Langsung ke konten utama

Adsense

Cowok sahabat ku yang tampan

Aku punya seorang sahabat, namanya Kirana. Kami bersahabat sudah sejak lama. Setidaknya sejak saat kami masih sama-sama SMP, hingga sekarang kami sudah sama-sama kuliah.

Kirana adalah gadis yang cantik, baik, periang dan juga pintar. Di SMP mau pun di SMA, Kirana selalu jadi idola para cowok. Namun karena Kirana selalu dekat dengan ku, jarang ada cowok yang berani mendekatinya. Sebagian besar dari teman-teman sekolah kami, menganggap kami berpacaran.

Padahal kami hanya berteman. Namun kami tidak masalah jika harus dibilang berpacaran oleh teman-teman kami tersebut. Karena kami memang sangat dekat.

Sejujurnya, seandainya saja aku ini cowok normal, aku pasti sudah memacari Kirana. Namun karena aku memang tidak punya ketertarikan pada cewek, aku hanya bisa menganggap Kirana hanya sebagai sahabat.

Aku juga tidak pernah tahu bagaimana perasaan Kirana padaku. Namun yang pasti, sejak kami berteman Kirana belum pernah dekat dengan cowok mana pun, selain dengan ku.

Tapi semenjak kami mulai kuliah, aku dan Kirana jadi sedikit berjarak. Karena kebetulan kami mengambil jurusan yang berbeda, meski masih di kampus yang sama.

Walau pun demikian, aku dan Kirana masih tetap bersahabat. Kami masih sering jalan bareng. Saat jam istirahat di kampus pun, kami masih sering menghabiskan waktu bersama.

Sampai kemudian, Kirana berkenalan dengan seorang cowok tampan, kakak senior kami di kampus. Namanya Irfan. Dia satu jurusan dengan Kirana, meski beda tingkat.

Aku mengenal Irfan karena Kirana sempat memperkenalkannya padaku, saat kami sarapan di kantin kampus.

"oh, jadi ini Johan yang sudah menjadi sahabatmu sejak SMP itu?" ucap Irfan kala itu, saat kami pertama kali berkenalan.

Kirana hanya tersenyum manis, sambil menatapku. Sepertinya ia sudah cerita banyak tentang persahabatan kami pada Irfan. Dan sepertinya mereka berdua juga sudah akrab.

Jujur, harus aku akui, kalau Kirana dan Irfan memang sangat cocok. Kirana gadis yang cantik, sementara Irfan adalah cowok yang tampan dan juga cukup atletis.

"jadi kalian pacaran?" tanya ku pada Kirana, saat kami hanya berdua di kantin suatu siang.

Kirana hanya ringan. "gak. Belum, Jo." ucapnya ringan.

"apa kamu menyukainya?" tanya ku ingin tahu.

"kok kamu nanya nya gitu? Kamu cemburu ya, Jo?" Kirana justru balik nanya dengan sedikit menggoda ku.

"gak lah, ngapain aku cemburu? Kita kan cuma sahabat. Dan lagi pula, kalau kamu memang suka sama Irfan, menurut ku kalian itu pasangan yang cocok." balas ku.

"ah, kamu bisa aja, Jo. Tapi Irfan kan belum suka sama saya." ucap Kirana lemah.

"tapi kamu suka kan sama dia?" tanya ku lagi.

"kamu gak marah kan, Jo? Kalau aku menyukai Irfan?" tanya Kirana balik.

"ngapain aku marah? Justru aku merasa senang, kalau kamu akhirnya menemukan cowok yang kamu suka." balasku yakin.

****

 

Dan hari-hari pun terus berlalu. Kirana dan Irfan terlihat semakin dekat dan akrab. Kami jadi sering jalan bertiga sekarang.

Irfan ternyata orangnya cukup asyik. Dia bisa menyatu dengan baik di antara kami berdua. Kirana pun terlihat sangat bahagia saat bersama Irfan.

Sampai akhirnya aku pun mengetahui kalau Kirana dan Irfan telah berpacaran. Kirana sendiri yang cerita padaku.

"akhirnya ia nembak aku, Jo." cerita Kirana waktu itu.

"baguslah." balasku, "selamat, ya.." lanjut ku ringan.

Dan jarak antara aku dan Kirana tiba-tiba saja semakin terbentang. Kirana lebih banyak menghabiskan waktu bersama Irfan, pacarnya itu. Aku pun coba untuk mengerti. Mungkin sudah saatnya, aku harus membiasakan diri, untuk melalui hari-hari tanpa Kirana.

Hingga setelah lebih dari dua bulan mereka jadian, tiba-tiba Irfan datang menemuiku.

"kamu gak cemburu, karena Kirana pacaran denganku?" tanya Irfan, saat itu kami ngobrol di taman kampus. Kirana masih di dalam kelasnya.

"aku dan Kirana kan cuma bersahabat, kenapa aku harus cemburu?" balasku ringan.

"kamu kok bisa bertahan bersahabat dengan Kirana selama bertahun-tahun, tanpa jatuh cinta padanya? Padahal kan Kirana adalah gadis yang sempurna." ucap Irfan lagi.

