Karena sudah merasa akrab dan dekat, aku pun memberanikan diri untuk datang ke rumah bang Alvi. Apa lagi sudah beberapa kali bang Alvi menawarkan ku untuk datang ke rumahnya. Karena memang jarak rumah kami tidak lah terlalu jauh. Masih di jalan yang sama, hanya beda gang.
Waktu itu malam minggu, dan pagi tadi aku juga sudah sampaikan pada bang Alvi akan datang ke rumahnya malam ini. Bang Alvi juga sudah mengirimkan lokasi rumah kontrakannya melalui aplikasi WA.
"selamat malam, bang.." sapa ku, ketika akhirnya aku sampai ke rumah bang Alvi. Bang Alvi sendiri sudah menantikan kedatangan ku di teras rumahnya.
"malam juga, Theo.." balasnya, "kamu kelihatan keren sekali malam ini.." lanjutnya memuji.
"ah.. biasa aja kok, bang..." balasku sedikit tersipu. Terus terang, baru kali ini aku dibilang keren oleh seorang laki-laki dewasa, seperti bang Alvi.
"justru abang yang terlihat gagah sekali malam ini.." lanjutku pelan.
"ya udah.. yuk masuk.." ajak bang Alvi, sambil ia mulai melangkah masuk. Aku pun mengikuti dari belakang. Lalu bang Alvi segera menutup dan menunci pintu rumah kontrakan kecil tersebut.
"kita ke dapur aja yuk, Theo. Soalnya saya belum makan malam ini, jadi saya mau masak dulu. Sekalian kamu mau saya masakin apa?" bang Alvi berucap lagi.
"emangnya abang bisa masak?" tanyaku, sambil terus mengikuti langkah bang Alvi menuju dapur.
"selain jualan pisang, saya juga hobi masak, loh. Saya selalu masak sendiri. Saya gak pernah pesanan makanan online, selain mahal, saya juga lebih suka makan masakan sendiri.." jelas bang Alvi.
"jadi kamu mau saya masakin apa?" tanyanya lagi mengulang.
"terserah bang Alvi aja, kalau soal makan, saya orangnya gak suka pilih-pilih. Karena sudah kebiasaan dari kecil, gak bisa milih-milih makanan. Maklumlah sudah biasa susah dari kecil.." balasku sedikit dramatis.
"kalau gitu saya masakin nasi goreng aja, ya. Biar praktis, dan gak butuh waktu lama.." ucap bang Alvi.
"iya, bang.." balasku singkat.
Lalu bang Alvi pun mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk membuat nasi goreng.
"dari pada bengong, mending kamu bantu saya ..." tiba-tiba bang Alvi berucap lagi, melihat aku hanya berdiri di dekatnya.
"wah.. saya gak pernah masak, bang. Paling cuma pernah masak mie instan aja.." balasku.
"kalau gitu kamu banti iris bawang aja ya.." ucap bang Alvi sambil ia menyerahkan beberapa bongkah bawang merah dan sebilah pisau.
Aku segera mengambil bawang dan pisau tersebut dari tangan bang Alvi. Terus terang aku belum pernah mengiris bawang sebelumnya. Tapi aku sering melihat ibu melakukannya. Jadi aku pun dengan sedikit kaku, mulai mengupas bawang tersebut, dan mengirisnya dengan perlahan.
Karena belum pernah melakukan hal tersebut, tanpa sadar, tiba-tiba jari telunjuk kiri ku pun ikut teriris pisau yang tajam tersebut.
"aduh.." teriak ku sedikit tertahan, karena menahan perih.
"kamu kenapa?" bang Alvi spontan bertanya, sambil ia pun mendekati ku.
"jari ku keiris, bang.." keluhku masih berusaha menahan perih.
"parah?" tanya bang Alvi dengan nada cemas.
"lumayan, bang. Sampai berdarah dan terasa perih..." balasku, sambil memegang jariku yang terluka tersebut.
"yang namanya keiris ya. .pasti berdarah lah, Theo. Sini saya lihat.." ucap bang Alvi kemudian, sambil ia meraih tanganku.
"kamu tahan dulu darahnya pake tisu ini, saya ambil plaster dulu di kamar.." ucap bang Alvi lagi, sambil menyerahkan beberapa lembar tisu padaku, kemuidan ia pun melangkah menuju kamarnya.
Beberapa saat kemudian, bang Alvi sudah kembali lagi ke dapur dengan membawa sebuah plaster untuk membalut luka di jari ku tersebut.
Dengan penuh perhatian, bang Alvi segera membalutkan plaster tersebut di jari ku yang terluka.
"makanya hati-hati.." ucapnya terdengar tulus.
Segala perhatian dan ketulusan bang Alvi tersebut, benar-benar membuat aku merasa semakin menyukainya. Aku semakin mengaguminya. Dan hal itu juga membuat aku semakin yakin, kalau bang Alvi juga menyukai ku.
"kamu istirahat aja.. duduk di situ.." ucap bang Alvi lagi, sambil menunjuk sebuah kursi yang berada di sudut ruangan tersebut. "biar saya aja yang masak.." lanjutnya.
"iya, bang..." balasku, sambil mulai melangkah menuju kursi yang dimaksud bang Alvi tadi.
Dan beberapa menit kemudian, dua porsi nasi goreng buatan bang Alvi pun sudah tersaji di atas meja makan. Aroma nya cukup mengundang selera. Dan aku yakin, rasanya juga pasti enak. Apa lagi yang masak adalah bang Alvi. Laki-laki yang telah membuat aku jatuh cinta.
"gimana?" tanya bang Alvi, ketika aku sudah mulai mengunyah nasi goreng tersebut.
"kalau bang Alvi yang bikin, udah pasti enak lah.." balasku apa adanya.
"bukan itu maksud ku, tangannya gimana?" tanya bang Alvi lagi lebih jelas.
"oh.." aku membulatkan bibir, "udah gak sakit lagi kok, bang.." ucapku melanjutkan.
"baguslah.." balas bang Alvi, sambil ia terus menyantap makanannya.
*****
"saya.. saya.. mau ngomong sesuatu sama bang Alvi.." ucapku sedikit terbata. Saat itu kami sudah selesai makan. Dan bang Alvi sengaja mengajak aku mengobrol di dalam kamarnya.
"kamu ngomong aja.." balas bang Alvi terdengar sedikit acuh, yang membuat aku jadi ragu untuk melanjutkan ucapanku. Tapi aku sudah bertekad dari tadi, kalau malam ini, aku harus menyatakan perasaan ku pada bang Alvi. Apa pun resikonya.
"sebenarnya... aku.. suka sama bang Alvi. Aku jatuh cinta sama bang Alvi. Bahkan sejak pertama kali kita bertemu. Apa... apa bang Alvi mau jadi pacar ku?" ucapku akhirnya, meski dengan sedikit terbata.
Bang Alvi menatapku lama. Cukup lama. Aku jadi semakin salah tingkah karenanya. Pada akhirnya aku hanya bisa tertunduk.
"sebenarnya... aku juga suka sama kamu, Theo. Tapi... untuk saat ini aku belum bisa menerima cinta kamu..." ucap bang Alvi akhirnya.
"kenapa?" tanya ku lirih.
"karena saat ini, aku masih terikat dengan seseorang." balas bang Alvi.
"bang Alvi sudah punya pacar?" tanyaku dengan nada kecewa.
"iya... tapi sudah lama kami tidak saling bertemu. Karena sekarang, pacarku itu sudah menikah dengan gadis pilihan orangtuanya. Namun kami sudah sepakat, akan tetap menjalin hubungan." jawab bang Alvi.
"kami pacaran sudah lebih dari tiga tahun. Namanya Zidan. Dia anak orang kaya. Anak tunggal. Karena itu dia tidak menolak perjodohan tersebut. Meski sebenarnya kami masih saling mencintai. Tapi sejak Zidan menikah sekitar empat bulan yang lalu, kami belum pernah bertemu lagi.."
"saya pernah mengajaknya ketemuan, tapi ia beralasan kalau saat ini, ia belum punya waktu untuk bisa bertemu dengan saya. Saya mencoba mengerti. Tapi rasanya, saat ini, aku mulai merasa kalau Zidan sudah tidak peduli lagi dengan ku.." jelas bang Alvi panjang lebar.
"kalau begitu, mengapa abang masih menunggunya?" tanyaku.
"hubungan kami di mulai dengan cara baik-baik. Dan aku juga ingin mengakhirinya dengan cara baik-baik. Aku ingin bertemu Zidan sekali lagi, untuk membicarakan tentang kelanjutan hubungan kami. Jika memang Zidan tidak ingin lagi bersama ku, aku ingin mendengarkannya langsung dari mulutnya."
"tapi sebelum semua itu terjadi. Aku belum berani menerima kehadiran orang baru dalam hidupku. Jika aku menerima kamu sekarang, aku masih merasa kalau aku telah mengkhianati Zidan. Dan aku tidak ingin hubungan kami harus berakhir dengan cara seperti itu.." jelas bang Alvi lagi.
"tapi bukankah dia sendiri sudah menikah? Itu juga sebuah bentuk pengkhianatan, kan?" tanyaku lagi.
"Zidan menikah karena terpaksa. Dan lagi pula, dari awal kami juga sudah sepakat, kalau kami akan terus menjalin hubungan, meski pun salah satu dari sudah menikah.." balas bang Alvi.
"jadi seandainya, Zidan masih ingin melanjutkan hubungan kalian? Apa itu artinya, saya tidak punya harapan, untuk bisa mendapatkan cinta bang Alvi?" aku bertanya kemudian.
"sepertinya begitu... dan saya minta maaf untuk hal itu.." balas bang Alvi sedikit serak.
"kalau seandainya, Zidan justru ingin mengakhiri hubungan kalian? Apa bang Alvi mau menerima cinta ku?" tanyaku lagi, sekedar ingin tahu.
"kalau soal itu, kita lihat aja nanti.. karena aku tidak mau menjanjikan kamu apa-apa, Theo. Aku juga mungkin masih butuh waktu.." balas bang Alvi.
"baiklah, bang. Aku juga gak bakal maksa untuk bisa mendapatkan cinta bang Alvi. Tapi setidaknya, sekarang abang sudah tahu, bagaimana perasaan ku pada bang bang Alvi.." ucapku akhirnya.
"tapi.. kita masih bisa tetap berteman, kan?" tanya bang Alvi selanjutnya.
"aku akan selalu ada buat bang Alvi, kapan pun bang Alvi membutuhkan ku.." balasku berusaha tegas.
"maafkan saya, ya.." ucap bang Alvi tiba-tiba.."seandainya saja saya masih sendiri, saya gak mungkin bisa menolak orang sebaik kamu, Theo. Tapi... begitulah kenyataannya.." lanjutnya.
"gak apa-apa, bang. Justru saya harus berterima kasih sama bang Alvi, karena sudah mau jujur. Setidaknya sekarang saya tahu, bahwa orang yang tepat di saat yang salah itu memang ada.." balasku sok puitis.
"ah.. kamu bisa aja.. Tapi saya memang harus jujur dari awal. Karena saya tidak mau menjadi seorang pengkhianat..." ucap bang Alvi lagi.
Dan aku akui kejujuran bang Alvi akan hubungannya bersama Zidan, justru membuatku semakin merasa kagum dengannya. Bang Alvi benar-benar seorang laki-laki yang setia. Padahal dia bisa saja menerima cinta ku, dan berpura-pura belum punya pacar. Karena aku juga pasti tidak akan pernah tahu.
Tapi bang Alvi justri menceritakan semuanya padaku. Ia tidak ingin mengkhianati pacarnya, meski pacarnya sendiri sudah menikah dengan oran lain. Benar-benar tipe laki-laki yang setia. Dan aku semakin menyukainya.
****
Aku memang merasa kecewa, karena bang Alvi tidak bisa menerima cintaku. Tapi setidaknya aku masih punya sedikit harapan. Karena seandainya hubungan bang Alvi dan Zidan harus berakhir, itu artinya aku masih punya kesempatan untuk bisa mendapatkan cinta bang Alvi.
Tapi jika yang terjadi justru sebaliknya, maka aku juga harus siap kecewa lebih dalam lagi.
Namun yang pasti untuk saat ini, aku masih mencintai bang Alvi. Aku tidak bisa melupakannya begitu saja. Walau pun, untuk saat ini, aku belum bisa memilikinya sebagai kekasih. Tapi setidaknya, aku masih bisa menghabiskan waktu berdua dengannya. Setidaknya kami masih bisa berteman.
"lalu kapan rencana bang Alvi untuk bertemu Zidan dan membicarakan tentang kelanjutan hubungan kalian?" tanya ku, setelah untuk beberapa saat kami hanya saling terdiam.
"aku sudah coba mengajaknya bertemu beberapa kali, tapi sepertinya ia memang belum punya waktu. Dan jika seandainya, ia tetap tidak mau bertemu lagi dengan ku, mungkin aku akan menyampaikannya lewat telpon." jelas bang Alvi.
"tapi apa bang Alvi yakin, kalau dia masih menginginkan bang Alvi?" tanyaku kemudian.
"itu yang ingin aku pastikan darinya, Theo. Makanya aku mau bertemu dengannya langsung. Kalau harus membicarakan hal itu di telpon, rasanya kurang pas. Tapi jika terpaksa, aku juga pasti akan melakukannya. Aku juga tidak mau selamanya menunggu Zidan, tanpa kepastian..." jelas bang Alvi lagi.
"dan aku akan selalu setia menanti kepastian dari bang Alvi.." ucapku tanpa sadar.
"aku harap, kamu tidak membenci ku karena ini, Theo.." balas bang Alvi pelan.
"aku tidak akan pernah membenci bang Alvi.. itu janji ku.." ucapku yakin.
Lalu kami pun sama-sama tersenyum.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih