Fikri
Semenjak mengenal dan dekat dengan Bayu, adik tiriku itu, sekarang beberapa kebiasaanku berubah.
Aku yang dulunya tidak begitu suka membaca, sekarang jadi sering menghabiskan waktu dengan membaca, terutama membaca hasil karya Bayu.
Aku yang dulunya sangat jarang berolahraga, sekarang bahkan aku jadi ikut-ikutan suka fitness bersama Bayu. Dan aku menyukai semua aktivitas baruku itu.
Aku memang baru mulai nge-gym, jadi postur tubuhku belum benar-benar terbentuk.
"kamu baru nge-gym sebulan, Fik. Tapi hasilnya udah lumayan, loh..." ujar Bayu suatu hari di tempat gym langganan kami.
Aku hanya tersenyum mendengar kalimat Bayu barusan.
Sejujurnya hatiku memang terasa tersanjung mendengarnya. Tapi aku tetap berusaha bersikap biasa saja.
Biar bagaimana pun Bayu belum saatnya tahu, tentang perasaanku padanya.
Aku masih belum mau merusak kedekatan kami saat ini.
Setahun lebih kami bersama, rasanya semua itu sangat indah bagiku.
Bayu bukan hanya sekedar adik tiri bagiku sekarang, dia sudah menjadi sahabatku.
Kami semakin sering melakukan banyak hal bersama.
Hingga suatu saat, kami berencana untuk pergi liburan berdua. Kami berencana pergi liburan ke sebuah kota kecil, yang sama-sama belum pernah kami kunjungi.
"kalian yakin hanya pergi berdua?" tanya papa Bayu, saat kami sedang makan malam. Aku pun sudah membicarakan hal tersebut dengan Ibu.
"Iya, pa. Gak apa-apa, kan?" balas Bayu.
"gak apa-apa, sih. Tapi kalian tetap harus hati-hati, ya.." pesan papa Bayu lagi.
"dan jangan lupa oleh-olehnya..." celetuk mbak Diana turut menimpali. Yang membuat kami semua tersenyum malam itu.
Hubunganku dengan keluarga om Rahman, ayah tirku itu, memang sudah semakin membaik. Terutama sejak kedekatanku dengan Bayu.
Rasanya semua berbeda sekarang, aku merasakan kehidupanku semakin lengkap.
Beberapa hari kemudian, kami pun berangkat. Kami berangkat naik pesawat tentunya, karena memang kota yang kami tuju itu sangat jauh.
Aku merasa sangat bahagia saat itu. Dalam seminggu ke depan, aku akan menghabiskan waktu hanya berdua dengan Bayu. Sang adik tiriku yang menjadi idaman hatiku.
Sesampai disana, kami langsung mengambil sebuah kamar hotel, yang tidak terlalu besar. Setidaknya untuk bisa menghemat pengeluaran kami.
Hari pertama kami habiskan dengan menjelajahi kota kecil itu, yang masih menyimpan banyak bangunan-bangunan kuno dan juga pasar tradisional.
Hari selanjutnya kami habiskan dengan bermain-main dan mandi di beberapa pantai yang memang berjarak tidak begitu jauh dari pusat kota tersebut.
Di sekitaran kota tersebut memang terdapat banyak pantai dan juga bukit-bukit kecil yang memiliki pemandangan yang sangat indah.
Kami menghabiskan beberapa hari untuk menjelajahi pantai-pantai dan bukit-bukit tersebut.
Pada hari kelima, kami memutuskan untuk menjelajahi sebuah kawasan hutan kecil, yang jaraknya cukup jauh dari kota.
"sepertinya banyak pemandangan indah disana..." ucap Bayu bersemangat.
"pasti bakal seru..." balasku tak kalah semangat.
Dengan membawa bekal seadanya, kami pun memulai perjalanan kami.
"kamu yakin bisa baca peta, Bay?" tanyaku berbasa-basi.
"iya, bisalah. Kenapa? Kamu gak yakin?" tanya Bayu balik.
"yakin, sih. Tapi takutnya nanti kita kesasar..." balasku ringan.
"udah kamu tenang aja. Kita pasti gak bakalan nyasar, kok.." balas Bayu lebih santai.
Kawasan hutan tersebut memang sudah kami ketahui tidak terjangkau oleh jaringan, terutama jaringan internet.
Untuk itu, kami hanya mengandalkan peta, sebagai pemandu kami. Dan kami juga tidak ingin mengeluarkan uang untuk membayar pemandu lokal.
Rasanya lebih menantang. Itu aja, sih.
Kami pun mulai mengelilingi hutan tersebut, sambil sesekali mengambil beberapa poto untuk kami abadikan.
Setelah hampir seharian berkeliling, kami mulai merasa lelah. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak.
Waktu terasa cepat berlalu, hingga sore pun datang. Kami pun berencana untuk segera keluar dari hutan.
Namun saat menuju jalan pulang, tiba-tiba kami kehilangan arah.
"kita nyasar nih, pasti. Kamu bisa baca peta gak, sih, Bay?!" suaraku sedikit lantang. Selain karena mulai lelah, aku juga mulai merasa khawatir, karena hari sudah mulai gelap.
"bisa, Fik. Tapi kayaknya arahnya berbeda dengan yang dipeta ..." balas Bayu beralasan.
Setelah berjalan cukup lama, malam pun akhirnya tiba. Namun kami belum juga menemukan jalan keluar.
Rasa lapar mulai menyerang kami. Beberapa kali kami mencoba menggunakan handphone, namun memang tidak ada jaringan sama sekali.
Karena merasa lelah dan lapar, kami pun memutuskan untuk beristirahat dan tidur di hutan malam itu.
Karena lapar dan lelah, kami pun tertidur cukup pulas. Walau dengan perasaan penuh was-was dan takut. Serta begitu banyaknya nyamuk yang mengganggu.
Saat terbangun dipagi harinya, kami pun bersegera mencari jalan keluar kembali.
Seharian kami berkeliling, namun kami masih terus berada di tempat yang sama. Sepertinya kami memang sudah tersesat dalam hutan tersebut.
Kami kehabian tenaga, dan rasa lapar semakin menyerang kami. Hingga akhirnya kami menemukan sebuah air terjun yang cukup indah. Kami pun mandi dan berenang disana.
Kami minum air tersebut, untuk sekedar mengganjal rasa lapar kami.
Tak lama berselang, malam pun kembali datang.
Kami memutuskan untuk tidur di dekat air terjun tersebut.
Rasanya tubuhku sangat letih, karena harus berjalan seharian dengan perut keroncongan.
Dalam keadaan lelah tersebut, aku berbaring di samping Bayu. Kami berbaring diatas bebatuan yang ada disekitar air terjun tersebut.
Bayu sengaja melepas bajunya, ia hanya memakai celana pendek.
Cahaya rembulan yang benderang, membuatku cukup leluasa, menatapi tubuh kekar Bayu.
Aku sengaja memiringkan tubuh, agar semakin leluasa menatap tubuh indah itu.
Tiba-tiba saja aku merasa bergetar menatapnya.
Perlahan dan tanpa sadar, tanganku mulai menyentuh dada bidang milik Bayu yang terbuka.
Kupikir Bayu akan menepisnya. Tapi ternyata ia hanya membiarkannya.
Entah karena ia merasa sangat lelah, atau justru karena ia juga menikmati hal tersebut.
Melihat Bayu yang sepertinya menikmati hal tersebut, aku semakin berani.
Aku mulai merapatkan tubuhku, tanganku pun semakin ke bawah.
Perlahan namun pasti, Bayu mulai mengikuti permainanku.
Dan malam itu, air terjun tersebut menjadi saksi, untuk pertama kalinya aku dan Bayu melakukan hal tersebut.
Sungguh malam yang terasa amat indah bagiku.
Segala letih dan rasa laparku, sirna seketika.
Bayu memang seorang laki-laki yang luar biasa. Dia benar-benar mampu membuatku terbuai dalam lautan mimpi yang indah.
Malam itu, kami pun tertidur dalam keadaan lelah yang teramat sangat. Bagaimana tidak, seharian kami berjalan dengan perut kosong. Dan hanya diisi beberapa teguk air, lalu kemudian kami pun melakukan hal tersebut dengan penuh semangat.
Paginya, kami pun terbangun dengan tubuh yang terasa lunglai.
Beruntunglah pagi itu, seorang penduduk lokal menemukan kami dan mengantar kami kembali ke kota.
Kami kembali ke hotel dan bersiap-siap untuk kembali pulang ke rumah.
Entah mengapa sejak kejadian di air terjun itu, aku merasa Bayu tiba-tiba berubah. Ia tidak seriang, seperti pada awal liburan kami di mulai.
Dia jadi jarang bicara. Bahkan boleh dikatakan, dia tak berbicara sepatah kata pun denganku.
Walau aku sudah berusaha untuk mengajaknya mengobrol. Namun Bayu tetap diam tak bergeming.
Bayu tetap mendiamiku, hingga kami tiba di rumah.
Sepertinya kedekatan kami selama ini, tiba-tiba sirna karena kejadian malam itu.
Aku masih terus berusaha mendekati dan mengajak Bayu untuk berbicara. Tapi Bayu memang tak ingin memulai pembicaraan denganku.
Ada apa dengan Bayu? Bathinku penuh tanya.
Marahkah ia padaku? Karena kejadian di air terjun itu?
Tapi bukankah ia juga sangat menikmati hal tersebut?
Ahk, aku jadi bingung sendiri dibuatnya.
*****
Sudah lebih dari dua minggu ini, sejak kami pulang dari liburan. Bayu tak berbicara lagi denganku.
Keadaan kami kembali menjadi seperti awal-awal kami tinggal sekamar dulu.
Tak ada pembicaraan. Tak ada gurau canda, bahkan senyum Bayu pun tak pernah kulihat lagi.
Bayu benar-benar berubah. Dan aku merasa sangat sakit dengan semua itu.
Kebahagiaanku yang baru tercipta beberapa saat, kini tiba-tiba memudar dan hilang.
Berbagai cara telah aku coba untuk bisa mendekati Bayu lagi. Tapi semua usahaku sia-sia. Bayu sekarang bahkan jadi sangat jarang di rumah.
Dia lebih sering menghabiskan waktu di luar.
Bayu juga tidak lagi nge-gym di tempat biasa.
Dia berubah. Dia menghilang.
Aku tak mengenalinya lagi.
Hingga suatu hari, setelah beberapa minggu berlalu,
"kamu yakin, mau pindah kuliah ke Jerman, Bay?" tanya papanya, saat kami sedang makan malam.
"iya, pa.." jawab Bayu, seperti sangat acuh.
Saat itu, aku satu-satunya orang yang paling kaget mendengar hal tersebut. Karena aku yakin, Bayu pasti sudah memberitahu anggota keluarga lain. kecuali aku.
Jerman? pikirku tiba-tiba.
Sebegitu jauhkah Bayu ingin pergi untuk menghindariku?
"kenapa sih, Bay. Kamu tiba-tiba ingin ke Jerman? Padahal dulu waktu papa tawarkan, kamu ogah. Sekarang kok tiba-tiba berubah lagi..." suara mbak Diana ikut menimpali.
Aku melihat Bayu hanya terdiam. Sepertinya ia juga tak berniat untuk menjawab.
Bayu tak perlu menjawab. Aku sudah tahu jawabannya.
Tapi kenapa? bathinku lagi.
Mengapa Bayu begitu inginnya menghindar dariku?
"kamu gak ikutan pindah, kan, Fik?" pertanyaan tiba-tiba mbak Diana itu membuatku tersedak. Aku segera meminum segelas air putih.
Pusat perhatian keluarga sekarang tertuju padaku, kecuali Bayu.
"hmm, gak." jawabku singkat. "aku ke kamar dulu.." lanjutku, sambil terus berdiri dan melangkah ke kamar.
Hatiku terasa semakin perih. Rasanya begitu sakit.
Kalau memang Bayu membenciku karena telah melakukan hal tersebut, mengapa ia juga menikmatinya?
Mengapa ia tidak menolak saja dari awal?
Aku benci Bayu yang sekarang...
*****
Bayu akhirnya pindah. Dan aku merasa kesepian, benar-benar kesepian.
Tak mudah bagiku menjalani hari-hari tanpa ada Bayu lagi. Aku merasa rapuh.
Tapi aku harus kuat. Bayu sudah membuat pilihannya sendiri. Dan aku harus menghargai itu. Meski Bayu bahkan tidak mengucapkan kata perpisahan padaku.
Namun itu pilihannya, dan aku harus belajar melewati hari tanpa dirinya lagi.
Aku tetap menjalani aktivitasku seperti biasa. Berusaha untuk tetap terlihar tegar.
Sampai suatu saat, setelah lebih dari sebulan kepergian Bayu, aku pun berkenalan dengan seorang personal trainer baru di tempat aku biasa nge-gym.
Namanya Maher. Seorang pria dewasa yang berperawakan tampan, dengan tubuh yang sangat kekar.
Meski tetap saja, Bayu lebih menarik bagiku.
Entah mengapa, aku selalu membandingkan setiap pria yang aku temui dengan Bayu. Mungkin karena aku masih selalu memikirkannya.
Bertemu dan berkenalan dengan Maher, membuatku semakin rutin datang ke tempat gym.
Harus aku akui, kalau Maher perlahan telah mampu menarik perhatianku.
Kami jadi sering ngobrol. Dan darinya aku tahu, kalau Maher sudah berusia 30 tahun. Dia punya usaha kuliner yang cukup maju. Dan menjadi personal trainer adalah pekerjaan sambilannya.
Seperti ceritanya, bang Maher memang belum menikah. Meski hidupnya sudah cukup mapan.
"saya gay. Jadi saya gak punya ketertarikan sama perempuan. Untuk saat ini saya memang belum ingin menikah. Saya masih ingin menikmati masa lajang saya..." jawab bang Maher penuh keterbukaan.
Dari ceritanya, sepertinya bang Maher memang sudah cukup lama malang melintang dalam dunia gay. Dan aku salut dengan keterbukaannya padaku.
Karena bang Maher yang begitu terbuka, aku pun dengan cukup berani mengungkapkan kalau aku juga seorang gay.
"sudah saya duga.." ucap bang Maher mendengar pengakuanku.
"dari mana abang tahu?" tanyaku penasaran.
"cowok gay itu sangat mudah ditebak. Kalau ia sering memperhatikan cowok-cowok kekar, sudah pasti ia gay. Karena kalau ia cowok normal, ngapain ia memperhatikan cowok. Dan aku sering melihat kamu memperhatikan saya, walau dari kejauhan.." jelas bang Maher yang membuatku tersipu malu.
Harus aku akui, aku memang sering memperhatikan bang Maher secara diam-diam, tapi ternyata ia menyadarinya.
"abang tertarik gak sama saya?" tanyaku lebih berani lagi.
Kami ngobrol di sebuah kafe, setelah kami membuat janji bertemu.
"secara fisik, ya. Saya tertarik." jawab bang Maher tegas. "kamu tampan, sedikit kekar, sih. Tapi kulitmu putih mulus. Aku suka cowok yang bisa merawat tubuhnya dengan baik.." bang Maher melanjutkan, yang membuatku tersanjung.
"namun kalau kita berbicara soal hati. Itu adalah hal yang rumit. Tidak mudah untuk jatuh cinta, apalagi saya sudah sering mengalamai kegagalan dalam berhubungan dengan sesama laki-laki. Kita harus mengenal karakter masing-masing." ucapan bang Maher terdengar diplomatis di telingaku.
Bang Maher memang sudah benar-benar matang.
"kamu sendiri gimana?" tanya bang Maher kemudian.
"aku... aku juga gak tahu perasaanku saat ini, bang. Seperti yang abang bilang, cinta itu sesuatu yang rumit. Tapi sejujurnya, aku memang tertarik secara fisik sama abang." jawabku jujur.
Selanjutnya kami mulai berbicara lebih terbuka lagi, terutama tentang urusan ranjang. Cerita kami semakin lama semakin terdengar vulgar.
Bang Maher sepertinya memang sengaja memancing suasana. Hingga akhirnya dari kafe kami pun pindah ke hotel.
Karena merasa sama-sama tertarik secara fisik, kami pun tidak enggan lagi untuk mulai melakukan hal tersebut.
Ternyata bang Maher benar-benar sudah berpengalaman dalam hal tersebut.
Yang aku rasakan malam itu bersama bang Maher, berkali-kali lebih indah dari pada saat aku melakukannya pertama kali dengan Bayu.
Bang Maher bukan hanya perkasa tapi juga tangguh. Malam itu bahkan kami hampir tidak tidur semalaman. Sungguh malam luar biasa bagiku.
Apa lagi aku masih terus berjuang untuk bisa melupakan Bayu seutuhnya.
Hari-hari berikutnya, aku dan bang Maher jadi sering bertemu. Bukan saja pada saat kami di tempat gym. Tapi kami juga sering membuat janji bertemu di hotel.
Sepertinya ketertarikan kami secara fisik, benar-benar membuat kami ketagihan untuk terus melakukannya.
"selama dengan kamu, sepertinya aku mulai menyukai kamu, Fik." tegas suara bang Maher malam itu, ketika kami bertemu kembali untuk kesekian kalinya di sebuah hotel.
"mungkin juga aku telah jatuh cinta sama kamu..." lanjutnya lagi.
Aku terdiam. Aku sebenarnya juga masih bingung dengan perasaanku. Bang Maher memang sangat menarik secara fisik. Dia juga sangat baik padaku.
Namun setiap kali aku coba melamunkannya, justru bayangan Bayu yang masih sering hadir.
Ahk, kenapa aku masih belum bisa move on dari cowok pengecut itu? Gerutuku dalam hati.
Padahal bang Maher sudah jelas-jelas menunjukkan perasaannya padaku. Dan aku juga selalu dimanjanya, yang membuatku selalu melayang setiap kali bersamanya.
"maaf, bang. Tapi sepertinya aku belum ...." ucapku tertahan. Aku takut menyinggung perasaannya.
"iya, gak apa-apa. Saya ngerti, kok." jawab bang Maher cepat.
"tapi kita masih tetap bisa seperti ini, kan?" tanya bang Maher melanjutkan kalimatnya.
"iya, bang. Kalau untuk itu, sepertinya abang masih yang terbaik.." balasku.
****
Tiga bulan hubungan tanpa status ku dengan bang Maher berjalan.
Tiba-tiba aku menerima sebuah email dari Bayu.
Sebuah email yang berisi sebuah kisah, yang sepertinya memang sengaja Bayu tujukan padaku.
Begini kira-kira isi email tersebut.
(Bayu)
Aku sudah terbiasa mandiri sejak kecil. Karena memang dari kecil mamaku sudah meninggal. Aku punya seorang saudara perempuan, bernama Diana. Dia juga gadis yang mandiri.
Papaku seorang pengusaha, yang boleh di bilang cukup sukses. Secara ekonomi kehidupan kami memang tidak pernah kekurangan. Apa lagi, setelah besar, aku mulai menjadikan hobi menulisku sebagai sumber pendapatan.
Ya. Aku punya sebuah blog, yang memuat semua cerita-cerita hasil karanganku sendiri. Dari tulisan-tulisan tersebut, aku pun bisa menghasilkan uang.
Setelah beberapa tahun mamaku meninggal, papaku akhirnya memutuskan untuk menikah lagi.
Ia menikah dengan seorang perempuan yang menurutku sangat baik dan lembut. Namanya tante Maya.
Ia seorang janda yang sudah punya anak satu. Suaminya sudah lebih dari sepuluh tahun meninggal.
Anak tante Maya, seorang laki-laki yang usianya satu tahun lebih tua dariku. Namanya Taufik Rizal. Tapi ia lebih suka dipanggil Fikri.
Awal-awal pernikahan papa dan tente Maya, hubunganku dengan Fikri tidak berjalan dengan baik.
Karena menurut cerita papa, sebenarnya Fikri tidak setuju ibunya menikah dengan papa. Untuk itu, aku berusaha menjaga sikap terhadap Fikri. Aku hanya tidak ingin memancing keributan.
Aku dan Fikri tinggal satu kamar. Tapi selama berbulan-bulan kami tinggal serumah, sekamar dan bahkan seranjang, kami boleh dibilang tidak pernah berbicara sekalipun.
Sampai suatu saat, entah mengapa, tiba-tiba saja Fikri memulai pembicaraan denganku. Saat itu ia memuji hasil tulisanku yang menurutnya sangat menarik.
Selain merasa kaget karena setelah berbulan-bulan, akhirnya Fikri mulai berbicara denganku, aku juga terus terang merasa tersanjung dengan pujiannya.
Secara fisik, Fikri orang yang tampan. Hidungnya mancung dan matanya terlihat sendu. Meski tubuhnya sedikit kurus, namun kulitnya putih.
Semenjak obrolan pertama kami malam itu, entah mengapa aku mulai memperhatikannya.
Ternyata Fikri orang yang cukup asyik untuk diajak ngobrol. Dia juga sangat baik.
Meski kami kuliah di kampus yang berbeda dan jurusan yang berbeda, namun kami punya beberapa kesamaan. Yang membuat kami jadi semakin cepat akrab.
Ternyata Fikri juga hobi membaca dan ia juga hobi nge-gym sepertiku.
"sebenarnya aku gak begitu hobi nge-gym." ucap Fikri suatu hari padaku.
"tapi aku juga pengen punya tubuh yang atletis kayak kamu, Bay." lanjutnya lagi.
Jadilah sejak saat itu, kami nge-gym bareng. Aku dan Fikri jadi semakin sering bersama.
Hingga suatu ketika, kami pun punya rencana untuk pergi liburan berdua ke sebuah kota kecil yang sama-sama belum pernah kami kunjungi.
Aku memang suka travelling. Sebelum menganal Fikri, biasanya aku lebih sering pergi sendirian.
Kami liburan selama seminggu, kami menginap di sebuah hotel di kota kecil tersebut.
Beberapa hari kami habiskan untuk mengunjungi bangunan-bangunan tua di tengah kota, kemudian menjelajahi beberapa pantai dan juga bukit-bukit yang indah.
Hingga pada hari kelima, kami sepakat untuk mengunjungi sebuah kawasa hutan, yang terletak cukup jauh dari kota tersebut.
Karena tidak mau membayar pemandu lokal dan hanya mengandalkan peta, kami pun tersesat di hutan tersebut. Kami tersesat, karena dalam kawasan hutan itu tidak ada jaringan sama sekali.
Karena merasa lelah dan juga lapar, kami memutuskan untuk tertidur di hutan tersebut.
Dua malam kami harus terjebak di dalam hutan itu. Dan pada malam kedua kami disana, tiba-tiba Fikri meraba-raba bagian dadaku yang memang sengaja aku buka.
Malam itu kami berbaring diatas bebatuan yang ada di sekitaran sebuah air terjun.
Awalnya aku ingin menepis tangan Fikri dari dadaku. Tapi karena tubuhku yang lelah, aku hanya membiarkannya. Dan sejujurnya aku juga menikmati hal tersebut.
Entah mengapa, aku begitu menikmati hal tersebut. Sampai kemudian tanpa sadar, aku pun mulai mengikuti apa yang dilakukan Fikri padaku.
Lalu kemudian, dengan perasaan lelah dan lapar, kami pun melakukan hal tersebut.
Dan air terjun itu menjadi saksi, untuk pertama kalinya kami melakukan hal tersebut.
Aku tidak tahu, apa persisnya yang aku rasakan saat itu. Berbagai perasaan bercampur baur di benakku.
Walau aku sangat menikmati hal tersebut, namun perlahan rasa bersalah mulai menghantuiku.
Seharusnya hal itu tidak boleh terjadi. Seharusnya aku bisa menahan perasaanku. Seharusnya aku tidak menuruti keinginan hatiku.
Aku memang mencintai Fikri. Aku menyayanginya, bukan sekedar sebagai saudara tiri atau pun sahabat. Tapi aku tidak ingin menjalin hubungan seperti sepasang kekasih dengan Fikri.
Biar bagaimanapun Fikri adalah kakak tiriku. Kami tidak mungkin menjalin hubungan tersebut. Meski aku tahu, Fikri juga mencintaiku.
Tapi apa jadinya, bila kami terus bersama. Kami akan terus melakukan perbuatan mesum tersebut di kamar. Karena aku sudah pasti tidak bisa menghindar setiap kali Fikri akan memulainya.
Karena itu, aku memutuskan untuk tidak lagi berbicara dengan Fikri.
Aku tahu, Fikri kecewa dan bahkan marah melihat sikapku padanya.
Tapi aku benar-benar bingung saat itu.
Aku pun akhirnya memutuskan untuk pindah ke Jerman. Aku hanya ingin menjauh dari Fikri. Karena jika aku tetap tinggal bersama Fikri, sudah pasti aku tidak akan bisa menolaknya lagi.
Mungkin saat ini, Fikri sangat membenciku dan menganggap aku cowok pengecut dan tidak jelas.
Aku memang tidak ingin menjelaskan apapun pada Fikri.
Karena aku takut, jika aku memulai pembicaraan dengan Fikri, aku pasti tidak akan bisa mengabaikan pesonanya.
Kejadian malam itu, benar-benar membekas di benakku. Aku selalu mengingatnya. Fikri benar-benar membuatku terlena dengan permainan indahnya.
Setiap kali melihat Fikri, aku selalu merasa menginginkannya kembali.
Tapi tetap saja aku merasa tidak seharusnya hal itu terjadi.
Bagaimana jika kelak akhirnya kedua orangtua kami tahu tentang hubungan kami. Pasti itu akan membuat malu keluarga.
Jadi lebih baik aku pergi, meski perasaanku sendiri sakit karenanya.
Disini, di kota yang asing ini, aku merasa kesepian. Aku benar-benar sendiri.
Setiap hari bayangan Fikri selalu menghantui pikiranku. Sekuat mungkin aku berusaha untuk melupakan Fikri, sekuat itu pula rasa rinduku datang.
Kini aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Aku hanya ingin Fikri tahu kalau aku sangat mencintainya. Aku sangat membutuhkannya.
Awalnya aku berharap, dengan pergi menjauh dari Fikri, itu akan bisa menghapus segala rasaku padanya.
Tapi ternyata aku salah. Semakin jauh darinya, justru aku semakin tersiksa karenanya.
Aku semakin menyadari bahwa betapa berartinya Fikri bagiku.
Ternyata aku tidak bisa hidup tanpanya.
Aku tahu, saat ini, mungkin Fikri sangat membenciku. Karena membuatnya terus bertanya-tanya, kenapa aku harus pergi.
Namun melalui tulisan ini aku berharap, agar ia tahu semuanya.
Aku tidak mungkin kembali kesana, karena pasti hubungan kami tidak akan mendapat restu dari siapapun. Dan bahkan kami tidak akan bebas untuk terus bersama dalam sebuah hubungan asmara.
Namun aku berharap, Fikri mau menemuiku di sini. Di kota asing ini, yang tentu saja, kami akan lebih leluasa menjalani hubungan kami.
Buat Fikri, andai engkau membaca email ini.
Kisah ini adalah kisah kita. Aku disini akan selalu menunggumu. Berharap engkau datang dengan segala cinta yang hanya untukku.
****
Fikri
Setelah membaca email tersebut, tentu saja aku merasa terenyuh.
Berbagai perasaan mulai berkecamuk di benakku.
Disini aku bukan lagi Fikri yang dulu.
Perasaanku terhadap Bayu mungkin masih sama. Aku masih sangat mencintainya.
Tapi aku telah berkali-kali menghianati hatiku sendiri. Aku telah berkali-kali melakukan perbuatan yang tak semestinya aku lakukan bersama bang Maher.
Seandainya Bayu tahu, apa yang telah aku lakukan, ia pasti akan sangat kecewa padaku.
Tapi bukankah, itu semua bukan salahku?
Bukankah Bayu sendiri yang membuatku jadi seperti ini?
Dia yang pergi tanpa penjelasan apapun padaku.
Dan sekarang, ia seakan-akan berharap aku akan menyusulnya ke Jerman. Dan memulai hidup baru bersamanya disana.
Ingin rasanya aku mengungkapkan semua itu kepada Bayu. Ingin rasanya aku segera membalas email tersebut. Tapi aku harus benar-benar berpikir matang, sebelum akhirnya mengambil keputusan.
Disini ada bang Maher, yang selalu siap memberikan aku sesuatu yang aku butuhkan, meski aku tak kunjung jua jatuh cinta padanya.
Dan disana ada Bayu, yang memang sudah sejak lama aku cintai.
Tapi jika aku menyusulnya kesana, itu artinya, aku harus rela meninggalkan semua yang ada disini, termasuk Ibuku.
Karena jika aku menyusul Bayu kesana, kami pasti akan menetap cukup lama disana.
Sebab, seperti kata Bayu, hanya disanalah kami akan bebas mewujudkan cinta kami.
Sekarang aku menjadi semakin bingung. Benar-benar bingung.
***
"kamu yakin, Fik?" tanya Ibuku dengan kening berkerut.
Setelah aku mengungkapkan keinginanku untuk menyusul Bayu ke Jerman.
"Fikri yakin, Bu.." balasku tegas.
"Ibu sih, terserah kamu, Fik. Kalau memang itu sudah menjadi pilihanmu, Ibu ikhlas. Asal kamu bisa jaga diri disana." ucap Ibu lagi, kali ini dengan nada yang sangat lembut.
Setelah mengurus segala sesuatu dan segala tetek bengeknya, akhirnya aku berangkat ke Jerman tanpa memberitahu Bayu terlebih dahulu.
Aku ingin memberi kejutan untuknya. Aku ingin melihat reaksinya ketika melihatku tiba-tiba berada disana.
Sesampai disana, aku langsung menuju alamat yang telah diberikan papa Bayu padaku.
Aku melihat senyum kebahagiaan di wajah tampan itu. Ketika ia membukakan pintu untukku.
"aku.." ucapku kelu.
Tapi Bayu tidak memberikan kesempatan untukku berbicara, ia langsung saja mendekapku erat.
"aku sangat merindukanmu, Fik." bisiknya di telingaku.
Terima kasih, Bay. Bisikku dalam hati, tak terdengar siapa-siapa. Tapi aku yakin Bayu bisa merasakannya.
Terima kasih telah menyempurnakan hidupku. Aku sangat menyayangimu. Lanjutku masih terus berbisik dalam hati.
Debaran jantung kami telah berpadu. Menyatu dalam sebuah rasa yang begitu indah.
Disini, di kota asing ini, kami akan memulai hubungan yang baru.
Aku telah memutuskan hubunganku dengan bang Maher. Aku telah menceritakan semuanya. Dan bang Maher sangat mengerti, meski aku tahu ia pasti kecewa.
"jika kamu memang mencintainya, Fik. Kejar dia! Jangan sampai kamu menyesalinya di kemudian hari..." begitu pesan bang Maher padaku, saat terakhir kami bertemu.
Namun kisahku bersama bang Maher, akan tetap menjadi rahasia yang tidak mungkin aku ungkapkan, terutama kepada Bayu.
Aku memang melakukan kesalahan, tapi semua itu terjadi, karena Bayu yang terlalu takut untuk jujur dengan perasaannya sendiri.
Sekarang aku disini, bersama Bayu. Bersama adik tiriku, bersama orang yang paling aku cintai saat ini.
Dan
bang Maher, hanyalah sepenggal cerita, yang membuatku justru semakin
sadar, kalau aku tidak pernah bisa berhenti mencintai Bayu.
Selesai ...
***
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih