Langsung ke konten utama

Adsense

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 3)

Waktu masih terus bergulir, sudah hampir dua bulan istri ku wafat. Sudah dua bulan pula aku berusaha merawat anak ku sendirian. Beruntunglah ada Bima yang selalu membantu ku. Ia selalu ada saat aku membutuhkannya.

Bima lah yang membiayai hidup kami, selama dua bulan ini. Biar bagaimana pun, aku sudah tidak bisa bekerja lagi, karena harus mengurus dan merawat anak-anak ku, terutama anak kedua ku yang masih berusia dua bulan tersebut.

Dengan adanya Bima, aku jadi merasa sangat terbantu. Aku jadi tidak sendirian menghadapi ini semua. Bima juga kadang-kadang ikut membantu aku mengurusi anak-anak. Bima jadi sangat dekat dan sangat akrab dengan anak-anak ku. Dan aku pun merasa lebih kuat menjalani hari-hari ku.

Namun cobaan hidup ku tidak cukup hanya sampai disitu. Aku pikir setelah kematian istri ku, cobaan hidup ku telah berakhir. Tapi ternyata aku salah. Cobaan itu masih terus datang dalam hidup ku.

Berawal dari anak kedua ku yang jadi sering sakit-sakitan, dan harus sering di bawa ke rumah sakit. Semua biaya berobat anak ku juga harus di tanggung oleh Bima. Namun anak ku tak kunjung membaik, hingga akhirnya pihak rumah sakit pun menyerah. Dan anak ku pun harus menyusul ibunya.

Untuk kedua kali nya dalam waktu yang sangat singkat, aku kembali harus kehilangan orang yang aku sayang. Aku harus kehilangan anak kedua ku, yang bahkan masih berusia dua bulan tersebut. Betapa aku kian merasa terpukul.

Rasa sakit karena kehilangan istri ku masih membekas di hati ku. Kini, aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku juga harus kehilangan anak bungsu ku. Sungguh sebuah kenyataan yang teramat rumit bagi ku.

Kenapa aku harus mengalami ini semua? Mengapa aku harus kehilangan orang yang aku sayang, pada saat yang hampir bersamaan? Apa salah ku sebenarnya?

"mas Malik yang sabar, ya..." begitu ucap Bima, memberi aku semangat.

"iya, Bim. Makasih, ya.." balasku terdengar lemah.

Sekali lagi Bima mampu membuat aku menjadi lebih kuat. Dia dengan setia terus mendampingi ku menghadapi semua cobaan yang datang dalam hidup ku. Dia selalu berhasil membuat aku tidak merasa sendiri.

Kini, hanya anak perempuan pertama ku, yang masih aku miliki. Anak perempuan yang masih berusia 6 tahun tersebut. Ia terlihat sangat murung. Meski pun ia belum tahu arti sebuah kehilangan. Namun aku percaya, dalam hatinya, masih terus bertanya-tanya, kemana ibunya? Kenapa ibunya tak pernah pulang? Dan sekarang ia harus kehilangan adiknya. Teman yang baru bisa ia ajak bermain.

Melihat anak sulung ku tersebut, hati ku semakin terenyuh. Pilu. Tak sanggup rasanya melihat kesedihan di wajahnya yang mungil tersebut. Untunglah Bima selalu berhasil membuat ia tersenyum. Bima selalu mampu menghiburnya. Bima yang tak pernah berhenti memberikan segala perhatian dan kasih sayangnya kepada kami selama ini.

Sudah terlalu banyak pengorbanan yang Bima lakukan untuk aku dan anak ku. Ia begitu tulus memberikan semuanya. Baik itu uang, waktu, kesempatan, perhatian dan segala kasih sayangnya.

Manusia mana yang tidak akan tersentuh hatinya, melihat ketulusan sebesar itu? Apa lagi aku ini hanya manusia biasa, yang begitu lemah dan tak berdaya menghadapi kenyataan hidup ini sendirian.

Kehadiran Bima dan segala kebaikannya selama ini, benar-benar mampu menyentuh hati ku. Ia hadir di saat aku benar-benar membutuhkannya. Ia datang di saat yang tepat, di saat hati ku benar-benar rapuh. Rapuh oleh kehidupan yang tidak pernah memihak padaku. Ia selalu ada di saat aku membutuhkan tempat untuk bersandar.

Lalu salahkan aku, bila mulai menyukainya?

Salahkah aku bila hatiku mulai mengaguminya?

Kepribadiannya yang lembut dan penuh perhatian, membuat aku jadi ingin membalas semua kebaikannya padaku. Membuat aku jadi ingin membahagiakannya.

Tapi.. Apa mungkin aku bisa jatuh cinta padanya?

Apa mungkin aku bisa jatuh cinta pada seorang laki-laki? Hanya karena ia terlalu baik padaku?

Lalu.. kenapa harus Bima? Kenapa ia harus seorang laki-laki?

Ah.. terlalu banyak tanya dalam hatiku. Namun tak kunjung dapat aku temukan jawabannya. Dan pada akhirnya, aku hanya bisa pasrah, dan membiarkan semua berjalan apa adanya.

****

Waktu pun terus berputar, tanpa bisa di cegah atau pun di pacu. Aku mulai belajar untuk merelakan segalanya. Aku mencoba bertahan, meski hati ku terasa begitu rapuh. Anak perempuanku satu-satunya itu lah yang membuat aku tetap kuat. Apa lagi sekarang ia harus mulai masuk sekolah.

Hidup harus tetap berjalan. Hidup harus tetap berputar. Dan demi anak ku, aku harus tetap berjuang.

Aku mengantar anak ku ke sekolah, sambil aku mulai berkeliling berjualan sayuran. Sepulang berjualan, aku pun menjemput anak ku ke sekolah. Begitu lah rutinitas yang aku lakukan saat ini.

Bima masih sering mengunjungi kami. Ia bahkan beberapa kali harus menginap di rumah kami, atas permintaan anak ku. Aku juga tidak bisa mengabaikan kehadiran Bima dalam hidupku. Biar bagaimana pun, aku sudah berhutang sangat banyak padanya.

"terima kasih banyak ya, Bim. Kamu benar-benar bagai dewa dalam hidup ku." ucapku suatu malam, ketika untuk kesekian kalinya, Bima menginap lagi di rumah kami. Saat itu anak ku sudah tertidur.

"udah... santai aja, mas. Seperti yang aku katakan dari awal, mas Malik gak usah merasa berhutang budi padaku. Aku melakukan semuanya tulus, kok." balas Bima.

"aku bukan hanya berhutang budi sama kamu, Bim. Aku juga berhutang uang yang sangat banyak. Dan aku tidak akan pernah mampu membayarnya.." ucapku lagi.

"aku sudah tidak menganggap semua itu sebagai hutang, mas. Aku sudah mengikhlaskannya. Biar bagaimana pun, keluarga mas Malik memang sangat membutuhkan bantuan. Jadi udah sewajarnya, aku melakukan itu semua. Dan mas Malik, jangan menganggapnya sebagai hutang.." balas Bima terdengar tulus.

"lalu bagaimana dengan kamu sendiri, Bim? Apa kamu tidak menyesal dengan ini semua? Sementara aku tahu, kalau kamu sangat mencintai ku. Namun sampai saat ini, kamu belum mendapatkan apa pun dari ku.." aku berucap lagi.

"yah.. mau gimana lagi, mas. Aku gak mungkin memaksa mas untuk jatuh cinta padaku. Aku juga cukup sadar diri, kok. Bagi ku, yang penting mas dan anak mas tetap bisa bahagia, tetap bisa melanjutkan hidup ini. Kalau pun pada akhirnya, aku tidak bisa memiliki mas Malik, aku ikhlas kok.." balas Bima dengan suara sedikit parau.

"aku akan belajar untuk bisa mencintai kamu, Bim. Kamu terlalu baik. Aku tak mungkin mengabaikan segala pengorbanan kamu selama ini. Hanya saja, mungkin aku butuh waktu.." ucapku kemudian.

"aku akan sabar menunggu, mas." balas Bima pelan.

****

"oh ya, mas. Ada yang ingin aku sampaikan sama mas Malik.." ucap Bima kemudian, setelah beberapa saat kami hanya saling terdiam.

"kamu mau menyampaikan apa?" tanyaku sedikit heran.

"jadi gini, mas. sebelumnya.. aku minta maaf. Aku gak bermaksud apa-apa, kok. Ini pun kalau mas Malik mau.." ucap Bima, sambil sedikit menarik napas.

"jadi... rumah yang aku tempati sekarang itu, masa kontraknya sudah habis. Aku mau sih memperpanjangnya lagi, tapi si pemilik rumah katanya sudah mau pindah lagi ke rumah tersebut. Jadi mau gak mau, aku memang harus mencari rumah kontrakan baru."

"kalau mas Malik setuju, aku ingin pindah ke sini, mas. Ke rumah mas Malik. Aku yang akan bayar angsuran kreditnya setiap bulan, selama aku tinggal di sini. Jadi mas Malik gak usah lagi memikirkan kredit rumah ini."

"sekalian aku juga bisa setiap hari membantu mengurus anak mas Malik. Saya juga akan menanggung biaya sekolah anak mas Malik dan biaya lainnya.." jelas Bima panjang lebar.

"aku sih setuju aja, Bim. Malah aku senang, kalau kamu mau tinggal bersama kami. Tapi.. apa itu gak terlalu merepotkan kamu?" balasku.

"yah.. gak merepotkanlah, mas. Aku juga sudah terlanjur sayang sama anak mas Malik. Lagi pula, dengan begitu, aku jadi bisa bertemu mas Malik setiap harinya.." ucap Bima membalas.

"lalu bagaimana dengan anak-anak mu sendiri, Bim. Apa kamu tidak kangen sama mereka?" aku bertanya kembali, sekedar ingin tahu.

"kebetulan aku memang punya jatah untuk bertemu anak-anak ku, sekali seminggu, mas. Jadi biasanya, setiap hari minggu, aku ngajak anak-anakku jalan-jalan. Lagi pula, mereka masih punya ibu. Jadi.. yah.. kehadiran ku mungkin tidak terlalu mereka butuhkan."

"tapi sebagai seorang ayah, aku selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka, kok. Pertemuan kami sekali seminggu tersebut, sudah cukup untuk membuat mereka merasa senang. Aku juga bisa menghubungi mereka kapan aja, kalau aku lagi kangen sama mereka.." jelas Bima lagi.

"oh.. ya udah... terserah kamu aja, Bim. Kalau kamu memang mau tinggal disini, ya gak apa-apa. Saya setuju-setuju aja... Lagi pula, dengan begitu, mungkin aku akan lebih mudah untuk jatuh cinta sama kamu.." balasku akhirnya.

"iya, mas. Aku juga berharap seperti itu. Dan nanti, kalau aku dan anak-anak ku jalan-jalan, mas Malik dan anak mas ikut ya, sama kami.. Biar mas Malik juga kenal sama anak-anak ku.." ucap Bima kemudian.

"oke, Bim. Kamu atur aja, ya... Karena bagiku, saat ini, cuma kamu satu-satunya keluarga yang aku punya di sini, Bim. Jadi selama hal itu bisa membuat kamu senang, aku ikut aja.." balasku apa adanya.

****

Dan begitulah, Bima pun akhirnya tinggal serumah dengan ku. Dan hal itu cukup merubah segalanya. Rumah kami jadi lebih bersih dan rapi. Bima memang rajin membersihkan rumah. Ia juga rajin memasak. Dan masakannya juga enak.

Hidupku jadi punya warna kembali. Aku seakan menemukan kembali sosok seorang istri dalam rumahku. Bima juga semakin penuh perhatian terhadap aku dan anak ku. Ia terlihat bergitu tulus melakukan semua itu. Dan kian lama, hati ku pun kian tersentuh olehnya.

Pada akhirnya, sekuat apa pun aku menolak hadirnya rasa itu, sekuat itu pula rasa itu kian tumbuh di hatiku. Aku mulai terhanyut dengan perasaan ku terhadap Bima. Dan harus aku akui, Bima berhasil membuat aku jatuh cinta padanya.

"aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Bim." ucapku suatu malam.

"ada apa, mas?" tanya Bima santai.

"sepertinya.. aku mulai jatuh cinta sama kamu, Bim. Aku tak bisa lagi membohongi hati ku sendiri, kalau aku sangat menyayangi mu. Apa kamu masih mau, menjalin hubungan yang lebih serius dengan ku?" aku berujar dengan suara bergetar.

"yah.. pasti aku mau lah, mas. Bukan kah dari awal memang itu tujuan ku, untuk mendekati mas Malik." balas Bima, sambil tersenyum sumringah.

"tapi.. mas Malik serius kan? Bukan hanya karena kasihan kan?" lanjut Bima bertanya.

"aku serius, Bim. Aku benar-benar telah jatuh cinta sama kamu. Tapi... aku juga gak tahu harus ngapain, untuk membuktikan itu semua.." ucapku membalas.

"kalau memang mas Malik juga mencintai ku, dan aku juga mencintai mas Malik. Ya udah.. mulai sekarang kita pacaran.." Bima berucap sambil kembali tersenyum.

"iya.. terus apa sekarang? Kita harus ngapain?" aku bertanya dengan nada bodoh.

"aku juga gak tahu sih, mas. Aku juga belum pernah pacaran sama laki-laki sebelumnya. Tapi... kita kan sama-sama sudah pernah menikah, mas. Kita harusnya tahu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya.." balas Bima.

"iya sih.. tapi.. kamu kan laki-laki, aku juga laki-laki.. jadi gimana harusnya? Siapa yang akan menjadi ceweknya?" lagi-lagi aku bertanya dengan nada bodoh.

"kalau untuk itu, mas tenang aja.. aku memang belum pernah pacaran dengan laki-laki, tapi aku tahu posisi ku dimana." balas Bima.

"maksudnya?" aku bertanya dengan kening berkerut.

"yah... mas Malik anggap aja aku ini sebagai istri mas Malik, dan mas Malik pasti tahu, bagaimana memperlakukan seorang istri... atau nanti kita sama-sama lihat videonya aja, gimana?" ucap Bima setengah ragu.

"emang ada ya videonya?" tanya ku masih terdengar heran.

"yah ... pasti ada lah, mas. Nanti saya coba cari ya.." balas Bima akhirnya.

****

Akhirnya aku dan Bima pun resmi berpacaran. Dan aku merasa bahagia dengan semua itu. Apa lagi Bima. Ia terlihat lebih bersemangat dari biasanya. Dia jadi semakin penuh perhatian. Aku juga jadi semakin sayang padanya.

Hari-hari ku jadi penuh warna. Aku seakan menemukan kebahagiaan lain dalam hidupku. Mungkin hal itu tidaklah sempurna. Tapi cukup untuk membuat aku jadi merasa bahagia setiap harinya.

Walau jujur saja, aku sebenarnya tidak terlalu merasa nyaman menjalani itu semua. Aku sering merasa risih sendiri. Aku merasa khawatir dan merasa takut. Takut jikalau ada yang tahu akan hubungan kami. Takut jikalau ada yang curiga dengan kedekatan kami.

Aku juga merasa kurang nyaman, karena kami tinggal bersama anak ku. Aku takut, kalau anak ku suatu saat memergoki perbuatan kami. Karena itu, aku dan Bima pun sepakat untuk lebih berhati-hati dalam bersikap. Untuk lebih berhati-hati dalam mengumbar perasaan kami.

Aku tidak ingin siapa pun tahu tentang hubungan kami. Cukup hanya kami berdua saja yang tahu. Cukup hal itu, hanya menjadi rahasia antara kami berdua.

Dan aku tidak tahu, akan sampai kapan hubungan kami akan bertahan. Meski pun kami saling cinta, namun aku menyadari sekali, kalau semua itu adalah sebuah kesalahan. Dan aku tidak ingin selamanya hidup dalam kesalahan tersebut.

Pada saatnya nanti, aku dan Bima memang harus saling melepaskan. Namun untuk saat ini, aku akan berusaha untuk membuat Bima merasa bahagia. Aku akan memberi Bima kesempatan sepenuhnya, untuk bisa merasakan indahnya cinta kami.

****

Kisah lainnya :

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 2) 

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 1)

Pak Dirman, sopir pribadi ku (part 3)

Pak Dirman, sopir pribadi ku (part 2) 

Pak Dirman, sopir pribadi ku (part 1) 

Cinta untuk sang personal trainer part 2

Cinta untuk sang personal trainer part 1

Indahnya mendua

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google