Berbulan-bulan aku tinggal seatap dengan dokter Adi, kekasih hatiku itu.
Berbulan-bulan juga dokter Adi selalu rajin menyelinap ke kamarku, bahkan hampir setiap malam. Kami mendaki bersama, meraih keindahan cinta.
Menyatu dalam sebuah rasa, yang tak terkira.
Meski, jujur saja, aku selalu merasa was-was, setiap kali dokter Adi masuk ke kamarku.
Aku takut istri dokter Adi dan juga para pembantu di rumah itu, mencurigai hubungan kami.
Tapi sepertinya dokter Adi tidak begitu mempedulikan semua itu.
Ia tetap saja, berusaha untuk melakukan pendakian bersamaku.
Hingga berbulan-bulan, akhirnya aku benar-benar merasa tidak nyaman.
"aku ingin pindah, mas..." ucapku suatu hari pada dokter Adi, saat kami bertemu di sebuah kafe.
"kenapa?" tanya dokter ganteng itu, "kamu sudah gak cinta lagi sama saya?" lanjutnya.
"bukan itu, mas. Tapi aku mulai merasa gak nyaman. Aku takut, hubungan kita akan diketahui oleh orang rumah.." jelasku ringan.
"kamu mau pindah kemana?" tanya dokter Adi lagi.
"yah, paling gak jauh-jauh dari situ, mas. Masih dalam kompleks yang sama, kok." jawabku.
"terserah kamu, sih, Ran. Jika menurut kamu itu yang terbaik. Yang penting kita tetap bisa bersama-sama..." ucap dokter Adi akhirnya, terdengar pasrah.
Beberapa hari kemudian, aku pun akhirnya pindah.
Aku pindah ke sebuah rumah bulatan, yang memang sengaja di kontrakan oleh pemiliknya.
Rumah itu masih berada di kawasan perumahan tempat dokter Adi dan istrinya tinggal. Jaraknya mungkin hanya sekitar 200 meter.
Meski pun sudah pindah rumah, aku dan dokter Adi, masih terus berhubungan. Cinta kami masih tetap sama. Aku masih sangat menyayangi dokter ganteng itu.
Namun tentu saja, waktu pertemuan kami menjadi sangat terbatas. Dokter Adi hanya bisa datang ke rumahku pada saat-saat tertentu, dan tidak pernah bisa menginap.
Aku juga tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Bagiku, bisa bersama dokter Adi, itu sudah cukup. Meski hanya dalam waktu yang terbatas.
Aku juga semakin disibukkan dengan pekerjaanku. Aku banyak menghabiskan waktu di kantor.
Dan jika pun di rumah, aku lebih sering menyelesaikan pekerjaanku, yang belum sempat aku kerjakan di kantor.
Namun sebagai seorang manusia, jujur, kadang ada rasa jenuh menghantui hari-hariku.
Melakukan hal yang sama, bertemu orang-orang yang sama, hampir setiap hari. Membuatku merasa ingin melakukan sesuatu yang beda, kadang-kadang.
Kehadiran dokter Adi, memang mampu menghilangkan segala kejenuhan itu. Tapi kehadirannya hanya beberapa saat.
Terutama saat di akhir-akhir minggu, dokter Adi sudah pasti menghabiskan waktunya bersama keluarga kecilnya.
Dan aku harus bisa menikmati hari libur itu, sendirian.
Hingga pada suatu minggu yang cukup cerah, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian ke sebuah pantai, yang memang berjarak tidak begitu jauh dari kota tempat kami tinggal
Aku pergi sendiri, tanpa mengabari dokter Adi, karena ia juga sedang berlibur bersama istri dan anaknya.
Dan saat itulah, aku bertemu dan berkenalan dengan Farel.
Seorang pemuda tampan, yang ternyata memang tinggal di daerah pesisir pantai itu.
"saya lahir, besar dan memang tinggal disini.." jelas Farel waktu itu.
"kamu sudah berapa lama usaha seperti ini?" tanyaku kemudian.
Farel memang punya usaha, penyewaan tikar, sewa tenda, dan juga menjual berbagai cenderamata.
Ia mengelola usahanya itu bersama seorang temannya.
"udah lumayan lama, sih. Sejak saya lulus SMA, setidaknya sudah hampir tiga atau empat tahunan lah..." jawab Farel.
"kamu kuliah?" tanyaku sekedar ingin tahu.
Farel menggeleng ringan, lalu berujar.
"saya lulus SMA aja udah syukur, bang. Orangtuaku hanya nelayan biasa, jadi mereka gak mampu membiayai aku untuk kuliah. Apa lagi, adik-adikku juga masih butuh biaya banyak. Jadi aku harus ikut bekerja, setidaknya untuk membantu orangtuaku mencari nafkah dan juga untuk biaya sekolah adik-adikku.." jelasnya panjang lebar.
Menurut cerita Farel juga, ia adalah anak sulung dari empat bersaudara. Ketiga adiknya masih bersekolah. Sebagai anak tertua, tentu saja, ia harus ikut bekerja demi sekolah adik-adiknya.
Entah mengapa, mendengar semua cerita Farel, ada rasa kagum menyelinap di hatiku.
Di usianya yang masih muda, ia sudah bisa membantu orangtuanya. Padahal kebanyakan pemuda seusianya, masih sedang sibuk-sibuknya nongkrong-nongkrong dan berhura ria.
Meski bertubuh sedikit gelap, Farel mempunyai postur tubuh yang atletis dan terkesan eksotis. Khas pemuda yang sudah bertahun-tahun tinggal di pesisir pantai.
Kemudian kami juga bercerita banyak hal. Aku merasa nyaman ngobrol sama Farel. Dia ternyata juga cukup pintar, meski hanya lulusan SMA.
Pengalaman hidupnya, membuat ia lebih berpikir matanng ketimbang usianya.
Dan minggu-minggu berikutnya, aku jadi rajin datang ke pantai itu. Selain karena itu adalah sebuah aktivitas baru bagiku, aku juga sangat suka mengobrol dengan Farel.
Segala kejenuhanku selama seminggu, hilang saat aku sudah bertemu pantai dan juga Farel.
Aktivitas baruku itu, menumbuhkan semangat baru dalam hidupku.
Dokter Adi, masih rutin mengunjungiku, setidaknya dua kali dalam seminggu. Meski seperti biasa, ia tidak pernah sampai menginap.
Aku ibarat hanya selingan baginya, saat ia merasa jenuh dengan istrinya. Aku merasa seperti itu sekarang, apa lagi, dokter Adi hampir tidak pernah bertanya tentang kabarku.
Ia hanya datang untuk sekedar melepaskan hasratnya, lalu akan segera pulang.
Keromantisannya tidak aku rasakan lagi, ungkapan sayang yang sebelumnya sering ia ucapkan, kini sudah sangat jarang kudengar. Kecuali saat ia hendak mencapai puncaknya.
Hubungan kami terasa mulai hambar bagiku. Aku juga sudah tidak terlalu bergairah, menyambut kedatangannya.
Meski tidak bisa aku pungkiri, kalau hatiku masih menyayanginya.
Namun sebagai seseorang yang juga butuh perhatian, aku merasa telah kehilangan semua itu.
Aku hanya dijadikan sebagai pelampiasan baginya.
Atau mungkin sebenarnya dokter Adi juga sudah mulai bosan dengan hubungan kami yang terkesan datar dan tanpa warna.
Mungkin ia hanya datang, untuk sekedar memenuhi janjinya padaku. Ia hanya datang, karena takut aku akan kecewa padanya.
Dan lama-kelamaan rasa bosan itu, semakin merasuki jiwaku.
Apa lagi, hubunganku dengan Farel, si pemuda pantai itu, terasa semakin dekat dan akrab.
Farel mampu menghiburku, saat aku benar-benar merasa suntuk dan kesepian.
Sampai akhirnya aku tahu, kalau istri dokter Adi sudah hamil lagi. Ia hamil anak kedua mereka. Dokter Adi sendiri yang cerita.
"jadi mungkin ke depannya, aku akan semakin jarang datang kesini, Ran. Aku harap kamu mengerti ya.." ucap dokter Adi.
Aku hany diam. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saa itu. Entah kecewa, entah marah, atau justru merasa biasa saja.
"iya, mas. gak apa-apa.." balasku akhirnya.
Lalu kemudian, dokter Adi pun permisi untuk pulang. Entah mengapa saat itu, aku merasa ada bagian dari diriku yang ikut pergi bersamanya.
Hatiku tiba-tiba terasa hampa. Kosong!
Cinta kami yang dulunya terasa indah dan penuh perjuangan. Kini sepertinya hanya tinggal puing-puing, tanpa ada harapan untukku bisa menyatukannya kembali.
Mungkin memang harus seperti ini. Cinta yang tak pernah disirami dengan kebersamaan, mungkin akan layu beriring berjalannya sang waktu.
Tapi semudah itukah dokter Adi melupakanku?
Karena ternyata, setelah hari itu, dokter Adi benar-benar tidak pernah datang lagi. Ia juga tidak pernah menghubungiku.
Aku juga tidak berniat untuk menghubunginya. Aku berpikir, mungkin dokter Adi memang sedang tidak ingin diganggu.
Dan aku tidak akan mengganggunya, meski kadang muncul keinginan untuk bertemu dengannya.
Ada keinginan untuk mendaki bersama lagi dengannya.
Terus terang hal itulah, salah satu yang paling aku rindukan dari dokter Adi. Selain karena itu adalah kebutuhan, aku juga merasa dokter Adi terlalu hebat dalam hal itu. Ia selalu berhasil membuatku ketagihan dengannya.
Tapi aku harus menekan kuat-kuat rasa itu. Aku harus bisa menahannya. Meski hatiku perih karenanya.
Saat-saat seperti ini, aku butuh seseorang ada di dekatku. Dan Farel adalah pilihanku saat ini.
Ia satu-satunya yang membuatku tetap semangat menjalani hari-hariku.
Setidaknya sekali dalam seminggu, aku bisa bersamanya. Aku bisa berbagi dengannya.
Meski tentu saja, aku belum berani untuk bercerita tentang dokter Adi padanya. Biar bagaimanapun, hingga saat ini, Farel belum benar-benar tahu, siapa aku sebenarnya.
"kamu sudah punya pacar?" tanyaku pada Farel di suatu minggu yang cerah.
Farel menatapku sekilas dan mengukir senyum tipis.
"dulu pernah, saat aku SMA. Tapi sekarang, aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal tersebut. Aku lebih fokus pada usahaku saat ini. Dan lagi pula, mana ada cewek yang mau, dengan orang yang cuma punya usaha kecil-kecilan seperti ini..." jawab Farel berterus terang.
"kamu keren loh, Rel." ungkapku, "hanya cewek bodoh yang gak mau sama kamu." lanjutku.
"kalau aku jadi cewek, aku pasti udah nembak kamu.." aku melanjutkan lagi, dengan sedikit menekan suaraku.
"ah, bang Randi bisa aja..." balas Farel, ia terlihat tersipu. Sepertinya pujianku mengena.
Aku memang sudah berencana untuk bisa menjalin hubungan yang lebih dengan Farel.
Selain karena aku sudah kecewa dengan sikap dokter Adi akhir-akhir ini, aku juga merasa, kalau Farel sangat menarik.
Sepertinya memperjuangan seorang Farel, akan menjadi tantangan tersendiri bagiku.
Meski aku tidak yakin akan bisa menaklukkanny, tapi setidaknya akan mencoba. Karena dengan begitu, aku jadi punya tujuan.
"bang Randi, rajin ya datang kesini.." ucap Farel kemudian.
"pasti ada seseorang yang bang Randi incar disini, ya..." lanjut Farel menerka.
Aku sedikit tersipu. Meski aku tahu, Farel hanya bercanda, tapi tetap saja, ucapannya itu seperti bisa menebak apa yang sedang aku lakukan.
"gak, kok. Aku hanya merasa nyaman aja berada disini, setelah rutinitas yang membosankan selama seminggu bekerja, disini adalah tempat yang indah untuk beristirahat dan menghilangkan kejenuhan.." balasku akhirnya sedikit mengeles.
"tapi kan masih banyak pantai-pantai lainnya, bang. Yang jauh lebih indah dari ini.." Farel berucap lagi.
"iya, sih. Tapi pantai ini yang paling dekat dari tempat aku tinggal, jadi selain menghemat waktu aku juga bisa menghemat uang.." alasanku lagi.
Farel kemudian hanya mangggut-manggut, sepertinya ia juga tidak terlalu ingin tahu, mengapa aku selalu ke pantai itu, setiap minggunya.
Andai saja Farel tahu, kalau aku kesana adalah untuk bisa bertemu dengannya.
"kamu sering ke kota?" tanyaku sedikit mengalihkan pembicaraan.
"sering." jawab Farel. "biasanya aku memang belanja barang daganganku, ke kota. Setidaknya sekali dua minggu atau sekali sebulan.." lanjutnya.
"jalan-jalan dong ke rumahku.." ucapku spontan.
"kan aku gak tahu, rumah bang Randi dimana?" ucap Farel lagi.
"kamu kan bisa telpon aku, Rel.." balasku cepat.
Farel manggut-manggut.
"tapi gak apa-apa, ya? Aku datang ke rumah bang Randi?" tanyanya kemudian.
"ya, gak apa-apalah, aku malah senang.." jawabku santai.
"oke.. nanti kalau aku ke kota, aku mampir deh, di rumah bang Randi.." balas Farel terdengar sangat akrab.
******
Beberapa hari kemudian, Farel memang benar-benar mampir ke rumahku. Setelah tentu saja ia menghubungiku tadi.
Farel datang ke rumah saat sore, saat aku baru pulang kerja.
"kamu nginap sini ya, Rel.." aku menawarkan, sedikit modus, sih.
"emang boleh?" tanya Farel, "gak ganggu kan, bang?" tanyanya lagi.
"gak, lah. Aku malah senang kalau kamu mau nginap di rumahku..." balasku.
Jantungku tiba-tiba dag-dig-dug, membayangkan Farel tidur di sampingku.
Meski ada sedikit was-wasa, kalau-kalau dokter Adi tiba-tiba muncul malam itu.
Tapi rasanya mustahil dokter Adi datang, ia sudah lebih satu bulan tak mengunjungiku dan tanpa ada kabar apa pun. Sepertinya jarak antara aku dan dokter Adi, sudah bertambah dua kali bahkan tiga kali lipat saat ini.
Aku juga tak lagi terlalu memikirkannya, karena setiap kali aku mengingatnya, yang ada hanya rasa sakit yang aku rasakan.
Sekarang aku lebih memperjuangkan Farel, meski aku tidak tahu, bagaimana cara memulainya.
Saat pertama kali aku dulunya jatuh cinta pada dokter Adi, semuanya terasa mudah, karena ternyata dokter Adi memang dari awal juga tertarik padaku. Dan yang pasti ia juga seorang gay.
Jadi aku tidak perlu terlalu berjuang untuk mendapatkannya.
Namun kali ini, Farel jelas berbeda.
"bang Randi mau apa?" tanya Farel dengan nada terkejutnya.
Saat aku dengan cukup berani, menyentuh tubuh kekarnya, yang sudah terbaring di sampingku. Kami tidur satu ranjang di dalam kamarku.
Aku menarik kembali tanganku.
"aku suka sama kamu, Rel.." ungkapku akhirnya. Aku sudah tidak mampu menahannya lagi.
Selain karena aku memang sudah sangat lama tidak merasakan hal tersebut. Farel juga terlalu menarik untuk dilewatkan. Mumpung ia ada disini. Pikirku.
"maksud bang Randi apa?" tanya Farel terdengar lugu.
"aku suka sama kamu, Rel. Aku... aku ... aku ingin kita berhubungan lebih.." ucapku lagi, terbata.
"bang Randi homo?" pertanyaan itu, muncul juga akhirnya dari bibir Farel.
"iya. Dan aku suka sama kamu.." aku berujar semakin berani.
"maaf, bang. Tapi aku normal. Aku gak bisa..." balas Farel pelan.
Aku terhenyak sesaat. Aku sudah menduga hal itu dari awal. Tapi tetap saja terasa sakit.
Bukan karena Farel ternyata normal, bukan juga karena Farel menolakku. Tapi terlebih, karena aku harus memupus hasratku yang sudah terlanjur menggebu.
"iya, gak apa-apa, Rel. Aku ngerti, kok." ucapku akhirnya, menahan kepedihan di hatiku.
"tapi kita tetap berteman, kan?" tanyaku.
"iya, bang. Bang Randi orangnya baik.." ujar Farel, yang membuatku tersenyum kembali.
Setidaknya aku masih punya peluang, untuk bisa membuatnya takluk nantinya.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih