Sebenarnya aku tidak terlalu suka makan sosis. Apa lagi menurutku itu termasuk jajanan untuk anak-anak. Tapi sejak mengenal pak Dodo, penjual sosis langganan ku tersebut, aku jadi suka makan sosis.
Pak Dodo adalah penjual sosis, yang biasa berjualan di dekat lapangan voli, tempat aku biasa bermain voli setiap sorenya.
Aku seorang mahasiswa semester awal. Baru beberapa bulan yang lalu aku mulai kuliah. Kebetulan di tempat aku tinggal, tepatnya di belakang rumah yang aku sewa, ada sebuah lapangan voli.
Karena aku yang memang hobi bermain voli sejak SMA, jadi ikut main voli disana. Ada banyak pemain voli yang bermain di situ. Mulai dari pemain amatiran sampai yang profesional. Ada mahasiswa, karyawan, dan juga penduduk setempat.
Setiap sore aku bermain voli di lapangan tersebut. Di sana juga banyak anak-anak yang bermain, dengan permainan mereka sendiri. Intinya, lapangan voli itu selalu ramai setiap sorenya. Ada banyak pedagang makanan juga disana. Salah satunya adalah pak Dodo, si penjual sosis tersebut.
Awalnya aku tidak begitu mengenal pak Dodo, bahkan aku hampir menganggapnya tidak ada. Karena tujuan ku kesitu, hanyalah untuk bermain voli.
Tapi karena sering berada disana, dan hampir setiap hari bertemu pak Dodo, aku mulai merasa tertarik padanya. Selain karena pak Dodo orangnya ramah, ia juga terlihat sangat tampan, dan bertubuh sedikit kekar.
Pak Dodo sudah berusia 40 tahun lebih. Ia juga sudah menikah, dan sudah punya dua anak. Setidaknya begitulah yang aku tahu tentang pak Dodo. Dari cerita pak Dodo sendiri.
Karena sejak merasa tertarik dengannya, aku jadi rajin membeli sosis padanya, dan aku juga sengaja meluangkan waktu untuk bercerita bersama pak Dodo. Setidaknya saat sebelum aku bermain voli dan juga ketika aku sedang beristirahat.
Dari sekian banyak laki-laki yang berada disana, bahkan para pemain voli pun banyak yang berwajah tampan dan bertubuh gagah, tapi entah mengapa aku lebih tertarik pada pak Dodo. Mungkin karena pak Dodo punya daya tarik tersendiri di mata ku.
Yang pasti, semakin hari aku semakin suka sama pak Dodo. Hampir setiap malam aku selalu berkhayal tentangnya. Membayangkan betapa indahnya dunia, andai aku bisa memilikinya, meski hanya satu malam saja.
Tapi aku benar-benar tidak tahu, bagaimana caranya agar aku bisa mewujudkan impian ku tersebut. Meski pun aku sudah sangat sering mengobrol dengan pak Dodo, tapi selama ini pembicaraan kami hanya sebatas pembicaraan biasa. Aku tidak berani terlalu blak-blakan pada pak Dodo, terutama tentang perasaan ku padanya.
*****
Dulu aku waktu SMA, aku pernah jatuh cinta pada teman cowok ku, teman sekelas. Tapi aku hanya bisa memendam perasaan tersebut, hingga kami sama-sama lulus SMA.
Dan sekarang, saat aku sudah berhasil melupakan teman SMA ku tersebut, aku malah jatuh cinta pada pak Dodo, si penjual sosis yang sudah berusia 40 tahunan tersebut.
Tapi kali ini rasanya beda. Keinginan untuk bisa mendapatkan pak Dodo, tumbuh begitu kuat di hati ku. Aku harus bisa mendapatkannya. Apa pun caranya.
Aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakak ku perempuan, masih kuliah, semester akhir. Ayahku seorang juragan sawit di kampung. Kehidupan ku secara ekonomi memang terbilang cukup mewah. Apa lagi aku adalah anak laki-laki satu-satunya.
Orangtua ku juga cukup memanjakan ku. Apa pun yang aku inginkan pasti akan mereka penuhi. Termasuk uang belanja yang lebih dari cukup setiap bulannya.
Karena itu, aku pun berinisiatif untuk memborong dagangan pak Dodo, hampir setiap sore, dan sengaja aku bagikan kepada anak-anak yang sedang bermain di sana. Semua itu sengaja aku lakukan hanya untuk menarik simpati pak Dodo.
Terdengar gila dan bodoh sebenarnya. Tapi aku tak peduli. Aku sudah terlanjur pada pak Dodo. Dan apa pun akan aku lakukan, untuk bisa mendapatkan tubuh dan hatinya.
"terima kasih banyak ya, nak Anjas. Kalau setiap sore seperti ini, saya tidak perlu repot-repot menjual dagangan saya. Karena sudah pasti habis setiap sorenya, di borong sama kamu.." ucap pak Dodo, dengan nada senang.
"yah.. aku hanya ingin berbagi, pak Dodo. Sama pak Dodo juga sama anak-anak.." balasku berlagak polos.
"nak Anjas memang orang baik. Semoga rejeki nya selalu lancar ya..." ucap pak Dodo lagi.
"iya.. terima kasih, pak Dodo. Kalau pak Dodo butuh apa-apa, ngomong aja sama saya. Pasti akan saya bantu.." balasku kemudian, sengaja memberi pak Dodo peluang, agar ia semakin terkesan dengan ku.
"wah... saya gak mau merepotkan nak Anjas. Dengan memborong dagangan saya seperti ini aja. Saya sudah merasa sangat terbantu. Biasanya dagangan saya jarang yang terjual sampai habis.." ucap pak Dodo membalas.
"emangnya hasil penjualan sosis pak Dodo setiap hari, apa cukup untuk kehidupan pak Dodo dan keluarga?" tanya ku kemudian.
"yah... cukup gak cukup lah, nak Anjas. Mau gimana lagi? Hanya ini usaha yang bisa saya lakukan. Saya juga sudah berjualan sosis sejak lama, sudah bertahun-tahun." balas pak Dodo sedikit lirih.
"emangnya anak pak Dodo sekarang sudah kelas berapa?" tanyaku lagi.
"yang sulung sudah kelas 3 SMP, yang bungsu masih kelas 5 SD. Jadi yah... memang lagi butuh biaya banyak juga sih sebenarnya. Makanya saya memang harus berjualan setiap hari.." jawab pak Dodo pelan.
****
Pernah pada suatu hari, pak Dodo tidak berjualan seperti biasa. Aku merasa kehilangan dan bertanya-tanya dalam hati. Kenapa pak Dodo tidak berjualan? bathin ku.
Hingga keesokan harinya, pak Dodo kembali berjualan. Dan karena penasaran aku pun mempertanyakan hal tersebut pada pak Dodo.
"kenapa pak Dodo kemarin tidak jualan?" tanyaku.
"anak bungsu ku masuk rumah sakit. Ia deman tinggi. Dan harus di rawat selama beberapa hari. Sekarang ia juga masih di rumah sakit. Istri ku yang jaga, karena aku harus tetap jualan, untuk menebus obatnya." jelas pak Dodo, dengan wajah terlihat sedih.
"pak Dodo butuh berapa?" tanyaku.
"butuh berapa apanya?" pak Dodo balik bertanya dengan mimik heran.
"untuk menebus obat anak pak Dodo dan untuk biaya rumah sakitnya?" tanyaku sedikit lebih jelas.
"yah.. paling satu atau dua juta lah, nak Anjas." balas pak Dodo parau.
"kalau satu dua juta saya ada, pak Dodo... pak Dodo boleh pakai dulu, buat bayar rumah sakit dan nebus obatnya. Pak Dodo gak usah jualan dulu, setidaknya sampai anak pak Dodo sembuh.." ucapku sedikit hati-hati, takut pak Dodo merasa tersinggung.
"gak usah, nak Anjas. Saya gak mau merepotkan nak Anjas. Nanti saya akan cari pinjaman.." balas pak Dodo dengan suara berat.
"saya gak merasa direpotkan pak Dodo. Justru saya merasa senang bisa membantu pak Dodo. Dari pada pak Dodo nyari pinjaman, lebih baik pak Dodo pakai uang saya aja dulu. Kalau pak Dodo merasa tidak enak, anggap saja ini pinjaman dari saya..." ucapku berusaha meyakinkan pak Dodo.
Pak Dodo terlihat berpikir sejenak. Ia menarik napasnya beberapa kali.
"baiklah, nak Anjas. Jika nak Anjas bersikeras..." ucapnya akhirnya, "tapi saya menganggapnya ini sebagai hutang, nanti kalau saya dapat uang, pasti akan saya bayar.." lanjutnya.
"terserah pak Dodo aja.. kalau gak dibayar juga gak apa-apa, kok. Saya ikhlas... " balas ku kemudian.
"pak Dodo tunggu disini sebentar, ya.. saya ke kost dulu, ngambil uangnya.." lanjutku lagi.
"iya, nak Anjas. Terima kasih banyak, ya... " balas pak Dodo.
Aku pun dengan sedikit berlari, segera menuju rumah ku yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari lapangan voli tersebut. Dan setelah mengambil uang di dalam lemari, aku segera kembali menemui pak Dodo, dan menyerahkan uang tersebut padanya.
"sekali lagi, terima kasih banyak ya, nak Anjas.." ucap pak Dodo, saat uang itu sudah berpindah ke tangannya.
*****
Beberapa hari kemudian, pak Dodo pun kembali berjualan. Seperti biasa. Aku pun menghampirinya. Sudah hampir seminggu aku tak bertemu pak Dodo. Rasanya aku begtiu merindukannya.
"gimana kabar anaknya, pak Dodo?" tanyaku memulai pembicaraan.
"alhamdulillah, nak Anjas. Si bungsu sudah pulih kembali, ia juga sudah mulai sekolah lagi. Itu semua berkat nak Anjas.." balas pak Dodo.
"pak Dodo gak usah berlebihan.. bukankah memang sudah seharusnya kita hidup itu saling membantu.." balasku sok bijak.
"tapi nak Anjas sangat baik. Saya jarang bertemu orang sebaik nak Anjas. Kalau pun ada, pasti karena ada maunya.." ucap pak Dodo kemudian.
Ucapannya tersebut sedikit menyinggungku. Karena biar bagaimana pun, aku membantu pak Dodo, memang karena ada maunya. Setidaknya memang karena aku menyukai pak Dodo, dan ingin menarik perhatiannya padaku.
Tapi.. ya sudahlah... Habis mau gimana lagi. Aku memang sangat ingin bisa memiliki pak Dodo. Karena aku sudah terlanjur jatuh cinta padanya.
Saat kami hanya saling terdiam. Tiba-tiba hujan turun dengan perlahan. Hanya gerimis sih awalnya, tapi makin lama makin deras. Mendung memang sudah menghiasi langit sejak tadi. Dan sekarang hujan pun turun semakin deras.
Orang-orang mulai berlarian mencari tempat untuk berteduh. Ada juga yang memutuskan untuk langsung, dan menerobos hujan yang semakin deras tersebut.
"kita ke rumah ku aja yuk, pak Dodo.." ajak ku menawarkan.
"ayok.." balas pak Dodo cepat. Sambil ia mulai membereskan dagangannya. Aku dengan segera ikut membantu pak Dodo. Lalu kami pun dengan sedikit berlari segera menuju rumah ku.
"daganganya taruh sini dulu, pak Dodo.." ucapku saat kami sudah masuk ke rumah ku.
Rumah yang aku sewa tersebut memang cukup luas. Ada dua kamar tidur, ruang tamu, dapur dan kamar mandi di bagian belakangnya.
Orangtua ku sengaja menyewakan rumah tersebut untuk tempat aku tinggal selama aku kuliah. Mereka tidak mau aku tinggal di tempat kost, karena perabotannya kurang lengkap. Dan juga, kadang kedua orangtua ku juga sering datang ke kota, dan mereka bisa menginap di rumah tersebut.
"kita ke kamar ku aja ya, pak Dodo.. lagi pula baju pak Dodo juga udah sedikit basah, jadi bisa di keringkan dulu, pak Dodo bisa pakai handuk ku saja... " ucapku kemudian.
Dan entah mengapa, pak Dodo menuruti saja semua ucapan ku. Kami masuk ke kamar, pak Dodo pun mulai membuka bajunya yang memang sudah sedikit basah. Lalu ia mengambil handuk yang aku berikan padanya. Ia menutup kembali tubuhnya dengan handuk tersebut.
Tiba-tiba aku merasa berdebar-debar hebat. Tubuh pak Dodo yang selama ini hanya tersembunyi di balik bajunya, tadi aku bisa lihat secara langsung, meski pun hanya sejenak, sebelum ia menutupnya kembali dengan handuk.
Hal itu cukup membuat aku merasa semakin penasaran dengan pak Dodo. Tubuhnya memang atletis dan kekar. Benar-benar laki-laki idaman ku.
Pak Dodo duduk di tepi ranjang di dalam kamar ku, sementara aku sengaja duduk di hadapannya diatas kursi meja belajar ku. Aku juga sudah mengganti baju ku yang basah dengan baju yang baru.
"kalau celananya juga basah, pak Dodo bisa ganti dulu dengan celana saya. Mudah-mudahan ukurannya cocok. Dan kalau pak Dodo merasa kedinginan, bisa pakai jaket saya juga.." ucapku akhirnya, setelah untuk sejenak aku terhanyut dalam lamunanku, tentang pak Dodo.
Dan tanpa berucap apa-apa, pak Dodo pun segera berdiri, membuka celananya sambil melilitkan handuk di pinggangnya dan kemudian ia memakai celana, yang baru aku ambilkan dari dalam lemari pakaian ku.
Lalu kemudian aku juga memberikan salah satu jaket ku padanya.
"terima kasih.." ucap pak Dodo singkat, sambil ia menerima jaket tersebut.
Hujan terdengar semakin deras di luar, bahkan juga diiringi suara petir yang menyambar beberapa kali. Membuatku jadi sedikit merasa takut. Aku memang selalu merasa takut, saat mendengar suara petir.
Tapi karena saat ini ada pak Dodo di kamarku, entah mengapa aku merasa sedikit aman.
"kamu takut petir ya?" tanya pak Dodo sedikit lantang, mengimbangi suara derasnya hujan di luar sana.
"iya.." balasku singkat dan jujur.
"kalau kamu takut, kamu duduk disini aja. Di dekat ku.." ucap pak Dodo kemudian.
Tanpa berpikir dua kali, aku pun segera pindah. Aku duduk di samping pak Dodo. Dan aku semakin merasa aman. Bahkan terasa sangat nyaman.
Oh.. mimpi.. akankah hari ini, semua impian ku tentang pak Dodo akan menjadi nyata? bathin ku meronta.
*****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih