Aku harus memulainya lagi dari awal.
Namun kali ini, aku punya kebebasan untuk memilih, siapa yang harus aku beri kesempatan untuk mendapatkan pelayanan plus dariku, dan siapa yang tidak.
Sebenarnya jika harus memilih, tidak seorang pun dari pelanggan pijatku yang ingin aku layani, selain pelayanan pijat biasa tanpa embel-embel plus-nya, terutama pelanggan laki-laki.
Namun yang aku kadang tak habis pikir, selalu saja orang yang datang untuk pijat itu, kebanyakan laki-laki dan selalu menginginkan pelayanan plus dariku.
Kadang kebutuhan hidup yang membuatku terpaksa menerima pelanggan dengan pelayanan plus dariku.
Sudah teramat sering aku melakukan hubungan intim dengan banyak laki-laki.
Harus aku akui, kalau aku mulai terbiasa dengan hal tersebut. Dan jujur, kadang ada saat aku merindukan hal tersebut.
Ada sensasi berbeda yang aku rasakan, ketika aku melakukannya dengan seorang laki-laki.
Mungkin memang sudah jalannya seperti ini.
Aku pernah gagal menjalin hubungan yang serius dengan perempuan. Dan aku selalu punya peluang untuk menjalin hubungan dengan laki-laki.
Bukannya sombong, aku bisa dengan mudah memilih siapa saja laki-laki yang aku inginkan.
Tapi tidak mudah menemukan laki-laki, yang bisa membuatku merasa nyaman bersamanya.
Sampai akhirnya aku bertemu bang Hendri.
Bang Hendri baru saja menjadi pelangganku. Kesan pertama yang ia berikan membuatku merasa sedikit nyaman.
Pertama kali ia membooking-ku untuk pijat, ia tidak meminta pelayanan plus padaku.
Bang Hendri masih cukup muda, usianya hanya lebih tua dua tahun dariku.
Kulitnya putih, bersih dan terawat. Wajahnya oriental bak aktor korea.
Bang Hendri memang keturunan China, namun ia sudah sejak lahir tinggal di Indonesia.
Tubuhnya mungil namun cukup berotot dan kekar.
Bang Hendri juga sangat sopan dan ramah.
Namun yang paling membuatku terkesan dengannya, ialah ketika aku mengetahui kalau bang Hendri ternyata adalah seorang polisi.
Aku belum pernah mendapatkan pelanggan seorang polisi sebelumnya. Sehingga kesan yang aku dapatkan dari bang Hendri sungguh sangat dalam.
Beberapa kali bang Hendri melakukan pijat denganku, yang membuat kami kian akrab.
Bang Hendri belum menikah, dan ia tinggal sendirian di kota ini.
"dulu aku tidak suka di pijat, karena aku orangnya gelian..." lembut suara bang Hendri berucap, ketika suatu malam ia kembali membooking-ku.
"namun semenjak aku di pijat sama kamu sejak pertama kali, entah mengapa aku merasa lebih nyaman." lanjutnya lagi.
"kamu terlihat profesional. Kamu lebih mengutamakan tehnik memijat yang baik, ketimbang menebar pesona dengan modus-modus gak jelas, seperti yang banyak di lakukan oleh para therapist lainnya.." bang Hendri berucap lagi, sambil terus menikmati setiap sentuhan tanganku di punggungnya.
Aku sedikit merasa tersanjung dengan kalimat bang Hendri barusan.
Terus terang teramat jarang pelangganku yang memuji cara aku memijat mereka. kebanyakan justru mereka memuji cara aku melayani mereka.
Bang Hendri memang berbeda. Ia juga salah satu pelangganku yang boleh dibilang masih muda dan masih lajang.
Perlahan namun pasti, aku mulai menyukai sosok bang Hendri.
Pertama kali kami melakukan hubungan intim, atas keinginan bang Hendri, aku merasa sangat terpuaskan olehnya.
Permainan bang Hendri memang terasa luar biasa. Aku seolah tak ingin mengakhirinya.
Bang Hendri berhasil membuatku terasa melayang.
Dan harus aku akui lagi, mungkin ini lah pertama kalinya aku benar-benar menikmati hal tersebut.
Selama ini aku hanya berusaha melakukan tugasku sebagai seseorang yang di bayar.
Tapi dengan bang Hendri rasanya berbeda. Aku melakukannya, bukan sekedar karena aku mendapat upah, tapi terlebih karena aku sangat menginginkannya.
Aku berusaha mengimbangi permainan bang Hendri.
"kamu sangat hebat, Bal.." desah bang Hendri di tengah-tengah permainan kami.
"aku belum pernah merasakan keindahan seperti ini sebelumnya.." lanjutnya lagi, sambil sekali-kali ia memejamkan mata.
Aku terus berada tepat di atasnya, memainkan peranku sebagai seorang laki-laki.
Bang Hendri terlihat begitu menikmati permainan yang ku berikan padanya. Wajahnya memperlihatkan rasa yang penuh kebahagiaan.
Setelah pelayaran yang panjang, kami pun akhirnya berlabuh di tepian mahligai kebahagiaan yang sesungguhnya, hampir bersamaan.
Sekali lagi, harus aku akui, kalau bang Hendri memang sangat hebat.
Semenjak pendakian kami pertama kali itu, aku menjadi kian terkesan dengan bang Hendri.
Aku jadi sering mengkhayalkannya.
Tiba-tiba saja ada rindu.
Oh, tidak. Aku tidak boleh jatuh cinta pada bang Hendri.
Itu jelas sebuah kesalahan.
Tapi sepertinya sudah terlambat bagiku, untuk membatasi perasaanku pada bang Hendri.
Wajah pak polisi ganteng itu, sudah sangat sering melintas dalam anganku.
Aku tak bisa lagi membendungnya.
Tapi aku tidak mungkin akan berterus terang pada bang Hendri tentang perasaanku.
Aku cukup sadar diri. Bang Hendri jelas tidak akan mungkin mau menjalin hubungan yang serius denganku.
Dia hanya membutuhkanku untuk memijatnya, dan sekali-kali membuatnya merasakan pendakian yang indah.
*****
Dengan keadaan seperti itu, aku mencoba tetap menjalani hari-hariku seperti biasa.
Bahkan dalam kehidupan sehari-hariku sebagai laki-laki normal, aku kemudian bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis.
Namanya Aida. Gadis manis yang aku ketahui bekerja sebagai seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta.
Aida memang manis. Tapi entah mengapa aku tidak merasakan perasaan apa-apa padanya.
Namun sebagai laki-laki tentu saja aku berusaha menjalin kedekatan dengan Aida.
Apa lagi, Aida sepertinya juga membuka peluang bagiku untuk bisa dekat dengannya.
Sebenarnya aku kenal dengan Aida, adalah karena ia adalah salah seorang teman dekat adikku, Sinta.
Suatu hari aku bertamu ke rumah Sinta, kebetulan di sana juga sedang ada Aida.
Sinta pun memperkenalkan kami berdua.
Dari perkenalkan singkat itu, kami pun melanjutkan perkenalan kami melalui ponsel.
Menurut cerita Aida, ia saat ini sedang berusaha di jodohkan oleh kedua orangtuanya.
"aku belum pernah bertemu dengan orang yang di jodohkan denganku. Tapi aku memang tidak menginginkan perjodohan tersebut." ucap Aida lembut, saat kami bertemu kembali di sebuah kafe.
"kenapa kamu berusaha menolaknya, padahal kamu kan belum bertemu dengan orangnya? Siapa tahu orangnya lebih baik dari yang kamu perkirakan.." balasku ringan.
"bukan masalah siapa orangnya. Tapi rasanya di jaman yang sudah modern ini, tidak ada lagi yang namanya di jodoh-jodohkan.." ujar Aida, sambil ia mulai menyantap makanan yang tadi kami pesan.
"mungkin lebih baik, kalau kamu bertemu dulu dengan orangnya. Baru kamu bisa memutuskan, mau atau tidaknya.." ucapku kemudian.
"iya Itu juga yang sempat aku pikirkan. Setidaknya aku ingin membuat orangtuaku merasa senang.." balas Aida.
Selanjutnya kami lebih banyak diam, tenggelam dengan perasaan kami masing-masing.
*****
Di sela-sela kedekatanku dengan Aida, aku masih sering bertemu bang Hendri.
Kadang bang Hendri tidak hanya sekedar memintaku untuk memijatnya, tapi ia juga sering memintaku untuk menemani berjalan-jalan.
Kami memang sudah sangat dekat, terlebih karena aku memang menginginkan hal tersebut.
Rasanya sangat bahagia bisa bersama bang Hendri sepanjang hari.
"kamu gak apa-apa kan, aku ajak jalan-jalan seperti ini?" tanya bang Hendri suatu hari. Saat itu kami sedang berada di sebuah pantai.
"gak apa-apa lah, bang. Malahan aku suka diajak jalan-jalan sama abang. Jarang-jarang aku dapat liburan gratis seperti ini.." jawabku dengan nada sedikit berkelakar.
"kamu suka liburan gratisnya, atau karena liburannya bersamaku?" tanya bang Hendri lagi.
Ia seperti sengaja memancing perasaanku padanya.
"kalau aku suka nya sama abang, emang boleh?" tanyaku balik, mencoba memancing perasaannya juga.
Di luar dugaanku, bang Hendri justru tertawa ringan.
"emang ada tulisan 'dilarang suka' di dahiku?" ucapnya masih dengan nada berkelakar.
Aku tersenyum mendengar ucapannya itu. Bukan saja karena aku merasa kalimat itu cukup lucu, tapi juga karena itu artinya bang Hendri seperti memberi peluang padaku.
"aku juga suka sama kamu, Bal.." tiba-tiba bang Hendri berucap, setelah untuk beberapa saat kami terdiam.
"tapi rasanya sulit bagiku untuk menjelaskannya padamu. Permintaanku pasti akan sangat sulit kamu terima.." lanjtunya lagi, yang membuatku mengerutkan kening.
"maksud bang Hendri apa?" tanyaku akhirnya.
"orangtuaku sudah sangat ingin aku segera berumah tangga. Bahkan mereka sudah mencarikan jodoh untukku. Tapi aku memang belum ingin menikah saat ini. Aku tidak yakin, apa aku bisa mencintai perempuan?" bang Hendri memulai ceritanya.
"namun sebagai anak yang berbakti, aku mencoba menerima perjodohan tersebut. Dan sialnya bagiku, hal ini terjadi justru saat aku terlanjur jatuh cinta padamu, Bal." bang Hendri melanjutkan.
"aku sebenarnya ingin menjalin hubungan yang serius denganmu, Bal. Tapi aku juga tidak ingin menolak perjodohanku. Dan aku yakin, kamu gak akan ingin menjalin hubungan dengan orang yang sebentar lagi akan menikah."
"aku tidak ingin menyakiti siapa pun, Bal. Aku tidak ingin mengecewakan orangtuaku, aku juga tidak ingin membuatmu terluka akhirnya..."
Bang Hendri kemudian menghela napas panjang.
"jadi mungkin memang lebih baik, kita mulai membatasi perasaan kita masing-masing, sebelum semuanya jadi lebih dalam lagi." lanjut bang Hendri lagi.
Aku terdiam mendengarkan cerita bang Hendri.
Entah apa yang aku rasakan saat itu. Antara bahagia dan juga merasa kecewa.
Bahagia karean akhirnya aku tahu, bang Hendri juga mencintaiku. Namun aku kecewa, karena bahkan kami belum memulai apa-apa, tapi bang Hendri sudah memintaku untuk melupakannya.
Memang berat, merelakan orang yang kita cintai, harus menikah dengan orang lain.
Tapi aku juga tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa memiliki bang Hendri lebih dari sekedar pelanggan pijatku.
"apa kamu bersedia, menjalin hubungan denganku, sementara sebentar lagi aku akan menikah? Dan setelah menikah, tentu saja hubungan kita akan semakin sulit." bang Hendri berujar, sambil kali ini ia menatapku.
Aku membalas tatapan sendu mata indah itu. Namun aku tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Aku tidak tahu jawabannya. Aku tidak ingin menjawabnya.
*****
"aku sudah bertemu dengan mas Hendri, orang yang dijodohkan denganku tersebut.." Aida berucap dengan raut wajah gembiranya.
"lalu?" tanyaku pelan. Aku berharap Hendri yang di maksud oleh Aida, bukanlah Hendri sang polisi yang aku cintai itu.
"lalu, ya... seperti yang kamu katakan, aku sekarang bisa memutuskan..." jawab Aida, masih dengan senyum sumringahnya.
"dan keputusan kamu?" tanyaku lagi, dengan nada penasaran.
"keputusanku, aku mau menikah dengan pak polisi itu ..." jawab Aida lagi, dengan sedikit di iringi tawa renyahnya.
Tubuhku menjadi lemas seketika. Bukan karena Aida yang menerima perjodohan tersebut, tapi lebih karena akhirnya aku tahu, kalau orang yang di jodohkan dengan Aida, adalah orang yang aku cintai.
"kamu kenapa? Kamu cemburu? Sudah terlambat, Bal..." celetuk Aida melihat perubahan di wajahku.
Aku tidak menanggapi pertanyaan bernada kelakar itu. Aku tidak harus menanggapinya.
Namun yang pasti, aku memang cemburu. Tapi bukan karena Aida. Aku cemburu karena bang Hendri.
Entah mengapa aku merasa sakit menyadari hal itu. Padahal aku dan bang Hendri belum punya ikatan apa-apa.
Aku memang mencintai bang Hendri, begitu juga sebaliknya.
Tapi kami sudah sepakat untuk tidak melanjutkan hal tersebut.
"aku gak bisa, bang. Aku tak ingin menjadi orang ketiga di antara kalian.." terngiang kembali pembicaraanku dengan bang Hendri tempo hari.
"iya, aku tahu, Bal. Aku juga tidak ingin membuat kamu terjebak dalam hubungan segi tiga ini.." balas bang Hendri pelan.
"tapi aku akan tetap menjadi pelanggan pijat kamu, Bal. Aku akan tetap mengunjungi kamu, meski pun nantinya aku sudah menikah.." bang Hendri melanjutkan.
Aku terluka dan kecewa.
Untuk pertama kalinya, aku merasakan jatuh cinta kepada seorang laki-laki, namun cintaku harus kandas, bahkan ketika aku belum memulainya.
Ternyata ini jauh lebih menyakitkan dibanding ketika aku harus kehilangan Ningsih, pacar perempuanku.
Tapi aku harus bisa menerimanya. Aku harus bisa merelakan bang Hendri untuk hidup bersama orang lain.
Dan mungkin ini lebih baik, setidaknya aku tidak harus terjebak dalam hubungan yang terlarang.
Aku memang harus melanjutkan hidupku, meski tanpa bang Hendri lagi.
Hubungan kami memang sangat singkat, tapi kesan yang aku dapatkan dari bang Hendri terasa begitu dalam.
Dan yang paling penting dari semua itu, setidaknya aku pernah merasakan kehangatan cinta dari bang Hendri, sang polisi ganteng tersebut.
I Love you, bang Hendri. Kan ku simpan memori bersamanya di dalam lubuk hatiku yang terdalam.
Kan ku jadi kan ia sebagai kenangan yang terindah.
*****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih