Nama ku Dody. Aku merupakan seorang manager di sebuah perusahaan kecil di kota tempat aku tinggal. Sebuah perusahaan perangkat lunak, yang aku kelola bersama beberapa orang teman.
Dulu, aku pernah menikah, saat itu usia ku masih 27 tahun. Aku menikah dengan seorang gadis yang diperkenalkan oleh orangtua ku. Aku menikah bukan karena dasar cinta. Aku menikah hanya untuk mendapatkan sebuah status, dan juga untuk menutupi jati diri ku yang sebenarnya.
Sejak SMA, aku sudah menyadari kalau aku ini berbeda. Aku lebih punya ketertarikan pada sosok laki-laki dari pada kepada perempuan. Aku menyadari kalau aku bukanlah seperti kebanyakan laki-laki pada umumnya.
Awalnya aku coba menepis hal tersebut. Aku berusaha keras, untuk bisa punya rasa ketertarikan pada perempuan. Aku bahkan beberapa kali mencoba berpacaran dengan perempuan, meski pun aku tidak mencintai mereka. Namun tetap saja, aku lebih suka mengkhayalkan sosok laki-laki dalam hidup ku.
Hingga pada akhirnya, aku pun menyerah. Aku tidak lagi berusaha untuk melawan hal tersebut. Aku ikuti segala naluri ku. Aku pun coba untuk menjalin hubungan dengan sesama laki-laki. Dan hal itu cukup membuat aku merasa lebih baik. Aku merasa bahagia, bisa berpacaran dengan sesama laki-laki.
Namun demikian, semua kisah cinta ku, selalu saja berakhir menyakitkan. Setiap laki-laki yang pernah menjadi pacarku, selalu mengkhianati ku. Aku selalu dibuat kecewa oleh mereka.
Dan hal itulah, yang menjadi salah satu alasan ku, mengapa pada akhirnya aku memutuskan untuk menikah, dengan perempuan yang di jodohkan oleh orangtua ku.
Aku berharap, dengan menikah, aku akan bisa berubah. Aku akan bisa mencintai sosok seorang perempuan. Aku berharap, dengan menikah, aku akan bisa menjadi laki-laki seutuhnya.
Bertahun-tahun aku coba melakukan hal tersebut. Aku pendam semua keinginan ku tentang laki-laki. Aku berusaha keras untuk bisa mencintai istri ku. Hingga bahkan, kami juga sudah mempunyai dua orang anak.
Namun, ternyata hal tersebut, tidak benar-benar bisa mengubah ku. Aku masih saja, sering memikirkan laki-laki dalam hidup ku. Bahkan, setiap kali aku melihat laki-laki berwajah tampan, atau pun bertubu kekar, aku akan selalu menjadikan sebagai bahan untuk aku berimajinasi.
Hal itu terus berjalan hingga bertahun-tahun. Semakin aku mencoba untuk memendam semua keinginan tersebut, semakin kuat keinginan itu datang.
Dan pada akhirnya, aku pun menyerah lagi. Aku sudah tidak sanggup hidup dalam kepura-puraan. Pura-pura bahagia, pura-pura mencintai istri ku. Aku merasa menjadi orang yang palsu.
Karena itulah, aku pun memutuskan untuk menceraikan istri ku. Bagiku, istri ku pantas mendapatkan laki-laki yan gjauh lebih baik dari ku. Yang benar-benar bisa mencintainya. Bukan laki-laki tak jelas seperti diri ku. Istri ku berhak untuk bahagia, denga laki-laki yang tepat.
Aku juga memilih untuk meninggalkan anak-anak ku. Meski hal itu terasa sangat berat. Tapi aku merasa aku bukanlah ayah yang baik buat mereka. Aku tidak pantas menjadi seorang ayah. Walau pun, aku tidak pernah melepaskan tanggungjawab ku kepada mereka.
Setiap minggu, aku selalu berusaha meluangkan waktu untuk mereka. Mengajak mereka bermain dan berjalan-jalan. Semenjak bercerai, aku dan mantan istri ku memang punya kesepakatan, tentang hak asuh anak-anak kami, yang sepenuhnya aku serahkan pada mantan istri ku. Dan aku hanya bisa menemui mereka, pada setiap hari minggu.
Begitulah kehidupan yang aku jalani pada akhirnya. Aku memutuskan untuk berpisah dengan istri dan anak-anak ku. Agar aku mendapatkan kembali kebebasan ku. Agar aku tidak selalu di hantui rasa bersalah kepada mereka.
Sejak bercerai, aku kembali menjalani dunia yang dulu pernah aku tinggalkan. Dunia pelangi.
Aku mulai mencoba berpacaran lagi dengan laki-laki. Namun, seperti tidak pernah belajar dari kesalahan, aku pun kembali selalu di kecewakan. Kebanyakan dari laki-laki yang aku pacari, hanya sekedar mengincar harta ku. Mereka hanya memanfaatkan aku, karena mereka tahu, aku punya banyak uang.
Dan sekali lagi aku pun menyerah. Aku coba menjalani hidup dalam kesendirian. Tanpa pacar.
****
Waktu pun terus berlalu. Aku mulai terbiasa dengan kesendirian ku. Sudah 38 tahun usia ku saat ini. Aku masih terus bekerja seperti biasa. Membangun perusahaan ku dengan seluruh kemampua ku.
Setiap minggu, aku selalu menyempatkan waktu untuk menemui anak-anak ku. Mereka sudah mulai tumbuh besar sekarang. Dan mantan istri ku juga sudah menikah lagi. Hal itu cukup membuat aku merasa turut bahagia. Biar bagaimana pun ia berhak akan hal itu.
Dan dalam kesendirian ku, serta semua rutinitas ku tersebut, aku pun kemudian bertemu dengan seorang laki-laki muda, yang masih berusia 20 tahun. Namanya Shapta.
Oh, Shapta.... betapa begitu indah ku rasa, setiap kali menyebut namanya.
Shapta adalah salah seorang office boy baru di kantor ku. Dia baru bekerja sekitar dua bulan waktu itu. Dan sejak pertama kali melihatnya, aku mulai merasa tertarik padanya. Sebuah rasa yang sudah lama tidak aku rasakan.
Shapta yang tampan, dengan tubuhnya yang tegap. Ia juga sangat baik dan ramah.
Aku selalu berusaha untuk mencari-cari alasan, agar aku bisa mengobrol dengannya. Aku jadi sering memintanya untuk membuatkan aku kopi, kue, atau pu memintanya untuk membelikan aku sesuatu, meski pun aku aku tidak membutuhkan hal tersebut.
Dan pada akhirnya, aku pun jadi sering mengajak Shapta untuk makan siang bersama, di kantin kantor yang berada di lantai dasar.
Hal itu, cukup aneh sebenarnya. Apa lagi di mata karyawan-karyawan lain. Tapi aku gak peduli. Aku hanya ingin dekat dengan Shapta, dan ingin mengenalnya lebih dekat.
Shapta sendiri, awalnya juga merasa risih. Mungkin ia juga merasa tidak enak hati, karena harus begitu dekat dengan bos nya sendiri. Tapi aku berusaha meyakinkan Shapta, untuk tetap bersikap biasa saja.
Aku juga jadi sering memberi Shapta hadiah, uang dan juga memberinya tumpangan, setiap kali ia pulang kerja.
Awalnya Shapta masih sering menolak, setiap pemberian atau pun tawaran dari ku. Tapi aku terus saja memaksanya, agar ia mau menerimanya.
Intinya, aku ingin menjadi dekat dengan Shapta.
Aku sudah terlanjur jatuh cinta padanya. Dan aku akan berjuang untuk bisa merebut hatinya. Apa pun akan aku lakukan, untuk bisa memilikinya.
***
Karena sudah cukup dekat dan akrab, Shapta juga jadi semakin terbuka padaku.
Dari Shapta aku jadi tahu, kalau ia adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Orangtua nya hanyalah petani biasa di kampung. Kedua adiknya juga masih sekolah.
Karena itulah, Shapta memutuskan untuk merantau ke kota, agar bisa mendapatkan pekerjaan, meski pun ia hanya lulusan SMA. Ia bertekad untuk bisa membantu orangtuanya di kampung, terutama untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya.
Sebagian besar gajinya, ia kirimkan ke kampung untuk orangtua nya.
Hal itu semakin membuat aku merasa padanya. Ia laki-laki muda yang penuh tanggungjawab, dan sangat menyayangi orangtua nya.
Hal itu juga, yang membuat aku semakin ingin membantunya. Aku jadi semakin sering memberinya uang, tanpa Shapta memintanya sama sekali. Aku hanya ingin membuat ia terkesan.
"mengapa bapak begitu baik padaku? Padahal kita bukan keluarga, kita juga baru saling kenal.." begitu tanya Shapta padaku suatu hari, saat untuk kesekian kalinya aku memberinya uang lagi.
"saya hanya merasa, kalau kamu pantas mendapatkan hal tersebut, Shapta. Kamu anak baik, berbakti pada orangtua, dan juga penuh tanggungjawab. Aku kagum akan hal itu. Sangat jarang anak muda jaman sekarang, yang memiliki sifat seperti kamu." balasku apa adanya.
"tapi.. aku jadi merasa tidak enak hati, pak. Harus selalu menerima semua kabaikan bapak padaku. Aku jadi merasa berhutang budi." ucap Shapta lagi.
"udah.. santai aja.. Gak perlu merasa berhutang budi, dan gak perlu merasa tidak enak hati menerimanya. Saya ikhlas, kok. Saya hanya ingin membantu kamu. Selama saya mampu kenapa tidak? Mungkin saja, saya adalah salah satu jalan rezeki buat kamu, buat keluarga kamu.." balas ku, berusaha untuk meyakinkan Shapta.
"terima kasih banyak ya, pak. Suatu saat, saya pasti akan berusaha untuk membalas semua kebaikan bapak padaku.." ucap Shapta akhirnya.
Dan begitulah, aku masih tetap berusaha untuk membuat Shapta merasa terkesan dengan ku. Aku harus bisa meluluhkan hatinya. Meski pun aku tahu, kalau Shapta adalah laki-laki normal. Namun aku yakin, suatu saat hatinya akan terbuka untuk ku.
****
"kamu mau gak, kalau kuliah sekarang?" aku bertanya pada Shapta pada suatu kesempatan.
"kuliah?" Shapta sedikit mengerutkan kening.
"iya.. Kamu kuliah, dan segala biaya kuliah kamu saya yang tanggung.." balasku cepat.
"tapi... saya kan harus kerja, pak." ucap Shapta sedikit ragu.
"kamu tetap bisa kerja, kok. Sambil kuliah. Kamu gak mau kan selamanya jadi OB?" balasku lagi.
"tapi.. apa hal itu tidak terlalu berlebihan, pak. Bapak sampai membiayai kuliah saya. Saya jadi semakin merasa tidak enak hati, pak.." Shapta berucap dengan nada sendu.
"gak ada yang berlebihan, Shap. Kamu itu udah saya anggap seperti adik saya sendiri. Jadi kamu gak perlu lagi merasa tidak enak hati. Lagi pula, saya ingin kamu kuliah dan mengambil jurusan yang berhubungan dengan perusahaan kita. Agar nanti kamu bisa menjadi karyawan di perusahaan saya, bukan hanya jadi OB.." ucapku berusaha terus meyakinkan Shapta.
Shapta terlihat termenung beberapa saat. Ia terlihat berpikir keras. Mungkin hatinya di hantui rasa bimbang. Mungkin ia masih ragu akan hal tersebut.
"saya tulus loh, Shap. Saya akan merasa sangat kecewa, jika kamu menolaknya." ucapku selanjutnya.
"baiklah, pak. Selama hal itu tidak merepotkan bapak, saya akan menerimanya.." ucap Shapta akhirnya.
"nah.. gitu dong... Saya juga jadi merasa senang mendengarnya. Besok .. kita urus segala sesuatunya, agar kamu secepatnya bisa kuliah.." balasku dengan suara riang.
"iya, pak. Sekali lagi terima kasih banyak, pak." ucap Shapta kemudian.
"tapi.. kamu harus janji satu hal padaku.." aku berucap lagi.
"janji apa, pak?" tanya Shapta sedikit heran.
"kamu tetap jadi orang baik, ya.. tetap jadi anak yang berbakti, dan penuh tanggungjawab. Dan yang terpenting, kamu tetap mau berteman dengan ku." balasku menjawab keheranan Shapta barusan.
"iya, pak. Saya janji, saya akan tetap menjadi teman baik buat bapak. Saya akan selalu ada, kapan pun bapak membutuhkan saya." Shapta menbalas dengan penuh keyakinan.
Aku pun tersenyum penuh kemenangan. Biar bagaimana pun misi ku untuk bisa merebut hati Shapta akan terus berlanjut. Aku akan terus berjuang, hingga Shapta benar-benar takluk padaku.
Semakin besar pengorbanan ku untuknya, semakin besar pula kemungkinan aku bisa memilikinya.
****
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih