Waktu terus berlalu, Shapta sudah mulai kuliah sekarang. Dia tetap bisa bekerja paroh waktu di kantor. Terutama karena hal tersebut aku yang memintanya.
Aku ingin yang terbaik buat Shapta. Aku ingin ia mendapatkan hidup yang layak. Aku ingin ia merasa terkesan dengan ku. Aku ingin ia dapat merasakan betapa aku sangat menyayanginya.
Hingga pada suatu kesempatan, aku sengaja mengajak Shapta berliburan ke sebuah pantai nan indah. Kami menginap di sebuah hotel, tak jauh dari pantai tersebut. Aku sengaja hanya menyewa satu kamar untuk kami berdua, agar aku bisa selalu dekat dengan Shapta.
Aku pun mencoba memberanikan diri, untuk mengungkapkan perasaan ku padanya. Aku sudah tidak sanggup lagi menahan semua itu. Aku terlalu mencintai Shapta. Dan keinginan untuk bisa memilikinya tumbuh semakin besar di dalam hati ku.
"aku ingin mengatakan sesuatu sama kamu, Shapta." ucapku memulai pembicaraan, saat itu kami sedang berada di dalam kamar hotel.
"ada apa, pak?" tanya Shapta, "sepertinya sangat serius.." lanjutnya.
"iya.. ini sangat serius, Shapta. Aku ingin kamu tahu, tentang perasaan ku yang sebenarnya pada mu. Aku sudah lama memendam semua ini, dan sekarang.. aku sudah tidak sanggup lagi menyimpannya," ucapku membalas.
"sebenarnya.. aku suka sama kamu, Shapta. Aku mencintai kamu. Aku jatuh cinta sama kamu, bahkan sejak pertama kali kita bertemu. Aku tahu, ini salah. Karena itu, selama ini aku tidak pernah mengungkapkan hal tersebut. Aku hanya bisa memendamnya."
"namun sekarang, aku hanya ingin kamu tahu, kalau aku sangat mencintai kamu, Shapta. Apa kah kamu bersedia menjalin hubungan yang lebih dengan ku? Apakah kamu mau menjadi pacarku?" tanya ku melanjutkan, dengan sangat blak-blakan.
Shapta terdiam. Ia menatapku beberapa saat. Keningnya sedikit berkerut. Wajah tampanya memperlihatkan rasa kaget dan rasa tidak percaya.
Aku tidak tahu, apa yang ada dalam Shapta saat itu. Entah kaget, kecewa, marah, atau entah apa pun yang ia rasakan. Aku benar-benar tidak bisa menebaknya. Aku hanya bisa ikut terdiam, sambil menunggu jawabannya.
"sejujurnya... aku benar-benar tidak menyangka semua ini, pak. Meski pun dari awal, aku selalu bertanya-tanya, kenapa bapak begitu baik padaku selama ini? Namun aku tidak pernah berpikir, kalau ternyata bapak mencintai ku. Dan hal itu, sungguh membuat aku merasa dilema."
"biar bagaimana pun, aku ini masih laki-laki normal, pak. Aku gak mungkin bisa jatuh cinta pada seorang laki-laki, apa pun alasannya. Tapi... mengingat segala kebaikan bapak pada ku selama ini, aku juga tidak mungkin berani menolak cinta bapak."
"tapi... aku masih butuh waktu untuk memikirkan ini semua, pak. Aku butuh waktu, untuk meyakinkan hatiku sendiri dan mempertimbangkan keputusan yang terbaik dari semua ini. Aku harap bapak bisa mengerti.." ucap Shapta akhirnya, cukup panjang lebar.
"oke.. saya mengerti... dan saya tidak akan memaksa kamu, Shapta. Saya akan terima denga lapang dada, apa pun jawaban kamu nantinya. Saat ini, setidaknya saya merasa sudah cukup lega, karena kamu sudah tahu, tentang perasaan ku padamu..." balasku kemudian.
****
Waktu pun kembali terus berputar. Hubungan ku dengan Shapta jadi sedikit berbeda. Shapta terlihat mulai sedikit menjaga jarak dari ku. Entah karena ia merasa risih dekat-dekat dengan ku, atau mungkin karena ia memang lagi tidak ingin diganggu olehku.
Entahlah... aku juga bingung dengan semua ini. Jujur saja, memang ada kelegaan, karena aku akhirnya bisa mengungkapkan perasaan ku pada Shapta. Tapi... kadang aku juga merasa menyesal, karena telah mengungkapkannya. Karena hal itu ternyata, mampu membuat jarak antara aku dan Shapta.
Aku merasa kecewa, karena Shapta kian jauh dari ku. Aku jadi kehilangan kesempatan untuk bisa menikmati keindahan wajahnya yang tampan dari dekat. Aku jadi kehilangan kesempatan, untuk bisa ngobrol berdua dengannya. Shapta selalu punya alasan untuk menghindari ku. Dan aku tidak bisa memaksanya lagi, untuk selalu bersama ku, seperti dulu.
Sampai pada suatu saat, Shapta benar-benar menghilang. Ia menghilang tanpa kabar. Tanpa pesan. Aku sudah tidak bisa lagi menghubunginya. Nomor ku sepertinya sengaja ia blokir. Dan aku merasa sangat kecewa akan hal tersebut.
Oh, Shapta... Dimanakah diri mu sekarang berada?
Mengapa engkau harus pergi? Mengapa engkau tinggalkan aku tanpa kepastian dari mu?
Mengapa Shapta? Mengapa?
Aku kembali terpuruk dalam kesendirian ku. Aku merasa patah. Harapan ku untuk bisa memiliki Shapta kini seakan punah. Bahkan untuk bisa bertemu dengannya saja, aku sudah tidak bisa. Dan aku kecewa.
****
"maafkan aku, pak. Aku pergi tanpa memberi kabar. Aku pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun." ucap Shapta, ketika akhirnya kami bertemu kembali, setelah lebih dari dua bulan Shapta menghilang.
"aku pergi, bukan karena aku membenci bapak. Aku pergi, karena aku ingin meyakinkan hati ku sendiri, tentang perasaan ku kepada bapak. Aku coba menghindar. Aku coba menjauh dari bapak. Bahkan aku coba untuk tidak bertemu dan berhubungan lagi dengan bapak."
"sampai akhirnya aku sadar, bahwa ternyata aku sangat membutuhkan bapak dalam hidupku. Entah ini namanya cinta, atau hanya sekedar sebuah kebutuhan. Aku gak tahu. Tapi yang pasti, setelah jauh dari bapak, aku baru menyadari, kalau aku juga sayang sama bapak. Aku jadi sering merindukan bapak, saat aku jauh dari bapak."
"jadi.. maafkan aku.. karena telah meninggalkan bapak dalam ketidakpastian. Maafkan aku, karena terlalu takut untuk mengakui semua ini." Shapta melanjutkan kalimatnya dengan cukup panjang lebar.
Oh, aku terdiam sesaat. Tadinya aku sudah tidak berharap apa-apa lagi dari Shapta. Aku coba mengikhlaskan kepergiannya. Aku coba untuk tidak lagi memikirkannya.
Namun ternyata, Shapta datang lagi. Dan ia datang, seakan memberi aku sejuta harapan, untuk bisa bersama lagi, dan bahkan untuk bisa memilikinya.
"jadi... apa kamu mau menjadi pacarku?" aku bertanya juga akhirnya, sekedar meyakinkan diri ku sendiri, tentang kalimat-kalimat yang di ucapkan Shapta barusan.
"iya, pak. Aku mau.." balasku Shapta singkat, namum mampu membuat aku tersenyum senang mendengarnya.
"jadi .. mulai sekarang kita pacaran?" aku bertanya kembali, hanya sekedar untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa semua ini bukanlah mimpi semata.
"iya, pak. Itu pun, jika bapak mau memaafkan aku.." balas Shapta.
"aku gak pernah marah sama kamu, Shapta. Aku mengerti dengan apa yang kamu rasakan. Dan setelah aku tahu, kalau kamu juga sayang padaku, aku semakin tidak mungkin untuk marah padamu.." ucapku selanjutnya.
"baiklah, pak. Tapi.. aku ingin ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua.." ucap Shapta kemudian.
"iya, Shap. Saya juga tidak ingin orang-orang tahu, tentang semua ini." balasku yakin.
****
Dan begitulah, aku dan Shapta akhirnya berpacaran. Aku akhirnya bisa memiliki cowok berwajah tampan dan bertubuh tegap tersebut. Aku akhirnya bisa mendapatkan laki-laki yang selama ini aku impikan. Cinta ku semakin besar kepada Shapta.
Apa pun akan aku lakukan, untuk membuatnya selalu bahagia. Karena aku sangat mencintanya. Aku sangat menyayanginya. Dan aku sangat membutuhkannya dalam hidup ku. Aku ingin selamanya hidup bahagia bersama Shapta.
"aku ingin menawarkan sesuatu sama kamu, Shap.." ucapku pada suatu malam.
"apa, pak?" tanya Shapta ringan.
"aku ingin kamu tinggal bersama ku." balasku.
"maksud bapak kita tinggal serumah?" tanya Shapta ragu.
"iya, Shap. Dan kamu tidak perlu lagi jadi OB di kantor. Mulai sekarang, kamu aku angkat menjadi asisten pribadi ku, agar kita selalu bisa bersama-sama." balasku menjelaskan.
"baiklah, pak. Apa pun yang terbaik untuk bapak, aku pasti akan setuju. Aku juga tidak ingin jauh-jauh lagi dari bapak. Aku sangat mencintai bapak. Selamanya.." ucap Shapta membalas.
"terima kasih ya, Shap. Aku benar-benar merasa sangat bahagia dengan semua ini..." ucapku kemudian.
"aku juga merasa sangat bahagia, pak. Bisa menjadi bagian penting dalam hidup bapak.." balas Shapta penuh perasaan.
****
Dan sang waktu masih terus kembali berputar. Setahun, dua tahun, hingga hampir tiga tahun hubungan indah kami terjalin. Semuanya benar-benar terasa indah bagi ku. Begitu sempurna. Aku merasa sangat bahagia. Demikian juga Shapta. Ia jadi semakin perhatian padaku.
Namun, malang tak dapat di tolak, untuk tak dapat di raih. Cinta yang sempurna itu, ternyata tak mampu ku miliki selamanya. Takdir telah membuat aku harus kehilangan cinta yang sempurna tersebut.
Pada suatu saat, setelah hampir tiga tahun kami berpacaran. Shapta mengalami kejadian tragis. Mobil yang ia kendarai waktu itu, mengalami sebuah kecelakaan berat. Yang membuat ia harus mengalami koma dan di rawat di rumah sakit, selama beberapa hari, sebelum akhirnya ia dinyatakan telah meninggal dunia.
Dan dunia ku pun hancur saat itu juga. Aku kehilangan arah. Aku kehilangan pegangan. Rasanya hidupku sudah tidak berarti lagi. Aku harus kehilangan orang yang paling aku cintai, di saat aku masih sangat menyayanginya.
Aku harus kehilangan orang yang paling aku cintai, di saat aku masih sangat membutuhkannya. Aku belum siap kehilangan Shapta, walau dengan cara dan alasan apa pun. Aku tidak ingin ia pergi. Ini terasa benar-benar tidak adil bagi ku.
Oh, Shapta... Mengapa engkau harus pergi lagi? Dan kali ini, kamu pergi untuk selama-lamanya. Kamu pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.
Kini, aku hanya bisa meratapi kepergian mu. Aku hanya bisa menangisi semua ini.
Semoga saja, kamu tenang di alam sana. Semoga saja, aku bisa melanjutkan hidupku, meski tanpa ada dirimu di sisi ku lagi. Semoga saja aku kuat.
Yah... Semoga saja..
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih