Namaku Fikri. Singkatan dari Taufik Rizal.
Ya, aku memang sengaja menyingkatnya. selain biar keren, aku berpikir orang akan lebih mudah mengingatnya.
Aku seorang yatim. Ayahku meninggal pada saat aku masih berumur 10 tahun.
Dan saat ini, aku sudah berusia 20 tahun. Sudah kuliah.
Ibuku akhirnya memutuskan untuk menikah lagi, setelah sepuluh tahun, kepergian ayahku.
Ibu menikah dengan seorang duda, yang berusia lima tahun lebih tua darinya.
Namanya om Rahman. Usianya hampir 50 tahun.
Om Rahman sudah mempunyai dua orang anak, dari hasil pernikahannya dengan istri pertamanya.
Istri pertama om Rahman juga sudah meninggal sekitar 6 tahun yang lalu.
Tentu saja, semua cerita itu, aku ketahui dari Ibu.
Aku sebenarnya sangat tidak setuju, Ibu menikah lagi. Aku sangat takut kehilangan kasih sayang dan perhatian dari Ibu.
Tapi Ibu sudah berjanji akan tetap menyayangiku, dan ia juga berusaha keras untuk bisa meyakinkanku. Sampai akhirnya, aku pun luluh dan mengizinkan Ibu untuk menikah.
Setelah menikah, tentu saja Ibu ddan aku harus tinggal satu atap dengan keluarga om Rahman.
Anak pertama om Rahman, seorang perempuan. Namanya Diana. Usianya tiga tahun lebih tua dariku. Ia seorang gadis cantik dan mandiri. Selain kuliah, ia juga punya usaha toko kue bersama temannya.
Adiknya seorang laki-laki, yang bernama Bayu.
Bayu satu tahun lebih muda dariku.
Diana dan Bayu kuliah di kampus yang sama. Tapi untunglah, mereka tidak satu kampus denganku.
Aku
yang memang dari awal, tidak begitu setuju Ibu menikah lagi, tentu saja
merasa sangat canggung, untuk bisa menyatu dengan keluarga om Rahman.
Rasanya begitu sulit untuk menerima itu semua.
*****
Om Rahman seorang pekerja kantoran, sedangkan ibuku seorang guru. Mereka selalu berangkat kerja setiap pagi, dan biasanya selalu pulang sore harinya.
Aku mau tidak mau, harus tinggal sekamar dengan Bayu. Karena rumah tersebut hanya punya tiga kamar.
Awalnya hubunganku dengan keluarga om Rahman tidak begitu baik. Aku jarang berbicara dengan mereka.
Rasanya aneh aja. Tiba-tiba saja, aku sekarang sudah punya dua saudara. Meski mereka hanya saudara tiriku.
Aku dan bayu, meski tinggal satu rumah, satu kamar dan bahkan tidur satu ranjang, boleh dibilang kami tidak pernah berbicara sama sekali.
Entah karena kami memang sama-sama pendiam, atau mungkin karena kami yang sebenarnya sama-sama tidak setuju dengan pernikahan orangtua kami?
Aku belum menemukan jawabannya sampai saat itu.
Ibu dan om Rahman, sepertinya sudah sangat berusaha, untuk berlaku adil terhadap kami.
Namun tetap saja, semuanya terasa berbeda.
Aku
bukannya benci pada om Rahman, aku juga tidak membenci Bayu ataupun
Diana. Hanya saja sebagian hatiku belum rela, harus berbagi kasih sayang
dan perhatian Ibu, dengan mereka.
Intinya, saat itu, aku belum siap punya ayah dan saudara tiri, apa lagi harus tinggal serumah dengan mereka.
Aku terkadang lebih sering menghabiskan waktu di kampus, dan nongkrong dengan teman-temanku.
Ibu bahkan pernah menegurku, karena jarang berada di rumah.
Aku sempat berpikir untuk tinggal di sebuah kost, dan akhirnya menyampaikan niatku tersebut kepada Ibu. Tapi tentu saja, Ibu menolak. Karena jarak rumah kami dengan kampusku, sangat dekat.
Lagi pula, Ibu sudah menyediakan sebuah motor untukku. Jadi tak ada alasan lagi bagiku, untuk pindah.
******
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang terkadang terasa sangat membosankan bagiku.
Ingin rasanya kupacu waktu, hingga aku lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Yang membuatku akan punya alasan untuk tidak lagi tinggal satu atap dengan keluarga ayah tiriku.
Berbulan-bulan, aku tinggal sekamar dengan Bayu. Tanpa sadar, aku mulai hafal beberapa kebiasaannya.
Bayu tipe seorang anak rumahan, selain seorang pendiam tentunya.
Ia hanya keluar rumah, untuk kuliah.
Selebihnya, Bayu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.
Di rumah pun, ia lebih sering berada di kamar.
Dia ternyata punya hobi menulis. Sebuah hobi yang selalu aku hindari selama ini. Aku memang paling malas, kalau di suruh menulis.
Hobi menulis Bayu ini, bukanlah sebuah hobi menulis biasa menurutku.
Tulisannya bagus.
Karena pernah suatu ketika, aku memergoki tulisannya diatas meja belajar.
Meja belajar itu memang kami pakai secara bergantian, tanpa kesepakatan apapun.
Yang tentu saja, Bayu lebih sering berada di sana.
Entah mengapa, aku menjadi tertarik untuk membacanya.
Sebuah cerita pendek, tentang cinta yang romantis. Alur ceritanya sangat menarik, yang membuatku jadi penasaran untuk membacanya sampai selesai.
"tulisan kamu bagus! Kenapa gak bikin blog, atau diajukan ke penerbit..?" ucapku asal, karena memang aku tidak mengerti, bagaimana proses sebuah tulisan itu, bisa dipublikasikan.
Bayu terlihat cukup kaget, mendengar kalimatku barusan. Aku tahu, ia bereaksi demikian, bukan karena isi kalimatku, yang memang biasa aja.
Tapi kami sama-sama tahu, bahwa itu adalah kalimat pertama yang aku tujukan padanya, setelah berbulan-bulan kami tinggal sekamar.
Aku sendiri sebenarnya juga tak percaya, kalau aku akan berkata demikian.
Namun aku tidak bisa menahan keinginanku, untuk mengungkapkan rasa kagumku atas karyanya.
Lama Bayu terdiam. Aku juga tidak berharap, ia akan membalas ucapanku.
Aku berdiri dari kursi belajar itu, kemudian melangkah menuju ranjang. Aku menghempaskan tubuhku dan kemudian menarik napas panjang.
Rasanya capek juga, setiap malam kami lalui hanya dengan saling membisu.
Terkadang terpikir juga olehku, untuk mulai membuka diri dan memulai sebuah pembicaraan dengan Bayu.
Namun aku takut, Bayu belum benar-benar bisa, menerima kehadiranku sebagai kakak tirinya.
Dan lagi pula, kami tidak punya banyak kesamaan, yang membuatku semakin ragu, harus membahas tentang apa dengan Bayu.
Aku dan Bayu kuliah di kampus yang berbeda dan jurusan yang berbeda pula.
Aku kuliah mengambil jurusan administrasi perkantoran, dan berharap suatu saat kelak bisa bekerja di sebuah perusahaan besar.
Sedangkan Bayu, mengambil jurusan teknik informatika. Itu pun aku ketahui dari buku-buku yang biasa ia baca.
"saya punya blog, kok. Saya juga udah mendapatkan hasil dari blog saya..." suara Bayu terdengar serak di gendang telingaku. Ia seperti menahan sesuatu.
Suaranya juga sedikit membuatku kaget. Namun aku segera menoleh padanya.
"oh..." aku membulatkan bibir. "tapi mengapa kamu masih menulis secara manual?" tanyaku melanjutkan. Bayu duduk di lantai dan menyandarkan punggungnya ke dinding.
"saya sudah suka menulis sejak SD. Saya lebih suka menulis secara manual, lebih gampang mendapatkan ide biasanya..." jawab Bayu, terdengar mulai santai.
"tapi bukannya untuk menulis di sebuah blog, harus pakai laptop atau komputer ya...?" tanyaku lagi, terdengar sedikit bodoh.
"iya. Saya biasa menulis manual, nanti kalau saya rasa, tulisan saya sudah cukup bagus, baru saya ketik di blog dan mempublikasikannya..." jelas Bayu, kali ini ia sambil meolah padaku.
Ternyata tidak begitu sulit, untuk memulai sebuah pembicaraan.
Bayu juga ternyata, cukup asyik untuk diajak ngobrol.
Bayu seorang pemuda yang memiliki wajah di atas rata-rata. Hidungnya sedikit mancung, pipinya tirus dan Bayu mempunyai mata yang teduh. Rambutnya ikal, hitan dan lebat.
Bayu juga memiliki postur tubuh yang sedikit jangkung, tingginya hampir 180 cm.
Aku sendiri hanya 165 cm.
Tubuh Bayu juga terlihat atletis. Ternyata selain kuliah, Bayu sering keluar untuk fitness di sebuah tempat gym langganannya. Aku juga baru tahu belakangan.
Sekarang kami jadi sering ngobrol dan sepertinya Bayu juga mulai terbuka.
"kamu sendiri gimana? Hobi kamu apa?" tanya Bayu suatu malam.
Bayu sempat awalnya ingin memanggilku abang, namun aku melarangnya, karena beda usia kami tidak sampai satu tahun.
Aku terdiam sesaat, memikirkan pertanyaan Bayu barusan.
Aku sendiri tidak yakin, apa aku punya hobi atau tidak.
Waktu SMA dulu, aku memang sering ikut bermain bola kaki dengan tim sekolah. Tapi sejak kuliah, aku tak pernah bermain bola lagi.
Aku sebenarnya juga suka melukis, tapi kadang aku suka bosan sendiri. Lukisanku selalu terlihat hancur dan tanpa makna.
"aku memang tak punya hobi sepertinya..." jawabku akhirnya, lebih kepada diriku sendiri.
Kulihat Bayu menyunggingkan senyum tipis. Ia seolah berkata, 'sudah kuduga...'
Semakin mengenal Bayu, entah mengapa, aku justru merasa semakin nyaman mengobrol dengannya.
Kalau harus jujur, sih, aku bahkan mulai mengaguminya.
Bayu juga gak sekuper yang aku pikirkan dari awal. Dia punya banyak teman, dari teman kuliah, teman nge-gym, dan yang paling aku kagumi, ia juga tergabung dalam sebuah komunitas penulis berbakat.
Ternyata tulisan Bayu, sudah punya penggemar tersendiri.
Bayu bahkan sering mendapat email-email pujian dari para penggemarnya. Dan terlebih dari itu, Bayu juga punya banyak pengagum.
"saya mau tanya serius, nih. Tapi tolong jawab dengan jujur, ya..." ujarku suatu malam, ketika kami hendak tidur.
Bayu berbaring telentang di sampingku. Ia hanya memakai celana pendek tanpa baju. Dada bidangnya terlihat jelas.
Dulu aku tidak terlalu peduli dengan hal itu. Namun akhir-akhir ini, aku jadi sering memperhatikannya.
"mau tanya apa?" suara Bayu terdengar seksi, dengan ciri khas serak-serak basahnya.
"kenapa awal-awal dulu, kamu seperti tak ingin mengobrol denganku?" tanyaku dengan nada serius.
Kulihat Bayu menarik napas ringan, ia menoleh kearahku sejenak.
"papa pernah cerita, kalau kamu tidak setuju dengan pernikahan mereka. Untuk itu, papa memintaku agar bisa menjaga sikap dan tidak terlalu ikut campur dengan urusan kamu..." jawab Bayu.
"dan lagi pula, kamu juga terlihat sangat acuh padaku. Jadi aku memilih untuk diam, dari pada harus memancing keributan..." lanjut Bayu lagi, masih dengan suara seksi-nya.
Tanpa sadar aku pun berdecak kagum, ternyata Bayu jauh lebih dewasa dari yang aku duga selama ini.
Aku tak berani membalas kata-kata Bayu barusan. Aku telah salah menilainya selama ini.
Semakin kesini, aku semakin mengagumi sosok Bayu.
Bukan saja, karena fisiknya yang memang menarik, tapi juga karena sikapnya yang dewasa dan bijak.
Bayu juga seorang yang mandiri, di usianya yang masih muda, ia bahkan sudah bisa menghasilkan uang sendiri.
Meski pun Bayu seorang anak bungsu, tapi ia tidak manja.
Mungkin karena ia sudah terbiasa hidup tanpa seorang Ibu, membuat ia lebih suka melakukan sesuatu tanpa harus membebani orang lain.
Dan aku mengaguminya. Aku mengagumi sosok Bayu, yang ramah dan sangat baik.
Aku sekarang lebih sering menghabiskan waktu bersama Bayu.
Bayu juga sering meminta pendapatku tentang tulisan-tulisannya. Tentu saja, aku dengan senang hati memberinya masukan-masukan, sesuai dengan kadar kemampuanku.
Intinya, aku dan Bayu sudah benar-benar seperti saudara kandung.
Meski harus kuakui, kalau sebenarnya, aku telah jatuh cinta padanya.
Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, kalau aku selalu merasa bahagia saat bersamanya.
Tentu saja semua rasa itu, hanya bisa aku pendam. Aku tidak berani dan tidak akan pernah berani untuk mengungkapkannya.
Walau aku terkadang berharap, kalau Bayu juga merasakan hal yang sama denganku. Aku berharap, Bayu bisa merasakan, getar-getar cinta di dalam hatiku untuknya.
Satu hal yang membuat harapanku itu kian berkembang, ialah ketika aku akhirnya tahu, kalau Bayu belum punya pacar.
"aku belum pernah pacaran, seumur hidup. Aku lebih suka menghabiskan waktuku untuk menulis, dari pada buang-buang waktu buat pacaran..." begitu jelas Bayu padaku, ketika aku dengan cukup berani, mempertanyakan tentang statusnya.
"kamu?" tanya Bayu kemudian.
"aku..... aku juga belum pernah..." jawabku ragu.
Sejujurnya aku dulu waktu SMA, pernah dekat dengan seseorang. Boleh dibilang dia sahabatku. Tapi aku jatuh cinta padanya.
Aku bahkan dengan cukup berani mengungkapkannya, yang membuat hubungan persahabatan kami semakin renggang dan akhirnya terputus begitu saja. Karena ternyata, sahabatku itu, tidak merasakan hal yang sama denganku.
Dan lebih parahnya lagi, dia itu seorang laki-laki, sama seperti Bayu.
Tapi aku percaya, sahabatku itu, tidak akan menceritakan kepada siapapun, tentang aku yang ternyata seorang gay.
Dia hanya merasa risih, harus terus menjalin persahabatan denganku. Untuk itu, ia pun menjauh.
Dan aku mulai belajar untuk melupakannya. Kini bagiku, dia hanyalah sebait kisah di masa lalu.
Setiap orang punya masa lalu, kan?
Namun sekarang, aku malah jatuh cinta kepada adik tiriku sendiri.
Pengalamanku dengan cinta pertamaku, kepada sahabatku. Membuat aku jadi lebih berhati-hati, dan tidak terlalu mengumbar-umbar perasaanku kepada Bayu.
Aku berusaha bersikap biasa saja di depannya. Walau setiap kali aku memejamkan mata, wajah tampan Bayu selalu hadir.
Aku selalu membayangkan, berada di dalam dekapan hangat tubuh kekarnya.
Tapi sampai kapan, aku akan bertahan seperti ini?
Perasaanku terlalu nyata untuk aku hindari.
Aku harus setiap hari bertemu dengan Bayu, yang artinya aku harus setiap hari pula berpura-pura hanya sebagai kakak tirinya.
Padahal aku menginginkannya sebagai kekasihku.
Tapi untuk berterus terang padanya, rasanya terlalu berat. Terlalu banyak resiko yang harus aku tanggung.
Aku tak ingin merusak segalanya. Aku tak ingin merusak kedekatan kami, yang terasa begitu indah bagiku. Meski itu semua, hanyalah hubungan sebuah persaudaraan.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih