Langsung ke konten utama

Adsense

Nasib cinta seorang therapist (part 5) ending

Menjadi seorang therapist bukanlah sebuah pilihan. Tapi untuk orang seperti saya, yang tidak punya skill apa-apa dan hanya mengandalkan ijazah SD, menjadi tukang pijat adalah pilihan terbaik saat ini.

Banyak yang menyarankan saya, untuk berhenti menjadi seorang therapist dan mencoba mencari pekerjaan lain.

Aku bukannya tidak berusaha mencari pekerjaan lain, tapi sampai saat ini, belum ada satu pun pekerjaan yang aku dapatkan.

Sebenarnya menjadi seorang tukang pijat bukanlah sebuah pekerjaan yang buruk, selama masih dalam batas sekedar memijat orang. Tanpa ada embel-embel pelayanan plus-nya.  

Namun image seorang therapist di jaman sekarang, memang terkesan seperti itu.

Karena jika tidak, seorang tukang pijat tidak akan mudah mendapatkan pelanggan.

Kecuali jika kita punya keahlian khusus dalam dunia pijat, bukan hanya mengandalkan sebuah elusan di tubuh pelanggan.

"sudah seminggu kamu belum mendapatkan pelanggan satu pun, Bal.." suara Regen, rekan kerja ku, tiba-tiba mengagetkanku.

"sudah saya katakan dari awal, jika kamu hanya sekedar memijat, kamu akan sangat sulit mendapatkan pelanggan." Regen melanjutkan.

"setiap kali ada pelanggan, kamu selalu menolak. Jelas hal ini, akan mempengaruhi kinerja kamu, Bal. Terutama untuk pemasukan kamu.." lanjut Regen lagi.

Aku tidak memungkiri hal tersebut.

Setiap ada pelanggan, aku selalu menanyakan kepada mereka layanan apa yang mereka inginkan. Dan apa bila mereka meminta pelayanan lebih, maka aku akan menyerahkannya kepada therapist lainnya.

Meski pun resikonya, aku akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan uang.

Sudah seminggu aku tidak mendapat pemasukan apa-apa.

Namun begitulah resikonya. Jika tidak mau memberi pelayanan plus kepada pelanggan, maka pemasukan juga akan berkurang, bahkan hampir tidak ada.

Aku benci dengan hidupku. Aku benci dengan semua yang aku jalani ini.

Namun aku tidak bisa berbuat banyak. Keadaan selalu memaksaku untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak aku inginkan.

Lelah rasanya menjalani ini semua.

"hidup ini pilihan, Bal. Dan setiap pilihan itu selalu ada resikonya.." terngiang kembali ucapan bijak seorang pelangganku dulu.

Andai mereka tahu, tidak banyak pilihan untuk orang-orang sepertiku.

"kali ini kamu gak bisa menolak, Bal. Karena hanya kamu satu-satunya yang kosong hari ini.." suara Regen lagi, ke esokan harinya.

"kamu kan bisa, Gen.." timpalku tanpa selera.

"aku juga sudah ada pelanggan, sebentar lagi aku akan berangkat...." balas Regen.

"kamu tenang aja, kali ini orangnya masih muda. Dan sepertinya dia orang kaya.." lanjut Regen.

Sebenarnya gak bedanya bagiku. Orang kaya atau tidak, masih muda atau sudah tua sekali pun, yang mereka inginkan dari ku tetap sama.

Setelah dibujuk beberapa kali oleh Regen, akhirnya aku menerima tawarannya kali ini.

Bukan saja karena aku satu-satunya therapist yang kosong hari ini, tapi juga karena sudah lebih dari seminggu aku tidak ada pemasukan. Uang ku sudah mulai menipis.

Setengah jam kemudian, aku sampai ke sebuah hotel mewah di tengah-tengah kota.

Sesuai dengan alamat yang telah di berikan Regen tadi, aku langsung menuju kamar yang dimaksud.

Seorang laki-laki muda menyambutku dengan senyum ramahnya.

Laki-laki itu memang terlihat masih muda, mungkin usianya dua tahun lebih muda dariku.

"Andika!" tegas laki-laki itu menyebut namanya, sambil menggenggam tanganku erat.

"Iqbal.." jawabku lugas.

Andika tidak tampan, tidak juga bisa dibilang jelek. Wajahnya benar-benar biasa.

Kulitnya sawo matang, khas kulit orang Indonesia. Wajahnya oval dengan hidung yang sedikit bengir.

Tubuhnya cukup berotot dan kekar. Kulitnya terlihat bersih dan terawat dengan baik.

Akh. Entah mengapa, setiap kali aku mendapatkan pelanggan, aku selalu memperhatikan keadaan fisik orang tersebut.

Mungkin karena aku tahu, mereka pasti akan memintaku memberi pelayanan lebih.

Aku paling tidak suka harus melayani orang yang tubuhnya tidak terawat dengan baik, aku pasti merasa jijik.

Namun jika orangnya terlihat bersih, aku akan menjadi sedikit punya selera untuk melayani mereka.

Dan Andika termasuk tipe orang yang bisa aku layani.

Aku berusaha memasang senyum seramah mungkin kepada Andika. Aku tidak ingin meninggalkan kesan yang buruk pada laki-laki tersebut.

"udah pernah pijit sebelumnya, mas?" tanyaku berbasa-basi, sebelum aku mulai memijatnya.

"panggil nama aja, gak usah pakai mas. Aku bukan orang Jawa.." balas Andika, seakan mengabaikan pertanyaanku.

"oh, maaf kalau begitu. Enaknya aku panggil apa ya? Andi atau Dika?" ucapku mencoba mengakrabkan diri.

"panggil Dika aja.." balas laki-laki itu, dengan suara sedikit manja.

Aku pun mulai memijat bagian kaki Andika. Kaki yang di penuhi bulu-bulu halus itu, terasa lembut di tanganku.

"aku pernah beberapa kali pijat, tapi aku belum pernah menemukan tukang pijat yang benar-benar cocok denganku.." suara Andika di sela-sela pijatanku.

"dan sepertinya pijatan kamu cukup enak. Kamu pasti sudah sangat berpengalaman di bidang ini ya..?" lanjut Andika bertanya.

"gak juga, Dik. Aku juga masih belajar.." jawabku mencoba terdengar akrab.

"aku jarang sekali pulang ke Indonesia. Sebenarnya aku tinggal dan bekerja di Belanda. Kebetulan sekarang aku pulang ke Indonesia, karena ada acara keluarga.." Andika memulai ceritanya.

"aku baru saja sampai kemarin, dan karena merasa sangat capek, aku mencoba mencari tukang pijat di kota ini. Seorang teman merekomendasikan tempat bang Iqbal bekerja.."

"Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamaku perempuan, sudah menikah dan sudah punya dua orang anak. Kakak kedua ku, laki-laki, juga sudah menikah. Dan ia bekerja di perusahaan papa."

"aku sendiri sebenarnya di Belanda juga menjalankan salah satu perusahaan papa. Tapi aku tinggal sendirian di sana. Mama dan papa lebih memilih untuk menghabiskan masa tuanya di Indonesia."

"aku lahir dan besar di Belanda, karena dulu papa dan mama juga menetap di sana."

Andika memelankan suaranya, saat aku mengurut bagian punggungnya.

Aku suka, kalau pelangganku lebih terbuka padaku. Itu artinya, mereka menaruh kepercayaan lebih kepadaku, untuk sekedar mendengarkan kisah hidupnya.

Karena itu, aku berusaha menyimak setiap cerita Andika, sambil aku terus memijatnya.

"apa kamu gak punya keinginan untuk menetap di Indonesia?" tanyaku, sambil meminta Andika memutar tubuhnya untuk telentang.

"di Indonesia aku tidak punya teman. Jadi aku lebih memilih untuk melanjutkan hidup di negara Belanda. Bahkan mungkin sampai aku menua di sana.." jawab Andika, sambil menyunggingkan senyum manis.

"biasanya bang Iqbal memberikan pelayanan lebih pada pelanggan?" tanya Andika tiba-tiba, setelah untuk beberapa saat ia terdiam, menikmati setiap pijatanku di dadanya.

"gak selalu, Dik. Aku juga gak mau sembarangan.." jawabku cukup jujur.

"bang Iqbal milihnya yang berduit atau yang sesuai selera bang Iqbal?" tanya Andika lagi, sambil tangannya menyentuh lenganku.

"gak dua-duanya, Dik. Aku hanya memberikan pelayanan lebih, jika aku benar-benar lagi butuh uang. Kalau soal selera, sebenarnya aku tidak punya selera pada laki-laki manapun.." jawabku.

"bang Iqbal bukan homo?" tanya Andika dengan sedikit mengerutkan kening.

"dulunya bukan.." jawabku dengan sengaja menggantungkan kalimatku.

"kalau sekarang?" tanya Andika terlihat penasaran.

"sekarang aku gak tahu, Dik. Siapa aku sebenarnya. Sudah teramat sering aku melakukan hubungan dengan banyak laki-laki, meski sebenarnya aku terpaksa melakukan hal tersebut. Bahkan aku pernah jatuh cinta pada seorang pelangganku.." jelasku.

"tapi sejujurnya aku masih selalu punya selera terhadap perempuan. Aku juga beberapa kali pacaran dengan perempuan, meski aku tetap menjalankan profesi-ku sebagai seorang tukang pijat.." lanjutku lagi.

Andika terdiam cukup lama mendengar penuturanku barusan. Ia terlihat mencoba mencerna setiap kalimat yang aku ucapkan padanya.

"kalau boleh tahu, kenapa bang Iqbal sampai terjebak dalam dunia ini?" tanya Andika akhirnya.

Aku menghela napas berat, lalu perlahan mulai menceritakan secara singkat tentang perjalanan hidupku.

"jadi seandainya, bang Iqbal punya kesempatan untuk bekerja di bidang lain, bang Iqbal bersedia?" Andika bertanya kemudian, setelah aku selesai bercerita.

"tentu saja aku bersedia, Dik. Tapi seperti yang aku katakan tadi, aku tidak punya keahlian apa-apa.." jawabku dengan nada lemah.

Kali ini Andika kembali terdiam. Ia terlihat menikmati pijatanku kembali.

"jadi gimana, Dik? Kamu mau mendapatkan pelayanan lebih dariku?" tanyaku, ketika aku selesai memijat laki-laki yang mulai aku sukai itu.

"kalau kamu bersedia, aku mau aja.." jawab Andika lugas.

Aku sebenarnya tidak begitu bersedia. Aku masih merasa trauma. Sejak hubunganku dengan mas Hendri, sang polisi tersebut, kandas. Aku jadi sedikit malas harus melayani laki-laki.

Namun sekarang, aku benar-benar lagi butuh uang. Sudah lebih dari seminggu, aku tidak mendapat pemasukan apa pun.

Karena itu, aku pun mulai memberikan servis tambahan untuk Andika.

Andika terlihat tersenyum senang, saat aku mulai menyentuh tubuhnya kembali.

Kali ini aku menyentuhnya bukan lagi untuk memijatnya, tapi untuk membuatnya terkesan.

Andika terlihat sudah sangat berpengalaman.

Rasanya wajar, mengingat ia tumbuh di negara Belanda. Pasti sudah sangat sering ia melakukan hal tersebut, dengan para bule di negara kincir angin itu.

Mengingat hal itu, aku menjadi sedikit minder. Aku pasti kalah jauh dengan para bule belanda tersebut.

Tapi sepertinya, Andika sangat menikmati apa yang aku lakukan padanya.

"kamu hebat, bang. Aku belum pernah merasakan sensasi keindahan seperti ini sebelumnya.." ucap Andika di sela-sela permainan kami.

"bukannya di Belanda harusnya lebih dari ini, yang kamu dapatkan..." balasku, sambil terus memainkan peranku.

"aku juga gak sembarang kali, bang. Lagi pula orang-orang di sana, permainannya cukup kasar, dan seperti tanpa perasaan.." ucap Andika lagi.

"sebenarnya aku sangat trauma, melakukan hal ini, dengan orang-orang di sana. Aku juga sudah sangat lama tidak melakukan hal ini. Aku lebih suka melakukannya dengan orang Indonesia. Setidaknya lebih cocok dengan ku." Andika melanjutkan kalimatnya.

Setelah berucap demikian, Andika kembali melakukan aksinya. Kali ini ia paling berperan.

Sepertinya Andika sudah tidak bisa mengendalikan dirinya. Ia semakin brutal dan tak terkendali.

Aku mencoba mengimbanginya. Berusaha membuat Andika, merasakan sensasi keindahan yang sesungguhnya.

Pergulatan kamu kian tak terkendali. Aku terbuai dalam lautan sensasi sebuah keindahan.

Aku sudah sangat lama tidak merasakan hal tersebut. Karena itu, aku pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Setelah pergumulan yang cukup panjang, kami akhirnya terhempas hampir bersamaan.

Segalanya terasa menjadi indah bagiku. Andika benar-benar mampu mengimbangi setiap gerakanku.

Dan aku merasa terpuaskan dengan permainan indahnya.

***** 

"aku suka sama bang Iqbal.." lembut suara Andika di telingaku, saat dua hari kemudian, ia kembali membookingku.

"aku bahkan mungkin telah jatuh cinta sama bang Iqbal.." ucapnya melanjutkan.

Sebagai seseorang yang di besarkan di negara Belanda, keterbukaan Andika akan perasaannya, bukanlah menjadi hal yang asing bagiku.

Tapi aku tidak dengan begitu saja percaya, akan apa yang di ungkapkannya.

Bagiku, cinta itu butuh proses. Bukan hanya sebuah pertemuan sesaat, lalu merasakan cinta.

Namun cinta memang terkadang unik, ia tidak bisa ditebak. Kapan dan kepada siapa cinta itu akan jatuh.

"jangan-jangan itu hanya nafsu semata, Dik. Kamu mungkin orangnya baperan.." ucapku akhirnya.

"aku tahu persis apa yang aku rasakan, bang. Aku bukan orang yang gampang jatuh cinta. Tapi semenjak bertemu bang Iqbal dua hari lalu, aku dapat merasakan bahwa betapa aku menginginkan bang Iqbal.." Andika berucap, sambil membelai rambutku lembut.

Kali ini Andika memang tidak meminta aku untuk memijatnya. Ia hanya meminta aku untuk menemaninya mengobrol.

Andika meminta aku untuk berbaring di sampingnya, sambil kami terus saling mengobrol dan mengenal lebih dekat lagi.

"seminggu lagi, aku akan kembali ke Belanda. Aku ingin bang Iqbal ikut denganku.." suara Andika lagi.

"aku ingin bang Iqbal berhenti menjadi seorang tukang pijat. Dan ikut denganku lalu memulai pekerjaan baru.." Andika melanjutkan.

"aku sudah katakan padamu, Dik. Aku tidak punya skill apa-apa.." jawabku datar.

"bang Iqbal kan bisa belajar. Aku akan memberikan kesempatan untuk bang Iqbal belajar menjadi seorang pengusaha, di mulai dengan menjadi asisten pribadi-ku.." ujar Andika, masih dengan terus membelai rambutku.

"apa itu gak berlebihan, Dik. Kita baru saja saling kenal, lho.." ucapku, sambil kali ini memutar kepalaku untuk menatap Andika.

"aku sudah banyak bertemu berbagai macam karakter laki-laki, bang. Namun baru kali ini, aku merasa benar-benar nyaman."

"dan lagi pula, setelah mendengar cerita kehidupan bang Iqbal tempo hari, aku jadi berpikir untuk membantu bang Iqbal keluar dari dunia yang sebenarnya tidak abang inginkan ini.."

Andika tiba-tiba bangkit dari rebahannya. Ia duduk membelakangiku.

"tapi apa harus ke luar negeri?" tanyaku kemudian.

"aku tinggal dan bekerja di sana, bang. Dan aku ingin bang Iqbal hidup bersamaku di sana."

"disana kita akan lebih bebas berhubungan, bang. Selain karena aku tinggal sendirian, di Belanda hubungan seperti kita ini, bukanlah sesuatu yang aneh bagi orang-orang.." Andika berusaha menjelaskan.

Aku bukannya tidak ingin menerima tawaran dari Andika.

Tapi ada beberapa hal yang mengganggu pikiranku.

Pertama, aku belum begitu yakin, kalau Andika benar-benar menginginkanku. Aku takut, sesampai di sana, ia justru akan mencampakkanku.

Dan yang kedua, aku jadi ingat Sinta, adikku satu-satunya itu. Biar bagaimana pun, Sinta adalah keluargaku satu-satunya saat ini, dan begitu sebaliknya.

Meski Sinta sebenarnya sudah cukup bahagia dengan kehidupannya yang sekarang, apa lagi semenjak kehadiran putra pertamanya dan sang suami.

Kehidupan Sinta memang sudah jauh lebih baik sekarang. Tapi aku juga tidak mungkin meninggalkannya sendirian di sini. Aku merasa berat harus berpisah dengan adikku itu.

"percayalah, bang. Aku serius dengan tawaranku. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan, untuk bisa memiliki abang. Aku hidup selamanya bersama bang Iqbal."

"bahkan jika bisa, kita akan menikah di sana, bang. Kita akan membangun rumah tangga kita disana. Kita bisa mengadopsi seorang anak."

"itu merupakan cita-citaku sejak lama, hanya saja aku belum menemukan pasangan yang cocok. Dan saat bertemu bang Iqbal, aku merasa mungkin inilah saatnya bagiku, untuk mewujudkan impianku tersebut.."

Kalimat Andika yang panjang lebar itu, benar-benar membuatku merasa kaget.

Sudah sejauh itukah, rencana Andika untuk hidup kami ke depannya, padahal kami baru saja saling kenal.

"lalu bagaimana dengan orangtua dan keluarga kamu di sini, Dik? Apa kamu tidak memikirkan perasaan mereka?" tanyaku akhirnya, setelah aku terdiam beberapa saat.

"mereka gak perlu tahu, bang. Lagi pula, kalau pun mereka tahu, mereka pasti maklum, kok. Orangtuaku pernah tinggal cukup lama di Belanda, hal-hal seperti itu, sudah biasa mereka dengar..." jawab Andika terdengar yakin.

"aku perlu memikirkan hal ini lebih dalam lagi, Dik. Aku gak mau gegabah dalam mengambil sebuah keputusan. Aku tidak ingin merasakan penyesalan di kemudian hari.." aku berujar juga akhirnya,  setelah cukup lama aku berpikir.

"aku tahu, ini bukanlah hal yang mudah bagi bang Iqbal. Aku tidak akan memaksamu, bang. Namun kalau abang bersedia, aku janji, tidak akan aku biarkan sedetik pun senyum itu hilang dari bibir manis abang..."

"aku akan selalu membuat bang Iqbal merasa bahagia, sehingga tidak akan ada lagi air mata bang Iqbal yang terbuang percuma, karena penderitaan hidup ini...."

Aku benar-benar tersentuh dengan kalimat Andika barusan.

Seandainya kalimat itu, benar-benar dari hati Andika yang terdalam. Rasanya terlalu naif, jika aku menyia-nyiakan kesempatan tersebut.

Tapi....

*****

"mas Iqbal yakin, mau pindah ke Belanda?" Sinta menanyaiku dengan kening berkerut, ketika ke esokan harinya, aku mengutarakan niatku tersebut.

Aku hanya mengangguk pelan, menjawab pertanyaan tersebut.

Sebenarnya aku belum begitu yakin. Namun jika aku tidak menerima tawaran Andika tersebut, aku akan kehilangan kesempatan untuk bisa merubah hidupku.

Aku tidak mau selamanya, menjadi seorang therapist.

"tapi apa iya, harus ke luar negeri, mas? Bukankah lebih baik, kalau mas kerja sama mas Dody aja?" ucap Sinta kemudian.

Dody, suami Sinta, memang sudah sering menawarkan aku pekerjaan di kantornya.

Aku bukannya gak mau kerja di tempat Dody. Tapi Dody dan Sinta sudah terlalu baik padaku selama ini.

Aku tidak ingin selamanya menjadi beban bagi adikku.

Aku juga tidak ingin terkesan memanfaatkan Dody untuk sebuah pekerjaan.

Apa lagi, orang-orang juga tahu kemampuanku. Mereka pasti akan berprasangka buruk, seandainya aku bisa bekerja di kantor Dody, dengan kemampuanku yang sangat terbatas.

Dan terlebih dari itu semua, sebenarnya alasan utamaku tidak mau bekerja dengan Dody ialah, karena aku tidak ingin mengingat lagi, kenanganku bersama almarhum om Danang, ayahnya Dody.

Aku tidak ingin hidup dalam bayang-bayang masa laluku.

Lagi pula dengan ikut bersama Andika ke luar negeri, aku bisa memulai hidupku yang baru, tanpa ada siapa pun yang mengenalku.

"aku gak bisa terus menerus membebani kalian berdua, Sin. Kamu sendiri tahu, kalau aku hanya lulusan SD. Jika aku nekat untuk tetap bekerja di tempat Dody, kamu bisa bayangkan pandangan orang-orang terhadap kita? Terhadap kamu?" ucapku akhirnya, masih berusaha memberi pengertian kepada Sinta.

Meski dengan sangat berat, Sinta akhirnya menyetujui keputusanku tersebut.

"tapi mas harus janji, untuk selalu mengabari Sinta di sini.." ucap Sinta terdengar lemah.

*******

Meski sudah mendapatkan persetujuan dari Sinta, namun tetap saja aku masih merasa ragu.

Keraguanku bukan lagi, akan keseriusan Andika dengan segala rencana indahnya.

Yang aku ragukan sekarang, adalah perasaanku sendiri.

Apakah aku bisa mencintai Andika, seperti ia mencintaiku?

Apakah aku sebenarnya menginginkan hal ini, seperti Andika yang menginginkan ini semua?

Atau apa sebenarnya yang ingin aku kejar disini?

Kehidupan yang lebih baik, atau hanya sekedar mengikuti gejolak hatiku?

Akh.. aku benar-benar jadi bingung.

Tak pernah terpikir olehku untuk pergi meninggalkan negara ini. Apa lagi untuk pergi dalam jangka waktu yang sangat lama.

"ikuti kata hatimu, Bal. Seperti yang pernah aku katakan, pilihan apa pun yang kita ambil dalam hidup ini, sudah pasti akan ada resikonya..." Regen berusaha menasehatiku, ketika aku menceritakan tentang Andika padanya.

"lagi pula gak ada salahnya, kamu mencoba hal-hal baru dalam hidup ini.." lanjut Regen lagi.

Untuk saat ini, aku memang belum mencintai Andika, meski kesan yang ia berikan padaku, mampu membuatku merasa nyaman.

Dan aku yakin, kalau aku pasti bisa belajar untuk mencintainya.

Mungkin ini adalah jalan yang harus aku tempuh. Meski itu artinya, aku akan mengkhianti kodratku sebagai seorang laki-laki.

Aku pernah menjalin hubungan yang serius dengan perempuan. Tapi selalu saja hubunganku kandas.

Aku tidak pernah berhasil dengan perempuan.

Dan aku berharap, dengan Andika aku bisa menjalin hubungan yang lebih baik lagi.

******

Setelah berpikir selama dua hari ini, aku akhirnya, meski masih dengan perasaan ragu, menerima tawaran Andika tersebut.

Ya, aku ingin berpetualang dalam hidup ini. Aku tidak ingin selamanya menjadi seorang tukang pijat.

Dan sekarang lah kesempatanku, untuk memulai petualanganku.

Sinta juga sudah mendapatkan kehidupan yang lebih baik, jadi aku tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya.

Andika juga terlihat sangat serius dengan niatnya tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, aku dan Andika akhirnya berangkat ke Belanda, beberapa hari kemudian.

"jangan lupa kabari Sinta ya, mas.." suara Sinta parau melepaskan kepergianku di bendara.

Andika juga di lepaskan oleh kedua orantuanya dan kedua kakaknya.

Namun mereka terlihat baik-baik saja melepaskan kepergian Andika, karena itu bukan pertama kalinya Andika pergi meninggalkan mereka.

Di atas pesawat, aku duduk di samping Andika, sesuai dengan tiket yang ia pesan.

Andika terlihat tersenyum bahagia menatapku. Aku berusaha membalas senyum itu, dengan sedikit menyunggingkan senyum.

Biar bagaimana pun, ini bukanlah keputusan yang mudah bagiku.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupanku selanjutnya di tempat yang baru.

Berada di negeri asing, yang tidak seorang pun aku kenal.

Aku hanya berharap, Andika benar-benar menepati janjinya.

Ya, semoga saja...

*****

Simak kisah menarik lainnya :

Nasib cinta seorang therapist (part 4)

Nasib cinta seorang therapist (part 3)

Nasib cinta seorang therapist (part 2) 

Nasib cinta seorang therapist (part 1) 

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 3) 

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 2) 

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 1)

Pak Dirman, sopir pribadi ku (part 3)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google