"mungkin karena Kirana bukan tipe ku." jawab ku asal.

"tapi kata Kirana, kamu juga gak pernah dekat dengan cewek mana pun." ujar Irfan ringan.

"ya.. seperti itulah kira-kira." balas ku apa adanya.

"kenapa?" tanya Irfan.

"kenapa .. apanya?" tanya ku sedikit bingung.

"iya, kenapa kamu gak pernah dekat dengan cewek lain? Kalau Kirana bukan tipe kamu, harusnya kamu punya tipe cewek lain yang kamu suka." balas Irfan.

"aku rasa itu bukan urusan kamu." ucapku sedikit sinis. Selain karena aku memang tidak bisa menjawab pernyataan Irfan barusan, aku memang tidak suka orang lain bertanya tentang hal-hal yang bersifat pribadi padaku.

"iya, maaf.  Aku hanya sekedar ingin tahu aja, kok." balas Irfan dengan nada merasa bersalahnya.

Selang beberapa saat kemudian, Kirana pun datang. Kami pun segera berlalu dari situ. Aku segera pamit pulang, sementara Kirana dan Irfan pergi berdua entah kemana.

*****

Sebenarnya ada satu hal yang aku rasakan terhadap Irfan. Entah mengapa, sejak aku mengenalnya, aku jadi sering memikirkan Irfan.

Irfan memang sosok cowok yang sempurna. Kirana beruntung bisa memilikinya. Dan kadang hal itu membuat aku merasa cemburu pada Kirana.

Andai saja aku bisa memiliki Irfan seperti halnya Kirana, tentu saja aku merasa sangat bahagia.

Tapi aku harus bisa memendam semua keinginanku itu. Bukan saja, karena Irfan adalah pacarnya Kirana, sahabatku. Tapi juga karena Irfan masih satu jenis dengan ku. Tentu saja, ia tidak akan tertarik padaku.

Namun terlepas dari itu semua, aku memang masih selalu memikirkan Irfan. Mengkhayalkannya di hampir setiap malamku. Melamunkannya dalam imajinasi terindah ku.

Akh, ternyata aku benar-benar telah jatuh hati pada Irfan, yang membuat ku justru semakin tersiksa.

Bagaimana tidak. Hampir setiap hari aku harus melihat kemesraan Kirana dan Irfan. Hampir setiap hari pula, aku harus menahan rasa cemburu ku melihat itu semua.

Untuk itu, aku pun memutuskan untuk sedikit menjaga jarak dari mereka berdua. Aku kadang sengaja menghindari mereka, hanya untuk menjaga perasaan ku sendiri.

"kamu kenapa sih, Jo?" tanya Kirana suatu sore di rumahku. Sejak dulu Kirana memang sering datang ke rumahku, begitu juga sebaliknya.

"aku gak kenapa-kenapa, kok." jawab ku asal.

"tapi kenapa akhir-akhir ini, kami menjauh dari ku, terutama kalau sedang bersama Irfan. Kamu juga gak pernah lagi datang ke rumah." ucap Kirana lagi.

"aku... aku hanya gak ingin mengganggu kebersamaan kalian berdua." balas ku asal lagi.

"aku gak merasa terganggu, Jo. Lagi pula aku dan Irfan juga gak setiap saat bersama kok." ucap Kirana.

"tapi aku gak enak, Kirana. Lagian aku juga gak apa-apa, kok. Jangan berlebihan gitu deh. Kan kita masih tetap bersahabat." balasku.

"iya, sih. Tapi.. aku jadi merasa bersalah sama kamu." ucap Kirana.

"udah, kamu gak perlu merasa bersalah sama ku. Kamu nikmati aja waktu kamu bersama Irfan." balasku.

****

Waktu masih terus berputar. Aku dan Kirana masih tetap bersahabat dengan baik, meski pun waktu kebersamaan kami tidak seperti dulu lagi.

Hingga pada suatu saat, Irfan menelpon ku dan mengajak aku untuk ketemuan di sebuah kafe. Aku tidak tahu, untuk apa Irfan ingin bertemu dengan ku. Aku hanya berpikir, mungkin itu permintaan Kirana.

"kamu sendiri? Kirana mana?" tanya ku pada Irfan, ketika akhirnya aku datang ke kafe itu.

"Kirana gak ada disini, Johan. Aku sendiri yang mengundang kamu kesini. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan sama kamu." balas Irfan.

"hal penting apa?" tanyaku ingin tahu. Aku berpikir bahwa aku dan Irfan tidak ada urusan apa-apa. Kami hanya saling kenal, yang kebetulan ia adalah pacar Kirana, sahabatku.

"sebenarnya sudah sangat lama aku ingin mengatakan ini padamu, Johan. Bahkan jauh sebelum aku dan Kirana berpacaran. Tapi aku tidak punya keberanian untuk mengatakannya." balas Irfan pelan.

"kamu... kamu mau mengatakan apa?" tanya ku spontan.

"aku .... sebenarnya aku tidak benar-benar mencintai Kirana." suara Irfan bergetar.

Aku tercekat. Tak percaya dengan apa yang barusan di ucapkan Irfan.

"kalau kamu tidak mencintainya, kenapa kamu memacarinya?" tanyaku sedikit sinis.

"karena... karena ... aku ingin dekat sama kamu, Jo." balas Irfan terbata.

"ingin dekat dengan ku untuk apa?" tanya ku.

"untuk aku bisa lebih mengenal kamu.. dan...." Irfan menggantung kalimatnya.

"dan apa?" tanyaku penasaran.

"dan sebenarnya ... aku suka sama kamu, Jo. Dan karena aku tahu, kalau Kirana adalah sahabat kamu, aku pun berusaha mendekati Kirana, hanya untuk mencari info tentang kamu. Tapi ternyata Kirana salah mengerti akan maksud ku itu. Ia justru jatuh cinta padaku." jelas Irfan bergetar.

"maksug kamu apa sih, Fan. Aku gak ngerti." ucapku sedikit bingung.

"aku ini seorang gay, Jo. Aku penyuka cowok bukan cewek. Dan saat pertama kali melihat kamu di kampus, aku mulai menyukai kamu. Dan ketika aku lihat kamu sering bersama Kirana, aku pikir kalian pacaran. Namun ketika aku tanyakan hal itu pada Kirana, ia pun menceritakan tentang persahabatan kalian."

"saat aku mulai mencari info tentang kamu melalui Kirana, justru Kirana yang jatuh hati padaku. Awalnya aku coba mengabaikan Kirana. Tapi karena aku lihat, kamu begitu cuek padaku, saat kita salig kenal, aku jadi kehilangan harapan untuk bisa mendapatkan kamu." cerita Irfan panjang lebar.

Aku masih mendengarkan cerita Irfan dengan seksama. Mencerna setiap kalimat yang di ucapkan Irfan barusan. Mencoba memahaminya. Dan sungguh itu semua di luar dugaan ku.

"lalu kenapa kamu justru pacaran dengan Kirana?" tanyaku akhirnya, setelah tidak tahu lagi harus mengatakan apa.

"karena... karena aku pikir, aku sudah tidak punya harapan lagi untuk bisa mendapatkan kamu. Dan sebenarnya aku pacaran dengan Kirana, hanya ingin mengetahui bagaimana reaksi kamu akan hal itu. Entah mengapa, aku berharap kamu cemburu." jelas Irfan lemah.

"itu artinya kamu mempermainkan perasaan Kirana, Fan." ucapku.

"iya, aku tahu. Tapi Kirana selalu berusaha mendekati ku, Jo. Dan aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja, terutama saat aku yakin, kalau kamu tidak tertarik padaku." balas Irfan.

"lalu mengapa sekarang kamu mengatakan ini semua padaku?" tanyaku heran.

"karena aku sudah tidak bisa memendam perasaan ku lagi, Jo. Aku selalu memikirkan kamu setiap malam." jelas Irfan.

"aku juga selalu memikirkan kamu setiap malam, Fan." balasku tanpa sadar.

"maksud kamu?" tanya Irfan setengah kaget.

Aku terdiam sesaat. Mungkin memang sebaiknya aku juga jujur pada Irfan.

"aku juga suka sama kamu, Irfan. Bahkan sejak pertama kali kita berkenalan." ucapku akhirnya.

"tapi mengapa saat itu, kamu begitu cuek padaku?" tanya Irfan.

"karena.... karena aku pikir, kamu hanya menginginkan Kirana. Aku gak mungkin tebar pesona juga kan sama kamu." balas ku apa adanya.

"ah, seandainya saja aku tahu semua ini dari awal." keluh Irfan membalas.

"lalu sekarang gimana?" tanyaku tiba-tiba.

Irfan hanya diam. Dia terlihat sedang berpikir keras.

Lalu bagaimanakah kelanjutan kisah ku bersama Irfan?

Bisakah kami menjalin hubungan, sementara ada Kirana di antara kami?

****


Part 2

"apa kamu mau menjadi pacarku, Jo?" tanya Irfan, setelah untuk beberapa saat ia berpikir.

"aku pasti mau, Fan. Tapi bagaimana dengan Kirana?" balasku sedikit bertanya.

"itu yang sedang aku pikirkan saat ini, Jo. Aku gak mungkin memutuskannya. Aku gak punya alasan yang kuat untuk itu. Lagi pula kami baru jalan empat bulan, gak mungkin kan tiba-tiba putus begitu aja?" ucap Irfan lagi.

"ya udah, kamu lanjut aja dengan Kirana." balasku pelan.

"lalu bagaimana dengan kita?" tanya Irfan.

"aku mencintai kamu, Fan. Harus aku akui hal itu. Dan gak salahnya juga kan, jika kita tetap menjalin hubungan secara diam-diam. Lagi pula kalau pun kamu putus dari Kirana, kita juga hanya bisa menjalin hubungan secara diam-diam. Jadi lebih baik, kamu menjaga perasaan Kirana, karena aku tahu ia sangat mencintai kamu. Dan kita tetap akan bisa bersama, kok." ucapku panjang lebar.

"kalau kamu maunya seperti itu, aku juga setuju, Jo. Setidaknya dengan aku tetap berpacaran dengan Kirana, bisa sedikit menutupi hubungan kita berdua." balas Irfan kemudian.

"oke. Jadi mulai sekarang kita pacaran?" ucapku sedikit ragu.

"iya. Dan andai engkau tahu betapa bahagianya aku saat ini." balas Irfan.

"aku juga merasa sangat bahagia, Fan. Tapi kita gak mungkin mengekspresikan kebahagiaan kita di sini, kan." ucapku.

"bagaimana kalau untuk malam ini, kamu nginap di kost ku aja?" tawar Irfan kemudian.

"oke. Aku setuju. Setidaknya dengan begitu, kita jadi punya kesempatan untuk mengekspresikan perasaan kita satu sama lain." balas ku dengan nada riang.

Dan begitulah, malam itu aku dan Irfan pun tidur bersama di kamar kost nya. Malam yang terasa begitu indah bagiku.

Semua khayalku tentang Irfan selama ini, kini aku wujudkan dalam sebuah kenyataan.

"kamu sangat tampan sekali, Fan." ucapku penuh perasaan.

"kamu juga sangat tampan dan gagah, Jo. Betapa kau begitu sempurna di mataku." balas Irfan lembut.

Dan malam itu pun berlalu dengan penuh keindahan.

****

"apa kamu juga melakukan hal ini dengan Kirana, Fan?" tanya ku keesokan paginya.

"yah, gak lah, Jo. Kami pacaran sehat, kok." balas Irfan sedikit ngotot.

"emangnya pacaran kita ini gak sehat ya?" tanya ku dengan nada sedikit tersinggung.

"ya... bukan gitu maksud ku, Jo. Tapi... " kalimat Irfan tergantung.

"iya.. iya... aku ngerti, kok. Gak usah di tanggapi serius gitu lah." sela ku cepat.

"kamu tuh ya... " balas Irfan cepat, sambil ia memencet hidungku dengan gemas.

Aku segera menepis tangannya, karena aku merasa sedikit sesak. Lalu kemudian kami pun sama-sama tersenyum penuh makna.

"jadi kita gak ke kampus nih?" tanya Irfan kemudian. Kami memang masih terbaring di atas ranjang kecil kamar kost Irfan itu.

"gak usah ya, Fan. Aku masih ingin menghabiskan waktu bersama kamu seharian ini." pinta ku sedikit manja.

"lalu bagaimana dengan Kirana? Dia pasti kebingungan nyari kita di kampus." ucap Irfan lagi.

"ya.. kamu kabari aja sama Kirana, kalau kamu gak ke kampus hari ini. Bikin alasan yang masuk akal. Aku juga bakal kabarin dia.." balas ku ringan.

Dan kemesraan kami pun terus berlanjut siang itu. Sungguh sebuah suasana yang sangat romantis bagiku. Tak terlukiskan bahagia ku saat ini. Dunia menjadi begitu sangat indah. Dan kami pun terlarut dalam nuansa keindahan cinta di antara kami.

****

Hari-hari selanjutnya terasa berbeda bagiku. Kini ada saatnya, aku dan Irfan akan menghabiskan waktu berdua. Meski pun sebenarnya Irfan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Kirana.

Aku harus bisa menahan rasa cemburu ku, saat Irfan sedang bersama Kirana. Namun begitulah hubungan kami terjalin. Cinta segitiga antara aku, Irfan dan Kirana, sahabatku.

"kita liburan yuk, Jo. Bertiga sama Irfan." ucap Kirana suatu hari.

"kemana?" tanyaku tidak terlalu antusias.

Kirana pun menyebutkan tempat liburan yang telah ia rencanakan.

"aku gak ikut ya, Kirana. Kalian liburan berdua aja." ucapku kemudian.

"ayolah. Jo. Sudah lama loh, kita gak pergi liburan." bujuk Kirana.

"tapi aku hanya akan mengganggu kalian berdua." balasku.

"ya gak lah, kan kita liburannya bareng. Nanti kita nginap di hotel. Kamu satu kamar sama Irfan, aku sendirian aja.." ucap Kirana lagi.

"kalau kamu gak ikut, papa dan mama pasti tak akan memberi aku izin." lanjut Kirana lagi. 

Aku pun tak bisa menolak ajakan Kirana tersebut. Karena biasanya kami memang suka traveling berdua. Aku dan Kirana memang sama-sama suka traveling.

Dan setelah mengatur segala sesuatunya, kami pun terbang menuju tempat liburan kami bertiga.

Sesampai di sana, kami pun segera menuju hotel yang telah kami booking secara online. Sesuai kesepakatan, aku dan Irfan pun tidur dalam satu kamar. Sementara Kirana di kamarnya sendirian.

Tentu saja hal itu cukup menguntungkan bagiku, setidaknya setiap malam selama liburan ini, aku bisa menikmati waktu berdua bersama Irfan.

Hanya saja saat siang hari, aku harus merelakan Irfan bersama Kirana.

Sebenarnya itu tidak terlalu jadi masalah bagiku, karena demi menjaga perasaan ku Irfan dan Kirana tidak terlalu bermesraan di depanku.

Tapi sebagai seseorang yang sangat mencintai Irfan, tentu saja aku merasa cemburu melihat kebersamaan mereka.

Aku kadang sengaja tidak ikut bersama mereka, jika berjalan-jalan di siang hari. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar hotel sendirian. Menunggu malam datang. Karena hanya pada saat malam lah aku punya kesempatan untuk bersama Irfan.

Aku merasa lucu sebenarnya dengan semua ini. Di satu sisi aku merasa bahagia, karena bisa menikmati malam bersama Irfan. Namun di sisi lain, aku harus menelan kepahitan, karena harus menyaksikan langsung Irfan bersama Kirana.

Namun begitulah kesepakatan ku bersama Irfan. Dan aku harus bisa menerima semua itu dengan lapang dada.

"jadi kapan kamu akan memutuskan Kirana, Fan?" tanya ku pada malam ketiga kami di hotel tersebut.

"kenapa kamu tiba-tiba mempertanyakan hal itu, Jo?" tanya Irfan balik. "bukankah dari awal, kita sudah sepakat, untuk tetap menjalin hubungan seperti ini?" lanjut Irfan.

"iya. Tapi aku gak tega melihat Kirana, Fan. Semakin lama perasaannya akan semakin dalam sama kamu. Lebih cepat kamu memutuskannya mungkin akan lebih baik buat Kirana." balasku lirih.

"tapi aku gak punya alasan yang kuat untuk memutuskannya saat ini, Jo." ucap Irfan.

"lalu kapan kamu akan punya alasan yang tepat?" tanya ku.

"aku juga gak tahu, Jo. Namun yang pasti bukan sekarang. Aku harap kamu ngerti, Jo. Kita kan masih tetap bisa bersama-sama." balas Irfan.

"iya. Tapi yang aku pikirkan itu, bukan kita, Fan. Tapi Kirana..." ucapku pelan.

"oke, Jo. Aku akan memikirkannya lagi nanti. Namun yang pasti malam ini, aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita, Jo." balas Irfan, sambil menyentuh tanganku lembut.

Aku pun menjadi lemah seketika. Setiap kali Irfan melakukan hal itu, aku selalu saja merasa takluk.

Aku tak pernah benar-benar berani menuntut apa pun pada Irfan. Aku merasa takut harus kehilangan dia. Aku tak ingin ada hal apa pun yang merusak kebahagiaan kami saat ini.

Meski pun aku sadar betul, bahwa dalam ikatan cinta segitiga kami, Irfan lah yang paling di untungkan. Ia bisa memiliki aku dan Kirana sekaligus, tanpa harus merasa bersalah.

Tapi aku juga tidak bisa melepaskannya begitu saja. Aku terlalu mencintainya. Aku tak peduli, sekali pun aku hanya di jadikan yang kedua olehnya. 

****

Liburan pun berakhir. Kami kembali menjalani hari-hari kami seperti biasa.

Aku dan Irfan tetap menjalin hubungan seperti biasa. Irfan dan Kirana juga tetap berpacaran. Sementara aku dan Kirana juga tetap bersahabat dengan baik.

Hingga pada suatu sore, Kirana datang ke rumahku.

"aku merasa kalau Irfan sekarang mulai berubah, Jo." cerita Kirana.

"berubah maksud kamu?" tanya ku.

"sulit untuk di jelaskan, Jo. Tapi yang pasti, Irfan gak semanis dulu lagi. Dia juga sudah jarang datang ke rumah. Bahkan pesan ku pun sudah jarang ia balas. Dia juga jarang mengangkat telpon ku. Selain itu, di kampus ia juga sering menghindar dari ku." jelas Kirana.

Aku hanya terdiam. Aku tahu pasti alasan Irfan melakukan semua itu. Tapi aku tidak mungkin menceritakan hal tersebut pada Kirana. Namun aku juga tidak tega melihat Kirana yang bersedih akan hal tersebut.

"kamu yang sabar aja, Kirana. Mungkin Irfan memang lagi sibuk. Ini kan tahun terahir ia kuliah, tentunya banyak hal yang harus ia selesaikan." ucapku akhirnya, mencoba menenangkan pikiran Kirana.

"iya. Aku ngerti, Jo. Tapi masa' iya sesibuk itu sih? Sampai cuma membalas pesan aja gak bisa." ucap Kirana lagi.

"kamu udah ngomong sama Irfan soal ini?" tanya ku.

"gimana mau ngomong, dia di telpon aja gak pernah di angkat. Pokoknya sekarang ini, Irfan benar-benar berubah, Jo," balas Kirana dengan nada ketusnya.

"trus, kamu maunya gimana?" tanya ku ringan.

"aku hanya butuh kepastian, Jo. Kalau memang Irfan udah gak mau lagi sama aku, ya apa salah nya sih ia ngomong langsung, gak harus menghindar seperti itu kan?" balas Kirana.

"ya udah, nanti aku coba ngomong deh sama Irfan." ucapku akhirnya.

"makasih ya, Jo." balas Kirana lembut.

Dan aku hanya tersenyum membalasnya. Aku hanya berharap agar Kirana bisa lebih tegar menghadapi itu semua. Karena biar bagaimana pun, aku sudah dapat menebak seperti apa akhir dari hubungan Kirana dan Irfan.

Sebagai sahabat, aku memang merasa turut perihatin akan kesedihan Kirana. Tapi aku juga tidak ingin Kirana dan Irfan terus berpacaran. Karena aku tahu persis seperti apa perasaan Irfan pada Kirana.

Lalu bagaimanakah kelanjutan kisah cinta segitiga kami?

Benarkah Irfan berubah hanya untuk mencari alasan untuk bisa memutuskan hubungannya dengan Kirana?

Atau sebenarnya ada alasan lain?

****

Part 3

Hubungan Irfan dan Kirana akhirnya benar-benar berakhir. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat mengetahui itu langsung dari Kirana. Entah aku merasa sedih, bahagia atau entah apa yang aku rasakan.

Jujur, aku memang merasa senang, karena akhirnya Irfan bisa memenuhi permintaanku. Karena dengan berakhirnya hubungan Irfan dan Kirana, aku tidak lagi harus menanggung rasa cemburu saat melihat mereka berduaan.

Tapi aku juga merasa sedih melihat kondisi Kirana yang terlihat sekali ia sedang patah hati. Namun itu rasanya lebih baik, dari pada Kirana harus terus berpacaran dengan Irfan, sementara aku tahu, kalau Irfan tidak benar-benar mencintai Kirana.

Kirana hanya menjadi topeng untuk menutupi hubungan ku dengan Irfan.

Dan dengan berakhirnya hubungan Kirana dan Irfan, aku merasa tidak ada lagi penghalang hubungan antara aku dan Irfan. Kami tidak lagi harus memikirkan perasaan Kirana, karena harus selalu kami bohongi.

"makasih ya, Fan. Kamu udah mau memutuskan Kirana." ucapku, saat akhirnya aku dan Irfan bertemu kembali di kamar kostnya.

"iya, Jo. Tapi gimana dengan Kirana? Apakah dia baik-baik saja?" balas Irfan bertanya.

"saat ini sepertinya ia masih cukup kecewa. Tapi aku yakin ia akan bisa melewati itu semua." jawabku.

"saat ini hanya ada kita berdua, Jo. Aku benar-benar bahagia dengan semua ini." ucap Irfan kemudian.

"iya, Fan. Aku juga merasa sangat bahagia. Semoga hubungan kita tetap bertahan selamanya ya.." balasku penuh harap.

Sesaat kemudian, Irfan pun menggenggam tangan ku lembut, hal yang selalu ia lakukan saat kami hanya berdua. Aku pun repleks membalas genggaman tangannya. Rasanya hal sesederhana itu sudah mampu membuat kami bahagia.

Untuk selanjutnya kami pun semakin terhanyut dengan perasaan cinta diantara kami. Aku merasa bahagia. Benar-benar bahagia. Semuanya terasa begitu indah dan penuh kesan.

Irfan benar-benar sosok laki-laki yang sempurna. Keindahan cinta yang ia berikan padaku, benar-benar membuatku terlena. Hidupku terasa lengkap dengan kehadiran Irfan menemani hari-hari ku.

****

Hubungan ku dengan Irfan terus berlanjut. Hubungan kami bahkan semakin dalam dan penuh makna.

Lebih dari setahun kami menikmati indahnya cinta kami berdua.

Sampai pada suatu saat, aku tak sengaja melihat Irfan sedang berjalan berduaan dengan seorang laki-laki.

Awalnya aku tak terlalu curiga melihat mereka, karena ku pikir laki-laki itu adalah temannya Irfan. Meski pun aku belum pernah melihat laki-laki itu sebelumnya.

Aku melihat Irfan dan laki-laki itu di sebuah mall. Mereka terlihat akrab dan begitu dekat. Mereka terlihat begitu asyik ngobrol berdua.

Karena penasaran aku coba mengikuti mereka diam-diam dari kejauhan. Setelah berkeliling dalam mall tersebut, aku melihat Irfan dan laki-laki itu masuk ke sebuah kafe. Aku tetap memperhatikannya dari kejauhan.

Ingin rasanya aku menghampiri mereka saat itu, namun sebagian hatiku mencegahnya. Bisa saja mereka hanya berteman. Walau mereka terlihat bergitu akrab.

Aku sudah mengenal sebagian besar teman-teman Irfan, tapi aku belum pernah melihat laki-laki yang satu ini.

Setelah selesai makan dan sambil ngobrol di dalam kafe itu, Irfan dan laki-laki itu pun segera keluar dari mall. Aku masih mengikuti mereka dari kejauhan. Aku semakin penasaran.

Mereka menaiki sebuah mobil mewah dan keluar dari areal mall tersebut menuju jalan raya. Aku segera mencari taksi, dan meminta sang sopir untuk mengikuti mobil yang di naiki Irfan dan laki-laki tersebut.

Sekitar lima belas menit kemudian mobil itu pun singgah di sebuah hotel. Mobil itu parkir di sana. Lalu kemudian aku melihat Irfan dan laki-laki tersebut memasuki lobi hotel berdua.

Hatiku tiba-tiba bergemuruh.

Untuk apa Irfan dan laki-laki itu masuk ke dalam hotel tersebut? bathin ku bertanya.

Aku masih menunggu beberapa saat, namun mereka tak kunjung keluar. Hari juga sudah mulai malam. Sepertinya Irfan dan laki-laki itu memang menginap di hotel tersebut.

Ingin rasanya saat itu, aku turut masuk ke dalam hotel tersebut. Tapi lagi-lagi aku merasa tidak berani. Apa tanggapan Irfan nanti kalau aku tiba-tiba menghampirinya di situ. Dan lagi pula aku juga tidak tahu sedang apa mereka di sana, aku juga tidak tahu mereka berada di kamar mana.

Pada akhirnya aku hanya bisa meminta sopir taksi untuk mengantar ku pulang. Perasaanku menjadi tak karuan. Berbagai pertanyaan menghantui perasaan ku saat ini.

Siapa laki-laki itu?

Apa yang Irfan lakukan dengan laki-laki tersebut di dalam hotel?

Apa yang di lakukan dua orang laki-laki itu di dalam hotel?

Akh, hatiku terasa sakit membayangkan hal tersebut. Perasaan ku semakin berkecamuk.

Mengapa Irfan tega mengkhianati ku? Padahal ia sudah berjanji tidak akan pernah menyakiti ku. Tapi nyatanya hari ini aku melihat ia bersama laki-laki lain dan masuk ke hotel.

*****

Keesokan harinya, Irfan menghubungi ku dan meminta aku untuk datang ke kost nya. Aku mencoba bersikap biasa saja saat di telpon. Aku tidak ingin membahas soal kemarin melalui ponsel. Lebih baik aku berbicara langsung dengan Irfan.

Karena itu aku pun segera datang ke tempat kost Irfan.

Irfan menyambutku dengan senyum khasnya seperti biasa. Ia bersikap biasa saja, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Aku mencoba menahan perasaan ku. Aku harus menanyakannya secara baik-baik tentang laki-laki yang kulihat kemarin bersama Irfan.

Seperti biasa aku pun duduk di samping Irfan di sisi ranjang tidurnya.

"kamu kemarin kemana?" tanya ku memulai pembicaraan.

"kemarin.. aku gak kemana-kemana." jawab Irfan.

"kamu yakin gak kemana-mana?" ucap ku bertanya.

"emang kenapa sih, Jo? Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu? Biasanya kamu juga gak pernah mau tahu, aku kemana, sedang apa. Kok tiba-tiba kamu bertanya seperti itu?" balas Irfan sedikit heran.

"kemarin aku melihat kami di mall, bersama seorang laki-laki." ucapku langsung.

"ooh.." Irfan membulatkan bibir. "iya, kemarin aku memang jalan-jalan sebentar di mall. Kamu ada disana juga? Kenapa kamu gak samperin aku?" balas Irfan terdengar santai. Tidak sedikit pun ia merasa bersalah akan hal itu.

"ya gak mungkin lah aku samperin kamu. Kamu kan lagi sama cowok lain." suara ku sedikit ketus.

"kamu kenapa sih?" tanya Irfan, keningnya mengerut.

"aku melihat kamu, bukan cuma di mall sama laki-laki itu, Fan. Aku melihat kalian masuk hotel berdua." ucapku dengan suara sedikit meninggi.

"kamu ngikutin aku?" tanya Irfan seperti kurang senang.

"aku curiga melihat kamu dengan laki-laki itu. Kalian terlihat sangat akrab. Aku juga belum pernah laki-laki itu sebelumnya. Karena penasaran aku mengikuti kalian sampai ke hotel." balas ku sedikit sengit.

"oh, Johan... Johan... kamu ngapain sih ngikutin aku sampai segitunya?" Irfan berujar masih nada kurang senangnya.

"karena aku curiga kamu ada apa-apanya dengan laki-laki itu, dan terbukti kan kalau kamu nginap berdua dengan laki-laki itu di hotel. Apa yang kalian lakukan di hotel itu? Siapa laki-laki itu, Fan?" tanya ku semakin sengit.

Di luar dugaanku Irfan justru tertawa riang. Ia tertawa cukup lama, sampai aku merasa kesal melihatnya.

"kenapa kamu malah tertawa?" tanya ku berusaha menghentikan tawa Irfan.

"jad... jadi kamu cemburu? Kamu cemburu sama bang Ilham?" balas Irfan di sela-sela tawanya.

"oh, jadi namanya Ilham? Dan kamu pacaran kan sama dia?" suaraku masih ketus. Aku benar-benar kesal sama Irfan, bukannya merasa bersalah, ia justru semakin melebarkan tawanya.

Cukup lama Irfan tertawa sendiri. Lebih tepatnya sih ia seperti menertawaiku. Aku semakin tak mengerti dengan semua itu.

"kenapa kamu tertawa sih, Fan? Apanya yang lucu?" tanya ku akhirnya.

Irfan berusaha keras untuk menghentikan tawanya.

"ya... menurutku lucu aja.." ucap Irfan akhirnya setelah ia berhasil menahan tawanya.

"kenapa menurut kamu ini lucu? Aku ini lagi marah loh, Fan. Kamu malah ketawa dan gak menjawab pertanyaan ku. Pasti laki-laki itu memang pacar kamu kan?" sergah ku membalas.

"pacarku itu cuma kamu satu-satunya, Jo. Aku gak mungkin punya pacar lain." jawab Irfan mulai serius.

"lalu siapa laki-laki itu, Fan?" tanya ku kesal.

"oke. Oke.... aku akan katakan, Jo. Tapi izinkan aku tertawa satu kali lagi ya?" ucap Irfan dengan sedikit menggoda ku.

"kamu jangan bikin aku semakin kesal deh, Fan." jawabku cepat.

"baiklah, Johan ku sayang." balas Irfan lembut. "yang kemarin kamu lihat itu adalah bang Ilham. Dia itu abang kandungku. Masa' kamu cemburu sama abang kandung ku sih?" lanjutnya.

Setelah berkata demikian, Irfan tertawa riang kembali.

"ya... mana aku tahu, kalau orang itu abang kandung kamu. Aku kan gak kenal sama keluarga kamu, Fan." ucapku dengan merasa sedikit malu.

Mengetahui kalau laki-laki itu adalah abang kandung Irfan, tentu saja aku merasa malu karena telah menuduh Irfan yang bukan-bukan.

"tapi benaran itu abang kandung kamu?" tanyaku masih kurang yakin. Bisa saja Irfan berbohong, kan? tanyaku membathin.

"benaran, Jo. Ngapain aku bohong sih?" balas Irfan.

"lalu ngapain kalian di hotel?" tanyaku lagi.

"bang Ilham bekerja di sebuah perusahaan kontraktor. Ia memang sering di tugaskan ke luar kota. Dan kebetulan kemarin itu, bang Ilham di tugaskan di kota ini, untuk menemui seorang klien mereka. Karena berada di kota ini, bang Ilham menghubungi ku dan mengajak aku ketemuan di mall."

"bang Ilham memang menginap di hotel malam itu, karena gak mungkin kan ia menginap di kost ku ini? Jadi aku mengantarnya sampai ke hotel. Lagi pula aku gak nginap kok disana. Sehabis makan malam aku kembali lagi ke kost." jelas Irfan panjang lebar.

Tiba-tiba Irfan mengambil handphone-nya, lalu memperlihatkan sebuah photo keluarganya padaku.

"kalau kamu masih tidak percaya, kamu bisa lihat photo ini, Jo. Ini Ibu ku, ini Ayahku ini bang Ilham, ini aku dan ini dua orang adik perempuan ku." ucap Irfan sambil menunjuk satu-satu orang-orang yang ia sebut tersebut.

Aku hanya bisa terdiam mendengarkan semua itu. Aku merasa malu sendiri.

"aku minta maaf ya, Fan." ujarku akhirnya.

"kamu gak perlu minta maaf, Jo. Aku ngerti, kok. Lagi pula aku senang kalau kamu mencemburui ku." balas Irfan.

"kenapa?" tanyaku spontan.

"karena itu berarti kamu benar-benar mencintaiku." jawab Irfan pelan.

"aku memang benar-benar mencintai kamu, Irfan." balasku.

"aku juga benar-benar mencintai kamu, Johan." ucap Irfan penuh perasaan.

Setelah berkata demikian, Irfan pun menarik tubuhku dalam dekapan hangatnya.

*****

Aku tersenyum sendiri membayangkan semua kejadian itu. Terus terang aku merasa malu mengingat itu semua.

Kenapa juga aku mencurigai Irfan dengan abang kandungnya?

Kenapa aku harus cemburu pada abang kandungnya?

Walau pun semua itu terjadi hanya karena aku memang tidak tahu, kalau laki-laki tersebut adalah abang kandung Irfan. Tapi tetap saja aku merasa malu. Terutama karena Irfan sering meledek ku dengan mengingatkan ku akan kejadian tersebut.

Namun yang pasti, ada banyak hikmah yang aku dapatkan karena kejadian tersebut. Diantaranya mungkin, kami jadi semakin tahu dan semakin yakin dengan perasaan kami masing-masing.

Dan juga aku jadi tahu keluarga Irfan, yang tinggal jauh di kota lain.

Itulah kisah cinta ku bersama pacar sahabatku yang tampan dan gagah itu. Hubungan kami pun berjalan dengan indah.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini dari awal sampai akhir, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di cerita-cerita selanjutnya, salam sayang selalu untuk kalian semua.

****

Kisah menarik lainnya :

Cinta lelaki biasa

Karyawan minimarket tampan

Cinta untuk Bara

Cinta dua mekanik tampan 

Gara-gara bos ku (part 2) 

Gara-gara bos ku (part 1)

Abang penjual pisang (part3)

Abang penjual pisang (part 2)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google