Kejadian malam itu, ternyata tidak merubah kedekatanku dengan Farel. Kami masih sering bertemu.
Meski tentu saja, Farel jadi sedikit berhati-hati dan menjaga jarak.
Sementara hubunganku dengan dokter Adi sudah di ujung tanduk. Apa lagi semenjak aku mendapat kabar, kalau anak keduanya sudah lahir.
Jarak diantara kami jadi semakin terbentang sangat luas. Sepertinya dokter Adi sudah menganggapku tidak lagi ada. Ia mungkin sudah mulai merasa bahagia hidup bersama keluarga kecilnya.
Aku kecewa sih, sebenarnya. Biar bagaimanapun, hubungan kami sudah berjalan bertahun-tahun. Sudah terlalu banyak kenangan diantara kami. Sudah terlalu banyak yang kami lewati bersama.
Tapi aku mencoba mengikhlaskannya. Aku tak ingin menyiksa diriku sendiri, dengan tetap mengingatnya.
Apa lagi saat ini, Farel mampu memenuhi setiap rongga hatiku.
Hatiku mungkin telah berkhianat, tapi setidaknya dengan begitu, aku jadi tidak terlalu sakit karena harus kehilangan dokter Adi.
Meski aku tidak mendengar langsung kata 'putus' dari dokter Adi, tapi dari sikapnya aku yakin, kalau ia tidak lagi membutuhkanku.
Aku harus bisa merelakannya. Dokter Adi berhak untuk bahagia, meski bukan denganku.
Dokter Adi, mungkin hanya akan menjadi sepenggal cerita di masa laluku. Dia akan menjadi kenangan terindah untukku.
Aku tak membencinya, hanya saja, aku lelah berharap padanya.
Kini sebagian hatiku telah retak, oleh kepergian dokter Adi dari hidupku. Namun sebagian hatiku yang lain, sudah terisi oleh kesempurnaan sosok Farel.
Hanya saja, butuh perjuangan lebih keras lagi, untuk bisa meluluhkan hati seorang Farel.
Namun sekeras apapun aku berjuang untuk merebut hati Farel, sepertinya ia tetap membatu.
Ia tidak pernah bergeming. Ia tidak pernah menunjukkan rasa tertarik padaku.
Dan aku mulai lelah. Aku mulai menyerah. Sepertinya memang sudah tidak ada harapan lagi bagiku, untuk bisa memiliki Farel.
Hatiku yang sudah retak, kini benar-benar hancur dan tercabik-cabik.
Aku kehilangan gairahku kembali. Hidupku semakin hampa dan kosong.
"kamu kenapa, Ran?" suara lembut ibuku, membuyarkan lamunanku.
Aku memang sengaja mengunjungi ibu, setelah berbulan-bulan aku tidak pulang.
Rasanya aku sangat merindukan beliau. Saat-saat seperti ini aku sangat membutuhkannya.
Aku tidak lagi datang ke pantai, karena aku merasa perjuanganku untuk mendapatkan Farel, telah sia-sia.
"gak kenapa-kenapa, Bu. Randi hanya lelah..." balasku akhirnya, membalas tatapan Ibu dengan sendu.
Aku tahu, Ibu gak percaya. Aku yakin, Ibu tahu, kalau aku sedang dalam masalah. Tapi aku tidak mungkin menceritakan semua itu pada Ibu.
"kamu ingat Desi?" tanya ibuku kemudian.
Aku mengangguk ringan.
Desi adalah teman masa kecilku. Aku memang sudah sangat lama tidak bertemu dengannya, karena ia waktu SMP, harus ikut pindah ke kota lain, bersama orangtuanya.
Tapi aku masih mengingatnya, karena kami memang cukup dekat waktu kecil.
"dia sekarang ada disini. Dia tugas di rumah sakit amanah. Dia sudah jadi dokter loh, sekarang.." ucap Ibu lagi.
"baguslah..." balasku berpura-pura semangat.
"dia sering nanyain kamu loh, Ran." ucap Ibu lagi. "dan dia juga belum menikah. Beberapa hari yang lalu ibu bertemu kedua orangtuanya, lalu kami sepakat untuk menjodohkan kalian berdua.." lanjut Ibu, yang membuatku tersentak kaget.
"tapi aku masih belum mau menikah loh, bu.." ucapku dalam kekagetan.
"iya. Kan gak harus sekarang, Ran. Kamu harus pikirkan juga hal ini. Usia kamu juga udah hampir kepala tiga. Masa' kamu pengen melajang seumur hidup? Lagian kamu dan Desi udah sama-sama dewasa. Udah saatnya, kalian beurmah tangga..." Ibu berucap lagi, dengan suara lembut.
Aku terdiam. Permintaan ibu semakin membuatku bingung.
Sebagai orangtua, memang sudah sewajarnya, Ibu berharap aku segera menikah. Apa lagi aku anak satu-satunya.
Tapi aku belum berpikir seperti itu. Selain karena aku memang tidak tertarik pada perempuan, aku juga tidak ingin merasa terikat.
*****
Aku kembali menjalani hari-hariku seperti biasa. Melakukan aktivitasku seperti biasa. Bekerja dan hanya bekerja.
Sekarang tidak ada lagi dokter Adi, tidak ada Ferel.Yang ada hanya kesendirianku.
Desi sendiri sudah sering menghubungiku, namun aku tidak pernah melayaninya.
Aku tidak ingin memberi harapan apapun pada Desi.
Aku memang tidak punya rasa padanya. Aku tidak ingin menikah, jika hanya untuk sebuah status. Aku tidak ingin menyakiti hati Desi dengan berpura-pura menyukainya.
Ibuku juga sering menghubungiku, dan mempertanyakan hal tersebut. Dan aku dengan tegas menolaknya.
Aku tahu, Ibu kecewa, tapi mungkin itu jauh lebih baik, dari pada aku harus menyiksa diriku sendiri.
Dalam kesendirianku itu, aku jadi sering berselancar di dunia maya, dengan menggunakan akun palsu, untuk menutupi identitasku.
Karena itulah, akhirnya aku berkenalan dengan seorang cowok, namanya Raka.
Setelah saling kenal melalui media sosial, kami akhirnya memutuskan untuk saling bertemu.
Meski Raka tidak tampan, setidaknya tidak setampan dokter Adi atau pun Farel. Namun Raka sangat baik dan sopan.
Dia juga masih muda, masih kuliah semester lima, katanya.
Aku sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan Raka. Tapi Raka selalu berusaha untuk mendekatiku.
Karena perjuangannya yang keras, akhirnya hatiku pun luluh. Hatiku yang memang sedang kosong, dengan sangat mudah dimasuki oleh cinta Raka yang tulus.
"aku sangat bahagia, akhirnya bisa bersama bang Randi.." ucap Raka, ketika pertama kali ia menginap di rumahku.
"aku sangat mencintai bang Randi.." lanjutny dengan suara lembut.
Aku hanya diam. Karena sebenarnya aku juga masih bingung dengan perasaanku.
Aku bingung, apa aku benar-benar telah jatuh cinta pada pada Raka?
Kalau iya, mengapa aku tidak merasakan getar-getar aneh saat bersamanya?
Aku merasa biasa-biasa saja.
Atau mungkin, sebenarnya aku hanya memanfaatkan kehadiran Raka, sebagai pengisi kekosongan hatiku. Setidaknya aku jadi punya kegiatan lain, selain bekerja.
Dengan perasaanku yang biasa-biasa saja, dan dengan pesona Raka yang juga biasa-biasa saja bagiku, akhirnya aku memasrahkan diri pada Raka.
Aku mencoba menikmati malam itu bersama Raka.
Itu adalah kali pertama aku melakukan hal tersebut, setelah segala keindahan yang aku lewati bersama dokter Adi.
Entah mengapa, saat melakukan hal itu dengan Raka, justru yang ada dalam pikiranku adalah dokter Adi.
Mungkin aku memang belum benar-benar bisa melupakannya.
Perasaanku pada dokter Adi, terlalu dalam. Kesan yang ia berikan terlalu indah.
Tapi aku cukup sadar diri, dokter Adi sudah tidak bisa aku harapkan lagi.
"maaf ya, bang Randi! Mungkin aku bukan yang terbaik buat bang Randi. Mungkin aku tidak seindah laki-laki yang sebelumnya bersama bang Randi. Tapi aku akan berusaha membuat bang Randi bahagia..." pelan suara Raka berbisik di telingaku, saat kami akhirnya terhempas untuk pertama kalinya.
Aku tidak tahu, mengapa Raka sampai berpikir demikian. Padahal aku tidak pernah bercerita apapun padanya, terutama tentang siapapun laki-laki yang pernah hadir dalam hidupku sebelum dia.
"aku tahu, bang Randi tidak begitu menikmati pendakian kita tadi. Aku yakin, itu semua, karena di hati bang Randi, masih ada sosok lain. Dan itu bukan aku.." lanjut Raka lagi, masih dengan berbisik.
Aku tersentak seketika. Sejelas itukah perasaanku di mata Raka?
Tapi Raka benar, aku memang tidak begitu menikmatinya. Rasanya masih terasa hambar. Tidak begitu indah. Sekali lagi, hanya terkesan biasa saja.
Berbulan-bulan aku menjalani hubunganku dengan Raka. Meski tidak begitu indah, aku mencoba menikmati semua itu. Raka selalu berusaha untuk membuatku merasa puas.
Raka, dengan segala kerja kerasnya, untuk membuatku bisa menikmati hal tersebut. Raka dengan tampangnya yang biasa saja, perlahan mulai bisa menyentuh hati kecilku.
Dan saat itulah, dengan tiba-tiba, tanpa memberi kabar, tanpa pernah aku duga sebelumnya.
Dokter Adi tiba-tiba muncul ke rumahku malam-malam.
Beruntunglah malam itu, aku tidak sedang bersama Raka.
"ada apa mas Adi tiba-tiba datang kesini, setelah sekian lama menghilang?" tanyaku, setelah mempersilahkan dokter Adi masuk dan duduk di ruang tamu.
Terus terang aku merasa canggung, setelah hampir setahun, aku tidak bertatap muka dengan dokter ganteng itu.
Dokter Adi juga kelihatan kaku.
"aku kangen kamu, Ran.." begitu jawabnya dengan suara yang kudengar bergetar.
Aku beranikan diri menatap mata dokter itu, aku mencoba mencari setitik kejujuran dalam sinar matanya.
Mata itu masih terlalu indah, dan aku masih melihat sejuta cinta disana.
Dan aku berharap aku tidak salah menilai, kalau di mata itu memang ada rindu untukku.
"aku tahu, aku salah, Ran." dokter Adi melanjutkan.
"aku lama tidak memberi kabar padamu. Aku lama tidak pernah mengunjungimu. Aku tahu, kamu pasti kecewa padaku." dokter Adi menarik napas panjang.
Aku masih terdiam, dengan tanpa melepaskan tatapanku pada wajah tampannya.
"awalnya aku pikir, dengan menghindar dari kamu, aku akan bisa melupakan kamu, Ran." dokter Adi berujar lagi.
"aku juga berharap, dengan kita tidak bertemu lagi, kamu akan segera melupakan aku. Dan tentu saja aku berharap, kamu akan segera mencari penggantiku. Karena aku bukanlah yang terbaik buatmu, Ran..." suaranya mulai parau.
"kamu berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku. Karena aku hanya akan selalu membuatmu sakit. Aku tidak bisa memberikan seluruh waktuku untukmu, meski sebenarnya seluruh cintaku hanya untukmu.." suara itu semakin pelan.
"seharusnya aku selalu ada buat kam, Ran. Seperti janjiku dulu. Tapi kenyataannya, aku justru sering mengabaikanmu, yang membuatmu pasti merasa sakit. Karena itu aku pergi, Ran. Aku merasa tidak pantas buat kamu. Aku terlalu lemah untuk bisa bersikap tegas..." mata indah itu tiba-tiba berkaca.
Oh, tidak! Seperti dulu, aku tidak pernah sanggup melihat wajah murung penuh duka itu.
"maafkan aku, Ran. Kini aku sadar, kalau aku tidak bisa melupakan kamu. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu." setetes air mata akhirnya jatuh di pipi mulus dokter Adi, yang membuatku semakin merasa iba.
"karena itu ..... karena itu... aku... aku ...aku akhirnya bercerai dengan istriku. Aku... aku ... memang tidak pernah mencintainya, meski sudah berkali-kali aku mencobanya..." suara dokter Adi terbata, menahan isaknya.
Hatiku semakin terenyuh. Bukan saja karena aku merasa iba melihatnya, tapi juga karena kabar yang telah ia sampaikan.
Dokter Adi telah menceraikan istrinya, karena aku?
Bathinku merintih.
Aku tidak pernah mengharapkan hal itu.
Jika dokter Adi ingin bersamaku, aku siap menjalani hari-hari lagi bersamanya, meski aku hanya jadi yang kedua.
Tapi kenapa dokter Adi harus menceraikan istrinya?
"aku bercerai, bukan saja karena aku ingin hidup bersama kamu, Ran. Tapi tidak ingin terus menyiksa perasaanku sendiri dan perasaan istriku. Kami telah terlalu lama hidup dalam kebohongan. Dan aku ingin mengakhiri semua itu..." dokter Adi berucap lagi, setelah ia mengusap pipinya beberapa kali.
"kamu mau kan, Ran. Kita kembali lagi seperti dulu?" tanyanya kemudian, dengan nada penuh harap.
Aku tertunduk. Aku tidak pernah menyangka akan berada di posisi ini.
Biar bagaimanapun, aku sekarang sudah bersama Raka. Meski aku belum benar-benar mencintainya.
Tapi setidaknya, Raka juga punya cinta yang tulus untukku.
Dan jika aku berterus terang dengan dokter Adi, itu artinya aku harus siap kehilangan pria yang aku cintai itu.
Bertahun-tahun terpisah dari dokter Adi, ternyat tidak merubah sedikit pun perasaanku padanya.
Selama ini aku hanya berusaha untuk melupakannya dan menutupi perasaanku yang sebenarnya.
Dan saat aku kembali bertemu dengannya, segala perasaan itu muncul kembali.
Dokter Adi masih terlalu indah. Aku tak bisa menghindari pesonanya.
Tapi aku juga tidak mungkin, mengabaikan kehadiran Raka. Aku juga tidak mungkin, meninggalkannya begitu saja.
"aku butuh waktu, mas Adi..." jawabku akhirnya, meski dengan suara berat.
"kenapa? Apa sudah ada yang lain?" dokter Adi bertanya dengan raut heran.
"bukan! Bukan karena itu. Tapi aku butuh waktu, untuk bisa memaafkan semua yang telah aku lewati tanpa mas Adi selama ini. Tidak mudah bagiku, mas. Meski aku masih sangat mencintai mas Adi. Tapi aku sudah terlanjur mengubur harapan-harapanku tentang mas Adi."
"dan aku butuh waktu untuk bisa menggalinya kembali.."
suaraku bergetar, ada gejolak yang harus aku tahan.
Meski tidak sepenuhnya aku berbohong, tetap saja rasa bersalah mulai menghantuiku.
"oke, Ran. Jika itu yang kamu inginkan. Aku akan memberimu waktu." suara dokter Adi mulai tegas.
"namun yang harus kamu tahu, aku tidak pernah bisa berhenti mencintai kamu..." kalimat lanjutan dokter Adi barusan, benar-benar menyentuh hati kecilku.
Ingin rasanya, aku mendekap tubuh kekar itu, saat itu juga. Dan ingin aku bisikan kata cinta yang sama.
Namun sekelebat bayangan Raka hadir, dengan senyum tulusnya.
***
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih