Langsung ke konten utama

Adsense

Pak Dirman, Sopir Pribadi ku (part 2)

Dua tahun sudah hubungan ku dan pak Dirman, sopir pribadi ku tersebut, terjalin. Hubungan kami terjalin dengan sangat indah. Tidak ada waktu yang kami lewati tanpa kebersamaan. Dan aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.

Kini aku sudah lulus kuliah. Aku berharap, aku akan bisa mendapatkan kebebasan yang aku impikan selama ini. Tapi, di luar dugaanku, dan tanpa persetujuan dari ku, ternyata orangtua ku meminta aku untuk melanjutkan kuliah S2 ke Jerman. Untuk menambah ilmu dan pengalaman ku, dalam bidang bisnis.

Aku tidak bisa menolak hal tersebut. Karena memang begitulah sejak dulu. Orangtua ku selalu memaksakan kehendaknya padaku. Semua keinginan mereka harus aku penuhi, tak peduli, seperti apa pun aku berusaha untuk menolaknya.

Sebenarnya aku tidak masalah, sekalipun harus kuliah ke Jerman. Justru hal itu akan membuat aku merasa sedikit bebas. Hidup jauh dari orangtua, merupakan impian ku selama ini. Setidaknya aku bisa bebas melakukan apa saja yang aku ingin kan. Tapi...

"aku mau kuliah ke Jerman, tapi aku ingin, pak Dirman ikut dengan ku.." ucapku, kepada mama dan papa, saat mereka menyampaikan keinginan mereka, agar aku melanjutkan kuliah ke luar negeri.

"kenapa harus bersama pak Dirman?" tanya papa ku.

"karena hanya pak Dirman yang bisa mengerti aku seutuhnya. Hanya dia yang bisa aku percaya untuk tempat aku berkeluh kesah.." balasku.

Meski pun alasan ku yang sebenarnya mengajak pak Dirman ikut dengan ku, hanyalah karena aku tidak sanggup berpisah dengannya. Aku sangat mencintai pak Dirman, dan aku tidak ingin jauh-jauh darinya.

"pak Dirman itu sudah punya istri dan anak. Jadi gak mungkin, ia ikut bersama kamu ke Jerman, sementara istri dan anaknya tinggal di sini.." kali ini mama ku yang berbicara.

"tapi, Ma..." ucapan ku terputus.

"sudahlah, Bara. Keputusan kami sudah bulat. Kamu pergi ke Jerman sendirian, tanpa pak Dirman atau tanpa siapa pun. Di sana kamu harus belajar mandiri.." papa memotong ucapan ku cepat.

"kalau memang mama dan papa ingin aku jadi seseorang yang mandiri, kenapa baru sekarang? Kenapa tidak dari sejak aku kecil. Aku sudah terbiasa hidup di atur sepenuhnya oleh kalian. Dan sekarang kalian mengirim aku ke Jerman sendirian, dan meminta aku belajar mandiri. Aku gak bisa.." bantah ku akhirnya.

"itu semua kami lakukan, karena kami sangat menyayangi kamu, Bara. Kami tidak ingin, kamu terjerumus dalam pergaulan yang salah. Dan sekarang kamu sudah dewasa, kamu harus bisa membuat pilihan yang tepat dalam setiap langkah mu..." mama ku berucap lagi.

"pilihan apa yang aku punya saat ini? Kalian memaksa ku pergi ke Jerman sendirian, dan itu bukan pilihan ku.." suara ku mulai bergetar.

"kini saatnya kamu harus menunjukkan kemampuan kamu, Bara. Papa hanya ingin tahu, apa kamu pantas bekerja di perusahaan papa? Dan kepergian kamu ke Jerman, adalah salah satu cara untuk mengetahui hal tersebut.." papa membalas ucapan ku.

"bekerja di perusahaan papa buka pilihan saya dan bukan keinginan saya. Mama dan papa yang terus memaksa saya untuk mengikuti semua keinginan kalian.." bantah ku lagi.

"karena kami tahu, apa yang terbaik buat kamu, Bara. Jadi kamu tidak bisa menolak lagi, apa yang sudah kami putuskan untuk hidup mu. Dan sekarang, mau tidak mau, suka tidak suka, kamu harus melanjutkan kuliah ke Jerman. Sendirian." tegas suara papa berbicara.

Dan seperti biasa, aku hanya bisa kembali terdiam. Kalau papa sudah berkata seperti, tidak akan ada lagi yang mampu mengubah keputusannya. Aku harus menerima hal tersebut.

"oke.. aku akan ikuti kemauan kalian. Aku akan melanjutkan kuliah ke Jerman. Tapi dengan syarat, kalian tidak boleh memecat pak Dirman. Pak Dirman harus tetap bekerja di rumah ini, sampai aku kembali lagi ke sini.." begitu ucapku akhirnya, setelah tidak tahu lagi harus berkata apa.

****

"itu semua kan untuk masa depan nak Bara. Jadi menurut saya, memang sudah seharusnya nak Bara ikuti saja keinginan orangtua nak Bara.." ucap pak Dirman, saat aku menceritakan hal tersebut padanya. Ketika malam itu, ia kembali datang ke kamar ku.

"tapi aku gak sanggup berpisah dari pak Dirman. Aku sangat mencintai pak Dirman. Aku ingin selalu bersama pak Dirman.." balasku parau.

"aku juga sangat menyayangi nak Bara. Tapi kita gak bisa berbuat apa-apa saat ini. Lagi pula, ini kan hanya sementara. Nanti kalau nak Bara sudah dapat gelar S2 nya, kan bisa kembali lagi ke sini..." ucap pak Dirman.

"iya, pak Dirman. Tapi.. pak Dirman harus janji padaku. Pak Dirman harus menunggu aku di sini, sampai aku kembali lagi. Dan nanti, saat musim liburan, aku juga pasti pulang ke sini, kok..." balasku dengan nada manja.

"saya pasti setia menunggu nak Bara di sini. Saya janji.." ucap pak Dirman terdengar meyakinkan.

Aku dengan lembut meraih jemari pak Dirman. Ku genggam jemari itu dengan erat, seakan tak ingin melepaskannya. Berpisah dengan pak Dirman adalah hal terberat dalam hidup ku saat ini. Aku sudah terlanjur terbiasa, menghabiskan hari-hari bersama pak Dirman.

"aku sangat mencintai pak Dirman..." bisik ku pelan, sambil ku kecup lembut punggung tangannya.

Pak Dirman tersenyum penuh arti. Ia mengerti, kalau itu adalah kode dari ku, jika aku ingin meminta 'jatah' dari nya.

Lalu perlahan wajahnya pun mendekat. Aroma napasnya yang khas tercium di hidung ku. Aroma itu begitu menenangkan. Aku segera mendekap tubuh kekar pak Dirman. Aku merasakan kehangatan yang membuat aku merasa nyaman. Sangat nyaman.

"aku pasti akan sangat merindukan, pak Dirman.." bisik ku lagi, kali ini lebih dekat.

"aku juga pasti akan sangat merindukan, nak Bara..." balas pak Dirman, sambil ia memegang kedua pipi ku, lalu di kecupnya lembut kening ku. Kecupan yang membuat aku semakin tak ingin berpisah darinya.

"kita pasti akan bersama lagi, nak Bara. Kita hanya harus bersabar.." ucap pak Dirman lagi.

Dan untuk selanjutnya, seperti biasa, kami pun memulai ritual kami malam itu. Tapi kali ini rasanya beda. Aku dapat merasakan, betapa pak Dirman ingin membuat aku merasa lebih terkesan. Ia berusaha memberikan suatu kenangan indah, yang tidak mungkin akan aku lupakan seumur hidup ku.

****

Dan setelah menyelesaikan segala sesuatunya, aku pun akhirnya terbang ke Jerman. Sendirian.

Akh, berat sekali rasanya hal itu. Bukan karena harus berpisah dengan kedua orangtua ku, yang membuat aku merasa berat untuk pergi. Tapi karena harus berpisah dengan pak Dirman, orang yang paling aku cintai saat ini.

Meski pun sebenarnya, aku dan pak Dirman masih bisa terus berhubungan, melalui handphone tentunya. Kami masih bisa video call, untuk melepaskan rasa rindu kami. Tapi, aku tidak lagi bisa merasakan hangatnya dekapan pak Dirman, kala malam datang.

"kita masih bisa melakukannya dari jarak jauh, nak Bara.." ucap pak Dirman lewat panggilan video call, saat akhirnya aku sudah sampai ke Jerman, dan sedang berada di apartemen ku. Itu adalah panggilan pertama ku ke Indonesia. Karena orang yang pertama kali aku hubungi memang pak Dirman, bukan orangtua ku.

"iya sih, pak Dirman. Tapi... apa bisa seasyik saat kita melakukannya langsung?" balasku pelan.

"kita coba aja, nak Bara. Siapa tahu, memang lebih asyik. Dan setidaknya, bisa sedikit mengobati rasa kangen kita akan hal tersebut.." ucap pak Dirman lagi.

"emangnya sekarang pak Dirman lagi dimana?" tanya ku, mulai merasa penasaran.

"lagi di kamar.." balas pak Dirman terdengar santai.

"loh, istri pak Dirman ada disana?" tanya ku, merasa cemas.

"nak Bara tenang aja. Istri saya lagi pergi belanja ke pasar, dan masih lama pulangnya.." balas pak Dirman terdengar santai.

"oke, pak Dirman, kalau bergitu kita coba ya.." ucapku kemudian.

"siap, nak Bara.. saya sudah stand by dari tadi, kok.. he...he..." balas pak Dirman dengan di akhiri sebuah tawa ringan.

Aku melihat pak Dirman mulai berbaring di atas tempat tidurnya, sementara aku juga berusaha merebahkan tubuhku di atas ranjang ku. Bersiap-siap untuk memulai 'ritual' jarak jauh kami.

Namun tiba-tiba, panggilan kami terganggu. Mama ku tiba-tiba menelpon. Ia mungkin khawatir, karena aku belum mengabarinya dari tadi. Mau tidak mau, aku harus mengakhiri panggilan ku bersama pak Dirman, dan menerima panggilan dari mama ku.

"ya, Ma. Ada apa?" sapa ku, saat akhirnya panggilan mama ku terhubung.

"loh, kok nanya nya gitu?" balas mama ku terdengar kurang senang.

"habis mama sih, nelpon nya di saat yang gak tepat.." ucapku berlagak kesal.

"mama tuh khawatir, Bara. Mama takut terjadi apa-apa sama kamu. Dari tadi mama nunggu telpon dari kamu, tapi kamu nya gak nelpon-nelpon. Kan udah mama bilang kemarin, kalau kamu udah sampai segera kabari mama.." balas mama mulai berceloteh.

"iya, ma. Ini Bara baru aja sampai, dan mau nelpon mama, tapi mama buru-buru nelpon. Udah ya, ma. Bara capek. Mau istirahat dulu.." ucapku akhirnya, tak ingin mendengarkan ocehan mama selanjutnya.

"oke.. kamu hati-hati ya di sana.." balas mama kemudian.

Lalu setelah mengucapkan salam, aku pun segera memutuskan panggilan telpon mama ku. Buru-buru aku kembali, menghubungi pak Dirman, takut istrinya sudah pulang belanja.

Dan sore itu, terjadi lah ritual jarak jauh pertama ku bersama pak Dirman. Dengan di akhiri sebuah rasa yang begitu indah. Meski tak sesempurna, saat kami melakukannya secara langsung, tapi setidaknya hal itu cukup untuk mengobati ras rindu ku akan pak Dirman.

***

Aku mencoba menjalani hari-hari ku dengan suasan baru di negeri orang. Menikmati kesendirian dan kesepian ku. Menahan semua kerinduan ku akan kehadiran pak Dirman.

Meski pun kami masih terus menjalin komunikasi dengan rutin, tapi tetap saja keinginan untuk bertemu langsung dengan pak Dirman, terus menyiksa ku setiap saat.

"nak Bara yang sabar, dong. Kita pasti bisa melewati ini semua... Yang penting kita sama-sama saling menjaga kesetiaan kita.." ucap pak Dirman berusaha menenangkan ku, saat untuk kesekian kalinya, kami melakukan panggilan video call.

"iya, pak Dirman... aku akan berusaha untuk sabar menjalani ini semua.." balasku dengan nada lemah.

"oh, ya.. sebentar lagi kan musim liburan, nak Bara pulang gak?" ucap pak Dirman kemudian, sambil sedikit bertanya.

"ya pasti pulang lah, pak Dirman. Tapi itu kan masih dua bulan lagi.. Masih lama.." balasku.

"dua bulan mah gak lama, nak Bara..." pak Dirman berucap lagi.

"satu hari aja gak ketemu pak Dirman rasanya sudah setahun, apa lagi dua bulan.." balasku sedikit menggodanya.

"ah.. nak Bara bisa aja." suara pak Dirman terdengar tersipu. "apa sih yang membuat nak Bara tetap mempertahankan saya? Padahal.. disana kan banyak cowok-cowok keren..." lanjut pak Dirman kemudian.

"hidup ku sudah lengkap dengan kehadiran pak Dirman, jadi aku gak butuh siapa-siapa lagi dalam hidup ku. Pak Dirman sudah cukup untuk membuat aku merasa sempurna." balas ku penuh perasaan.

"tapi.. aku hanya seorang sopir..." pak Dirman sengaja menggantung kalimatnya.

"aku gak peduli siapa pak Dirman, yang penting aku merasa bahagia saat bersama pak Dirman, dan itu sudah lebih dari cukup bagi ku... Jadi, aku mohon, pak Dirman jangan pernah berkata seperti itu lagi, ya.." balasku cepat.

"iya, nak Bara. Saya hanya merasa gak pantas untuk nak Bara perjuangkan seperti ini. Saya jadi semakin sayang sama nak Bara.." ucap pak Dirman akhirnya.

Dan begitulah, hubungan ku dengan pak Dirman tetap terjalin dengan indah, meski jarak dan waktu sudah coba memisahkan kami. Aku dan pak Dirman seakan tidak akan terpisahkan lagi, apa pun yang akan terjadi nantinya. Kami akan bersama selamanya.

Semoga..

****

Kisah menarik lainnya :

Pak Dirman, sopir pribadi ku (part 1) 

Cinta untuk sang personal trainer part 2

Cinta untuk sang personal trainer part 1

Indahnya mendua 

Bersama mahasiswa KKN

Cinta untuk sang kurir tampan (part 3)

Cinta untuk sang Kurir tampan (part 3)

Cinta untuk sang kurir tampan (part 1)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google