Dua tahun akhirnya berlalu. Dua tahun hubungan jarak jauh antara aku dan pak Dirman, terjalin. Dua tahun yang cukup berat bagi ku. Berat karena harus menahan rindu kepada pak Dirman. Berat karena harus berpisah ribuan kilo dari nya.
Meski pun komunikasi antara aku dan pak Dirma selama dua tahun tersebut, tetap berjalan dengan lancar. Meski pun selama dua tahun tersebut, hubungan kami tetap baik-baik saja. Namun, bagi ku, hidup terpisah jauh dari pak Dirman, adalah merupakan sebuah penyiksaan bathin yang sangat berat.
Kini setelah dua tahun, dan setelah aku menyelesaikan masa kuliah ku, aku pun akhirnya kembali ke Indonesia. Aku juga sudah mulai bekerja di perusahaan papa ku. Aku kembali ke rumah. Dan aku kembali bersama pak Dirman.
Sesuai janji papa dan mama, pak Dirman masih tetap tinggal dan bekerja bersama kami. Bahkan sekarang, ia kembali menjadi sopir pribadi ku. Yang selalu siap siaga mengantarkan aku ke kantor, atau kemana pun yang aku inginkan.
Hubungan ku dan pak Dirman pun juga semakin erat. Kami kembali sering menghabiskan waktu berdua, terutama saat malam hari. Menikmati indahnya cinta kami. Cinta yang tumbuh begitu subur di hati ku, dan juga di hati pak Dirman.
Aku merasa bahagia menjalani hari-hari ku. Aku merasa beruntung bisa memiliki pak Dirman. Meski pun aku tahu, sampai saat ini, pak Dirman masih berstatus suami orang. Aku tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Karena bagi ku yang penting, pak Dirman masih punya waktu untukku.
Namun, malang tak dapat di tolak, untuk tak dapat di raih. Kemesraan cinta ku dan pak Dirman, pada akhirnya terbentur pada suatu masalah. Masalah yang cukup besar. Masalah yang pada akhirnya, membuat semuanya jadi berantakan.
Pada suatu malam, tak sengaja, papa ku memergoki perbuatan kami. Entah mengapa, malam itu, kami lupa mengunci pintu kamar. Hingga saat papa mencoba untuk masuk, ia langsung menyaksikan adegan memalukan kami berdua.
Papa ku tentu saja marah besar. Ia bahkan sampai memukul ku dan pak Dirman beberapa kali. Hingga suara keributan tersebut, membuat mama juga datang ke kamar ku. Dan mama hanya bisa menjerit histeris, mengetahui semua itu, sebelum akhirnya beliau jatuh pingsan.
Aku dan pak Dirman tidak bisa berbuat apa-apa. Kami hanya bisa pasrah, dan membiarkan papa meluahkan kemarahannya kepada kami.
Sampai akhirnya papa memaksa pak Dirman untuk keluar dari kamar tersebut, setelah mama kembali siuman, dan memaksa aku untuk tetap tinggal di kamar.
Kepala ku begitu sakit, rasanya mau pecah. Bukan karena di pukul papa, tapi karena aku benar-benar merasa takut. Belum pernah sebelumnya, aku melihat mama dan papa semarah itu.
Pada akhirnya, aku tahu, kalau papa dan mama telah mengusir pak Dirman dan keluarga dari rumah kami. Dan aku tidak bisa mencegah hal tersebut. Aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.
"ini adalah kejadian yang sangat memalukan dalam keluarga kita. Papa tidak ingin kabar ini tersebar di luar sana. Sungguh sangat memalukan. Dan mulai sekarang, kamu tidak boleh kemana-mana lagi. Kamu kami kurung di kamar, sampai kami menemukan jalan yang terbaik atas semua kejadian ini.." begitu papa berucap, sebelum akhirnya ia benar-benar mengunci ku di dalam kamar.
****
Semalaman aku tidak tertidur. Rasa penyesalan mulai menyeruak di dalam dada ku. Bukan penyesalan karena hubungan ku dan pak Dirman. Bukan pula karena hubungan kami diketahui oleh mama dan papa. Tapi karena, akibat kejadian tersebut, pak Dirman dan keluarga harus terusir dari rumah kami. Istri dan anak-anak pak Dirman, harus ikut menanggung akibat dari perbuatan kami.
Kini aku tidak tahu, dimana pak Dirman berada? Kemana ia akan pergi? Dan entah istrinya masih mau bersamanya?
Aku juga tidak bisa menghubunginya. Ponsel dan laptop ku juga di sita oleh papa. Aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Aku hanya berharap, semoga pak Dirman dalam keadaan baik-baik saja.
Aku yakin, saat ini, pak Dirman pasti sudah tidak bersama istri dan anak-anaknya lagi. Karena istrinya juga sudah tahu, tentang hubungan kami. Ia pasti tidak bisa memaafkan hal tersebut.
Ingin sekali rasanya aku segera keluar dari kamar ini. Ingin sekali rasanya aku keluar dan mencari pak Dirman. Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin meminta maaf padanya. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Jika aku sendiri terkurung di sini, dalam kepedihan yang teramat sangat.
****
Sudah tiga hari tiga malam, aku di kurung di kamar ku. Mama hanya masuk untuk mengantarkan makanan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku tahu, beliau pasti kecewa, saat tahu siapa anaknya sebenarnya.
Tapi bagi ku itu semua tidak penting. Aku jadi begini, juga karena kesalahan mereka, yang tak pernah memberikan aku kebebasan.
Saat ini, aku hanya ingin keluar dari sini, dan bertemu dengan pak Dirman.
Karena itu aku nekat, membujuk salah seorang pembantu ku, saat ia mengantarkan makan malam untukku, agar ia tidak mengunci pintu. Beruntunglah sang pembantu tersebut mau melakukannya untukku. Mungkin ia juga merasakan kasihan melihat ku.
Saat tengah malam, aku pun nekat keluar dari kamar secara diam-diam. Aku mencari ponsel ku di ruang keluarga. Biasanya mama memang meletakkan ponsel ku di lemari tersebut, apa bila ia menyitanya.
Saat sudah mendapatkan ponsel ku, dan mengambil uang dari dalam tas mama, dengan jumlah yang cukup banyak, aku pun segera menuju pintu keluar. Aku bertekad untuk kabur dari rumah.
Aku tahu, jika aku kabur, papa pasti akan memblokir semua kartu ATM ku. Karena itu, aku mengambil semua uang cash yang ada di dalam tas mama. Aku harus pergi dan mencari pak Dirman.
Setelah merasa cukup aman dan jauh dari rumah. Aku segera menghidupkan ponsel ku dan berusaha menghubungi pak Dirman. Beruntunglah, nomor pak Dirman masih aktif.
"halo pak Dirman.. Pak Dirman dimana sekarang?" tanyaku langsung, saat pak Dirman mengangkat telepon ku.
"saya... saya jauh, nak Bara... di luar kota.." balas pak Dirman sedikit terbata. Mungkin ia kaget, karena aku tiba-tiba menghubunginya.
"katakan saja dimana pak Dirman sekarang, saya akan kesana.." ucapku lagi.
"tapi.." pak Dirman menggantung ucapannya.
"udah.. pak Dirman tenang aja.. Pak Dirman kirim aja alamatnya, ya.. Saya akan menyusul kesana.." aku berucap lagi, berusaha membujuk pak Dirman, agar mau mengatakan keberadaannya saat ini.
"baiklah, nak Bara.." balas pak Dirman akhirnya.
Lalu ia pun segera mengirimkan alamat tempat ia tinggal sekarang. Cukup jauh. Tapi aku tidak peduli. Aku harus bertemu pak Dirman. Aku harus menemuinya. Aku tidak ingin kehilangan dia. Karena aku benar-benar mencintainya.
****
"nak Bara yakin dengan rencana nak Bara?" tanya pak Dirman, saat akhirnya kami bertemu, dan aku menceritakan semua rencana ku padanya.
"saya yakin, pak Dirman. Hanya itu jalan satu-satunya, agar kita tetap bersama selamanya.." balasku yakin.
"tapi... dengan begitu, nak Bara tidak akan pernah bertemu lagi dengan mama papa nak Bara.." ucap pak Dirman lemah.
Aku menghembuskan napas cukup dalam. Ini bukan keputusan yang mudah bagi ku. Tapi aku memang harus membuat pilihan.
Aku memang berencana untuk kabur bersama pak Dirman ke Jerman. Kebetulan, saat kuliah dulu, aku punya beberapa orang kenalan, yang pasti mau menampung kami sementara, sebelum aku mendapatkan pekerjaan di sana.
Pak Dirman juga sudah tidak hidup bersama istri dan anak-anaknya lagi. Sejak kejadian tragis malam itu, istri pak Dirman memutuskan untuk membawa anak-anaknya pulang ke kampung halamannya. Dan ia meminta pak Dirman untuk tidak lagi ikut dengannya. Mereka pun berpisah.
Pak Dirman memutuskan untuk tinggal sendirian sementara di sebuah kamar kost, sebelum ia menemukan pekerjaan baru. Setidaknya begitu lah rencana hidup pak Dirman, sebelum akhirnya aku datang menemuinya.
Kini aku memintanya untuk ikut dengan ku ke Jerman, dan memulai hidup baru kami di sana. Aku memang tidak ingin berpisah dengan pak Dirman. Aku ingin selalu bersamanya. Menghabiskan waktu berdua dengannya, hingga maut memisahkan kamu. Sekali pun resikonya, aku harus berpisah dengan orangtua ku.
"ya udah terserah, nak Bara aja.. saya ikut maunya nak Bara... Tapi.. untuk malam ini, saya mau kita nginap di sini dulu, di kamar kost saya ini. Besok, baru kita urus surat menyurat untuk keberangkatan kita ke Jerman.." balas pak Dirman akhirnya, setelah sangat lama ia terdiam.
Aku pun tersenyum lega mendengar hal tersebut. Aku jadi tak sabar menunggu besok. Aku jadi tak sabar, untuk segera terbang ke Jerman, dan hidup bahagia selamanya di sana bersama pak Dirman, orang yang paling aku cintai saat ini.
****
Keesokan paginya, saat aku terbangung, aku tak melihat pak Dirman di samping ku lagi. Padahal tadi malam, aku tidur dalam dekapannya.
Mungkin ia sengaja bangun duluan, dan sedang mencari sarapan, pikir ku.
Lalu kemudian aku kembali berusaha memejamkan mata, untuk bisa tertidur kembali. Saat akhirnya suara ketukan pintu memaksa ku untuk segera bangkit dan membukakan pintu kamar kost tersebut.
Betapa kagetnya aku, saat kulihat di ambang pintu telah berdiri papa ku dan dua orang pengawalnya.
"dari mana papa tahu aku disini?" tanya ku masih dalam kekagetan.
"pak Dirman.." balas papa santai.
"tapi.." ucapanku tergantung. Pikiranku mulai kacau kembali.
"sudahlah, Bara. Apa pun rencana mu dengan pak Dirman, itu tidak akan pernah terjadi. Sekarang, kamu segera pakai pakaianmu, dan mari ikut pulang bersama papa. Sebelum papa melakukannya dengan cara yang kasar.." papa sengaja memotong ucapan ku.
Dengan perasaan yang tak karuan, aku kembali masuk ke dalam kamar kost tersebut. Aku mencoba menghubungi pak Dirman, tapi nomornya sudah tidak aktif lagi. Aku hanya menemukan secarik kertas berisikan tulisan tangan pak Dirman, di atas meja kamar tersebut.
"maafkan saya, nak Bara. Jika keputusan ku ini membuat nak Bara kecewa dan marah. Tapi percayalah, ini adalah yang terbaik untuk kita berdua. Aku memang sengaja mengubungi papa nak Bara, dan meminta beliau untuk menjemput nak Bara kesini."
"itu semua saya lakukan, demi kebaikan dan masa depan nak Bara. Bukan karena aku tidak mencintai, nak Bara. Tapi justru karena aku sangat menyayangi nak Bara, dan aku ingin yang terbaik untuk nak Bara."
"sekali lagi, maafkan saya nak Bara. Saya tidak pantas untuk nak Bara perjuangkan. Dan pengorbanan yang akan nak Bara lakukan tersebut, terlalu besar untuk orang seperti saya. Saya gak pantas untuk menerimanya."
"terima kasih untuk cinta nak Bara yang begitu besar padaku. Selamat tinggal, dan semoga nak Bara menemukan kebahagiaan nak Bara yang lain, dan itu bukan dengan ku.."
Begitu kira-kira tulisa tangan yang pak Dirman tinggalkan untuk ku. Yang membuat aku merasa hancur untuk kesekian kalinya. Sakit sekali rasanya. Begitu pedih.
"ayo, Bara. Cepat. Jangan sampai papa membuat keributan di sini.." suara lantang papa akhirnya menyadarkan ku, bahwa aku saat ini, sedang berada di dunia nyata, bukan dunia khayal.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih