Langsung ke konten utama

Adsense

Abang penjual pisang

Sebut saja namanya Alvian, dan aku biasa memanggilnya bang Alvi. Dia seorang penjual pisang di sebuah pasar tradisional yang berada tepat di perempatan jalan, yang salah satu persimpangannya adalah jalan menuju gang tempat aku tinggal.

Aku seorang mahasiswa baru di sebuah kampus yang cukup ternama di kota tempat aku tinggal. Aku masuk kampus tersebut, bukan karena aku termasuk golongan orang yang mampu secara ekonomi, tapi karena memang aku mendapatkan beasiswa penuh, untuk bisa kuliah di kampus tersebut.

Aku tinggal bersama ibu ku, hanya berdua. Ayahku sudah lama pergi merantau menjadi TKI di luar negeri. Tapi sampai saat ini, kami belum pernah mendapat kabar apa pun darinya. Bahkan aku sendiri menganggap kalau ayah ku sudah tidak ada lagi. Aku tak pernah berharap lagi, beliau akan kembali.

Ayahku pergi ketika aku masih berusia delapan tahun. Beliau meninggalkan aku dan ibu ku di kota besar ini, yang membuat ibu ku harus berjuang sendiri untuk membesarkan ku.

Aku dan ibuku masih tinggal di rumah kontrakan kecil, yang berada di sebuah gang sempit, di tengah-tengah kota nan megah tersebut. Sebuah gang yang memang berisi hampir semuanya rumah kontrakan. Sudah bertahun-tahun kami tinggal di sana.

Ibu memang tidak punya keluarga lain di kota ini. Dulu ia memutuskan untuk ikut dengan ayahku, merantau ke kota, setelah hampir setahun mereka menikah di kampung. Lalu aku pun lahir di kota ini.

Ayahku dulunya bekerja sebagai seorang tukang bangunan, sampai akhirnya ia mendapatkan tawaran dari salah seorang temannya, untuk bekerja di luar negeri menjadi seorang TKI.

Sattu tahun, dua tahun, hingga tiga tahun berlalu, ayah masih sering mengirimkan uang kepada kami. Namun memasuki tahun ke empat kami mulai kehilangan kontak dengannya. Ia juga tidak lagi pernah mengirimkan uang untuk kami. Bahkan terakhir tersiar kabar, jika ayahku sudah menikah lagi di luar negeri.

Sejak saat itulah aku pun berusaha untuk memupus harapan ku tentang ayah. Harapanku akan kembalinya lagi dia ke kota ini, menemui kami. Aku sudah tidak berharap lagi. Demikian juga ibu.

Sejak saat itu juga, ibu akhirnya memutuskan untuk membuka usaha pisang goreng crispy, yang ia jual di depan rumah kontrakan kami. Karena memang daerah itu cukup ramai. Dan juga belum ada yang berjualan pisang goreng crispy disana.

Aku lulus SMA dengan hasil terbaik, hingga aku pun mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah ku. Itu semua berkat ibu yang selalu membimbingku dalam belajar. Ia selalu memberi aku dorongan dan semangat untuk terus belajar dengan giat.

Karena aku hanya fokus pada belajar, belajar dan belajar. Aku hampir tidak punya teman sama sekali. Apa lagi pacar. Dulu ketika masih SMA, sepulang sekolah, aku menghabiskan waktu untuk membantu ibu ku berjualan.

Sekarang aku sudah mulai kuliah. Untuk berangkat kuliah, aku harus berjalan kaki dari rumah ke perempatan, agar aku bisa naik angkot yang menuju ke arah kampus ku. Dan di perempatan tersebutlah, pasar tradisional, tempat bang Alvi berjualan pisang.

Awalnya aku tidak mengenal bang Alvi, karena aku memang tidak pernah masuk ke dalam pasar tersebut.

Tapi pada suatu ketika, ibu ku meminta aku untuk membeli pisang ke pasar, sebelum aku berangkat kuliah. Karena penjual pisang langganannya yang biasa mengantar pisang ke rumah sekarang sudah tidak berjualan pisang lagi.

Aku pun masuk ke dalam pasar, mencari tempat para penjual pisang itu berada. Sebenarnya ibu ku sudah cukup memberi petunjuk, dimana tepatnya posisi para penjual pisang di dalam pasar tersebut. Tapi karena aku yang memang jarang masuk ke pasar tersebut, jadi sedikit kesulitan untuk bisa menemukannya langsung.

Sampai akhirnya aku dapat melihat, kumpulan pisang-pisang yang sangat banyak. Ada yang bergantungan, ada juga yang terletak di atas lantai los pasar tersebut. Lalu aku pun segera menuju ke tempat para penjual pisang tersebut.

"pisangnya dek.." tawar seorang ibu-ibu, saat aku melintas di depan jualannya. Tapi aku mengabaikannya, karena aku sedang mencari pisang yang sesuai dengan pesanan ibu ku.

"cari pisang apa, dek?" seseorang bertanya lagi padaku, kali ini seorang laki-laki paroh baya.

"saya cari pisang yang biasa untuk buat pisang goreng crispy.." balasku, sambil mulai menghentikan langkah ku, di depan jualan pisang laki-laki yang bertanya tadi.

"oh..." laki-laki itu membulatkan bibir. "kalau untuk buat pisang crispy, biasanya orang pake pisang kepok atau pisang raja dan ada juga yang pake pisang ambon." jelasnya kemudian.

"itu dia masalahnya bang, saya gak ingat tadi ibu pesan pisang yang mana." keluhku lebih kepada diriku sendiri. Tadinya aku pikir, akan sangat gampang menemukan pisang yang ibu ku pesan. Tapi ternyata ada banyak jenis pisang yang tersedia di sini.

"kalau ini pisang apa namanya, bang?" tanya ku melanjutkan, sambil memegang pisang tersebut.

"kalau itu pisang ambon, bagus juga buat di goreng... " balas laki-laki tersebut.

"besar ya bang pisangnya.." ucapku lagi.

"iya... kalau pisang ambon memang cukup besar. Jadi kamu suka pisang yang besar apa yang kecil?" balas laki-laki itu, dengan sedikit berseloroh.

"saya suka yang besar sih, bang. Tapi kalau bisa yang tahan lama juga.. Maksudnya biar gak cepat busuk.." ucapku kemudian, mencoba mengikuti selorohan laki-laki tersebut.

"kalau yang besar dan tahan lama ya pisang ambon itu. Kamu mau pisang ambon aja?" balas laki-laki itu, sambil sedikit bertanya.

"ya udah saya ambil yang ini aja ya, bang.." ucapku akhirnya.

"karena besar dan tahan lama ya?" tanya laki-laki itu berseloroh lagi.

"bukan karena itu juga, bang. Tapi seingat saya itu memang pisang yang biasa ibu gunakan untuk membuat pisang crispy." balasku menjelaskan.

"oh, ya.. nama kamu siapa?" tanya laki-laki itu, sambil ia mulai memasukan pisang-pisang yang aku pilih tersebut ke dalam kantong plastik besar.

"saya Theo, bang. Saya tinggal di gang Melati sana.." balas ku apa adanya.

"oh... gang Melati, saya tahu gang itu. Rumah saya di gang Cemara, masuk dalam lagi.." ucap laki-laki itu menjelaskan.

"iya.. saya tahu gang Cemara, saya sering sampai sana, kalau lagi jogging sore-sore.." balasku.

"tapi nama abang siapa?" tanyaku melanjutkan.

"saya Alvian. Keren, kan? Tapi panggil Alvi aja. Bang Alvi.." balas laki-laki itu terdengar sagat ramah.

Lalu kemudian ia pun menyerahkan kantong plastik yang sudah berisi pisang-pisang tersebut padaku, sambil ia menerima uang yang aku berikan padanya. Tanpa sengaja tangan kami pun saling bersentuhan. Tangannya terasa hangat. Bahkan kehangatannya terasa menjalar ke dada ku. Hatiku pun menjadi berdebar tak karuan.

Bang Alvi menatapku, yang pastinya terlihat salah tingkah.

"besok kalau butuh pisang lagi, langsung datang kesini lagi ya.." ucap bang Alvi akhirnya, setelah mata kami saling bertatapan beberapa saat.

"iya.. pasti, bang.." balasku sambil berusaha untuk menenangkan hati ku.

"makasih ya Theo, semoga kita bisa jadi langganan.." bang Alvi berucap lagi.

"iya, bang. Semoga saja." balasku masih terasa grogi.

Lalu tanpa berpamitan, aku pun segera berlalu dari situ.

****

 

Begitulah awalnya aku bertemu bang Alvi. Bukan sebuah pertemuan yang di sengaja. Tapi pertemuan singkat tersebut, mampu meninggalkan kesan yang begitu dalam di hati ku. Aku yang belum pernah jatuh cinta, apa lagi pacaran, tiba-tiba saja merasakan hal aneh dalam hatiku, sejak bertemu bang Alvi.

Sejak saat itu, aku jadi sering memikirkan bang Alvi. Aku jadi ingin bertemu ia lagi. Aku seperti menemukan sosok yang aku cari selama ini dalam diri bang Alvi. Sosok seorang ayah, yang sudah lama aku rindukan kehadirannya.

"Buk... mulai besok aku aja ya, yang beli pisang ke pasar." tawarku padaku ibu ku, saat aku sudah sampai ke rumah.

"kenapa kamu tiba-tiba jadi rajin ke pasar? Padahal dulu, kamu paling ogah kalau ibu suruh ke pasar.." balas ibu ringan.

"bukan apa-apa, buk, saya hanya gak tega membiarkan ibu membawa pisang seberat ini dari pasar sendirian.. Kan kata ibu, orang yang biasa mengantar pisang ke rumah sudah tidak jualan pisang lagi. Jadi biar saya aja yang beli pisang ke pasar. Lagian harganya jadi lebih murah.." jelasku beralasan.

"yah.. terserah kamu aja, Theo.. Ibu malas senang mendengarnya..." balas ibuku akhirnya.

Aku pun tersenyum senang mendengarnya. Entah mengapa aku merasa bahagia, karena punya kesempatan lagi untuk datang ke pasar dan bertemu bang Alvi lagi.

"atau jangan-jangan kamu pengen ke pasar lagi, karena kamu bertemu seseorang di sana ya?" goda ibu ku tiba-tiba.

"bertemu seseorang gimana sih buk, maksudnya?" balasku sedikit bertanya.

"yah... siapa tahu, penjual pisang adalah seorang cewek cantik, lalu kamu jatuh cinta sama dia.." jelas ibu masih berusaha menggoda ku.

"ah.. gak, kok. Bukan karena itu, buk.. lagian yang jual cowok, kok.." balasku dengan nada protes.

"yah udah gak apa-apa. Ibu kan cuma bercanda.. jangan ditanggapi serius gitu dong.." ucap ibu kemudian.

"iya.. iya... " balasku masih merasa kurang senang.

"Theo mau berangkat kuliah dulu..." lanjutku kemudian, sambil mulai melangkah keluar.

*****

Keesokan paginya, dengan langkah lebar, aku memasuki pasar itu lagi. Langkah ku langsung menuju ke kios tempat bang Alvi berjualan pisang.

Tadi malam mata ku jadi sulit tertidur, karena selalu terbayang wajah bang Alvi. Wajah yang tampan dengan tatapan mata yang meneduhkan. Postur tubuhnya yang proporsional. Tinggi, gagah dan terlihat sangat kekar.

Semua itu terus melinta di dalam pikiran ku. Aku mulai membayangkan hal-hal yang aneh bersama bang Alvi. Aku membayangkan bisa berada dalam pelukan tubuhnya yang gagah tersebut.

Ah.. Mungkinkah aku telah jatuh cinta? Sebuah perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

"masih ingat saya kan, bang?" tanya ku, ketika akhirnya aku sampai ke tempat bang Alvi berjualan pisang tersebut.

"mana mungkin saya akan lupa sama cowok manis kayak kamu, Theo. Pemuda berwajah tampan dengan senyum manis seperti kamu, memang mudah di ingat.." balas bang Alvi cukup blak-blakan. Entah ia serius dengan pujiannya, atau hanya sekedar berbasa-basi.

Aku takut mengartikan pujian bang Alvi barusan. Karena kata orang, kalau kita lagi jatuh cinta, kita jadi sering menyalahartikan sikap seseorang terhadap kita. Kalimat yang harusnya biasa saja, akan terdengar istimewa di telinga orang yang sedang jatuh cinta.

"ah.. bang Alvi bisa aja..." balasku akhirnya, berpura-pura setenang mungkin. Padahal hati ku saat ini, terasa tak menentu. Dadaku mulai berdebar-debar hebat.

"jadi... ada apa nih, datang lagi? Mau beli pisang yang besar dan tahan lama lagi?" bang Alvi bertanya kemudian.

"iya, bang.. sepertinya do'a abang terkabul. Mulai sekarang saya akan jadi langganan abang..." balasku tenang.

"baguslah... jadi aku akan semakin sering bertemu kamu... he.. he..he.." ucap bang Alvi dengan di akhiri sebuah tawa kecil.

"iya, bang. Kita akan semakin sering bertemu.." balasku ikut tersenyum.

*****

Dan begitulah, sejak saat itu, aku dan bang Alvi jadi semakin sering bertemu. Kami juga jadi semakin dekat dan akrab. Aku juga jadi tahu, kalau ternyata bang Alvi belum menikah, meski ia sudah berusia 35 tahun lebih.

Bang Alvi tinggal sendiri di sebuah rumah kontrakan kecil. Ia sudah bertahun-tahun merantau ke kota ini. Sudah bertahun-tahun juga ia berjualan pisang di pasar tersebut.

"nanti kapan-kapan kamu jalan ke rumah ku ya.." tawar bang Alvi suatu hari, saat aku membeli pisang lagi padanya. Saat kami benar-benar sudah terasa akrab.

"emangnya boleh, saya datang ke rumah abang?" tanyaku memancing.

"ya.. boleh lah... saya malah senang kalau kamu mau datang ke rumah saya.." balas bang Alvi.

Kami memang semakin sering ngobrol berdua, terutama saat aku membeli pisang di tempat ia berjualan tersebut. Aku bahkan sengaja berlama-lama mengobrol bersama bang Alvi, hanya untuk menikmati moment kebersamaan ku dengannya.

Aku memang telah jatuh cinta pada bang Alvi. Aku merasa bahagia bisa dekat dengannya. Meski hubungan kami saat ini, masih hanya sebatas teman ngobrol. Tapi rasanya hal itu sudah cukup untuk membuat aku merasa bahagia. Apa lagi saat kami mengobrol, bang Alvi selalu terang-terangan memuji ku.

Aku gak tahu apa yang dirasakan bang Alvi padaku saat ini. Namun, terkadang, dari sikap aku yakin, kalau ia juga punya perasaan yang sama dengan ku. Tapi aku tidak ingin berharap. Aku takut, jika ternyata dugaan ku salah, maka aku akan merasa sangat kecewa.

Namun yang pasti untuk saat ini, aku akan mencoba menikmati setiap detik kebersamaan kami. Aku akan menjalani semua ini, sampai aku punya keberanian, untuk berkata jujur pada bang Alvi.

****

Kisah lainnya :

Abang penjual buah

Paman istri ku (part 4)

Paman istri ku (part 3)

Paman istri ku (part 2)

Paman istri ku (part 1) 

Sosis pak Dodo (part 2) 

Sosis pak Dodo (part 1) 

Gelandangan kekar (part 3)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google