Malam itu, aku pun mendatangi rumah Bima, untuk memenuhi undangannya pagi tadi. Bima menyambutku dengan senyum ramahnya. Ia segera mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamu rumahnya.
"diminum kopi nya, mas Malik. Mumpung masih panas." tawar Bima, ketika ia akhirnya kembali dari dapur, dan membawa dua gelas kopi hangat dan sepiring kue basah dan juga beberapa buah pisang.
"iya, Bim.." balas ku sambil mulai meminum kopi yang masih terasa sedikit panas tersebut.
"kue nya juga boleh sekalian di cicipi, mas." Bima berucap lagi.
Dengan perasaan masih merasa sungkan aku pun mencoba mencicipi kue tersebut.
"gimana, mas? Enak kue nya? Itu buatan saya sendiri loh.." ucap Bima kemudian.
"wah ini sih enak banget, Bim.." balas ku berusaha sesantai mungkin.
Bima terlihat tersenyum puas, mendengar ucapan ku barusan. Jujur, kue itu memang terasa sangat enak di lidah ku. Apa lagi, aku memang jarang-jarang makan kue seperti itu.
"kalau pisang, gak suka ya, mas?" tiba-tiba Bima berucap lagi, dengan suara sedikit tertahan.
"suka.. tapi, saya kan sudah sering makan pisang, Bim. Kalau kue enak kayak gini sih jarang.." balasku, terasa mulai akrab.
"saya malah sangat suka pisang, mas. Apa lagi pisang mas Malik..." Bima sengaja memelankan suaranya, hingga hampir tidak terdengar, entah untuk tujuan apa.
"maksudnya, Bim?" tanya ku dengan kening berkerut.
"gak apa-apa, mas. Lupakan aja.. saya cuma bencanda, kok." balas Bima terlihat serba salah.
"oh, ya udah... tapi.. ngomong-ngomong, kamu mau cerita apa, Bim? Ngundang saya datang kesini? Masa' iya, cuma mau ngobrolin soal pisang..." ucapku menanggapi kalimat Bima barusan.
"hmm... sebenarnya.. ada sih yang aku sampaikan sama mas Malik.. tapi kayaknya, waktunya kurang tepat.." balas Bima akhirnya.
"ada apa sih, Bim? Saya jadi penasaran loh.." ucapku dengan mimik wajah penuh rasa ingin tahu.
"nanti aja lah, mas. Kita ngobrol yang lain aja dulu.." balas Bima terdengar serius.
"oh.. ya udah.." ucapku singkat.
Untuk sesaat suasana hening pun tercipta di antara kami. Aku diam. Bima diam. Kami sama-sama terdiam. Tiba-tiba saja suasana menjadi kaku.
"oh, ya, Bim. Kalau boleh saya tahu, kenapa... kamu harus pisah dari istri mu?" tanyaku akhirnya, setelah cukup lama kami saling terdiam.
"panjang ceritanya, mas.." balas Bima pelan.
"kamu cerita aja, Bim. Saya siap mendengarkannya. Siapa tahu, dengan bercerita bisa sedikit mengurangi beban kamu.." ucapku lagi.
"sebenarnya sudah gak ada beban lagi sih, mas. Saya sudah ikhlas dengan semua itu. Lagi pula, itu memang jalan terbaik buat kami.." balas Bima.
"emangnya sudah berapa lama kalian bercerai?" aku bertanya kembali.
"sudah hampir setahun. Kabarnya malah sekarang mantan istri saya udah mau nikah lagi.." balas Bima dengan suara pelan.
"jadi kalian pisah secara baik-baik gitu?" aku kembali bertanya.
"yah.. begitulah kira-kira." balas Bima.
"sebenarnya kami juga menikah bukan karena saling cinta. Tapi karena kami dijodohkan oleh kedua orangtua kami. Pernikahan kami berjalan dengan baik, awalnya. Bahkan kami sudah menghasilkan dua orang anak."
"tapi.. semakin lama, kami semakin merasa tidak bahagia. Rasanya begitu hambar. Setelah bertahun-tahun hidup bersama. Aku tidak berhasil untuk jatuh cinta pada istri ku. Begitu juga sebaliknya. Kami mulai merasa rumah tangga kami kian hampa."
"jadi bercerai adalah jalan terbaik bagi kami. Dari pada kami terus menyiksa diri, dengan terus berpura-pura, kalau rumah tangga kami baik-baik aja.." Bima melanjutkan ceritanya.
"saya malah jadi penasaran, setelah bertahun-tahun hidup serumah, dan bahkan sudah punya dua anak, tapi tetap aja kamu gak bisa mencintai istri kamu. Kenapa bisa begitu ya?" tanyaku dengan nada penasaran.
"yah.. namanya perasaan kan memang gak bisa dipaksakan, mas. Lagi pula, aku ini memang berbeda dari laki-laki pada umumnya.." balas Bima.
"berbeda, maksudnya?" aku semakin penasaran.
"sulit untuk diceritakan, mas. Tapi kalau mas Malik bisa jaga rahasia, saya pasti akan cerita.." balas Bima kemudian.
"kamu cerita aja, Bim. Saya jamin rahasia kamu aman sama saya.." ucapku dengan nada serius.
****
"sebenarnya aku ini seorang gay, mas. Sudah lama aku menyadari itu semua. Bahkan jauh sebelum aku di jodohkan dan menikah dengan istri ku. Tapi selama ini, aku selalu memendam hal tersebut. Terlalu banyak hal yang harus aku jaga. Terutama kehormatan orangtua ku."
"biar bagaimana pun, aku ini anak tunggal, mas. Hanya aku satu-satunya harapan orangtuaku, untuk melanjutkan keturunan kami. Itu juga yang menjadi alasan ku, kenapa aku mau di jodohkan."
"selain itu, aku juga berharap, dengan menikah, aku bisa berubah, dan tidak lagi menyukai laki-laki, seperti yang aku alami selama sebelum aku menikah. Meski selama itu, aku tidak pernah sekali pun pacaran dengan laki-laki, aku hanya bisa memendamnya."
"namun ternyata hal itu gak mudah. Setelah bertahun-tahun aku berusaha memendam semua itu. Aku berusaha untuk berubah, tapi kenyataannya, aku justru semakin merasa tersiksa. Aku merasa tidak menjadi diri ku sendiri. Dan yang pasti, aku tidak merasa bahagia sama sekali. Karena itu juga sebenarnya, aku ingin bercerai dari istri ku."
"kini aku telah bebas dari pernikahan yang tanpa cinta. Kini aku telah bebas untuk menjadi diri ku sendiri. Meski sampai saat ini, aku masih belum berani untuk membuka jati diri ku, kepada siapa pun."
"namun semenjak bertemu mas Malik, aku jadi punya perasaan tersendiri terhadap mas Malik. Aku mulai menyukai mas Malik. Hampir setiap malam, aku selalu memikirkan mas Malik. Aku ingin sekali bisa memiliki mas Malik. Dan hanya kepada mas Malik lah, aku berani menceritakan ini semua.."
Begitulah cerita Bima panjang lebar, yang membuat aku terperangah, terdiam, dan sedikit syok. Aku benar-benar tidak menyangka semua itu. Aku tidak menyangka kalau Bima adalah seorang gay, dan lebih tidak aku sangka lagi, kalau diam-diam selama ini dia menyukai ku.
"oke... saya coba pahami perasaan kamu, Bim. Tapi, kamu tahu kan, kalau aku sudah menikah?" ucapku akhirnya, setelah tidak tahu lagi harus berkata apa.
"iya, aku tahu. Aku gak berharap bisa memiliki mas Malik seutuhnya, meski keinginan itu ada. Aku hanya ingin mas Malik tahu, tentang perasaan ku ini. Karena aku sudah tidak sanggup memendamnya lagi. Aku juga belum pernah mengungkapkan perasaan ku pada laki-laki sebelumnya, ini adalah pertama kalinya bagi ku.." balas Bima.
"dan kamu memanfaatkan kesempatan ini, karena kamu sudah banyak membantu ku selama ini. Bahkan kamu sudah meminjamkan aku uang 10 juta, tanpa jaminan apa-apa. Tentu saja kamu yakin, kalau aku gak mungkin berani menolak.." ujar ku sedikit sinis.
"bukan begitu konsepnya, Mas. Mungkin benar, aku memanfaatkan kesempatan ini. Tapi bukan untuk tujuan seperti itu. Aku memanfaatkan kesempatan ini, hanya untuk agar aku lebih berani untuk jujur dengan perasaan ku, bukan untuk agar aku bisa memiliki mas Malik.." jelas Bima membalas.
"lalu sekarang apa?" tanya ku tanpa arah.
"sekarang semua terserah mas Malik. Sekali lagi aku tegaskan, aku hanya ingin mas Malik tahu tentang perasaan ku. Dan kalau pun mas Malik gak suka, mas boleh pergi kok.." balas Bima lagi.
"yah.. gak segampang itu juga, Bim. Biar bagaimana pun, aku sudah berhutang budi sama kamu. Tapi, aku juga gak mungkin bisa membalas perasaan kamu. Hal ini justru membuat aku semakin bingung.." timpal ku kemudian.
"dari awal sudah aku katakan, mas. Mas Malik gak usah merasa berhutang budi. Aku tulus kok, membantu mas Malik. Yah... Mungkin aku melakukannya, karena memang aku mencintai mas Malik. Tapi cintaku ini tulus loh, mas. Aku tidak mengharapkan apa-apa dari mas Malik. Selama mas Malik bahagia, aku juga turut bahagia.." ucap Bima kemudian.
"tapi aku yang jadi gak enak sama kamu, Bim. Aku jadi merasa jahat. Tadinya aku pikir, akan lebih mudah bagiku, untuk tidak merasa berhutang budi sama kamu, jika kita hanya berteman saja. Tapi setelah aku tahu perasaan kamu, aku jadi serba salah..." aku berujar, sambil sedikit menarik napas.
Ada yang terasa begitu berat di hati ku tiba-tiba. Ada perasaan bersalah. Ada rasa penyesalan. Dan aku seakan berada di antara dua pilihan yang sangat sulit. Andai aku bisa memutar waktu, mungkin akan lebih baik, kalau aku tidak pernah bertemu Bima sama sekali.
****
Dan waktu pun masih terus berputar. Istri ku akhirnya selesai di operasi. Anak kedua kami lahir dengan selamat. Tapi istri ku harus menjalani pengobatan lebih lanjut, pasca melahirkan. Menurut keterangan dokter, istri ku mengalami pendarahan serius, setelah operasi.
Ia harus menjalani pemeriksaan oleh dokter lebih lanjut. Hal itu cukup membuat aku merasa cemas. Keadaan istri ku tidak kunjung membaik. Meski pihak rumah sakit sudah berusaha semampu mereka. Hingga akhirnya istri ku dinyatakan sudah meninggal dunia oleh dokter, karena pendarahan.
Aku tertunduk lesuh mendengar kabar itu. Aku belum siap untuk kehilangan istri ku. Apa lagi mengingat, anak-anak kami masih kecil-kecil. Bahkan anak kedua kami, masih belum genap berusia satu hari. Dan istri ku harus pergi secepat itu. Rasanya dunia ku hancur berantakan.
Aku jadi kehilangan kendali. Aku sempat mengamuk di rumah sakit. Tapi pihak rumah sakit berusaha untuk menenangkan ku. Aku juga tidak tahu lagi mesti ngapain sekarang. Dunia menjadi gelap bagi ku. Aku kehilangan arah.
Bagaimana bisa aku membesarkan kedua anak ku, tanpa istri ku? Bagaimana bisa aku melanjutkan hidupku, tanpa istri ku? Bagaimana hari-hari ku, tanpa dia? Oh.. sakit sekali rasanya. Begitu pedih.
Beruntunglah Bima datang waktu itu, setelah aku mengabarinya. Aku sengaja mengabari Bima, karena aku tidak tahu lagi, harus mengadu kepada siapa. Aku tidak punya keluarga lain di kota ini. Hanya Bima satu-satunya orang yang dekat dengan ku saat ini. Karena itulah, ia orang pertama yang aku hubungi.
Dan setelah Bima berhasil menenangkan ku, kami pun segera mengurus segala sesuatunya. Biar bagaimana pun, orangtua dan keluarga istri ku harus tahu hal tersebut. Karena itu, aku pun segera mengabari mereka, dan juga pihak keluarga ku yang berada di kampung.
Setelah mengurus segala sesuatunya, dengan di bantu Bima tentunya, akhirnya jenazah istri ku sudah bisa dibawa pulang, demikian juga anak ku.
Dan dengan di bantu para tetangga, dan juga beberapa orang teman kenalan ku, pemakaman istri ku pun dilakukan sore itu, tanpa menunggu pihak keluarganya datang. Yang kemungkinan besarnya mereka tidak akan datang. Mengingat hubungan kami yang kurang baik selama ini. Mengingat betapa mereka tidak setuju dengan pernikahan kami.
Tapi bagiku, itu semua juga tidak penting lagi. Hadir tidak hadirnya mereka, tidak akan membuat istri ku hidup kembali. Semua sudah terjadi, dan aku harus menerima semua itu dengan lapang dada. Aku hanya berharap, semoga aku kuat menjalani semua ini.
Proses pemakaman itu berjalan dengan baik, di iringi dengan deraian air mata di pipiku, yang tak kunjung berhenti, melihat tubuh istriku yang dimasukan ke liang lahat. Rasanya aku belum sanggup menghadapi ini semua sendirian.
"mas Malik yang kuat, ya..." begitu suara Bima coba menghiburku.
"makasih ya, Bim.." balasku sedikit serak.
Bima terlihat berusaha membuatku tenang. Ia berusaha untuk selalu mendampingi ku. Ia berusaha untuk membantu ku, dalam menghadapi itu semua. Sehingga aku tidak merasa sendirian. Dan hal itu cukup membuat aku merasa kuat.
Mungkin inilah jawabannya, kenapa aku harus dipertemukan dengan Bima. Mungkin kehadirannya memang sangat aku butuhkan. Mungkin untuk inilah dia datang dalam hidupku. Menjaga saat aku merasa rapuh.
Kehadiran Bima di sisi ku, di saat aku benar-benar membutuhkan seorang teman, mampu membuat aku merasa cukup kuat. Aku jadi tidak merasa sendirian. Bima sangat banyak membantu ku, dalam melewati semua proses tersebut.
Aku tahu, Bima melakukan semua itu, karena ia memang mencintai ku. Mungkin ia juga ingin membuktikan, betapa tulusnya perasaannya padaku. Dan aku menyadari sekali hal itu. Aku menyadari, jika cinta Bima untuk ku benar-benar tulus. Meski tetap saja, hal itu tidak membuat aku jadi punya perasaan padanya, selain hanya sebagai teman.
Kalau saja Bima tidak punya perasaan sebesar itu untukku, mungkin ia juga tidak akan sepeduli itu padaku. Mungkin ia juga tidak akan rela melakukan semua itu, demi membuat aku merasa kuat.
Dan begitulah Bima, dengan segala cintanya untuk ku. Aku tidak tahu, akan bagaimana hubungan kami ke depannya. Namun yang pasti, saat ini, dan mungkin untuk selanjutnya, aku sangat membutuhkan Bima dalam hidup ku. Apa lagi setelah istri ku tiada.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih