Hari-hari selanjutnya, aku semakin sering mendapatkan pelanggan. Aku juga sudah terbiasa melakukan hal tersebut.
Aku selalu mendapat tip yang besar dari setiap pelangganku, terutama yang pelanggan laki-laki.
Mereka selalu merasa puas dengan apa yang aku lakukan pada mereka.
Kondisi Sinta, adikku, juga semakin membaik. Ia sudah kembali ke rumah kontrakan kami. Meski masih harus melakukan kontrol setiap minggunya.
Aku tidak bercerita apapun pada Sinta. Sinta juga tidak berani bertanya padaku.
Namun yang pasti, aku sekarang jadi jarang di rumah. Aku lebih sering di tempat kerja.
Bahkan aku sering keluar masuk hotel, untuk memenuhi panggilan para pelanggan.
Uang yang aku kumpulkan juga sudah cukup banyak. Meski tentu saja, sebagian besarnya, aku gunakan untuk mengansur hutangku pada mas Donald.
Seperti yang mas Donald katakan, aku bisa saja melunasi semua hutangku dalam waktu dekat, jika aku bisa membuat para pelanggannya merasa puas.
"aku mau kamu berhenti jadi seorang therapist." itu suara pak Brata. Pria tua yang sudah kepala lima itu, sudah menjadi pelanggan ku selama beberapa bulan terakhir ini.
"aku ingin kamu melayaniku saja, dan aku akan membelikan mu sebuah rumah, untuk tempat kamu tinggal.." lanjut pria berwajah manis itu.
Meski bertubuh sedikit kurus, namun pak Brata masih terlihat segar.
Pak Brata sudah menikah beberapa tahun lalu, dan bahkan sekarang beliau sudah mempunyai cucu.
Pak Brata memang seorang pengusaha sukses, yang mempunyai kehidupan yang sangat mapan.
Kadang aku merasa iri kepada orang-orang seperti pak Brata. Mereka hidup enak dan bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan, termasuk membeli orang-orang sepertiku.
"biasa itu terjadi. Kalau mereka mulai merasa nyaman dengan kita, mereka pasti akan menawarkan hal tersebut." ucap Regen suatu hari padaku, ketika aku bercerita tentang pak Brata.
"ada beberapa orang therapist yang menerima tawaran tersebut, dan memilih berhenti menjadi seorang therapist. Bukan pilihan yang salah, sih." lanjut Regen.
"tapi kita harus menyadari, bahwa mereka punya keluarga. Dan sangat mungkin ketika mereka akhirnya bosan dengan dunia gay, dan memilih untuk hidup normal, kita akan di campakkan." Regen melanjutkan lagi.
"karena itu, aku selalu menolak setiap ada tawaran seperti itu, meski sebenarnya aku juga tidak kuat hidup seperti ini.." suara Regen lemah.
"dari beberapa yang menerima tawaran tersebut, banyak yang akhirnya kembali menjadi therapist, karena sudah dicampakkan om-om nya.." Regen masih melanjutkan kalimatnya.
Tawaran yang di berikan pak Brata sangat menarik. Aku bahkan sudah menceritakan tentang hutangku pada mas Donald, dan pak Brata bersedia melunasinya.
Namun dari cerita Regen barusan, aku mulai menjadi ragu untuk menerima tawaran tersebut.
*****
Meski bekerja sebagai seorang therapist, aku tetap menjalani kehidupan normal ku seperti biasa.
Orang-orang tahu, kalau aku bekerja di SPA. Tapi orang-orang tidak tahu, apa sebenarnya yang aku lakukan disana. Begitu juga Sinta, adikku, yang sekarang sudah masuk SMA.
Kami juga sudah pindah ke kontrakan yang lebih baik, karena penghasilanku setiap bulannya sudah lebih dari pada cukup.
Dalam kehidupan normalku, aku akhirnya berkenalan dengan seorang mahasiswi cantik.
Namanya Ningsih, seorang gadis imut, yang kuliah di fakultas hukum. Calon Pengacara, begitu biasa aku menyebutnya.
Ningsih tidak tahu, kalau aku bekerja di SPA, aku sengaja merahasiakannya, karena takut Ningsih akan menjauhiku.
Aku dan Ningsih akhirnya pacaran, meski aku masih menyembunyikan sebagian besar hidupku pada Ningsih.
Aku jatuh cinta pada Ningsih, begitu juga sebaliknya.
Kami menjalani hubungan kami dengan indah, selayaknya sepasang kekasih yang di mabuk asmara.
Hingga setelah hampir enam bulan pacaran, Ningsih berniat untuk memperkenalkank dengan orangtuanya.
"aku takut, Ning." ucapku, mencoba menolak hal tersebut.
"kamu gak usah takut, Bal. Mama papa orangnya baik, kok." balas Ningsih berusaha meyakinkanku.
Karena terus di desak, aku pun akhirnya mengikuti keinginan Ningsih. Setidaknya aku ingin menunjukkan pada Ningsih kalau aku memang serius dengannya.
Namun, seperti biasa, nasib baik tidak selalu memihak padaku.
Saat aku di rumah Ningsih, di sana lah aku bertemu pak Brata.
Ya, pak Brata ternyata adalah ayah kandung Ningsih.
Ningsih merupakan anak bungsu dari pak Brata. Anak pertamanya sudah menikah dan sudah punya seorang putra.
Pertemuan tak sengaja itu, tentu saja membuat aku merasa terpukul. Meski selama di rumah Ningsih, baik pak Brata maupun aku, berusaha bersikap biasa saja, dan berpura-pura tidak saling kenal.
"oh, jadi Ikbal ini bekerja di perusahaan?" ucap pak Brata di tengah perbincangan kami.
Aku tahu, pertanyaan itu pak Brata lontarkan hanya untuk menyindirku, yang telah membohongi anak gadisnya.
"iya, pa." jawab Ningsih terdengar sangat yakin.
Aku labih banyak diam, selama berada di sana. Pikiran tiba-tiba kacau.
Dunia menjadi begitu sempit bagiku.
Bagaimana mungkin aku bisa berpacaran dengan anak salah seorang pelangganku?
Tapi semua sudah terjadi, aku dan Ningsih sudah terlanjur saling jatuh cinta.
Meski aku tahu, pak Brata tidak akan pernah merestui hubungan kami.
Dan itu merupakan nasib buruk bagiku.
Untuk
pertama kalinya, aku menjalin hubungan secara normal dengan orang yang
aku cintai, justru aku harus menghadapi tantangan yang begitu besar.
Pak Brata sudah pasti akan melakukan apa saja, untuk menghancurkan hubunganku dengan Ningsih.
Apa lagi ia punya kekuasaan besar untuk melakukan apa saja.
Nyali terasa ciut tiba-tiba. Perasaan takut menghantuiku sepanjang waktu.
Dan malam itu, pak Brata sengaja memesanku.
Aku tidak tahu, apa yang akan pak Brata lakukan padaku.
Namun aku tetap memenuhi panggilannya di sebuah hotel.
******
"kamu pikir kamu bisa seenaknya pacaran dengan anakku, sementara aku tahu, pekerjaanmu seperti ini?" garang suara itu ku dengar, saat pak Brata menatapku tajam di dalam kamar hotel tersebut.
"maaf, pak. Aku gak tahu, kalau Ningsih adalah anak pak Brata.." suaraku bergetar, namun aku beranikan diri menatap kembali pak Brata.
"dan sekarang kamu sudah tahu, apa yang harus kamu lakukan?!" suara itu masih terdengar kasar di telingaku.
"tapi aku sangat mencintai Ningsih, pak.." balasku cukup berani.
"dan kamu cukup tahu, apa yang akan aku lakukan untuk mencegah hal tersebut.." pak Brata berujar, sambil melangkah mendekat.
"kamu tahu, aku bisa melakukan apa saja, untuk membuat kamu berhenti mencintai anakku.." lanjutnya lagi.
Kali ini aku terdiam. Pak Brata sepertinya benar-benar marah padaku.
"tinggalkan Ningsih dan hidupmu akan aman. Tapi jika kamu tetap nekat, kamu akan tahu akibatnya.." ucapan yang mengandung ancaman itu, benar-benar membuatku menciut.
Biar bagaimana pun, aku cukup tahu pak Brata. Ia bukan orang yang gampang menerima kekalahan. Apa lagi dari seseorang seperti diriku.
Setelah berkata demikian, pak Brata pun melangkah keluar dari kamar hotel itu.
Kali ini ia tidak ingin aku melakukan apa pun untuknya, kecuali meninggalkan Ningsih.
Sepertinya pak Brata sudah sangat membenciku saat ini. Dan kebencian seperti itu, bisa saja berakibat fatal bagiku.
Tapi aku terlalu mencintai Ningsih.
Aku tak sanggup berpisah darinya.
Namun, aku juga tidak ingin kehilangan kehidupanku yang sekarang.
******
Mata Ningsih memerah menahan tangisnya. Saat aku akhirnya mengajak ia bertemu di pinggiran sebuah pantai.
Aku dengan cukup berat, meminta Ningsih untuk melupakanku.
"beri aku alasan yang cukup masuk akal, Bal. Kenapa kita harus saling melupakan, setelah semua yang telah kita lalui selama ini?" ucap Ningsih akhirnya dengan suara serak.
"kita ini berbeda, Ning. Kamu anak orang terpandanng. Sementara aku? Aku cukup tahu siapa diriku.." balasku dengan nada pilu.
"tapi bukannya kamu sudah bekerja di sebuah perusahaan besar?" Ningsih berujar dengan cukup lantang, mengimbangi suara deburan ombak di pantai.
"aku bohong soal itu sama kamu, Ning. Aku sebenarnya hanya seorang therapist.." kali ini justru suaraku yang terdengar bergetar. Aku hanya menunduk, tak sanggup menentang tatapan mata indah milik Ningsih.
Ningsih mengerutkan kening mendengar tersebut. Aku yakin, ia cukup terkejut mendenar kejujuranku barusan.
"tapi bagiku, itu tidak merubah apa pun, Bal. Tidak ada bedanya bagiku. Karena aku mencintai kamu dengan apa adanya dirimu.." ucap Ningsih terdengar mantap.
"tapi kita berbeda, Ning. Kita seperti langit dan bumi. Kita tidak akan pernah bisa menyatu.." ujarku sambil menyunggingkan senyum tipis, mendengar kalimatku sendiri, yang mirip sebuah syair itu.
Tapi kemudian senyumku kembali hilang. Ada yang terasa tergores di hatiku.
"bagiku gak ada bedanya, Bal. Mama papa juga tidak mempermasalahkan hal itu.." balas Ningsih lirih.
"iya, aku tahu, mereka baik. Merek tidak pernah memandang seseorang dari status sosial.." ucapku lagi.
"tapi itu saja tidak cukup, Ning. Perbedaan di antara kita terlalu dalam. Kamu jangan pernah mentiadakan kenyataan itu.." lanjutku.
"omong kosong! Itu hanya alasan kamu saja, Bal. Karena sebenarnya kamu tidak pernah mencintaiku, kan?" kali ini suara Ningsih cukup tinggi. Bukan lagi karena melawan suara deburan ombak, tapi karena ia sepertinya sangat kecewa dengan keputusanku.
"aku sangat mencintaimu, Ning..." balasku tegas.
"lalu kenapa kamu ingin kita berpisah? Beri aku alasan yang jelas, Bal.." suara Ningsih mulai memelan kembali.
"karena... karena aku tahu siapa papa kamu, Ning. Beliau bukan orang sembarangan. Apa kata rekan-rekan bisnisnya, jika mereka tahu anak gadisnya berpacaran dengan seorang therapist." suaraku mulai parau lagi.
"aku tidak peduli, sudah berapa banyak kamu membohongiku, Bal. Karena aku tahu, kamu orang baik. Karena aku juga sangat mencintai kamu."
"jika kamu juga mencintaiku, kita akan berjuang bersama, Bal. Kita akan menghadapi semua itu bersama-sama." lembut suara Ningsih. Ia memainkan pasir yang sejak tadi kami duduk di atasnya.
"sejak kecil, aku sudah terbiasa hidup susah. Kerja keras, banting tulang, namun selalu saja nasib tak memihak padaku. Cita-citaku, keinginanku tenggelam, karena aku kurang beruntung sebagai seorang Iqbal di dunia ini."
"tapi sebagai laki-laki dan untuk tetap bertahan hidup, tentu saja aku harus kuat, menghadapi kegagalan demi kegagalan yang aku alami.."
"tapi sekarang, aku hampir tidak yakin pada diriku sendiri, kalau aku akan mampu meraih sedikit saja dari semua keinginanku..."
Aku mengakhiri kalimatku, dengan sebuah helaan napas panjang.
Sekali lagi aku tersenyum kecut, mendengar kalimatku barusan. Aku bak seorang penyair yang kehilangan arah.
"justru itu seharusnya yang membuatmu semakin kuat, Bal.." Ningsih berucap pelan.
"terutama untuk memperjuangkan cinta kita.." lanjutnya.
"entahlah, Ning. Seandainya bukan kamu, mungkin ceritanya akan berbeda.." balasku pilu.
Hatiku benar-benar terasa sakit.
"kamu pengecut, Bal!" tiba-tiba Ningsih berucap cukup keras. Ia bangkit dari duduknya, lalu berdiri memunggungiku.
Aku terdiam sesaat, mencoba menahan rasa sakit di hatiku.
"aku bukan saja pengecut, Ning. Aku bahkan tidak punya nyali, untuk jujur sama kamu dari awal. Aku juga tidak punya nyali, untuk sekedar bermimpi memiliki kamu.." ucapku akhirnya dengan nada sangat pelan.
"kuburlah mimpimu dengan segala rasa takutmu, Bal. Aku pikir kamu lelaki hebat. Aku pikir kamu bisa menjadi pelabuhan terakhirku. Tapi kamu tak lebih dari seorang lelaki frustasi yang terlalu takut menghadapi kenyataan.." Ningsih berucap, sambil mulai melangkah menjauh.
"satu hal yang harus kamu tahu, Bal. Aku akan selalu mencintai kamu, meski hal itu terasa sangat menyakitkan bagiku..." kali ini Ningsih berucap dengan sedikit berteriak, karena ia sudah cukup dariku.
Aku masih terpaku menatapi butiran pasir yang menyelimuti kakiku.
Hatiku hancur. Aku merasa sangat kecewa dengan diriku.
Sekali lagi, nasib tak benar-benar memihak padaku.
Kalian pernah tahu? Mahasiswa frustasi atau profesor senewen?
Aku merasa seperti mereka sekarang. Punya ambisi, punya cita-cita, tapi tidak mungkin merealisasikannya.
Membuat aku semakin merasa sangat tidak berharga.
Mungkin harga diriku memang telah mati, semenjak aku memutuskan untuk menerima tawaran menjadi seorang therapist, dari mas Donald.
Tapi aku melakukan itu semua, demi menyalamatkan nyawa adikku.
Namun apa pun alasannya, aku memanglah sangat tidak pantas untuk mencintai Ningsih.
Bukan saja, karena Ningsih adalah anak orang kaya, tapi juga karena Ningsih gadis baik-baik.
Ia pantas mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dari diriku, yang sudah terlanjur menjadi hina ini.
******
Hari-hari selanjutnya semakin terasa berat bagiku.
Bukan saja karena aku baru saja kehilangan orang yang aku cintai. Tapi karena semakin lama, aku sudah mulai jarang mendapatkan pelanggan.
Apa lagi, semenjak kehadiran therapist baru di tempat kami. Aku tidak lagi punya pamor disana.
"begitulah perputarannya di tempat ini. Saat ada anak baru masuk, maka yang senior-senior seperti kita, akan sering terabaikan.." ucap Regen, menjawab keherananku.
"karena itu juga, mas Donald selalu berusaha mencari therapist-therapist baru, untuk meningkatkan pendapatannya..." lanjut Regen lagi, yang membuatku semakin pilu.
Hutangku pada mas Donald masih separoh lagi. Dan akan terus bertambah dengan bunganya yang terus naik setiap tahun.
Aku baru menyadarinya. Ternyata mas Donald bukan orang yang baik. Ia seperti sengaja menjebakku. Memanfaatkan keterpurukanku.
Seperti apa pun aku berjuang untuk melunasi hutangku padanya, hutang itu tidak akan pernah lunas, karena bunganya hampir separoh dari nilai pinjamanku.
Aku yang cuma lulusan SD, memang tidak menyadari hal itu dari awal.
Tapi itu semua sudah terlanjur terjadi. Aku harus membayar hutang dua kali lipat dari yang aku pinjam.
Aku merasa bodoh dengan semua itu.
Aku pernah mempertanyakan hal tersebut pada mas Donald. Tapi mas Donald justru membuatku semakin terpojok, dengan memperlihatkan surat perjanjianku dengannya, yang salah satu point-nya, ialah bahwa aku bersedia melunasi hutang itu beserta bunganya lima puluh persen, dan akan terus bertambah jika dalam satu tahun aku tidak melunasinya.
Aku bahkan baru menyadari hal itu. Karena mas Donald waktu itu, mampu meyakinkanku, kalau isi surat perjanjian tersebut tidak akan merugikanku. Karena itu, aku tidak membacanya dengan cermat.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih