Langsung ke konten utama

Adsense

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 4)

Sebenarnya aku enggan untuk melanjutkan kisah ini. Bukan apa-apa. Akhirnya dari kisah ini, sungguh membuat aku merasa tidak nyaman.

Tapi karena banyaknya, permintaan untuk terus melanjutkan kisah ini, aku dengan sangat terpaksa harus menceritakannya sampai tuntas.

Dan beginilah kisah ku ini berlanjut....

****

Beberapa tahun berlalu, aku dan Bima masih terus menjalin hubungan, meski hanya dalam diam. Kini, anak ku pun sudah mulai tumbuh besar. Sudah sebelas tahun usianya sekarang. Ia juga tumbuh menjadi anak yang cerdas.

Hubungan ku dan Bima selama ini juga berjalan dengan baik. Kami selalu berusaha untuk saling menjaga cinta kami, dan tetap berhati-hati saat kami menghabiskan waktu berdua.

Aku sudah kembali berjualan sayuran seperti biasa. Bima juga terus bekerja di tempatnya bekerja selama ini. Kami juga sama-sama merawat anak ku, dengan baik. Ia tak pernah kekurangan kasih sayang dari kami berdua.

Aku merasa bahagia menjalani itu semua. Aku merasa utuh. Aku tidak butuh apa-apa lagi, selama Bima masih terus bersama ku. Bima bisa melengkapi hidup ku dengan baik. Dan aku semakin menyayanginya.

Namun, setelah bertahun-tahun, tiba-tiba Bima berubah. Ia tak lagi semanis dulu. Ia jadi jarang pulang ke rumah. Ia selalu pulang larut malam, bahkan ia sampai tidak pulang selama beberapa hari.

Awalnya aku coba mengerti, mungkin ia memang lagi sibuk bekerja. Namun lama-kelamaan hal itu mulai membuat aku merasa curiga. Bahkan anak ku juga sering mempertanyakan hal tersebut. Dan hal itu cukup membuat aku merasa kehilangan Bima.

"kamu kenapa sekarang jadi jarang pulang ke rumah, Bim? Kemana aja kamu?" aku bertanya juga akhirnya, saat aku punya kesempatan ngobrol berdua bersama Bima.

"saya sibuk kerja, mas Malik. Urusan saya di luar itu banyak. Hidup saya bukan cuma mengurusi hidup mas Malik dan anak mas Malik aja..." pelan jawaban Bima, namun cukup mampu untuk menggores hatiku.

"kamu kok ngomongnya gitu sih, Bim? Aku kan nanyanya baik-baik..." ucapku berusaha setenang mungkin.

"aku juga jawabnya baik-baik, kok. Mas nya aja yang mudah tersinggung.." balas Bima, dengan sedikit meninggikan nada suaranya.

"emangnya sesibuk apa sih kamu di luar sana, Bim? Sampai kamu udah gak punya waktu lagi buat aku?" aku berusah mengalihkan pembicaraan.

"oke... sekarang saya jujur ya, mas. Sebenarnya... saya udah kembali lagi sama istri saya.. sudah beberapa bulan belakangan ini. Tapi saya gak berani ngomong sama mas Malik. Dan karena mas Malik udah mempertanyakan hal tersebut, saya terpaksa mengatakannya sekarang..." jelas Bima akhirnya.

Oh, aku terdiam sesaat. Entah apa yang aku rasakan saat ini. Kecewa, marah, sakit dan entah rasa apa lagi yang ada dalam hati ku saat ini.

"kenapa kamu harus setega ini sama aku sih, Bim? Salah ku apa?" tanyaku akhirnya.

"mas gak salah apa-apa, kok. Saya hanya merasa ... mungkin sudah saatnya, kita harus mengakhiri semua ini, mas. " balas Bima.

"kenapa kamu baru ngomongnya sekarang? Kenapa harus sekarang? Di saat aku benar-benar telah jatuh cinta sama kamu. Di saat aku sudah terlanjut sayang sama kamu, Bim. Dan di saat aku mulai merasa takut kehilangan kamu..." ucapku kemudian, apa adanya.

"karena... karena.. menurut saya, ini adalah saat yang tepat, bagi saya untuk pergi dari kehidupan mas Malik. Mengingat saat ini, mas Malik udah berjualan lagi, dan anak mas Malik juga udah besar. Mas Malik udah tidak membutuhkan saya lagi..." jawab Bima dengan sedikit bergetar.

"aku selalu membutuhkan kamu, Bim. Bukan hanya soal materi, bukan hanya soal membesarkan anak ku. Tapi aku membutuhkan kamu labih dari itu. Aku membutuhkan kamu setiap saat.." ucapku lagi.

"tapi.. aku sudah punya kehidupan lain saat ini, mas. Aku sudah kembali pada istri ku, pada anak-anak ku. Mereka sangat membutuhkan aku saat ini. Dan aku harus ada untuk mereka." balas Bima tertahan.

"kamu yang memulai semua ini, Bim. Dan sekarang kamu juga yang ingin mengakhirinya.. tega kamu, Bim. Tega kamu, membuat aku jatuh cinta sama kamu, lalu kemudian kamu campakkan begitu saja.." suara ku sedikit lirih.

"maaf, mas. Aku terpaksa melakukan semua ini. Aku masih mencintai mas Malik. Tapi aku tidak ingin selamanya hidup seperti ini. Aku harap mas Malik juga begitu. Aku harap mas Malik bisa hidup normal kembali, seperti dulu..." balas Bima ikut lirih.

"jadi kapan kamu akan pergi?" tanya ku akhirnya, setelah aku terdiam beberapa saat.

"secepatnya, mas.." balas Bima singkat.

****

Dan akhirnya Bima pun pergi. Ia pergi dari rumahku. Ia pergi dari hidupku, bahkan juga dari hati ku. Aku merasa sakit dengan semua itu. Sekian tahun kami hidup bersama, kini semuanya telah berakhir, dengan sangat menyakitkan bagi ku.

Anak ku sempat beberapa kali, mempertanyakan tentang kepergian Bima padaku. Aku berusaha menjelaskan padanya. Aku berusaha mencari alasan yang tepat, mengapa Bima harus pergi. Meski pun sulit menerima hal tersebut, tapi anak ku pun berusaha untuk mengikhlaskannya.

Hari-hari ku kembali terasa sepi. Aku merasa sunyi. Aku benar-benar merasa kehilangan Bima. Tapi aku harus kuat. Aku merelakan Bima dengan pilihan hidupnya. Dan aku harus belajar untuk hidup tanpa dirinya lagi, dan aku harus belajar untuk bisa melupakannya.

Berat memang, tapi aku harus bisa. Aku harus kuat, demi anak ku. Demi masa depan kami. Aku harus terbiasa dengan semua ini. Aku adalah seorang ayah. Dan perjalanan ku masih cukup panjang. Aku tak ingin menyerah.

Mungkin aku memang telah kehilangan Bima, tapi aku tidak boleh kehilangan diri ku sendiri. Bima hanyalah sepenggal kisah dalam perjalanan hidup ku. Dan kisah ku dengan Bima, akan selalu terukir di dalam hati, selamanya.

****

Dua bulan berlalu, sejak kepergian Bima dari rumah ku. Selama itu pula, aku tidak pernah mendapat kabar apa pun dari Bima. Aku pun tidak pernah berusaha untuk mencari kabar tentangnya. Bima juga sepertinya, tidak ingin lagi bertemu dengan ku. Ia benar-benar telah melupakan aku.

Sampai akhirnya, aku mendapat kabar, kalau Bima telah meninggal dunia.

Yah... kabar itu aku dapat dari istri nya Bima. Istri Bima yang menghubungi ku, dan mengabarkan tentang meninggalnya Bima, karena penyakit kanker otak yang Bima derita selama ini.

Aku berusaha tegar mendengar kabar tersebut. Aku datang ke rumah Bima, sesaat sebelum jenazahnya di antarkan ke pemakaman terdekat. Dan setelah Bima di makamkan, tiba-tiba istri Bima mendatangiku. Ia memberikan aku sebuah amplop yang berisi sebuah surat.

"mas Bima menitipkan ini buat mas Malik. Katanya ini bersifat rahasia, dan hanya mas Malik yang boleh membacanya..." begitu ucap istri Bima, sambil menyerahkan surat tersebut padaku.

"mas Bima di vonis memiliki kanker otak beberapa bulan yang lalu, sebelum ia memutuskan untuk kembali padaku. Mas Bima menceritakan hal tersebut padaku, saat akhirnya kami kembali. Katanya, ia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama anak-anaknya.." lanjut istri Bima kemudian.

Aku terenyuh mendengar hal tersebut. Mengapa Bima tidak pernah cerita tentang penyakitnya padaku? Mengapa ia harus merahasiakan hal tersebut dari ku?

Ah, aku benar-benar merasa terpukul akan semua itu.

****

Sesampai di rumah, aku pun segera membuka surat dari Bima tersebut. Aku membacanya sambil mata ku terus berkaca-kaca. Hati ku terasa pedih, sangat pedih. Aku benar-benar tidak menyangka semua ini.

Begini kira-kira isi surat Bima tersebut...

Teruntuk mas Malik yang baik...

Saat mas Malik membaca surat ini, itu artinya, aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Aku telah pergi. Pergi untuk selama-lamanya. Dan tidak akan pernah kembali lagi.

Maafkan aku, mas Malik. Aku pergi tanpa berpamitan. Aku pergi dengan membawa cinta ku yang masih utuh untuk mas Malik.

Maafkan aku yang tidak berani bercerita tentang penyakit ku kepada mas Malik. Aku tidak ingin hal itu menjadi beban pikiran mas Malik. Karena itu, aku lebih memilih untuk pergi dari rumah mas Malik, sebelum aku benar-benar pergi untuk selamanya.

Terima kasih ya, mas Malik. Telah membuat hidupku terasa lengkap, sempurna dan begitu indah. Tahun-tahun bersama mas Malik adalah tahun-tahun terindah dalam hidupku. Tahun-tahun yang begitu manis.

Saat aku mengetahui, kalau aku menderita kanker otak, stadium akhir. Bahkan dokter juga sudah menyerah, tak ada lagi obat untuk penyakit ku tersebut. Saat itulah, aku mulai berpikir untuk bisa melepaskan mas Malik.

Aku tidak ingin, saat aku mati, aku masih bersama mas Malik. Karena itu pasti akan sangat membuat mas Malik merasa sangat kehilangan. Itu juga yang membuat aku memutuskan untuk pergi dari kehidupan mas Malik, dan kembali kepada istri dan anak-anak ku.

Aku tidak tahu, apakah tindakan ku tersebut, benar atau salah. Tapi yang pasti, saat itu, bagi ku hanya itu yang terbaik untuk kita berdua. Aku ingin mas Malik harus terbiasa tanpa adanya diriku lagi.

Sekali lagi, maafkan aku, mas Malik. Sampai kapan pun cinta ku pada mas Malik tetap sama. Aku akan tetap mencintai mas Malik, meski pun kita kini berada di alam yang berbeda.

Selamat tinggal mas Malik... Salam cinta selalu buat mu.

Dari kekasih hati mu,

Bima.

Dan air mata ku pun tumpah setelah membaca isi surat tersebut. Hati ku hancur. Seharunya aku berada di dekat Bima, saat-saat terakhir hidupnya. Tapi Bima tidak menginginkan hal tersebut.

Kini aku harus melanjutkan hidupku, tanpa ada harapan sedikit pun, untuk bisa bertemu Bima lagi.

Semoga saja aku kuat...

Yah... semoga saja..

****

Kisah lainnya :

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 3) 

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 2) 

Nasib seorang pedagang sayur keliling (part 1)

Pak Dirman, sopir pribadi ku (part 3)

Pak Dirman, sopir pribadi ku (part 2) 

Pak Dirman, sopir pribadi ku (part 1) 

Cinta untuk sang personal trainer part 2

Cinta untuk sang personal trainer part 1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google