah pakde Rohim berhenti mengejarku? Sakit hatikah dia, jika aku tidak memberi jawaban apa-apa padanya?
****
Pagi itu, subuh-subuh sekali, kami sudah bersiap-siap untuk pulang. Pakde Rohim menatapku, dengan tatapan yang tidak bisa aku mengerti. Ia sepertinya tidak rela melepaskan kepergian kami.
"sayang sih sebenarnya, kalian harus pulang secepat ini. Padahal nanti malam ada acara makan-makan loh.." kali ini nenek yang berkomentar.
"maaf ya, Nek." tukas ku cepat, "tapi kami memang harus segera pulang, ada kerjaan mendadak dari bos.." lanjutku.
"iya.. tadi malam istri mu udah cerita. Tapi sayang aja sih sebenarnya..." balas nenek dengan raut kecewa.
"gak apa-apa, nek. Besok kalau ada waktu lagi, kami pasti akan kesini lagi, kok. Atau nenek ikut kami aja ke kota?" kali ini istri ku yang berucap.
"kamu kan tahu, kalau nenek gak bisa naik mobil jauh-jauh.. Lagi pula, kalau nenek ikut, nanti pakde mu tinggal sendiri dong.." balas nenek.
"ya udah, nek.. kalau begitu kami pamit dulu.." ucapku cepat, aku hanya ingin segera pergi dari sana.
"ya udah.. hati-hati, ya.." balas nenek, sambil ia menciumi anak kami sekali lagi.
Lalu dengan segera aku pun masuk ke mobil, di ikuti oleh istri ku. Kami segera meninggalkan rumah tersebut, diiringi tatapan tidak rela dari nenek dan terutama dari pakde Rohim. Saya yakin, ia pasti sangat kecewa akan keputusan ku tersebut.
Aku yakin, pakde Rohim tidak percaya dengan alasan ku, untuk pulang cepat. Ia pasti tahu alasan ku yang sebenarnya. Tapi... ya sudahlah. Apa pun yang akan terjadi nantinya, semoga saja, aku bisa menghadapinya.
Ya.. semoga saja..
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih