Langsung ke konten utama

Adsense

Paman istri ku

Waktu itu aku sedang berlibur di kampung istri ku. Kebetulan sejak kami menikah, aku belum pernah sampai ke kampung istri ku. Karena sebenarnya hampir semua keluarga istri ku, termasuk kedua orangtuanya, sudah pindah ke kota tempat kami tinggal.

Meski masih ada beberapa orang dari keluarga istri ku yang masih tetap tinggal di kampung halamannya. Ada tante Dewi, adik kedua dari ibu mertua ku. Kemudian ada juga pakde Rohim, adik bungsu dari ibu mertua ku.

Ibu mertua ku memang punya banyak saudara kandung. Mereka semuanya tujuh bersaudara. Dan pakde Rohim adalah adik bungsunya, yang masih belum menikah.

Sebenarnya pakde Rohim masih cukup muda, usianya hanya terpaut empat tahun dari ku. Usia ku sendiri saat ini sudah 30 tahun. Dan aku menikah dengan istri sudah lebih dari dua tahun, kami juga sudah punya seorang putra yang baru berusia 1 tahun.

Pakde Rohim hanya tinggal berdua bersama ibunya, yang merupakan nenek dari istri ku. Ayah pakde Rohim atau kakek dari istri ku, sudah lama meninggal.

Walau pun sudah berusia 34 tahun lebih, pakde Rohim memang belum menikah. Meski ia sudah punya pekerjaan tetap, yakni menjadi seorang perangkat desa di desa tempat ia tinggal. Ia juga punya sawah yang cukup luas, yang merupakan warisan dari almarhum ayahnya.

Sebenarnya aku sudah beberapa kali bertemu pakde Rohim. Yaitu saat aku menikah dengan istri ku, dan juga saat anak pertama kami lahir. Pakde Rohim juga sering berkunjung ke kota, sekedar jalan-jalan atau sekedar menemui ibu mertua ku, yang merupakan kakak tertuanya.

Ibu mertua ku memang menikah muda, ia menikah pada saat usianya baru 18 tahun. Dan saat itu, pakde Rohim baru berusia tujuh tahun. Setidaknya begitulah cerita yang aku ketahui dari istri ku.

Oh, ya.. sebelumnya perkenalkan nama ku Antonio Sudrajat. Tapi orang-orang biasa memanggil ku Toni. Aku bekerja di sebuah perusahaan yang cukup besar di kota, sebagai seorang asisten manager.

Aku menikah pada saat usia ku 28 tahun. Sedangkan istri ku masih 24 tahun waktu itu. Dan sekarang kami sudah dikaruniai seorang putra.

Karena belum pernah menjejakkan kaki di kampung istri ku, aku pun menyetujui, ketika istri ku mengajak aku untuk berlibur di kampung halamannya, yang berjarak kurang lebih enam jam perjalanan naik mobil dari kota tempat kami tinggal.

Kebetulan saat itu, aku memang sedang libur akhir tahun. Hanya beberapa hari. Empat hari tepatnya.

Kami menginap di rumah pakde Rohim, yang juga merupakan rumah nenek dari istri ku. Rumah itu cukup luas dan juga punya banyak kamar.

Kamar paling depan di tempati oleh nenek, sementara pakde Rohim menempati kamar bagian belakang. Dan kami disediakan kamar yang di tengah-tengah, yaitu antara kamar nenek dan kamar pakde Rohim.

Hari pertama kami datang, kami langsung di sambut oleh nenek dan pakde Rohim dengan gembira. Tentu saja mereka merasa bahagia melihat kedatanga kami. Terutama karena putra kami, yang masih berusia satu tahun tersebut.

Hari itu, kami juga mengunjungi rumah keluarga istri ku yang lain, terutama rumah tante Dewi, yang merupakan adik kedua dari ibu mertua ku.

****

Malam itu, sehabis mandi dan makan malam, aku duduk sendirian di teras depan. Istri dan anakku dan juga nenek, sedang berkunjung ke rumah salah seorang keluarga mereka. Aku sengaja tidak ikut, karena merasa cukup lelah.

"melamun aja kamu, Ton." tiba-tiba suara pakde Rohim mengagetkan ku. Ia muncul dari balik pintu dengan membawa dua gelas minuman.

"ini aku bawakan kopi, biar lebih fresh.." lanjutnya, tanpa pedulikan reaksi keterkejutan ku, sambil ia menaruh kedua gelas kopi tersebut di atas meja yang ada di depan ku. Kemudian ia pun duduk di kursi di samping ku.

"makasih, pakde.." balasku merasa sedikit sungkan. Biar bagaimana pun aku dan pakde Rohim tidak begitu dekat. Bahkan kami belum pernah ngobrol berdua seperti ini.

"jadi gimana pekerjaannya? lancar?" tanya pakde Rohim memulai pembicaraan lagi.

"yah.. begitulah, pakde. Alhamdulillah lancar..." balasku pelan.

"kamu sengaja ambil cuti ya, biar bisa liburan kesini?" pakde Rohim bertanya lagi.

"ah.. gak kok, pakde. Kebetulan perusahaan memang memberi kami libur di setiap akhir tahun. Biasalah.. menyambut natal dan tahun baru..." jelasku.

Pakde Rohim terlihat manggut-manggut, kemudian ia berucap kembali, "jadi malam tahun baru nanti, kalian masih disini?" tanyanya.

Aku mengangguk ringan. "emang ada perayaan apa kalau tahun baru disini, pakde?" tanya ku sekedar berbasa-basi.

"gak ada perayaan khusus sih... tapi biasanya anak-anak muda sini, bikin acara api unggun, bakar-bakar atau sekedar karaokean di lapangan bola desa, sampai subuh..." jelas pakde Rohim, sambil ia mulai menyeruput kopi yang masih sedikit panas tersebut.

"wah.. seru juga tuh, pakde." balasku berlagak antusias. Padahal seumur hidup, aku tidak pernah suka yang namanya merayakan malam tahun baru. Aku lebih suka nonton film di rumah atau bermain game.

"yah... bagi anak-anak muda disini mungkin itu seru.. tapi saya.. sejak dulu gak pernah ikut-ikutan acara tersebut. Saya kurang suka keramaian.." ucap pakde Rohim kemudian.

Kali ini aku terdiam. Ternyata pakde Rohim punya sifat yang hampir sama dengan ku. Tidak suka keramaian.

Untuk selanjutnya, aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku bertanya banyak hal pada pakde Rohim, terutama tentang kehidupan masyarakat di desa tersebut.

Pakde Rohim ternyata orangnya cukup cerdas dan berwawasan luas. Ia juga punya banyak pengalaman hidup yang ia ceritakan padaku malam itu.

Tiba-tiba saja kami menjadi dekat. Keramahan pakde Rohim membuatku merasa betah mengobrol dengannya. Kami mengobrol cukup lama malam itu. Bahkan saat istri ku sudah pulang pun, kami masih terus mengobrol di teras tersebut.

****

Keesokan paginya, pakde Rohim pun mengajak ku pergi ke sawahnya, dengan hanya berjalan kaki, karena jarak sawah dari rumah hanya lebih kurang satu kilometer. Kebetulan hari itu hari minggu, jadi beliau tidak masuk kerja.

Sawah itu cukup luas. Sawah itu dikelola oleh beberapa orang pekerja, yang merupakan orang kepercayaan pakde Rohim. Biasanya memang setiap hari minggu, pakde Rohim datang ke sawah tersebut, untuk melihat perkembangannya.

Setelah berjalan cukup jauh dan aku juga merasa cukup lelah, karena aku memang tidak terbiasa berjalan kaki sejauh itu, akhirnya kami sampai ke pondok yang berada di tengah-tengah sawah tersebut.

"kemana para pekerjanya, pakde?" tanyaku setelah aku duduk dengan tenang di samping pakde Rohim di dalam pondok tersebut.

"kalau hari minggu memang tidak bekerja, Ton. Mereka memang aku beri libur setiap hari minggu.." jelas pakde Rohim, menjawab pertanyaan ku.

"oh.." aku membulatkan bibir, "lalu sekarang kita mau ngapain disini, pakde?" tanyaku.

"yah... sekedar menikmati alam. Dari pada bengong di rumah, kan. Lagi pula, saya juga mau melihat perkembangan sawah ini..." jelas pakde Rohim lagi.

"memang tenang sih, pakde. Berada disini. Terasan lebih segar..." ucapku, sambil menghirup udara dari hidungku berkali-kali, menikmati udara yang bersih tersebut.

"iya..." balas pakde Rohim pelan, "apalagi ada kamu disini.." lanjutnya lebih pelan, hampir tak terdengar.

"maksudnya?" tanyaku penasaran.

"gak... gak apa-apa... saya cuma ngelantur tadi..." balas pakde Rohim, terdengar salah tingkah.

Lalu tiba-tiba pakde Rohim turun dari pondok dan berjalan ke tengah-tengah sawah, tanpa berucap apa-apa lagi padaku. Aku hanya keheranan melihat tingkah pakde Rohim yang tiba-tiba terlihat aneh tersebut.

Pakde Rohim terus berjalan dengan pelan, menyelusuri sawah tersebu. Sampai akhirnya aku melihat pakde Rohim sedikit terpeleset, yang mengakibatkan ia terjatuh ke dalam tanaman padi yang berlumpur tersebut.

Melihat hal tersebut, aku segera berlari untuk menolong pakde Rohim yang sudah berlumuran lumpur di sebagian tubuhnya.

"pakde gak apa-apa?" tanyaku, ketika aku sudah sampai di dekatnya. Ia masih terduduk di lumpur tersebut.

"sakit, Ton... Saya belum pernah masuk seperti ini sebelumnya..." rintihnya menahan sakit, sambil ia memegangi pinggangnya.

Aku segera membantunya untuk berdiri. Aku mengulurkan tanganku padanya, pakde Rohim segera menyambut tanganku. Lalu kutarik ia untuk membantunya berdiri kembali.

"pinggangku sakit..." rintihnya lagi, sambil ia mulai menaiki jalan kembali.

"pakde kenapa, sih?" tanyaku kemudian.

"gak tahu... tiba-tiba saja kaki saya kepeleset. Mungkin karena jalannya licin. Padahal saya cuma mau liat-liat sebentar..." balasnya pelan.

"ya udah... kita pulang aja ya, pakde.." ucapku lagi.

"iya... ayok kita pulang aja.. udah kotor gini.." balasnya.

"tapi pakde udah gak apa-apa, kan? Udah gak sakit?" tanyaku.

"saya udah gak apa-apa, Ton. Udah agak mendingan.." balasnya, sambil mulai melangkah meninggalkan persawahan tersebut.

"untung gak ada yang liat tadi..." ucap pakde Rohim, saat kami sudah mulai berjalan beriringan, menuju rumah.

****

Sore harinya, pakde Rohim,mengajak ku pergi jalan-jalan naik motor, ke kampung tetangga.

"ada teman ku yang melangsungkan pesta pernikahan di sana." jelas pakde Rohim, saat kami sedang diperjalanan.

"biasanya aku aku gak pernah mau datang untuk acara pesta seperti itu. Tapi, mumpung karena ada kamu disini sekarang, jadi sekalian kita jalan-jalan sore.." lanjutnya lagi.

"pakde sendiri kapan?" tanyaku memberanikan diri. Aku penasaran sih sebenarnya. Kenapa pakde Rohim belum menikah. Padahal usianya sudah cukup matang, dan ia juga sudah punya pekerjaan tetap, bahkan penghasilannya juga sudah lebih dari cukup.

"kalau saya katakan alasan yang sebenarnya... kamu mau janji gak?" ucap pakde Rohim, setelah cukup lama ia terdiam, mendengar pertanyaan ku barusan.

"janji apa?" tanyaku heran.

"kamu harus janji dulu, kalau kamu bakal jaga rahasia ini, dan kamu juga harus janji, untuk tidak membenci ku karena ini..." jawab pakde Rohim pelan.

"rahasia apa? Dan kenapa aku harus membenci pakde?" tanyaku lagi, aku semakin merasa heran dan pikiran dipenuhi banyak pertanyaan.

Tiba-tiba pakde Rohim menghentikan motornya. Ia memarkir motor tersebut di pinggir jalan, lalu mengajak ku duduk di sebuah pondok kecil yang berada di pinggir jalan yang cukup sepi tersebut.

"kita ngapain disini, pakde?" tanyaku, saat kami sudah duduk di dalam pondok tersebut. Suasana daerah tersebut memang cukup sepi. Hampir tidak ada kendaraan yang berlalu lalang. Daerah tersebut merupakan perbatasan desa pakde Rohim dengan desa tetangga yang kami tuju.

"saya ingin menceritakan sebuah rahasia sama kamu, Ton. Dan saya juga ingin jujur sama kamu.." balas pakde Rohim sedikit misterius.

"apa?" tanyaku datar.

"tapi kamu harus janji, untuk menjaga rahasia ini, dan saya harap kamu jangan membenci ku, jika saya mengatakan semua ini.." balas pakde Rohim pelan.

"iya.. aku janji..." balasku setengah tak yakin dengan ucapan ku sendiri. Sebenarnya aku hanya penasaran, dengan apa yang akan di ceritakan pakde Rohim padaku.

Kenapa ia terlihat begitu serius dan terlihat sedikit tegang? Apa sebenarnya rahasia yang dia maksud? Dan kenapa pula aku harus membencinya?

Semua pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba menggantung di pikiran ku.

Ada apa dengan pakde Rohim sebenarnya? Kenapa ia jadi misterius seperti ini? Bathinku masih penuh tanya.

*****

Kisah lainnya :

Sosis pak Dodo (part 2) 

Sosis pak Dodo (part 1) 

Gelandangan kekar (part 3) 

Gelandangan kekar (part 2)

Gelandangan kekar (part 1) 

Istri ku jadi TKW, aku jadi begini (part 2)

Istri ku jadi TKW, aku jadi begini (part 1)

Nasib cinta penjual nasi goreng (part 3)

Nasib cinta penjual nasi goreng (part 2)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google