Aku melangkah gontai, menelusuri trotoar. Hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang mengiringi langkahku.
Malam sudah mulai menjelang. Orang-orang sedang sibuk menuju ke rumahnya masing-masing, setelah seharian lelah berjuang.
Pikiranku menerawang melayang tak tentu arah. Terngiang kembali percakapanku dengan dokter Dewi sore tadi.
"Sinta harus menjalani cangkok sumsum tulang. Leukimia yang di deritanya sudah semakin parah." suara dokter Dewi lembut.
"Namun sebelumnya kami akan melakukan kemoterapi atau radioterapi dosis tinggi, yang berarti Sinta harus di infus dan harus di rawat inap selama beberapa hari di rumah sakit ini." dokter Dewi melanjutkan.
Aku hanya terdiam. Selain merasa kasihan mengetahui penyakit yang di derita oleh Sinta, aku juga sangat bingung tentang biaya yang harus saya tanggung untuk semua pengobatan itu.
Sinta, adik perempuanku satu-satunya. Sejak Ibu meninggal dua tahun lalu, Sinta sudah menjadi tanggungjawabku sepenuhnya.
Ayah meninggalkan kami bertiga, ketika Sinta masih dalam kandungan. Saat itu aku masih berusia enam tahun.
Ayah lebih memilih perempuan selingkuhannya dari pada mempertahankan rumah tangganya dengan Ibu. Setidaknya itu yang Ibu ceritakan padaku, tentang ayah.
Sejak saat itu, aku memang tidak pernah lagi bertemu dengan ayah, apa lagi Sinta. Ia bahkan hampir tidak tahu rupa ayah.
Ibu membesarkan kami sendirian. Ia bekerja keras menjadi tukang cuci keliling, untuk bisa membiayai kami sekolah.
Namun upah yang Ibu dapat, tidak sebanding dengan pengeluaran yang kami butuhkan. Sampai akhirnya aku harus berhenti sekolah, saat aku masih duduk di bangku SMP.
Untuk membantu Ibu, aku kadang sering menjadi pengamen bersama beberapa orang teman di jalanan.
Aku pernah jadi buruh angkut di pasar, jadi kuli bangunan juga pernah aku jalani.
Kehidupan yang sangat keras di ibu kota, membuat aku sering menelan kepahitan.
Aku harus bekerja keras, untuk membantu Ibu dan untuk biaya sekolah adikku, Sinta.
Namun nasib sepertinya memang tidak pernah memihak padaku.
Ibu akhirnya meninggal.
Ia ternyata menderita penyakit jantung selama ini. Namun beliau selalu menyembunyikannya.
Aku dan Sinta tentu saja merasa sangat terpukul dengan kepergian Ibu. Rasanya sebagian dunia kami hilang.
Kami tidak punya siapa-siapa lagi, selain Ibu.
Tapi sebagai kakak tertua, tentu saja aku harus terlihat kuat. Aku tak ingin Sinta semakin terpukul.
Aku pikir, setelah kepergian Ibu, semuanya akan membaik.
Meski aku tetap harus bekerja keras, untuk biaya hidup kami dan juga untuk biaya sekolah Sinta.
Tentu saja, untuk bekerja aku hanya bisa mengandalkan tenagaku, karena aku tidak punya ijazah apa-apa.
"aku berhenti sekolah aja ya, mas.." ucap Sinta suatu hari padaku, beberapa bulan setelah kepergian Ibu.
"jangan, Sin. Kamu harus tetap sekolah. Kamu gak usah khawatir tentang biayanya. Mas akan berusaha sekeras mungkin.." balasku penuh keyakinan.
Kami masih tinggal di rumah kontrak kecil, yang harga sewanya tidak terlalu mahal.
Meski akhir-akhir ini, aku mulai sering menunggak pembayarannya. Untunglah si pemillik kontrakan itu, sangat mengerti keadaan kami.
Namun untuk kesekian kalinya, keberuntungan tidak berpihak padaku.
Sinta ternyata menyimpan penyakit yang selama ini berusaha ia pendam sendiri.
Sinta sering mengalami mimisan dan sakit kepala mendadak. Awalnya ia mencoba mengabaikan hal tersebut, karena tidak ingin menambah bebanku.
Namun lama kelamaan, penyakitnya justru semakin parah, hingga ia beberapa kali harus pingsan di sekolah karena kelelahan.
Akhirnya aku memutuskan untuk membawa Sinta ke rumah sakit. Dan seperti yang dokter katakan, Sinta mengalami penyakit leukimia akut, yang membuat ia menjalani perawatan intensif.
Dan tentu saja itu semua butuh biaya yang sangat besar.
*****
Beberapa kali aku menarik napas dalam. Rasanya ini semua terlalu berat bagiku.
Aku masih delapan belas tahun saat ini, tapi aku sudah harus menanggung beban yang sudah tidak sanggup aku pikul sendiri.
Aku sudah tidak siapa-siapa di kota ini. Meski pun ada beberapa orang kerabat, tapi kehidupan mereka juga sangat sulit.
Dan lagi pula, untuk orang-orang seperti kami, tidak akan ada yang mau mengakui kami sebagai saudara.
Karena begitulah kehidupan, jika kita miskin, tidak ada yang akan mengaku saudara. Namun jika kita kaya dan sukses, musuh pun bisa mengaku sebagai saudara.
Aku duduk di sebuah bangku taman dalam keremangan malam itu. Suasana di taman itu cukup ramai, mengingat itu adalah malam minggu.
Pikiranku kembali melayang, membayangkan Sinta yang sekarang terbaring di kamar inap rumah sakit.
"total biayanya bisa mencapai delapan ratus juta atau bahkan satu milyar rupiah." dokter Dewi menjelaskan lagi.
"selain itu, kita juga butuh pendonor sumsum tulang, kecuali pada kondisi Sinta, ia bisa melakukan transplantasi sumsum tulang autogenuos, atau transplantasi dari tubuhnya sendiri."
"dan jika itu terjadi, maka biaya yang di butuhkan tidak akan sebesar itu. Tapi tetap mencapai ratusan juta.." dokter Dewi melanjutkan.
"apa yang akan terjadi pada Sinta, jika semua itu tidak di lakukan, dok?" tanyaku dengan suara parau.
"hal terburuknya adalah kematian. Meski ada beberapa penderita leukimia yang bisa bertahan hidup selama bertahun-tahun, meski tidak melakukan transplantasi sumsum tulang." jawab dokter Dewi tegas.
"namun kami sangat menyarankan untuk tetap melakukan semua prosedur tersebut, agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.." lanjutnya, yang membuatku semakin terhenyak.
Suasana di taman itu semakin ramai. Aku sangaja duduk sedikit jauh dari keramaian itu. Pikiranku benar-benar kacau.
Biaya yang di butuhkan untuk pengobatan Sinta sangatlah besar. Aku sudah pasti tidak akan mendapatkan uang sebanyak itu, hanya dalam waktu beberapa hari.
Saat dalam kebingunganku itu, tiba-tiba seseorang duduk di dekatku.
Ia seorang laki-laki paroh baya, dengan tubuh yang sedikit tambun.
Laki-laki itu terlihat menyalakan rokoknya, sambil ia melirik menatapku.
"rokok?" tawarnya padaku, dengan suaranya yang khas.
Aku hanya menggeleng ringan, sambil menyunggingkan senyum tipis.
"sendirian aja?" tanya laki-laki itu lagi, ia terlihat menghirup asap rokok yang baru saja ia keluarkan dari mulutnya.
"iya, bang.." jawabku singkat.
Laki-laki yang tidak aku kenal itu, mulai mengajakku mengobrol dengan pertanyaan-pertanyaan basa-basi, yang membuatku jadi sedikit terhibur.
Laki-laki itu bernama Donald, setidaknya itu yang ia sebutkan ketika kami akhirnya berkenalan.
"Ikbal.." balasku menyebutkan namaku.
Mas Donald terlihat sangat ramah dan supel. Aku jadi betah ngobrol dengannya.
Semakin lama pembicaraan kami semakin menjurus ke arah pribadi kami masing-masing.
Mas Donald bahkan sengaja memesan beberapa makanan ringan dan juga minuman untuk kami berdua.
Mas Donald ternyata pemilik sebuah SPA, yang mempekerjakan beberapa orang therapist dan karyawan.
"saya sudah punya dua puluh SPA, di beberapa kota. Tapi di Jakarta ini yang paling besar dan ada di dua lokasi berbeda.." jelas mas Donald lagi melanjutkan ceritanya.
Aku lebih sering diam, selama pembicaraan tersebut. Terus terang aku merasa sangat kagum, akan keberhasilan mas Donald dalam hidup dan bisnisnya.
Mas Donald juga sudah menikah dan sudah punya dua orang putri.
"istri dan anak-anakku kebetulan lagi di rumah neneknya di Solo. Jadi dari pada suntuk di rumah, aku memutuskan untuk jalan-jalan sebentar, kebetulan juga, rumah kami dekat-dekat sini." ujar mas Donald lagi.
"oh, ya. Kamu masih kuliah atau kerja?" tanya mas Donald kemudian, setelah untuk beberapa saat kami hanya terdiam.
Aku menarik napas dalam, lalu mencoba menceritakan segelumit perjalanan hidupku kepada mas Donald. Meski pun aku baru mengenalnya, tapi sepertinya mas Donald orang yang baik dan juga ramah.
"kamu mau jadi therapist di tempatku?" tanya mas Donald tiba-tiba, setelah ia dengan seksama mendengarkan cerita kepedihan hidupku.
"aku gak punya bakat, mas.." jawabku spontan.
"jadi therapist gak perlu bakat. Yang penting punya kemauan dan mau belajar. Jika kamu bersedia, nanti akan ada yang mengajarkan kamu." ucap mas Donald.
"kebetulan di tempatku yang baru lagi butuh therapist. Dan aku rasa kamu cocok jadi therapist, karena aku lihat tubuh kamu lumayan atletis dan berotot. Tampang kamu juga lumayan.." lanjutnya lagi.
"emang ada hubungannya ya, mas. Itu semua dengan pekerjaan seorang therapist?" tanyaku terdengar polos.
"jelas ada hubungannya, Bal. Karena jika therapist-nya menarik secara fisik, pelanggan pasti akan merasa betah. Dan...." ucapan mas Donald tertahan.
"dan apa, mas?" tanyaku penasaran.
"bukan apa-apa. Nanti kamu juga akan tahu, kalau kamu berminat, sih.." balas mas Donald diplomatis.
Aku terdiam kembali. Aku bukannya tak berminat, meski aku tidak pasti, seperti apa sebenarnya pekerjaan seorang therapist itu.
Aku hanya tahu, kalau seorang therapist biasanya bekerja memijat orang-orang.
Dan aku tidak punya keahlian dalam bidang itu. Lagi pula yang ak butuhkan saat ini adalah uang ratusan juta untuk biaya rumah sakit Sinta.
Kalau pun aku menerima tawaran mas Donald untuk bekerja di tempatnya, gajiku sudah pasti tidak cukup untuk biaya tersebut. Meski aku juga butuh pekerjaan tetap.
Selama ini aku bekerja apa saja yang bisa menghasilkan uang, asalkan halal. Dan jika ada kesempatan untuk bekerja tetap seperti yang di tawarkan mas Donald, rasanya itu jauh lebih baik.
"kamu kenapa?" tanya mas Donald tiba-tiba yang melihat aku murung.
Aku menarik napas lagi, kali ini sangat panjang, kemudian menghempaskannya perlahan. Aku meneguk minuman terakhirku yang tadi ditraktir mas Donald.
Perlahan aku mulai menceritakan tentang Sinta pada mas Donald.
"aku butuh uang yang sangat banyak, mas." ucapku mengakhiri.
Mas Donald terdiam beberapa saat. Ia terlihat sedang berpikir.
"aku bisa meminjamkan uang sebanyak itu sama kamu. Tentu saja dengan perjanjian secara tertulis, bahwa kamu akan melunasi hutang tersebut melalui pemotongan gaji kamu setiap bulannya."
"mungkin akan butuh waktu bertahun-tahun untuk kamu melunasinya. Tapi jika kamu bisa mendapatkan tip yang besar dari para pelanggan, hutang itu akan cepat lunas. Kamu hanya harus bisa memuaskan para pelanggan di tempatku."
"bagaimana cara memuaskan mereka?" tanyaku penasaran.
"nanti kamu juga tahu, itu jika kamu ingin punya pendapatan yang besar." jawab mas Donald lagi.
Aku terdiam lagi. Meski aku tidak tahu pasti, apa maksud dari kalimat mas Donald, tapi aku yakin hal itu bukanlah sesuatu yang baik.
Tapi untuk saat ini, aku tidak lagi memikirkan hal itu baik atau tidak. Yang penting aku bisa mendapatkan uang untuk biaya berobat Sinta.
******
Aku memasuki sebuah SPA yang sangat besar. Tempat itu memang masih terlihat baru. Ada empat lantai dalam gedung bertingkat tersebut.
Mas Donald memperkenalkanku pada para pekerja lainnya.
Ya, akhirnya aku menerima tawaran dari mas Donald. Meski aku harus menandatangani kontrak untuk melunasi semua hutangku.
Sinta sudah mulai menjalani prosedur pengobatannya, dan aku sudah melunasi semua biaya pengobatan tersebut.
"ini namanya Regen, ia yang akan membimbing kamu, sampai kamu mahir melakukan semuanya." ucap mas Donald sambil memperkenalkanku dengan seorang laki-laki bertubuh kekar.
Regen memakai seragam ketat, yang memperlihatkan bentuk tubuhnya yang berotot.
Kami mulai mengobrol, setelah mas Donald kan kami dalam ruangan tersebut.
Ada beberapa therapist lainnya di sana. Mereka semua memang memiliki bentuk tubuh yang sangat atletis. Sepertinya hal itu sudah menjadi syarat mutlak untuk menjadi seorang therapist di tempat mas Donald.
"kita punya banyak pelanggan, dari berbagai kalangan. Ada perempuan dan ada juga laki-laki. Tapi kebanyakan yang datang biasanya kaum laki-laki. Dan biasanya mereka orang-orang kaya." jelas Regen lagi padaku.
Regen mulai mengajarkanku teknik memijat dari dasar.
"sebenarnya ini tidak begitu penting, tapi kamu memang harus menguasainya." ucap Regen lagi menjelaskan.
"yang penting itu kamu mau melayani mereka dan membuat mereka puas, terutama para lelaki." lanjut Regen.
Aku mulai mengerti maksudnya.
"tapi... apa harus lelaki?" tanyaku pada Regen.
"laki-laki biasanya akan membayar lebih mahal, kalau kita mau melayani mereka." balas Regen santai.
"tapi... aku...." suaraku tertahan, membayangkan hal tersebut.
"udah.. kamu nikmatin aja. Dulu awalnya aku juga merasa geli dan jijik, tapi yang penting kita dapat uang yang banyak dari mereka." ucap regen tegas, yang membuatku terdiam.
Hutangku pada mas Donald sangat banyak. Jika hanya mengandalkan gajiku, aku rasa aku tidak akan pernah bisa melunasinya. Jadi aku memang harus melakukan seperti yang di sarankan Regen dan mas Donald.
*******
Pelanggan pertamaku.
Namanya mas Yudi. Pria tambun berperut buncit.
Kulit mas Yudi cukup bersih dan tergolong putih. Wajahnya juga tidak terlalu tampan.
Aku mulai merasa mual membayangkan aku dan mas Yudi bergumul.
Tapi sebagai seorang therapist baru, aku harus profesional dalam bekerja.
Aku mulai melakukan pemijatan pada mas Yudi, seperti yang diajarkan Regen padaku.
Mas Yudi cukup ramah, ia mengajak mengobrol sepanjang pemijatan.
Hingga bagian pertama itu selesai.
Dan bagian terakhir ini yang sulit bagiku.
"aku sudah bayar mahal loh, buat kamu. Kata Regen kamu orang baru dan masih perjaka.." ucap mas Yudi, saat ia berusaha menyentuh tubuhku.
Aku gemetaran. Seumur hidup aku belum pernah melakukan hal tersebut. Bahkan dengan perempuan pun aku tidak pernah benar-benar dekat.
Kepahitan hidup yang harus aku jalani setiap hari, membuatku tidak punya kesempatan untuk merasakan hal tersebut.
"aku juga bakal kasih kamu tip yang besar, jika kamu bisa membuatku puas." lanjut mas Yudi lagi, sambil terus menjalankan aksinya.
Aku menarik napas dan memejamkan mata.
"kamu nikmati aja, yang penting itu uangnya.." terngiang kembali ucapan Regen tempo hari.
Akhirnya aku hanya pasrah. Mas Yudi juga sangat mengerti, kalau aku belum pernah melakukan hal tersebut. Untuk itu, ia yang sangat berperan.
Pria yang ku perkirakan sudah berumur 40 tahun itu, mulai meraba-raba bagian tubuhku.
"kamu sangat kekar, Bal. Dan kulitmu eksotis. Aku suka laki-laki berkulit gelap seperti kamu. Pasti kamu kalau main juga lama.." suara mas Yudi terdengar seperti sebuah desahan.
Aku masih memejamkan mata. Sekuat mungkin aku menahan rasa geli dan jijikku.
Tak pernah aku sangka, aku akan terjerumus di sini. Menjadi pelayan bagi para kaum lelaki yang memiliki gairah menyimpang.
Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.
Mungkin beginilah takdirku. Nasib yang selama ini tidak pernah memihak padaku, tiba-tiba terasa seakan memaksaku menjalani kehidupan yang sama sekali tidak aku inginkan.
Tapi siapa yang bisa melawan takdir?
Apa lagi untuk laki-laki miskin seperti diriku. Tidak banyak pilihan dalam hidup ini, untuk orang-orang seperti ku.
Mungkin sebagian orang tidak setuju dengan apa yang aku lakukan.
Tapi aku bosan menjadi orang miskin dan serba kekurangan. Aku juga ingin menikmati hidup ini.
Meski dengan cara yang salah.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih