Langsung ke konten utama

Adsense

Abang penjual pisang (part 3)

Sebulan akhirnya berlalu. Aku dan bang Alvi masih tetap berteman. Kami masih sering bertemu, terutama saat aku berbelanja pisang padanya. Tapi aku tidak pernah lagi datang ke rumahnya, meski bang Alvi masih sering menawari ku.

Bukan karena aku tidak mau bertemu bang Alvi lagi di rumahnya, dan menghabiskan waktu berdua dengannya. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaan ku sendiri, karena terlalu berharap padanya.

Kami masih sering mengobrol, hanya saja, obrolan kami hanya sebuah obrolan basa-basi. Tidak ada lagi obrolan yang serius diantara kami. Karena aku takut, setiap pembicaraan yang serius hanya akan mengingatkan aku , akan perasaan ku pada bang Alvi.

Tapi aku akan selalu mencintainya, karena bang Alvi adalah cinta pertama dalam hidupku. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Apa lagi aku masih punya harapan untuk bisa memilikinya.

Hingga pada suatu hari...

"nanti malam ke rumah ya.." tawar bang Alvi untuk kesekian kalinya.

"lihat nanti aja ya, bang. Kalau aku gak sibuk.." balasku datar.

"kenapa kamu jadi seperti menghindari ku sekarang?" tanya bang Alvi, sedikit menghakimi ku.

"aku bukan menghindar, bang. Aku hanya mencoba menjaga jarak. Karena aku tidak ingin menyiksa diriku sendiri, karena terlalu berharap pada bang Alvi.." jelasku membela diri.

"kenapa begitu?" tanya bang Alvi kemudian.

"karena kalau seandainya abang masih akan melanjutkan hubungan abang bersama Zidan, itu artinya, aku akan semakin terluka. Dan aku tidak ingin merasakan sakit itu lebih dalam lagi.." balasku dengan nada lirih.

"kenapa kamu bergitu yakin, kalau aku akan tetap bersama Zidan?" bang Alvi bertanya lagi.

"aku gak tahu apa yang aku yakini saat ini, bang. Aku hanya tidak ingin terlalu berharap. Aku hanya takut, aku akan menelan kekecewaan pada akhirnya.." balasku pelan.

Bang Alvi menatap ku beberapa saat. Kemudian ia tersenyum kecut.

"sebenarnya aku sudah bertemu Zidan. Lebih tepatnya ia mengajak aku ketemuan.." ucap bang Alvi tiba-tiba.

"lalu?" tanyaku jadi penasaran.

"aku gak bisa cerita sekarang, makanya aku minta kamu datang nanti malam ke rumah ku.." balas bang Alvi sedikit misterius.

Aku terdiam sesaat. Mempertimbangkan segala sesuatunya. Setengah hati ku menolak untuk datang, karena takut hanya akan mendengarkan kabar yang menyakitkan. Namun separoh hati ku yang lain, memaksa aku untuk menerima tawaran tersebut. Karena sejujurnya, aku juga penasaran.

"oke... aku akan datang. Tapi aku harap, aku datang bukan untuk merasakan kekecewaan yang lebih dalam lagi.." balaku akhirnya.

Bang Alvi tidak berucap apa-apa lagi. Ia hanya memamerkan senyum kecutnya sekali lagi. Mungkin ia memang sengaja membuat aku panasaran. Tapi apa pun itu, aku memang ingin tahu, apa yang terjadi dengan hubungan antara bang Alvi dan Zidan.

*****

Malam itu, sehabis mandi, aku pun berangkat menuju rumah bang Alvi, dengan menggunakan ojek online. Aku sengaja tidak makan di rumah malam itu, karena tadi bang Alvi sudah mengirim pesan padaku, kalau ia akan membuatkan nasi goreng spesial untuk ku.

Sesampai disana, bang Alvi pun menyambutku dengan senyum ramahnya. Kami pun langsung masuk dan langsung menuju dapur. Ternyata bang Alvi sudah menyediakan dua porsi nasi goreng di atas meja makan.

"aku langsung masak tadi, biar kamu gak perlu menunggu lama, dan perlu sampai berdarah lagi.." ucap bang Alvi, yang mengingatkan aku akan kejadian saat pertama kali aku datang ke rumahnya. Saat itu jari ku sempat teriris pisau dan berdarah.

"oke.. kita langsung makan aja ya.." ucap bang Alvi lagi, tanpa menunggu reaksi ku selanjutnya.

"iya, bang.." balasku singkat.

Lalu kami pun mulai menyantap nasi goreng itu bersama-sama. Nasi goreng buatan bang Alvi memang luar biasa enak.

"kenapa bang Alvi gak jualan nasi goreng aja sih.." ucapku berbasa-basi, sambil terus menyantap makanan ku.

"aku lebih suka berjualan pisang. Karena jualannya bisa siang. Kalau jualan nasi goreng, kan harus malam. Dan aku gak bisa tidur terlalu larut." jelas bang Alvi. Sebuah alasan yang tidak terlalu masuk akal bagi ku. Tapi aku tidak ingin membahasnya lebih lanjut, karena menurutku hal itu juga tidak terlalu penting untuk di bahas.

Sehabis makan, seperti biasa, bang Alvi pun mengajak aku untuk mengobrol di kamarnya. Aku yang memang sudah penasaran untuk mendengarkan cerita bang Alvi tentang Zidan, langsung saja mengikuti langkah bang Alvi menuju kamar.

"aku bertemu Zidan sekitar seminggu yang lalu. Dia mengajak ku ketemuan di tempat biasa kami bertemu, di sebuah hotel." bang Alvi memulai ceritanya, dan entah mengapa aku merasa cemburu mendengar hal tersebut.

Bang Alvi biasa bertemu Zidan di hotel? bathin ku meringis. Tiba-tiba saja aku merasa tidak sebanding dengan Zidan. Aku jelas tidak akan bisa menggantikan posisinya dalam hidup bang Alvi.

"Zidan minta maaf padaku, karena baru punya waktu untuk bertemu dengan ku. Ia mengatakan kalau ia sudah memikirkan tentang kelanjutan hubungan kami selama berbulan-bulan, mencoba mencari keputusan yan terbaik."

"lalu akhirnya ia pun mengatakan kalau ia ingin mengakhiri hubungan kami. Bukan karena ia tidak lagi mencintai ku, tapi karena ia tidak ingin terus menerus menyakiti ku, karena kami pasti akan semakin jarang bertemu. Apa lagi saat ini, istrinya sedang hamil.."

"awalnya aku tidak bisa terima alasan tersebut, karena aku tidak peduli, meski pun kami akan jarang bertemu, tapi setidaknya kami masih bisa terus bersama, dan menjaga hubungan kami, agar tetap bertahan.."

"tapi Zidan terus berusaha meyakinkan ku, bahwa hubungan kami memang sudah tidak bisa lagi di lanjutkan. Bukan karena kami tidak lagi saling mencintai, tapi karena Zidan tidak mau membuat aku harus terus menerus menelan kekecewaan, karena ia akan semakin jarang punya waktu untuk ku.."

"akhirnya aku bisa menerima semua itu. Aku bisa menerima keputusan yang telah Zidan buat untuk hubungan kami. Kami pun sepakat untuk saling melepaskan. Meski sejujurnya hati ku merasa sakit saat itu. Tapi aku harus menghargai keputusan yang Zidan buat. Dan aku sadar, jika cinta tidak selamanya harus bersama.."

Begitu cerita bang Alvi padaku. Cukup panjang lebar. Dan cukup jelas.

"seminggu ini, aku coba menata hatiku kembali. Aku coba mengikhlaskan kepergian Zidan dari hidupku. Aku coba memupus harapan ku tentangnya. Aku coba menghapus perasaan cinta ku padanya. Dan yang pasti, aku mencoba untuk bisa melupakannya.." bang Alvi berucap lagi.

"seminggu ini, aku juga jadi sering memikirkan kamu, Theo.." lanjutnya pelan.

"lalu bagaimana?" tanyaku tiba-tiba, setelah dari tadi aku hanya terdiam.

"yah.. mungkin aku akan belajar untuk bisa mencintai kamu, Theo. Karena dari awal bertemu kamu, aku memang sudah suka sama kamu, hanya saja, saat itu, hati ku masih milik orang lain. Namun sekarang, hati ku sudah bukan milik siapa-siapa lagi.." balas bang Alvi kemudian.

"apa .. aku masih punya kesempatan, untuk bisa menerima kamu di hatiku?" tanyanya melanjutkan.

"seperti janji ku pada bang Alvi, bahwa aku akan selalu mencintai bang Alvi. Dan bang Alvi selalu punya kesempatan untuk merebut hati ku. Tapi... aku tidak ingin bang Alvi hanya menjadikan aku sebagai pelarian, dari kekecewaan bang Alvi pada Zidan.." ucapku membalas.

"aku tahu, ini tidak akan mudah. Tidak mudah bagiku, berpindah dari satu hati ke hati lainnya. Tapi .. seandainya saja kamu mau memberi aku kesempatan untuk aku belajar mencintai kamu. Akan aku buktikan, bahwa aku tidak hanya sekedar menjadikan kamu sebagai pelarian semata. Karena aku bukan tipe orang seperti itu.." jelas bang Alvi.

Aku terdiam. Berpikir. Selama berbulan-bulan aku telah jatuh cinta pada bang Alvi. Selama berbulan-bulan aku hanya bisa mengkhayalkannya. Dan sekarang aku punya kesempatan untuk bisa memilikinya. Meski aku tahu, saat ini, hatinya masih memikirkan orang lain.

Tapi jika kami terus bersama, aku yakin, perlahan namun pasti, bang Alvi akan berhasil melupakan Zidan, dan mengganti nama Zidan di hatinya dengan nama ku. Theo.

"baiklah, bang. Aku akan memberikan abang kesempatan. Aku hanya berharap abang tidak akan pernah mengecewakan ku." ucapku akhirnya.

"aku janji, aku tidak akan pernah membuat kamu kecewa, Theo. Kamu terlalu baik untuk aku kecewakan. Jadi aku harap, kamu juga jangan pernah menyerah, untuk membantu ku melupakan masa lalu ku.." balas bang Alvi terdengar yakin.

"jadi mulai sekarang kita pacaran?" tanyaku sekedar meyakinkan diri ku sendiri, kalau aku tidak sedang bermimpi.

"iya... mulai malam ini, aku milikmu seutuhnya, Theo.." balas bang Alvi.

"termasuk... pisang ambonnya?" tanya ku mencoba berkelakar.

"pisang ambon yang besar dan tahan lama, itu juga milik mu.." balas bang Alvi ikut berkelakar.

Lalu kemudian, kami pun sama-sama tersenyum penuh arti.

"eh.. ngomong-ngomong kamu memang suka pisang ambon ya?" tanya bang Alvi tiba-tiba, seperti sengaja mengalihkan pembicaraan.

"kalau di bikin pisang crispy sih, aku suka. Tapi kalau di makan langsung kurang suka.." jawabku apa adanya.

"kenapa?" tanya bang Alvi lagi.

"gak tahu.. mungkin karena terlalu besar, jadi makannya lama. Aku lebih suka pisang yang kecil-kecil, seperti pisang mas atau pisang susu, kalau di makan bisa langsung masuk semuanya. Jadi gak ribet aja sih.." jelasku beralasan.

"oh.. oke, masuk akal. Jadi kalau pisangnya besar kamu gak suka?" balas bang Alvi sedikit bertanya.

"suka sih, tapi kalau bisa memilih saya lebih suka yang kecil aja, lebih praktis kalau mau makannya.." balasku pelan.

"tapi ngomong-ngomong, kok kita jadi bahas tentang pisang sih?" lanjtuku bertanya.

"loh.. aku kan penjual pisang, jadi wajar kan kalau kita ngomongin soal pisang.." balas bang Alvi.

"iya.. sih... tapi bukankah kita seharusnya..." ucapku sengaja menggantung kalimat ku.

"oke.. aku ngerti maksud kamu.. Tapi... apa kamu sudah siap?" balas bang Alvi dengan diakhiri sebuah pertanyaan lagi.

"tergantung pisangnya sih, bang. Pisangnya pisang ambon yang besar atau pisang susu yang kecil?" ucapku membalas, masih berusaha berkelakar lagi.

"kamu lihat sendiri aja ya.." balas bang Alvi, sambil mulai berdiri di hadapan ku.

"wah... ini sih pisang ambon, bang.." ucapku tert*han, saat akh*rnya bang Alvi m3-lor*tk4n c3-l4n* nya di d3pan ku.

****

Dan begitulah, sejak saat itu, aku dan bang Alvi pun resmi berpacaran. Hubungan kami pun terjalin dengan indah. Kini, hampir setiap malam minggu, aku selalu datang ke rumah bang Alvi. Kami juga jadi semakin sering menghabiskan waktu berdua.

Semakin lama, aku semakin menyayangi bang Alvi. Kehadirannya benar-benar telah mengubah dunia ku, jadi lebih berwarna. Kini, dia telah resmi menjadi milik ku. Bukan lagi hanya di dalam khayalan ku.

"sudah hampir dua bulan kita bersama, Theo. Dan aku semakin menyadari, kalau aku kini telah jatuh cinta padamu. Aku semakin sayang sama kamu, Theo. Aku berharap, semoga hubungan kita bisa bertahan selamanya.." ucap bang Alvi pada suatu malam, saat untuk kesekian kalinya aku berada di rumahnya.

"aku juga sayang sama bang Alvi. Rasanya aku tidak akan sanggup lagi berpisah dari bang Alvi. Aku benar-benar mencintai bang Alvi. Aku juga selalu berharap, semoga kita bisa bersama selamanya." balasku penuh perasaan.

"tapi abang ini sudah cukup tua loh, Theo. Apa kamu gak pengen, coba pacaran dengan yang sebaya dengan mu?" ucap bang Alvi sedikit bertanya.

"semua yang aku butuhkan sudah ada pada diri bang Alvi, jadi aku gak butuh siapa-siapa lagi untuk melengkapi hidupku. Aku hanya menginginkan bang Alvi, dan aku tidak ingin siapa-siapa lagi dalam hidupku. Aku merasa sempurna bersama bang Alvi.." balasku masih dengan penuh perasaan.

"tapi aku tidak ingin kamu menyesal pada akhirnya, Theo. Karena aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanya seorang penjual pisang. Aku juga tidak bisa memberimu apa-apa, selain cinta dan kasih sayang yang tulus.." bang Alvi berucap lagi.

"itu semua sudah cukup bagiku, bang. Aku gak peduli, walau pun abang hanya penjual pisang. Karena aku merasa bahagia, bisa menghabiskan waktu bersama abang. Abang adalah lelaki terindah dalam hidupku. Abang adalah yang terbaik. Dan aku tidak akan pernah menyesal, karena mencintai seorang laki-laki seperti abang.." balasku apa adanya.

Memiliki orang yang kita cinta adalah suatu kebahagiaan. Dan mengetahui kalau orang itu juga mencintai kita adalah kebahagiaan yang utuh. Semua terasa sempurna. Indah. Lengkap, tanpa cela.

Aku akan selalu mencintai bang Alvi, dan berusaha untuk selalu membuatnya bahagia. Aku hanya berharap, semoga cinta kami tetap bertahan selamanya. Sampai kapan pun. Tanpa batas waktu.

Semoga saja...

****

Kisah lainnya :

Abang penjual pisang (part 2)

Abang penjual pisang (part 1)

Abang penjual buah

Paman istri ku (part 4)

Paman istri ku (part 3)

Paman istri ku (part 2)

Paman istri ku (part 1) 

Sosis pak Dodo (part 2)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google