Langsung ke konten utama

Adsense

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 1)

Nama ku Malik. Dan aku seorang tukang sayur keliling. Aku jadi tukang sayur keliling sudah lebih dari 10 tahun. Aku berjualan sayur keliling sudah sejak aku masih lajang, hingga sekarang aku sudah menikah dan juga sudah punya seorang anak perempuan. Istri ku juga saat ini sedang hamil anak kedua kami.

Aku dan keluarga kecil ku tinggal di sebuah perumahan sederhana. Sebuah rumah type 36, yang mulai aku kredit sejak aku masih lajang. Rumah itu sangat sederhana, namun cukup untuk bisa aku tempati bersama istri dan anak ku.

Istri ku sendiri tidak bekerja. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Dulu, sebelum menikah dengan ku, istri ku pernah bekerja di sebuah mini market. Namun karena sudah menikah, ia terpaksa berhenti bekerja.

Kehidupan kami sangat sederhana. Tapi kami saling cinta. Kami bahagia dengan pernikahan kami. Apa lagi semenjak kehadiran anak pertama kami. Kehidupan rumah tangga kami berjalan dengan baik. Meski secara ekonomi kami masih sering merasa kekurangan.

Apa lagi kami berdua, sama-sama merantau ke kota ini. Kami tidak punya keluarga dekat di kota ini. Kami sudah hidup mandiri, bahkan sejak kami belum saling kenal sebelumnya. Semua keluarga kami berada di kampung.

Pernikahan kami sudah berjalan hampir tujuh tahun lamanya. Anak pertama kami sudah berusia enam tahun, dan sekarang istri ku sedang mengandung anak kedua kami. Kandungannya sudah memasuki bulan ke delapan saat ini.

Hal itu cukup menjadi beban bagiku saat ini. Karena menurut keterangan dokter, istri ku tidak bisa melahirkan normal. Ia harus menjalani operasi. Dan itu butuh biaya banyak. Sementara kami tidak punya tabungan sama sekali. Karena pendapatan ku sebagai penjual sayur keliling selama ini, hanya cukup untuk biaya hidup dan membayar kredit rumah kami.

Di tambah pula, anak pertama kami, juga sudah mulai masuk sekolah. Semakin banyak biaya yang harus kami tanggung. Sementara penghasilan ku sebagai penjual sayur keliling, tidak kunjung meningkat. Meski aku sudah berusaha untuk berjualan lebih banyak dan lebih lama dari biasanya.

****

Aku berjualan sayuran, dari pagi hingga siang hari. Aku berkeliling dari satu kompleks perumahan ke kompleks perumahan lainnya, dengan hanya memakai gerobak dorong. Rasa letih tidak membuat aku menyerah, untuk terus berjuang mendapatkan rupiah yang aku kumpulkan dari satu pembeli ke pembeli lainnya.

Setiap hari, aku terus saja berkeliling untuk menjual sayur-sayur yang aku dapatkan dari agen. Setiap hari aku terus berusaha, agar semua dagangan ku habis. Meski tak jarang, masih banyak sisa-sisa dagangan ku, yang harus aku bawa pulang kembali, karena tak habis dijual.

Perjuangan ku tak hanya sampai di situ. Sepulang berjualan sayuran, aku juga nyambi kerja di sebuah tempat cucian motor. Tempat cucian motor tersebut, memang milik salah seorang teman ku. Ia sengaja mengajak aku bekerja di tempat cuciannya, karena ia tahu, aku butuh tambahan uang. Meski aku hanya bekerja di sana, hanya dari siang sampai sore hari.

Namun setelah berbulan-bulan berjuang, dan berusaha sekuat kemampuanku, uang yang aku kumpulkan belum juga cukup, untuk biaya operasi melahirkan istri ku. Sementara, waktunya hanya tinggal satu bulan lagi.

Pernah temanku menyarankan agar aku menggunakan BPJS saja. Namun karena kami hanya merantau ke kota ini, kami tidak punya BPJS. Pernah aku coba datang ke Kelurahan untuk mengurus hal tersebut, tapi pengajuan kami di tolak, karena kata mereka tidak memenuhi syarat. Meski aku tidak tahu pasti, syarat apa yang tidak terpenuhi tersebut, tapi aku memang tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Aku juga pernah ingin mengajukan pinjaman ke pihak bank, tapi aku gak punya agunan untuk jadi jaminan, dan sudah pasti pihak bank tidak akan mengabulkan permohonan pinjaman kami. Karena itu, aku hanya pasrah pada akhirnya.

Aku tidak punya teman yang kehidupan ekonominya lebih baik dari kami, yang bisa aku jadikan tempat aku meminjam uang. Kalau pun ada, mereka juga pasti tidak mau, karena mereka tahu, aku tidak akan mampu membayarnya.

Sementara dari pihak keluarga ku sendiri, yang jauh berada di kampung sana, juga tidak ada untuk tempat aku mengadu. Karena kehidupan mereka di kampung, juga sangat kekurangan. Apa lagi, sejak kedua orangtua ku meninggal, beberapa tahun lalu, hampir tidak ada pihak keluarga yang peduli lagi sama kami.

Dari pihak keluarga istri ku sendiri, juga tidak ada yang peduli dengan kehidupan kami. Sejak istri ku memutuskan untuk menikah dengan ku, pihak keluarganya sudah tidak pernah lagi menghubungi kami. Bahkan jika pun kami hubungi, tanggapan mereka sangat dingin. Karena dari awal mereka memang tidak setuju akan pernikahan kami.

Istri ku memang merupakan anak ketiga dari mereka lima bersaudara. Mereka lima bersaudara, empat orang perempuan, dan satu orang laki-laki. Orangtua istri ku sangat ingin kalau anak-anak perempuannya menikah dengan orang yang punya kehidupan ekonomi yang baik.

Namun karena istri ku bersikeras untuk tetap menikah dengan ku, meski tanpa restu kedua orangtuanya. Hal itu membuat ia harus diasingkan oleh keluarganya sendiri, terutama oleh orangtuanya. Ia sudah tidak dianggap sebagai bagian dari keluarganya lagi.

Memikirkan hal tersebut, terus terang aku jadi merasa bersalah terhadap istri ku. Hanya demi bisa menikah dengan ku, istri ku rela, harus terbuang dari keluarga besarnya. Dan hal itu, cukup menjadi beban tanggungjawab yang sangat besar bagi ku. Hal itu juga yang membuat aku tidak pernah berhenti berjuang.

****

Sebagai seorang penjual sayur keliling, aku memang punya banyak pelanggan. Terutama dari ibu-ibu kompleks perumahan yang aku datangi setiap harinya. Apa lagi aku sudah berjualan sayur keliling, sejak lama. Sudah bertahun-tahun.

Dari sekian banyak pelanggan sayuran ku, yang rata-rata nya adalah ibu rumah tangga, ada satu orang pelanggan ku, yang seorang laki-laki. Ia aku ketahui bernama Bima. Ia baru beberapa bulan ini menjadi pelanggan ku.

Menurut ceritanya, ia juga baru pindah ke kompleks perumahan tersebut. Ia seorang duda. Karena sudah bercerai dari istri nya, Bima memang sengaja pindah ke sana. Ia sebenarnya juga sudah punya dua orang anak, yang ia tinggalkan bersama mantan istrinya.

Karena itu, Bima hanya tinggal sendiri di rumahnya yang sederhana itu. Ia juga masak sendiri. Ia bekerja di sebuah showroom mobil bekas di kota tersebut. Penghasilan juga lumayan besar. Setidaknya begitulah cerita yang aku dengar dari mulut Bima sendiri.

Bima memang cukup supel orangnya, ia juga sedikit humoris. Ia suka bercerita banyak hal, ketika ia berbelanja sayuran pada ku. Hal itu cukup membuat kami jadi cepat akrab.

Bima juga orang yang baik, ia suka memberi uang kembaliannya padaku, setiap kali ia berbelanja.

Kedekatan ku dangan Bima, cukup membuat aku merasa sedikit nyaman. Bima mampu menghiburku, saat aku sedang merasa letih. Ia juga sering menawarkan ku, untuk mampir ke rumahnya. Namun selama ini, aku selalu menolaknya. Karena selain merasa tidak enak, aku juga harus berkeliling untuk berjualan.

Bima memang langganan khusus bagi ku. Hanya ia satu-satunya pelanggan ku, yang aku langsung masuk ke halaman rumahnya, tentu saja atas permintaan Bima sendiri.

"aku malu, kalau belanja bareng ibu-ibu kompleks.." begitu alasan Bima waktu itu, saat aku tanya alasannya, kenapa ia meminta aku langsung masuk ke halaman rumahnya.

Karena itu, setiap kali melewati rumah Bima, aku langsung saja masuk ke pekarangan rumahnya. Dan pasti ada aja yang akan Bima beli dari ku. Ia memang termasuk orang yang hobi masak. Kadang, ia juga pernah menawarkan aku makanan yang ia buat sendiri.

Bima memang orang yang baik. Hal itu, membuat aku jadi merasa terkesan dengannya. Aku jadi betah berlama-lama berada di halaman rumahnya, hanya untuk mendengarkan ia bercerita, sekaligus untuk aku bisa beristirahat sejenak di sana.

****

"mas Malik kok kelihaatan murung banget hari ini? Capek ya?" tanya Bima suatu pagi, saat aku sudah berada di depan rumahnya, membawa barang dagangan ku.

"masih pagi kok udah capek aja?" lanjut Bima lagi, tanpa menunggu jawaban ku.

"badan ku sih gak capek, tapi pikiran ku yang capek, Bim." jawab ku akhirnya, asal.

Usia Bima memang lebih muda dua tahun dari ku. Aku sendiri sudah berusia 36 tahun, sedangkan Bima masih 34 tahun.

"capek pikirannya kenapa, mas?" tanya Bima lagi, sambil ia mulai memilah sayuran yang ingin ia beli.

"yah.. biasalah, Bim. Persoalan hidup.." balasku lemah.

"emang apa persoalan hidup yang sedang mas Malik alami saat ini? Mas Malik cerita aja, siapa tahu saya bisa bantu.." ucap Bima lagi.

"persoalan hidup orang miskin kayak saya ini, yah.. gak jauh-jauh lah dari masalah uang.." balasku masih dengan nada lemah.

"emangnya mas Malik lagi butuh uang buat apa?" Bima bertanya kembali.

"istri ku dua hari lagi mau melahirkan, Bim. Dan ia harus di operasi, tapi saya belum punya cukup uang untuk biaya operasi tersebut. Saya jadi bingung mau cari uang kemana lagi. Segala usaha sudah saya lakukan, tapi tetap saja, uangnya belum cukup.." balasku apa adanya.

"mas Malik butuh uang berapa?" tanya Bima kemudian, sambil ia memasukan sayuran yang sudah ia pilih ke dalam kantong plastik.

"biaya operasi nya sih hampir 20 jutaan, tapi uang yang sudah saya kumpulkan baru sekitar 10 juta. Masih ada separohnya lagi yang harus saya cari, sementara waktunya kian mepet.." jelasku, tanpa bermaksud apa-apa.

"ya udah, mas Malik pake uang ku aja dulu. Kebetulan aku punya beberapa tabungan yang belum aku pakai.. jadi mas Malik bisa pinjam dulu." ucap Bima terdengar serius.

"gak usah, Bim. Saya gak yakin akan bisa bayar dalam waktu dekat ini.." balasku spontan.

"gak apa-apa, Mas. Mas Malik pake aja dulu. Bayarnya bisa kapan aja, kok. Gak usah terlalu di pikirkan juga..." ucap Bima sedikit bersikeras.

"tapi.. aku jadi gak enak loh, Bim. Padahal kita kan juga baru saling kenal. Tapi kamu sudah sangat baik padaku. Selama ini aja, kamu selalu baik pada ku, sekarang malah di pinjamkan uang. Saya ..." aku sengaja menggantung kalimatku, karena tidak tahu lagi harus berkata apa.

"mas Malik tenang aja. Dan gak usah merasa berhutang budi seperti itu. Meski pun kita baru kenal, tapi aku yakin, mas Malik pasti orang baik. Lagi pula, bukankah sudah seharusnya sebagai sesama manusia, memang harus saling bantu.." Bima berucap kemudian.

Untuk selanjtunya aku hanya bisa terdiam. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus berkata apa. Sebenarnya aku juga tidak ingin menerima bantuan dari Bima tersebut, karena aku tidak yakin akan bisa mengembalikannya.

Tapi, aku juga merasa tidak enak hati jika harus menolak hal tersebut. Aku takut Bima tersinggung. Dan lagi pula, aku memang butuh uang tersebut. Aku juga gak tahu, harus mencari uang kemana lagi. Jadi gak ada salahnya, kalau aku menerima tawaran Bima tersebut. Toh, ia juga terlihat tulus ingin membantu, tanpa mengharapkan apa-apa dari ku.

"ya udah, kalau kamu memang mau meminjamkan saya uang, saya akan terima. Tapi.. saya gak bisa janji, akan bisa membayarnya dalam waktu dekat ini.." ucapku akhirnya.

"oke, gak apa-apa. Mas Malik tunggu di sini dulu, ya. Saya mau ke dalam dulu, ngambil uangnya." Bima berucap, sambil ia melangkah masuk ke rumahnya.

Beberapa saat kemudian, Bima pun keluar, dengan membawa uang tersebut. Ia langsung menyerahkan uang itu padaku.

"mas Malik hitung dulu aja.." katanya ringan.

"gak usah, Bim. Saya percaya aja sama kamu. Dan.. terima kasih banyak ya.. Kamu sudah sangat baik padaku... Sekali lagi terima kasih.." ucapku sedikit bergetar, karena merasa terharu.

"iya, sama-sama, mas Malik. Semoga operasinya berjalan lancar ya..." balas Bima terdengar tulus.

"iya, Bim. Terima kasih sekali lagi... Kalau begitu saya pamit, ya..." ucapku akhirnya.

"oke, mas Malik. Nanti malam kalau ada waktu, mas Malik jalan-jalan kesini ya. Kita ngobrol-ngobrol.." balas Bima kemudian.

"oh, oke.. saya usahakan datang nanti malam, ya.." ucapku membalas.

Dan dengan perasaan lega, aku pun segera pergi dari rumah Bima. Aku ingin segera pulang dan menyetorkan uang biaya operasi istri ku, ke rumah sakit. Meski perasaan ku saat ini, jadi merasa kurang enak hati, terhadap Bima.

Biar bagaimana pun, aku merasa sangat berhutang budi padanya. Ia sudah sangat membantu ku. Sementara, ia bukan siapa-siapa bagi ku. Kami hanya kenalan biasa, tapi Bima sudah begitu baik padaku. Apa pun akan aku lakukan, untuk bisa membalas kebaikannya tersebut.

****

Kisah menarik lainnya :

Pak Dirman, sopir pribadi ku (part 3)

Pak Dirman, sopir pribadi ku (part 2) 

Pak Dirman, sopir pribadi ku (part 1) 

Cinta untuk sang personal trainer part 2

Cinta untuk sang personal trainer part 1

Indahnya mendua 

Bersama mahasiswa KKN

Cinta untuk sang kurir tampan (part 3)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google