Ketidakberuntungan terus mengikuti setiap langkah kakiku. Dan aku mulai lelah dengan hidup ini.
Rasa sakit karena harus kehilangan orang yang aku cintai, di tambah lagi, harus tertipu oleh orang yang selama ini aku percayai, membuatku semakin terpuruk.
Aku terjebak pada yang namanya kehidupan.
Andai aku bisa keluar dari semua itu?
Andai aku bisa mengakhiri semuanya?
Tapi sekali lagi aku hanya bisa pasrah.
Bertahun-tahun berlalu, Sinta bahkan sekarang udah kuliah.
Aku memang masih mampu membiayai hidup kami, membayar kontrakan rumah, membayar uang kuliah Sinta dan juga kebutuhan harian kami.
Namun hutangku pada mas Donald tak juga kunjung lunas.
Hingga suatu saat, aku bertemu om Danang. Seorang laki-laki paroh baya, yang baru saja menjadi pelangganku.
Om Danang tidak tampan, tapi tubuhnya gempal berotot.
Aku suka melayani om Danang, karena ia sangat pandai membuatku terbuai dengan permainan indahnya.
Om Danang melakukan semuanya dengan penuh perasaan, bukan sekedar mengumbar nafsu sesaat.
"om suka sama kamu, Bal. Om belum pernah bertemu dengan laki-laki seperti kamu." ucap om Danang suatu malam, ketika ia kembali membookingku.
"kamu sangat baik dan penuh perasaan. Om pengen kita menjalin hubungan yang lebih serius.." lanjutnya, sambil menatapku manja.
"maksud, om?" tanyaku lembut.
"om ingin membawa kamu ke rumah om. Kebetulan om tinggal sendiri di kota ini. Istri dan anak-anak om tinggal di kampung. Om biasanya pulang ke kampung sekali seminggu." balas om Danang.
Aku terdiam beberapa saat. Aku ingat dulu pak Brata pernah menawarkan hal yang sama padaku. Tapi karena akhirnya aku ketahuan berpacaran dengan anak gadisnya, pak Brata tak pernah lagi menemuiku.
Aku juga harus kehilangan gadis yang aku cintai itu.
"aku gak bisa, om.." ucapku pelan.
"kenapa? Apa kamu gak suka sama om?" tanya om Danang.
"bukan karena itu, om. Tapi aku punya banyak hutang pada mas Donald, bosku itu." jawabku jujur.
"seberapa banyak?" tanya om Danang lagi.
Aku menyebutkan jumlah hutang yang harus aku lunasi.
Om Danang mengerutkan dahi tiba-tiba, wajahnya terlihat keheranan.
"kenapa kamu bisa punya hutang sebanyak itu?" tanyanya kemudian.
Aku pun menceritakan semua hal yang telah menimpa hidupku selama ini. Aku tidak berharap apa-apa dengan menceritakan hal tersebut. Tapi setidaknya ada kelegaan tersendiri, saat aku mampu mengungkapkan semua keluh kesahku selama ini.
"jadi kamu punya adik perempuan?" tanya om Danang, setelah aku selesai bercerita.
Aku mengangguk ringan.
"kalau pun aku tidak punya hutang, aku juga gak bisa tinggal serumah dengan om, karena aku tidak mungkin meninggalkan adikku sendirian di rumah." jelasku lagi.
Kali ini om Danang terdiam. Ia terlihat berpikir keras.
*****
"om sudah melunasi semua hutang-hutang kamu sama Donald. Sekarang kamu bebas..." ucap om Donald seminggu kemudian, saat kami kembali bertemu di sebuah kamar hotel.
Aku menatap om Danang dengan raut muka tak percaya.
Aku masih tidak percaya kalau om Danang akan melakukan hal itu untukku.
"sekarang om ingin aku bagaimana?" tanyaku akhirnya, setelah cukup yakin kalau ucapan om Danang barusan benar-benar serius.
"aku ingin kita menjalin hubungan yang lebih serius, Bal. Aku benar-benar telah jatuh cinta padamu.." lembut suara om Danang berbisik di telingaku.
Ia perlahan merangkul tubuhku ke dalam dekapan hangatnya.
Meski sebenarnya aku tidak menginginkan hal ini, tapi rasanya kebaikan om Danang padaku, tidak bisa aku abaikan begitu saja.
