"kita jalan yuk, Bang..." ajak ku pada bang Amir pada suatu sore.
"jalan kemana?" bang Amir balas bertanya.
"kemana aja, bang. Keliling-keliling kota, sambil nanti kita cari tempat makan bakso yang enak.." ucapku lagi.
"kamu mau traktir saya? kamu habis gajian ya?" bang Amir kembali bertanya.
"iya, bang. Abang mau, kan? Mumpung istri abang juga lagi kerja...." ucapku kemudian.
"ya udah.. terserah kamu. Saya ngikut. Saya juga lagi suntuk di rumah.." balas bang Amir akhirnya.
"oke, bang. Saya ambil motor dulu, ya. Abang tunggu sini.." ucapku dengan nada riang. Aku tidak dapat menyembunyikan perasaan bahagia ku saat itu. Membayangkan aku berkeliling kota berdua bersama bang Amir naik motor, adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi ku.
Jadilah sore itu, aku dan bang Amir berjalan-jalan keliling kota naik motor butut ku. Kami sempat singgah di beberapa tempat. Kami juga sempat makan bakso di sebuah warung bakso pinggir jalan. Kami juga bercerita banyak hal sepanjang perjalanan tersebut.
Aku sungguh merasa sangat bahagia sore itu. Menghabiskan waktu berdua bersama bang Amir, adalah sebuah keindahan yang tiada taranya. Melewati hari bersamanya tidak pernah membosankan. Semuanya terasa indah.
"makasih ya, Zul. Kamu udah bawa saya keliling kota dan juga makan enak sore ini." ucap bang Amir, saat kami sudah kembali ke rumah lagi.
"makasih juga, bang. Untuk sore yang indah ini.." balasku tanpa sadar.
Untuk sesaat bang Amir hanya menatap ku cukup lama. Entah ia berusaha memahami ucapan barusan. Atau entah ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Namun aku segera pamit padanya, lalu dengan sedikit terburu, aku pun langsung masuk ke rumah ku.
Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa malu. Aku takut, bang Amir jadi tahu tentang perasaan ku yang sebenarnya padanya. Tapi... ya sudahlah... Toh pada akhirnya, aku memang harus jujur padanya. Apa pun resikonya.
*****
"bang... saya... mau ngomong sesuatu sama abang. Tapi.. abang jangan marah ya.." ucapku di suatu malam yang lain.
"kamu mau ngomong apa? Ngomong aja. Saya gak mungkin marah sama kamu.." balas bang Amir, terdengar sedikit lembut.
"sebenarnya... aku... aku tu suka sama bang Amir. Aku sayang sama bang Amir. Bahkan aku mungkin telah jatuh cinta sama abang." aku menarik napas sejenak. Mencoba memperhatikan reaksi bang Amir atas ucapan ku barusan.
"aku tahu ini salah. Tapi aku sudah tidak bisa membendung semuanya. Setiap malam aku selalu berkhayal tentang abang. Jadi... maafkan aku, jika aku terlanjur mencintai abang. Dan aku berharap, abang bisa menerima cinta ku.." lanjutku akhirnya, setelah ku lihat bang Amir hanya terdiam.
Bang Amir masih menatap ku. Tatapannya terlihat tajam. Aku merasa jengah. Kemudian tertundu.
Entah apa yang kau rasakan saat ini. Malu. Takut. Dan... sedikit lega. Akhirnya aku bisa bicara jujur sama bang Amir.
"kamu yakin, Zul?" bang Amir bertanya juga akhirnya.
"iya.. saya yakin dengan perasaan saya, bang." balasku, sambil kembali mengalihkan pandangan ku kepada bang Amir.
"saya ini sudah punya istri, loh. Kamu yakin mau pacaran sama orang yang sudah menikah?" di luar dugaan ku, bang Amir bertanya demikian.
"saya gak apa-apa jadi yang kedua, bang. Bahkan jadi yang ke sepuluh pun gak apa-apa bagi saya. Asalkan abang mau menerima cinta saya. Asalkan abang mau meluangkan waktu untuk saya." balasku ringan.
"maaf ya, Zul. Saya butuh waktu untuk memikirkan hal ini. Bukan karena saya tidak suka sama kamu. Dari awal juga, saya sebenarnya juga sudah tertarik sama kamu. Tapi masalahnya, kita bertemu di saat yang salah. Saat ini aku sudah punya istri, Zul. Jadi gak mudah bagi saya, untuk menerima kehadiran orang lain dalam hidup saya.." jelas bang Amir panjang lebar.
"iya, bang. Gak apa-apa. Tapi... saya harap.. abang masih mau ngobrol sama saya, seperti sekarang ini.." ucapku dengan nada lemah.
Meski pun bang Amir mengaku, kalau ia juga menyukai ku. Tapi ... sudah jelas dia belum siap menerima kehadiran ku dalam hidupnya, sebagai seorang kekasih.
"kita akan tetap berteman, Zul. Sampai pada akhirnya, aku bisa mengambil keputusan yang tepat, untuk hubungan kita selanjutnya." balas bang Amir pelan.
****
"aku menikah dengan istri ku, bukan karena kami saling cinta. Kami terpaksa menuruti permintaan kedua orangtua kami. Kami di jodohkan.." cerita bang Amir, suatu malam. Kali ini kami ngobrol di dalam rumah ku. Bang Amir yang tiba-tiba datang ke rumah ku malam itu.
"aku gak bisa menolak perjodohan tersebut. Karena aku tidak punya pilihan untuk menolak. Selain karena itu adalah permintaan dari orangtua ku, aku juga merasa hidupku secara ekonomi juga sudah cukup mapan. Aku merasa mungkin sudah saatnya, aku menikah dengan seorang perempuan."
"aku sudah berencana untuk berubah. Aku tidak ingin lagi terjerumus dalam ikatan cinta sesama jenis. Seperti yang aku lakukan selama ini. Sebelum aku menikah. Aku berusaha mengubur masa lalu ku. Aku ingin memulai hidup baru.." bang Amir melanjutkan ceritanya.
"karena itulah, aku sepakat dengan istriku untuk membeli rumah disini. Aku ingin berubah. Aku pikir, dengan punya rumah sendiri dan hidup berdua hanya dengan istri ku, aku akan lebih mudah untuk bisa mencintai istri ku.." bang Amir bercerita lagi.
"namun setelah sekian bulan berlalu, perasaan ku pada istri ku masih saja sama. Aku tak kunjung jatuh cinta padanya. Meski pun aku selalu berusaha untuk menjalankan kewajiban ku sebagai seorang suami. Tapi tetap saja aku gak bisa.."
"dan setelah bertemu kamu... Aku jadi semakin sulit, untuk bisa menerima kehadiran istri ku dalam hidupku. Aku justru jadi... sering memikirkan kamu. Dunia ku yang perlahan mulai aku lupakan itu, kini terbuka kembali. Terutama sejak aku mengenal kamu." cerita bang Amir lagi.
"aku tidak hendak menyalahkan kamu dalam hal ini. Bukan salah kamu juga, kalau kita akhirnya bertemu. Tapi.. justru aku merasa lemah. Ternyata aku gak sekuat itu, untuk menahan godaan dari seorang cowok sekeren kamu."
"meski awalnya, aku berusaha menolak hadirnya rasa itu. Namun semakin hari, perasaan itu semakin berkembang. Aku semakin tidak bisa jauh dari kamu. Aku gak bisa menolak pesona mu, Zul. Kamu terlalu indah, untuk tidak di miliki.." lanjut bang Amit lagi.
"aku mau pacaran sama kamu, Zul. Tapi... aku juga tidak mungkin menceraikan istri ku, tanpa alasan yang jelas.. Jadi... jika kamu memang juga mencintai ku, aku harap, kamu bisa menerima diri ku apa adanya..." bang Amir berucap lagi.
Aku masih terdiam. Tidak tahu harus berkata apa sejak tadi. Pengakuan bang Amir yang cukup blak-blakan tersebut, sungguh di luar dugaan ku. Aku memang berharap, dan sempat percaya, kalau bang Amir juga menyukai ku.
Tapi.. Aku hanya tidak menyangka, kalau bang Amir, punya masa lalu seperti itu. Aku juga tidak menyangka, kalau pernikahan bang Amir hanyalah kedok, untuk menutupi siapa dirinya sebenarnya.
"sudah aku katakan dari awal, bang. Kalau aku tidak pernah mempermasalahkan tentang status abang yang sudah menikah. Aku rela jadi yang kedua, asalkan aku selalu nomor di hati abang.." ucapku akhirnya.
"kamu akan selalu jadi nomor satu di hati ku, Zul. Dan kita akan melewati hari-hari indah ini bersama-sama. Kita punya banyak waktu, untuk kita habiskan berdua." balas bang Amir terdengar yakin.
"jadi mulai malam ini, kita pacaran?" tanya ku sekedar meyakinkan diri ku sendiri.
"iya.. mulai malam ini, aku adalah milik kamu seutuhnya, Zul." balas bang Amir mantap.
"dan aku akan memberikan keindahan yang luar biasa untuk abang. Keindahan yang mungkin belum pernah abang rasakan sebelumnya.." ucapku, sambil mulai mendekat.
Perlahan, kedua tangan ku mulai menyentuh kedua pipi bang Amir. Wajah tampan itu begitu dekat. Aroma napasnya begitu semerbak tercium di hidung ku. Wajah itu begitu indah. Sangat indah. Lalu dengan pelan, ku labuhkan bibirku pada pipi tersebut.
Malam itu, aku wujudkan semua khayalan ku tentang bang Amir selama ini. Ku lakukan yang terbaik untuknya. Ku berikan segalanya padanya. Ku tuntun ia menuju puncak keindahan sebuah cinta.
Aku bak musafir yang kehausan. Dan aku ingin melepaskan dahaga ku yang telah lama terpendam. Bersama bang Amir. Lelaki pujaan hati ku.
****
Tak terasa sudah hampir lima bulan berlalu, sejak kejadian malam itu. Hubungan ku dengan bang Amir, kian erat dan kuat. Kami hampir tak bisa terpisahkan lagi. Begitu banyak waktu yang kami habiskan bersama. Dan semuanya terasa indah, terutama bagi ku.
Namun setelah hampir lima kami pacaran, tiba-tiba aku mendengar sebuah kabar yang cukup menyakitkan, dari bang Amir.
"saya ingin kita putus, Zul.." ucap bang Amir, nyaris tak terdengar.
"putus? Kenapa abang tiba-tiba ingin kita putus? Apa aku berbuat salah?" balasku penuh tanya.
"gak, Zul. Kamu gak salah apa-apa.. aku yang salah..." suara bang Amir sedikit terbata.
"apa masalahnya, bang? Ngomong.." balasku sedikit memaksa.
"istriku hamil, Zul.." ucap bang Amir akhirnya, setelah untuk sejenak ia menarik napas beberapa kali.
Untuk sesaat aku terdiam. Meski gak ada yang salah dengan hal tersebut. Meski sangat wajar, kalau istri bang Amir hamil. Tapi entah mengapa, mendengar hal tersebut hati ku terasa hancur.
"istri bang Amir hamil?" tanyaku menguatkan diri.
Bang Amir hanya mengangguk lesuh.
"lalu masalahnya apa?" tanyaku melanjutkan.
"kamu gak marah?" bang Amir mengerutkan kening.
"kenapa aku harus marah? Bukankah kita sudah sepakat akan hal ini, sejak awal? Jadi.. untuk apa aku marah?" balasku, masih berusaha setenang mungkin. Meski hati ku kian terasa sakit.
"iya, Zul.. Tapi masalahnya, karena istri ku hamil, jadi... mulai bulan depan, ia akan berhenti kerja." ucap bang Amir lagi.
"lalu?" tanyaku sedikit ketus. Aku mulai mengerti kemana arah pembicaraan bang Amir selanjutnya.
"kalau istri ku berhenti kerja, ia akan selalu berada di rumah sepanjang hari, sepanjang malam. Dan kita tidak akan punya waktu lagi untuk berdua.." jelas bang Amir mulai tegang.
"lalu apa hubungannya dengan abang minta kita putus?"tanyaku tak sabar.
"aku hanya tidak ingin menyakiti kamu, Zul. Jika istriku selalu di rumah, apa lagi ia sedang hamil, aku pasti akan selalu berada di sisinya. Dan aku yakin, kamu pasti akan sakit hati melihat hal itu. Jadi.. sebelum semua itu terjadi, labih baik, kita akhiri saja semuanya..." balas bang Amir menjelaskan.
"lalu apa abang pikir, dengan mengakhiri ini sekarang, tidak membuat aku sakit hati?" suara ku mulai serak. Hati ku semakin pilu. Sakit sekali rasanya.
"tapi itu jauh lebih baik, Zul. Dari pada kamu semakin terluka karenanya.." balas bang Amir, suaranya sedikit lemah.
"ya...udah... terserah bang Amir aja.. Jika dengan memutuskan hubungan kita, adalah jalan terbaik bagi abang. Aku akan menerimanya. Meski itu semua akan terasa sangat sakit bagi ku." ucapku dengan suara tertahan.
"maafkan aku, Zul..." dan setelah berkata demikian, bang Amir pun segera keluar dari kamar ku.
Sementara aku sekuat mungkin menahan air mata ku, agar tidak tumpah. Aku berusaha sekali lagi menguatkan diri ku. Aku tidak boleh lemah karena cinta. Aku harus tetap kuat.
Mencintai bang Amir adalah hal terindah dalam hidupku. Dan bisa memiliki cintanya adalah sebuah kesempurnaan. Namun melepaskannya, merupakan tingkat tertinggi dari arti sebuah ketulusan.
Semoga saja, aku mampu melupakannya. Semoga saja aku bisa melewati hari-hari ku, meski tanpa dirinya lagi.
Yah... semoga saja...
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih