Langsung ke konten utama

Adsense

Dokter ganteng si pencuri hati (part 2)

Hari-hari selanjutnya, aku dan dokter Adi semakin sering melakukannya.

Kami melakukannya bukan saja di kamarku, tapi juga, dokter Adi sering mengajakku ke kota dan menginap di hotel dan bahkan pernah juga di rumahnya.

Aku semakin tergila-gila pada dokter ganteng itu. Aku semakin enggan untuk berpisah darinya.

Sehari saja aku tidak melihatnya, aku merasa begitu merindukannya.

Dokter Adi sudah menjadi bagian penting dalam hidupku. Hari-hariku terasa begitu sempurna saat bersamanya.

Aku berusaha menjadi pasangan yang sempurna untuk dokter Adi. Aku berusaha untuk selalu memenuhi setiap keinginannya. Aku berusaha memberikannya pelayanan yang terbaik.

"kamu luar biasa, Randi. Aku semakin menyayangimu. Kamu tahu, bagaimana caranya membuat aku terbuai dengan cintamu yang indah.." ucap dokter Adi suatu malam padaku. Saat kami bertemu kembali untuk kesekian kalinya di sebuah hotel mewah.

Aku hanya tersenyum mendengar penuturan dokter Adi barusan. Bagiku semua yang aku lakukan untuknya selama ini, sudah cukup mewakili perasaanku padanya.

"andai saja bisa, aku ingin kamu yang menjadi istriku.." lanjut dokter Adi lagi, yang membuatku semakin tersanjung.

"kamu jangan pernah tinggalkan aku ya, Randi. Walau apapun yang akan terjadi nantinya.." dokter Adi berucap lagi, kali ini ia menggenggam tanganku erat.

"iya, mas. Aku akan selalu ada buat kamu.." balasku akhirnya mengeluarkan suara.

Kebahagiaan bagiku adalah bisa bersama dengan orang yang aku cintai. Meski hubungan kami tetaplah hanya sebuah rahasia.

Tiada siapa pun yang tahu. Kami selalu berusaha bersikap biasa saja, saat berada di depan orang-orang.

Meski kedekatan kami selama ini, cukup menarik perhatian orang-orang disekitar kami. Apa lagi status kami yang sama-sama masih jomblo.

Tapi kami tidak begitu mempedulikan hal tersebut. Bagi kami, selagi kami tidak merugikan siapa pun, hal tersebut tidaklah akan terlalu menjadi masalah.

Selama kami masih bisa menutupi tentang hubungan kami, semua akan baik-baik saja.

Hingga hampir dua tahun hubungan indah kami berjalan.

"papa mama ingin aku segera menikah, Ran." ucap dokter Adi, saat kami sedang berduaan di dalam mobilnya.

Aku memutar kepala menatap wajah dokter Adi yang terlihat serius saat itu.

"mereka sudah punya calon untukku. Mereka memberi aku waktu seminggu untuk memikirkan hal tersebut. Aku sudah tidak punya alasan lagi untuk menolak. Mengingat usiaku sendiri sudah kepala tiga dan aku juga sudah mapan." dokter Adi melanjutkan kalimatnya, tanpa menoleh sedetik pun padaku.

Entah mengapa mendengar hal itu, hatiku terasa terhiris. Aku tidak rela, dokter ganteng itu, menikah dengan orang lain. Tapi aku bisa apa?

Kami mungkin memang saling mencintai, tapi untuk tetap bisa bersatu, rasanya hal itu sangat mustahil.

"kamu gak marah kan, Ran. Kalau aku menikah..?" tanya dokter Adi, setelah kami terdiam beberapa saat.

Aku mengalihkan pandanganku, menatap jalanan yang begitu ramai. Namun hatiku terasa pilu.

Aku terlalu mencintai dokter Adi. Tidak mudah bagiku untuk merelakannya hidup bersama orang lain.

Namun sekali lagi, aku bisa apa?

"kalau pun aku menikah, kita masih bisa tetap bersama kok, Ran. Kita akan tetap bertemu seperti biasa. Aku janji, aku gak bakalan berubah. Kamu tetap yang terbaik bagiku, Ran. Aku sangat menyayangimu."

Suara dokter Adi terdengar mulai serak ditelingaku.

Aku meliriknya sekilas, wajah itu terlihat muram. Dan aku gak tega melihatnya.

Hatiku terasa sakit mendengar ia akan menikah. Namun aku merasa lebih sakit lagi, jika melihat ia berwajah murung seperti itu.

Aku hanya ingin dokter Adi bahagia. Meski aku tidak benar-benar tahu, bagaimana caranya membuat ia bahagia.

Aku tahu, saat bersamaku, aku merasakan dokter Adi begitu bahagia. Aku tahu dia menyayangiku. Tapi kami juga sama-sama tahu, kalau hubungan kami tidak akan pernah mendapat restu dari siapapun.

Dan jika dokter Adi terpaksa harus menikah dengan orang yang tidak ia cintai, tentu saja hal itu tidak akan membuat dia bahagia.

Seikhlas apa pun aku melepaskannya, kebahagiaan dokter Adi adalah bersamaku.

"aku sangat mencintai kamu, Ran. Aku mungkin terlalu mencintai kamu. Tapi aku juga tidak bisa melawan takdir. Aku juga tidak bisa menolak keinginan kedua orangtuaku." suara dokter Adi semakin serak.

Aku beranikan diri menatap wajahnya kembali, aku melihat mata itu mulai berkaca.

Dokter Adi masih terus fokus menatap lurus ke depan, sambil terus menyetir mobilnya.

 

"sebagai laki-laki aku memang harus menikah. Aku harus menjalani takdirku. Meski aku tidak pernah menginginkannya sama sekali. Andai bisa memilih, aku hanya ingin hidup berdua bersama kamu, Ran. Aku tidak ingin berpisah denganmu. Dan aku tidak ingin menyakiti kamu.." kali ini dokter Adi menoleh sekilas ke arahku, lalu kembali fokus ke depan. Matanya kulihat semakin berkaca.

Perlahan setetes air matanya pun jatuh. Dokter Adi menarik napas panjang, seperti mencoba menenangkan pikirannya sendiri.

"aku hanya berharap, kamu tetap mau bersamaku, meski nantinya aku sudah punya istri. Kamu tetap yang pertama bagiku, Ran. Pernikahanku nantinya hanyalah sebuah status..." dokter Adi menarik napas lagi, kali ini lebih pendek.

Ia mengusap pipinya beberapa kali, lalu menatapku dan menyunggingkan senyum tipis.

Aku merasa tersayat melihat itu semua.

Aku memang sangat mencintai dokter Adi. Namun membayangkannya tidur bersama orang lain, adalah hal paling menyakitkan bagiku.

Dokter Adi hanya milikku, dan aku tidak rela jika tubuh kekar harus disentuh orang lain. Aku benar-benar tidak rela!

Namun aku juga tidak rela, melihat dokter Adi yang terjebak dalam dilema hidupnya. 

Sebagai orang yang mencintainya, sudah seharusnya aku bisa bersikap bijak.

Aku tidak seharusnya, mempertahankan ego-ku. Aku harus bisa merelakan dokter Adi menikah dengan orang lain, asal dia tetap punya waktu untukku.

"aku tidak tahu harus ngomong apa, mas Adi. Aku terlalu mencintai mas Adi. Aku yakin, tidak ada seorang manusia pun yang rela melihat orang yang ia cintai hidup bersama orang lain. Tidak satu pun, mas! Tapi aku tahu, mas terpaksa melakukan semua itu." suaraku bergetar hebat, menahan gejolak di hatiku. Rasanya begitu perih. Tanpa sadar air mataku pun jatuh menetes.

Tiba-tiba dokter Adi memarkir mobilnya ke pinggir jalan, lalu ia beucap.

"aku mohon, Ran. Kamu jangan menangis..." dokter Adi nekat menggenggam kedua tanganku di dalam mobil itu, meski kendaraan ramai berlalu lalang.

"aku mencintai kamu. Dan sangat mencintai kamu. Tidak ada yang akan mengubah hal itu.." dokter Adi melanjutkan kalimatnya dengan tegas.

Lalu perlahan ia mengusap air mata di pipiku yang semakin deras.

Dokter Adi mengecup keningku lembut, lalu kemudian ia mendekap erat.

"kita akan tetap bersama, Ran. Walau apapun yang akan terjadi. Tidak akan ada yang bisa memisahkan kita. Percaya padaku..." dokter Adi membisikkan kalimat itu di telingaku, yang membuatku semakin terluka.

Rasanya begitu sakit. Aku tak sanggup menahannya lagi. Air mataku semakin tumpah. Aku membalas dekapan dokter Adi lebih erat. Aku tidak ingin kehilangan dokter ganteng itu. Seluruh jiwaku telah kuserahkan padanya.

Tapi siapa yang bisa melawan takdir?

Kami sama-sama tidak berdaya. Kami hanya manusia biasa, yang mencoba mengikuti kata hati kami sendiri. Meski kami harus terluka karenanya.

Oh, cinta? Dia yang begitu termasyhur, begini menyakitkankah?

Tidak berhakkah aku? Tidak berhakkah aku untuk hidup bersama orang yang aku cintai?

Mengapa takdir begitu kejam menyiksa perasaan kami berdua?

Kami tidak ingin seperti ini. Kami tidak ingin untuk saling jatuh cinta. Tapi kami juga tidak mungkin membohongi hati kami sendiri, jika kami memang saling membutuhkan.

Cinta kami tumbuh begitu saja, tanpa pernah kami rencanakan.

Dan sekarang seakan takdir mencoba memisahkan kami.

Aku terhenyak menyadari itu semua. Rasanya sangat tidak adil, bagi kami.

Namun sekali lagi, kami hanya manusia biasa. Kami tetap tidak mampu melawan takdir.

Yang bisa kami lakukan saat ini, hanyalah pasrah dan merelakan segala takdri yang terjadi.

Mungkin memang harus seperti ini. Tapi kami berjanji akan tetap bersama, meski tentu saja, ke depannya semuanya akan berbeda. Semuanya tidak akan lagi sama.

Biar bagaimana pun dokter Adi memang harus menikah, dan aku harus bisa merelakannya.

*****

Beberapa minggu kemudian, dokter Adi pun resmi menikah dengan gadis pilihan orangtuanya.

Aku dengan sangat berat hati, terpaksa menghadiri pesta pernikahannya.

Hatiku sudah dipenuhi oleh sayatan luka yang begitu perih. Tak sanggup rasanya melihat dokter Adi bersanding bersama orang lain.

Tapi aku harus tegar. Aku haru kuat, setidaknya demi dokter Adi sendiri.

Bukankah kami akan tetap bisa bersama setelah ini. Setidaknya hal itulah yang membuatku tetap mampu menahan rasa perih dihatiku.

Sekuat mungkin aku berusaha menahan air mataku, agar tidak tumpah saat memberikan ucapan selamat pada dokter Adi dan istrinya.

Pernikahan dokter Adi memang meninggalkan luka yang teramat dalam di hatiku. Namun aku tidak ingin berlarut-larut dalam hal itu.

Karena seminggu setelah pernikahannya, dokter Adi menghubungiku dan memintaku untuk menemuinya di sebuah hotel, seperti biasa.

Antara rasa perih di hatiku, aku pun menemuinya.

Kami tidak terlalu banyak bicara, karena kami takut, setiap kata yang keluar, hanya akan menambah rasa sakit di hati kami.

Malam itu, kami hanya saling melepaskan rindu. Kami melepaskan segala rindu yang terasa sangat lama terpendam. Kami melepaskan rindu, seakan-akan kami telah terpisah bertahun-tahun.

Kami terbang bersama, mencapai keindahan yang hakiki. Terbuai dalam manisnya sebuah rasa.

Gelora cinta kami yang menggebu, menghadirkan rasa indah yang tak kira. Rasanya jiwaku melayang, melambung tinggi ke atas awan yang penuh bunga-bunga kasih.

Kami enggan saling lepas, tak ingin saling mengakhiri. Kami ingin selamanyan seperti ini. Bersama dalam buaian mimpi yang indah.

Cinta kami menyatu padu. Terbaur dalam sebuah rasa. Hingga rasa lelah pun menghampiri kami berdua, dan kami pun terhempas dalam lautan keindahan cinta yang sempurna.

"terima kasih.." bisikku di telinga dokter ganteng itu.

Dokter Adi tersenyum, yang terlihat masih canggung dimataku.

Aku tahu, rasa bersalah masih menyelimuti hati dokter Adi. Tapi aku coba mengabaikannya. Aku tidak ingin ada rasa apapun yang merusak kebahagiaan kami malam itu.

"mas sudah melakukan hal itu dengan istri mas?" tanyaku akhirnya dengan nada cemburu.

Aku tidak mampu menahannya. Seminggu ini, bayangan dokter Adi bersama istrinya terus menghantui pikiranku. Sebait luka tercipta setiap kali aku mengingat hal itu.

Dokter Adi menatapku sendu.

"apa itu penting untuk dipertanyakan?" jawabnya, sesendu tatapannya.

"aku hanya ingin tahu, mas.." suaraku lemas. Dari jawaban dokter Adi barusan, aku sudah bisa menebak. Dan hatiku terhiris kembali.

Oh, ternyata aku tidak sekuat itu.

Ingin rasanya saat itu, aku memaki dokter Adi, karena telah membiarkan orang lain menyentuh tubuhnya.

Ingin rasanya aku membencinya. Tapi cintaku terlalu kuat. Cintaku yang kuat justru membuatku lemah.

Air mataku menetes tanpa sadar, mengingat itu semua.

"kamu kenapa menangis?" tanya dokter Adi sambil menyentuh pipiku.

Aku melepaskan diri, lalu segera bangkit dan melangkah menuju kamar mandi.

Aku tidak ingin dokter Adi tahu, apa yang aku rasakan sebenarnya. Karena kami sudah berjanji, untuk tidak membahas hal tersebut.

Aku membersihka muka, lalu berjalan kembali ke arah ranjang, lalu duduk di tepian ranjang membelakangi dokter Adi, yang masih terbaring di ranjang.

"jadi mas Adi gak bisa nginap malam ini?" tanyaku pelan.

Aku mendengar dokter Adi bangkit dari rebahannya. Perlahan aku merasakan ia mendekapku dari belakang.

"aku harus pulang, sayang. Aku belum bisa menginap untuk saat ini. Kamu yang sabar, ya. Pasti akan tiba saatnya nanti, kita bisa bersama lagi.." bisik dokter Adi di telingaku.

Bisikkan itu mampu meluluhkan hatiku.

Dokter Adi mengecup pundakku lembut. Lalu ia pun segera bangkit dan segera memakai pakaiannya kembali.

Ia pamit dengan masih menghadiahiku sebuah kecupan manis di keningku.

Aku dengan berat hati melepaskan kepergiannya. Terlintas kembali di benakku, bayangan tubuh dokter Adi dalam dekapan sang istri.

Hatiku terhiris kembali. Namun aku segera menepis semua itu.

Mungkin aku memang harus terbiasa dengan semua ini. Aku harus terbiasa berbagi dengan istri dokter Adi.

Aku harus terbiasa, hanya bersama dokter Adi pada saat-saat tertentu.

Aku mungkin yang pertama di hati dokter Adi. Tapi harus aku akui, jika aku hanya yang kedua dalam kehidupannya sehari-hari.

Biar bagaimana pun, dokter Adi, memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama istrinya di rumah.

Sakit, sih, sebenarnya menjalani ini semua. Tapi cintaku kepada dokter Adi terlalu besar.

Aku rela menahan rasa sakit ini, asal dia masih punya waktu untukku.

*******

Setahun kemudian, istri dokter Adi pun melahirkan putra pertama mereka.

Selama masa kehamilan sang istri, aku dan dokter Adi memang semakin jarang bertemu.

Aku mengerti, karena sang istri memang sangat membutuhkan dokter Adi untuk selalu berada bersamanya.

Aku pun tidak terlalu terbebani oleh hal itu. Selain karena memang sudah terbiasa, aku juga sedang sibuk menyelesaikan tahun terakhirku di kampus.

Saat aku wisuda, dokter Adi datang untuk memberikan selamat kepadaku. Aku pun sekalian memberikan selamat kepadanya, atas kelahiran anak pertamanya.

Hubungan kami saat ini, memang lebih terasa seperti hubungan dua sahabat. Kami sudah jarang bertemu di hotel.

Meski ada saatnya, kami masih melakukan hal tersebut. Dan bahkan kami juga sampai menginap.

Intensitas pertemuan kami memang semakin berkurang, namun kualitas hubungan kami semakin membaik.

Aku sudah mulai bisa menerima semua itu. Dan bahkan aku sekarang, jadi sering main ke rumah dokter Adi. Aku dan istri dokter Adi juga sudah mulai dekat.

Apa lagi semenjak kehadiran anak pertama mereka. Aku jadi punya alasan untuk berlama-lama di rumah sang dokter.

******

Selulus kuliah, aku pun mendapatkan sebuah pekerjaan.

Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta.

Kebetulan sekali, tempat aku bekerja tidak begitu jauh dari rumah dokter Adi dan istri.

"kalau gitu, kamu tinggal disini aja, Ran.." ucap istri dokter Adi menawarkan.

"iya, Ran. Aku setuju. Tapi kalau kamu bersedia, sih." dokter Adi ikut menimpali.

Aku tentus saja dengan senang hati menyetujuinya.

Setidaknya dengan begitu, aku bisa setiap hari bertemu dengan dokter Adi.

Setelah meminta izin kepada Ibuku, aku pun pindah ke rumah dokter Adi.

Di rumah itu, aku diberi sebuah kamar yang cukup luas. Kamar itu berada berdampingan dengan kamar dokter Adi dan istri.

Di rumah itu, ada beberapa orang pembantu yang tinggal disana.

Istri dokter Adi ternyata juga seorang wanita karir. Dia juga jarang di rumah.

Awal-awal aku tinggal disana, semua berjalan biasa saja.

Namun setelah beberapa minggu, tiba-tiba suatu malam dokter Adi diam-diam menyelinap ke kamarku.

"mas Adi ngapain?" tanyaku dengan kening berkerut.

Menurutku tindakan dokter Adi cukup nekat.

"aku kangen kamu, Randi..." ucapnya berbisik.

"tapi, mas.." selaku lebih pelan.

Dokter Adi segera menghentikan ucapanku, dengan telunjuknya.

Lalu ia menyentuh dan mengelus pipiku lembut. Aku merasakan hangatnya tangan kekar itu.

Kami memang sudah lebih dari sebulan tidak melakukan hal tersebut.

Aku sebenarnya juga sangat merindukan dokter Adi. Tapi selama ini aku selalu berusaha untuk menahan semua itu.

Namun malam ini, dokter Adi ada dihadapanku lagi.

Sekali lagi, kami pun saling melepaskan rindu.

Dokter Adi masih seperti dulu, dia masih begitu hangat.

Aku dan dokter Adi kembali merasakan sensasi keindahan sebuah cinta yang sempurna.

Dokter Adi memang luar biasa. Ia selalu mampu membuatku hanyut dalam gelora sebuah rasa yang tak terkira. Aku selalu dibuatnya terbuai.

Dan hal itu yang membuatku tidak pernah mampu untuk melupakannya.

Sensasi keindahan yang diberikannya, memang benar-benar sangat istimewa.

Aku merasa nyaman saat bersamanya.

Dan sejak malam itu, dokter Adi jadi semakin sering menyelinap ke kamarku.

Hubungan kami kembali terjalin semakin indah.

Cinta kami kian menyatu. Kali ini tidak ada lagi air mata, yang tersisa hanyalah sebuah rasa yang tercipta penuh warna.

Cinta kami begitu indah, cinta kami begitu sempurna.

Dan kami bahagia dengan semua itu.

****

Simak kisah menarik lainnya :

Dokter ganteng si pencuri hati (part 2) 

Nasib cinta seorang therapist (part 5) 

Nasib cinta seorang therapist (part 4)

Nasib cinta seorang therapist (part 3)

Nasib cinta seorang therapist (part 2) 

Nasib cinta seorang therapist (part 1) 

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 3) 

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 2)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google