"tapi aku tidak bisa tinggal serumah bersama om Danang.." ucapku kemudian.
"itu tidak masalah bagi om, Bal. Yang penting kamu selalu punya waktu untuk om, dan om harap kamu tidak lagi bekerja sebagai seorang therapist." balas om Danang, sambil terus mendekapku kian erat.
"om punya tawaran pekerjaan buat kamu." lanjutnya.
"aku gak punya keahlian apa-apa, om.." balasku dengan nada lesuh.
"kamu bisa nyetir, kan?" tanya om Danang kemudian.
"bisa, om. Tapi aku gak punya SIM.." jawabku cepat.
"itu bisa kita urus belakangan. Yang penting kamu bersedia. Om pengen kamu jadi sopir pribadi om. Apa kamu mau?" tanya om Danang lagi.
"aku mau om. Tapi aku ingin setiap bulan gajiku di potong untuk membayar hutangku sama om Danang." balasku lagi.
"kamu gak punya hutang apa-apa sama saya.." ucap om Danang tegas.
"om Danang udah melunasi semua hutangku pada mas Donald. Itu artinya sekarang aku punya hutang sama om Danang. Dan aku ingin melunasinya, meski dengan cara di cicil. Karena aku tidak ingin selamanya hidup dalam beban hutang." ucapku kemudian.
"oke. Kalau itu yang kamu inginkan.." balas om Danang lagi.
Kali ini ia sedikit melonggarkan dekapannya.
Namun tangannya mulai beraksi menyentuh bibirku dengan lembut.
Perlahan wajah itu kian mendekat. Aku memejamkan mata.
Walau sudah teramat sering melakukan hal tersebut, bahkan dengan laki-laki yang berbeda. Aku tetap saja merasa tidak nyaman melakukannya.
Tapi saat ini, aku memang hanya bisa pasrah.
Aku tidak pernah menginginkan hidup seperti ini. Tapi sekali lagi, takdir memang tidak selalu memihak padaku.
Aku terlepas dari belenggu hutang yang mengikatku dengan mas Donald, yang membuatku terpaksa menjadi seorang therapist.
Namun sekarang aku harus kembali terikat dengan om Danang.
Tapi setidaknya, sekarang aku tidak lagi harus melayani banyak laki-laki hanya untuk melunasi hutang-hutangku.
Meski dengan perasaan berat, om Danang akhirnya berhasil membawaku kembali berlayar dalam lautan kemesraannya.
Kami berusaha mendayung bersama, mencapai dermaga penuh keindahan.
Om Danang memang selalu bisa membuatku terbuai. Ia sangat mahir melakukan hal tersebut.
Yang membuatku kembali terjebak dalam lautan dosa penuh keindahan.
Dan aku mulai bisa menikmatinya.
*****
Setahun aku bekerja dengan om Danang. Menjadi sopir pribadinya bukanlah tugas yang berat.
Namun saat ia meminta aku untuk melayaninya, itulah saat terberat bagiku.
Meski aku selalu berusaha untuk membuat om Danang merasa puas.
Hari-hari yang ku lalui menjadi lebih baik dari biasanya. Aku tidak lagi menjadi seorang therapist yang harus melayani laki-laki.
Hutangku pada om Danang pun sudah mulai berkurang.
"kenalkan ini Dody, mas.." suara Sinta, adikku, membuyarkan keterkagetanku melihat Sinta yang pulang bersama seorang laki-laki ke rumah kontrakan kami.
Sinta memang sudah dewasa sekarang. Ia mungkin sudah mulai jatuh cinta dan berpacaran.
Aku yakin, Dody yang diperkenalkannya itu adalah pacarnya. Meski Sinta hanya mengakui kalau mereka hanya berteman.
"Dody teman kuliahku, mas." jelas Sinta melihat tatapan kecurigaanku.
Kami ngobrol bertiga di ruang tamu. Aku mempertanyakan beberapa hal pada Dody, sekedar ingin tahu latar belakang kehidupannya.
Ternyata Dody anak seorang pengusaha kaya. Tapi ia memilih untuk tinggal di sebuah kost.
"itung-itung belajar mandiri, mas. Dan lagi dengan tinggal di kost, aku jadi lebih dekat ke kampus." jelas Dody di sela-sela obrolan kami.
Aku tidak masalah, Sinta mulai berpacaran. Tapi sebagai kakak, aku juga harus tahu, siapa laki-laki yang dekat dengan Sinta.
Dan menurutku Dody laki-laki yang baik dan sopan. Karena itu, aku tidak mempermasalahkan kedekatan Sinta dengannya.
Namun seminggu kemudian, aku akhirnya tahu, kalau ternyata Dody adalah putra sulung dari om Danang.
Hal ini tentu saja menjadi sebuah dilema tersendiri bagiku.
Di satu sisi aku mulai menyukai sosok Dody, sebagai pasangan Sinta.
Namun di sisi lain, rasanya cukup aneh, saat mengetahui kalau Dody ternyata adalah anak dari seorang pria gay. Dan aku justru berhubungan dengan sang ayahnya, om Danang.
"jadi adikmu pacaran dengan anakku?" tanya om Danang sekali lagi, ia seperti setengah tak percaya dengan yang aku ceritakan.
"iya, om.." jawabku lugas.
"jadi masalahnya apa?" tanya om Danang lagi.
"aku juga gak tahu, masalahnya apa om. Hanya saja rasanya dunia ini terlalu sempit. Aku seperti berputar-putar di tempat yang sama.." jawabku lagi.
Aku ingat, dulu aku pacaran dengan Ningsih, yang ternyata adalah anak pak Brata, salah satu langganan pijatku.
Sekarang adikku, justru berpacaran dengan anak salah seorang pelanggan pijatku yang kini menjadi bosku. Dan sampai saat ini kami masih sering berhubungan intim.
"jadi kamu maunya gimana?" tanya om Danang kemudian.
Aku hanya terdiam. Karena aku juga tidak tahu harus gimana.
Aku tidak mungkin melarang Sinta berhubungan dengan Dody, tanpa alasan yang jelas. Dan aku juga tidak mungkin mengakhiri hubunganku dengan om Danang, karena aku masih terikat hutang dengannya.
Pada akhirnya, sekali lagi aku hanya bisa pasrah dan membiarkan takdir menjalankan tugasnya.
Karena aku hanya laki-laki biasa yang tak pernah bisa melawan takdir.
******
Untung tak dapat di raih, malang tak dapat di tolak.
Sebuah kecelakaan akhirnya merenggut nyawa om Danang.
Hari itu, om Danang menyetir sendiri mobilnya, menuju kota Solo, tempat dimana istri dan anak-anaknya tinggal, selain Dody tentunya.
Namun malang bagi om Danang, sebuah kecelakaan beruntun dalam perjalanan tersebut, membuat om Danang tewas saat itu juga. Setidaknya begitulah informasi yang aku dapat.
Dody juga udah cerita sama Sinta, tentan kecelakaan tersebut.
Aku dan Sinta ikut melayat ke rumah duka di Solo.
Kejadian tragis tersebut, benar-benar membuatku terhenyak.
Karena secara otomatis aku akan kehilangan pekerjaanku. Walau di sisi lain, aku juga telah terbebas dari hutangku pada om Danang.
Tapi tetap saja, aku merasa kehilangannya. Om Danang laki-laki yang baik. Ia sudah sangat berjasa dalam hidupku.
Entah ini sebuah keberuntungan atau justru sebaliknya.
Namun yang pasti aku sekarang tidak punya alasan lagi, untuk tidak menyetujui hubungan Sinta dan Dody.
Bebanku jadi sedikit berkurang, karena tidak lagi terikat hutang dengan siapapun.
Tapi aku bingung saat ini, karena sudah tidak punya pekerjaan lagi. Sementara aku masih harus tetap memenuhi kebutuhan hidup kami, terutama untuk kontrak rumah dan biaya kuliah Sinta.
"Dody ingin melamarku, mas.." ucap Sinta, setelah hampir dua bulan kemudian.
"tapi dia kan masih kuliah, Sin.." balasku berat.
Sudah dua bulan aku menjadi pengangguran, tabunganku sudah benar-benar terkuras.
"Dody sekarang udah kerja, Mas. Ia terpaksa menggantikan ayahnya untuk mengelola perusahaan." jelas Sinta kemudian.
"terserah kamu aja, Sin. Kalau kamu merasa udah siap, mas tidak jadi masalah. Apa lagi saat ini, mas sepertinya juga sudah tidak sanggup membiayai kamu kuliah." jawabku akhirnya, masih dengan nada yang sangat berat.
*****
Sinta dan Dody akhirnya menikah.
Sinta ikut bersama suaminya, dan mereka tinggal di rumah yang dulunya di tempati om Danang.
Sementara aku masih menjadi seorang pengangguran.
Beruntunglah Sinta bersedia membayar kontrakan rumah selama beberapa bulan ke depan.
"mas tinggal bersama kami aja, mas.." tawar Dody suatu hari.
"gak usah, Dy. Aku gak apa-apa tinggal sendiri, kok. " jawabku yakin.
Dody juga pernah menawarkan aku bekerja di kantornya. Namun selain karena aku memang tidak punya skill apa-apa, aku juga merasa tidak enak hati harus selalu merepotkan adik iparku tersebut.
Sekali lagi, untuk bertahan hidup, aku harus bekerja keras dan berjuang sendiri.
Hidup susah dan serba kekurangan bukanlah hal baru bagiku. Bahkan mungkin hampir sepanjang hidupku, aku mengalaminya.
Namun setidaknya sekarang, aku tidak perlu lagi mencemaskan Sinta. Karena hidupnya sudah jauh lebih baik sekarang, sejak ia menikah dengan Dody.
"apa kabar kamu, Bal?" seorang laki-laki menyentuh pundakku, saat aku termangu sendiri di bangku sebuah taman, sedang memikirkan perjalanan hidupku.
Aku menoleh laki-laki tersebut. Keningku berkerut tiba-tiba, tak menyangkan akan bertemu dengan laki-laki itu lagi.
"Regen..." ucapku dengan suara berat.
Regen duduk di sampingku tanpa sungkan. Meski kami sudah bertahun-tahun tak bertemu, tapi Regen terlihat masih sangat akrab denganku.
Regen adalah senior sekaligus sahabatku, saat aku masih bekerja di SPA sebagai therapist dulunya.
"ya beginilah, Gen. Akhirnya aku merasakan seperti apa yang kamu ceritakan dulu.." ucapku akhirnya, setelah merasa sedikit tenang.
"hanya saja bedanya, aku tidak di campakkan om-ku. Tapi ia sudah meninggal.." lanjutku lagi.
"aku sudah tahu tentang kecelakaan itu.." balas Regen, "karena itu, aku berusaha mencari kamu. Siapa tahu, kamu masih berminat untuk menjadi seorang therapist." Regen melanjutkan.
Aku menatap Regen tajam. Setengah tak percaya dengan apa yang ditawarkannya.
"aku serius, Bal. Dari pada kamu jadi pengangguran gak jelas seperti ini, kan.." Regen berucap lagi, berusaha membuatku percaya.
Aku tahu, aku bisa kembali kapan saja, untuk menjadi seorang tukang pijat. Tapi aku sedang berusaha untuk tidak memilih hal tersebut.
Aku ingin punya pilihan lain dalam hidup ini.
Tapi seperti yang aku katakan sejak awal, tidak banyak pilihan untuk orang-orang sepertiku.
Keberuntungan tidak pernah benar-benar memihak padaku.
Dan suka tidak suka, sepertinya aku harus kembali menjalani profesiku menjadi seorang therapist.
Sepertinya hanya itu pilihan yang aku punya saat ini.
Aku tidak ingin selalu membebani Sinta, adikku, dan suaminya.
Dan tentu saja aku tidak ingin selamanya menjadi pengangguran seperti saat ini.
Hanya saja aku tidak ingin selalu menjadi pelayan bagi laki-laki yang menjadi pelangganku.
"kamu tidak harus selalu melayani mereka, kok. Kamu bisa menolak, kalau kamu memang tidak suka.." ucap Regen, saat aku mempermasalahkan hal tersebut.
"hanya saja, pendapatan kamu tentu saja akan lebih sedikit. Dan kamu akan sulit mendapat pelanggan yang tujuannya hanya untuk pijat.." lanjut Regen.
Aku memang tidak punya beban hutang lagi saat ini, karena semua hutangku pada mas Donald sudah dilunasi oleh om Danang.
Jadi setidaknya aku masih memilih siapa pelanggan yang bisa aku layani dan siapa yang tidak ingin aku layani.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih