Namaku Rian. Sebut saja begitu.
Saat ini aku sedang kuliah, semester lima.
Aku kuliah di kota yang cukup jauh dari kampung tempat aku dan orangtua ku tinggal.
Orangtua ku memang tinggal di kampung, karena mereka bekerja di sana dan di sanalah mereka lahir, tumbuh dan besar.
Orangtua ku memang asli orang kampung. Mereka hanya memiliki dua anak. Aku salah satunya. Aku merupakan anak pertama mereka, sedangkan adik bungsu ku seorang perempuan yang saat ini masih SMA.
Sejak SMA aku sudah jarang berada di kampung, karena sejak SMA aku sudah bersekolah di kota. Di kota aku tinggal bersama pamanku yang seorang guru. Kebetulan paman ku dan istrinya tidak mempunyai anak, jadi aku sudah mereka anggap seperti anak mereka sendiri.
Dan hal itu juga yang membuat aku jadi betah tinggal di kota dan jarang pulang ke kampung.
Karena jarang pulang ke kampung, aku jadi tidak begitu mengenal orang-orang di kampung ku, begitu juga sebaliknya, orang-orang jarang yang mengenal ku.
Pernah pada suatu liburan sekolah, aku pulang ke kampung. Biasanya kalau pulang kampung, aku jarang keluar rumah. Selain karena aku memang cukup pemalu orangnya, aku juga tidak punya teman di kampung.
Aku memang biasanya pulang ke kampung naik motor sendiri, dengan menempuh perjalanan hampir setengah hari.
Suatu malam, karena merasa suntuk di rumah, aku mencoba berkeliling kampung, untuk sekedar mencari udara segar. Saat sampai di ujung kampung, aku melihat sebuah pos ronda, yang memang sejak dulu sudah berada di sana.
Hanya saja aku tidak tahu pasti, kalau pos ronda itu selalu di jaga setiap malamnya. Ada dua orang hansip yang menjaga pos ronda tersebut malam itu.
Dengan sedikit ragu, aku pun mencoba mampir di pos ronda tersebut.
Dua orang hansip yang sedang berjaga tersebut, tersenyum menyambut kedatangan ku.
"malam, pak." sapa ku pada salah seorang hansip yang cukup tua, mungkin sekitar 40 tahun usianya. Sementara temannya yang satu lagi masih cukup muda, mungkin berusia sekitar 25 tahun.
"malam, nak Rian." balas bapak itu.
"oh, bapak tahu saya?" tanya ku ragu.
"iya jelas bapak tahu lah, kan kamu anaknya pak Dulah yang kuliah di kota itu toh." jelas bapak itu.
"iya, pak." balas ku ringan.
"jadi kamu mau kemana?" tanya bapak itu lagi.
"gak mau kemana-kemana sih, pak. Lagi suntuk aja di rumah, jadi pengen keliling aja, cari udara segar." jawabku apa adanya.
"iyalah, anak muda jaman sekarang memang suka galau, apa lagi kamu yang biasa tinggal di kota dan selalu ramai setiap malamnya, sekali-kali pulang kampung ya mungkin terasa sunyi." ucap bapak itu lagi.
"gak juga sih, pak. Kadang justru lebih nyaman berada di kampung." balasku pelan.
Aku duduk di samping pak hansip tua itu, di label bajunya tertera kalau nama bapak itu adalah pak Karim, sementara temannya yang muda, sibuk bermain handphone sambil merokok. Nama hansip muda itu, Iskandar, sesuai yang tertera di bajunya.
Pak Karim kemudian menyalakan sebatang rokok.
"rokok?" tawarnya padaku.
"gak, pak. Saya gak merokok." balas ku jujur.
"baguslah, kalau bisa jangan sampai merokok ya.." ucap pak Karim, sedikit menasehati.
"bapak sendiri kok merokok?" tanya ku cukup berani.
"yah, karena bapak udah terlanjur memulainya ketika muda dulu, jadi kalau mau berhenti sekarang agak susah." balas pak Karim.
Untuk sesaat kami pun saling terdiam. Aku juga gak tahu harus bercerita apa dengan pak Karim, karena aku benar-benar baru mengenalnya. Meski pun setahu ku pak Karim memang asli orang kampung sini, tapi karena aku yang jarang berada di kampung, aku jadi tidak begitu mengingatnya.
"pak Karim, saya pulang sebentar ya, istri saya kirim pesan, katanya anak kami demam tinggi." tiba-tiba si hansip muda, yang bernama Iskandar itu berucap memecah keheningan.
"oh, ya udah gak apa-apa. Kamu bawa aja anak kamu berobat dulu." balas pak Karim.
Sesaat kemudian, Iskandar pun menaiki motor bututnya dan segara berlalu dari situ.
"pak Karim gak takut, kalau berjaga sendirian?" tanya ku, setelah beberapa saat kami hanya tinggal berdua.
"saya mah udah biasa nak Rian, gak ada juga yang perlu di takutkan. Lagi pula kan pos ini gak terlalu jauh dari perumahan warga. Meski kalau udah lewat jam sepuluh malam seperti ini, keadaan memang sepi, hampir gak ada orang yang lewat." jelas pak Karim.
"kalau nak Rian mau pulang, pulang aja. Bapak gak apa-apa sendiri. Kan ini memang sudah menjadi tugas bapak setiap malam." lanjut pak Karim lagi.
"ah, sebentar lagi lah pak Karim. Rasanya saya masih betah di sini ngobrol sama pak Karim." balasku ringan. Aku memang belum berniat untuk pulang, selain karena aku memang belum mengantuk, aku juga merasa nyaman saat ngobrol bersama pak Karim.
Terus terang, meski pun sudah cukup berumur, pak Karim masih terlihat tampan. Apa lagi postur tubuhnya juga terlihat berotot dan gagah, di balut dengan pakaian hansip warna hijau nya itu.
Sebenarnya aku tak begitu mengenal pak Karim. Setahu ku dulu, ketika aku masih remaja, pak Karim memang sering main ke rumah kami, tapi aku tidak begitu menghiraukannya waktu itu.
Dan seingat ku juga, pak Karim waktu itu juga sudah menikah dan sudah punya anak.
****
"jadi pak Karim setiap malam jaga di pos ini?" tanya ku memecah keheningan.
"iya, nak Rian. Bapak memang hansip yang paling senior di kampung kita ini, jadi bapak yang bertanggungjawab penuh. Setiap malam biasanya teman bapak bergantian. Kalau malam iniya itu tadi si Iskandar yang jadi teman bapak. Malam besok beda lagi yang teman bapak. Tapi kalau bapak sendiri, ya memang sudah pasti setiap malam di sini." jelas pak Karim panjang lebar.
"kasihan lah istrinya di rumah setiap malam di tinggal, pak?" ucapku cukup blak-blakan.
"oh, jadi kamu belum tahu, kalau istri bapak sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Bapak ini sekarang seorang duda. Tapi anak bapak ada tiga. Yang paling tua, baru aja lulus SMA, sedangkan yang dua lagi masih sekolah." pak Karim menjelaskan lagi.
"anak bapak yang paling tua laki-laki, sekarang kerja serabutan di kampung, ia gak kuliah, karena bapak gak sanggup membiayainya. Sementara dua adiknya yang masih sekolah, keduanya perempuan. Satunya SMA dan yang bungsu masih SMP." lanjut pak Karim.
Aku pun manggut-manggut mendengar penjelasan pak Karim. Sungguh aku benar-benar tidak tahu, kalau pak Karim adalah seorang duda. Hal itu justru membuat aku semakin merasa betah ngobrol bersama pak Karim.
Untuk selanjutnya pak Karim pun bercerita banyak hal padaku. Kadang juga ia bertanya beberapa hal padaku, terutama tentang kehidupan ku di kota.
Kami ngobrol cukup lama, sampai tanpa sadar, jam sudah menunjukkan hampir jam satu malam. Saat itulah, Isknadar yang tadi sempat pamit pulang, muncul kembali.
Pembicaraanku dengan pak Karim pun terhenti, karena kehadiran Iskandar. Dan beberapa saat kemudian, aku pun pamit pulang.
****
Sesampai di rumah, entah mengapa mata ku enggan terpejam. Bayangan wajah tampan pak Karim terus melintas di pikiran ku. Suaranya yang maskulin, terus terngiang di telinga ku. Senyum yang manis dan tulus itu, benar-benar menggugah perasaan ku.
Ah, apa yang aku rasakan sebenarnya?
Mengapa aku jadi kepikiran pak Karim terus?
Mungkin kah aku telah jatuh hati padanya?
Tapi bukankah kami baru saja saling kenal?
Namun harus aku akui, kalau aku memang benar-benar terkesan dengan pak Karim. Pesona wajah tampannya, benar-benar mampu menghipnotis ku. Aku terpana.
Pikiranku pun jadi melayang tak menentu. Membayangkan pak Karim berada di dekatku. Membayangkan ia berbaring di sampingku. Kemudian ku dekap tubuh gagah itu.
Ah, betapa indah dunia khayal ku tiba-tiba. Aku benar-benar tak mampu lagi menepis perasaanku, kalau aku memang telah jatuh cinta pada pak Karim, pak hansip yang merupakan seorang duda tersebut.
Sepanjang malam aku terus memikirkan pak Karim, hingga pagi aku hampir tak tertidur karena selalu memikirkannya. Khayalan indah terus menghiasi malam ku, hingga pagi menjelma.
****
Keesokan malam, aku pun berniat untuk datang ke pos ronda itu lagi. Niat ku cuma satu, yakni bertemu dengan pak Karim.
Hanya saja malam itu, cuaca sedikit mendung, dan sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Aku jadi khawatir, kalau pak Karim di berada di pos ronda, karena mau hujan. Tapi aku tetap nekat datang ke sana.
Dan betapa beruntungnya aku, karena pak Karim berada di pos ronda itu sendirian. Sesaat setelah aku sampai ke sana, hujan deras pun turun.
"sendirian aja, pak?" tanyaku cukup keras, mengimbangi suara hujan.
"iya, si Somat yang giliran jaga malam ini belum datang. Dan sepertinya ia memang tidak akan datang, karena sudah hujan." jawab pak Karim ikut mengeraskan suara.
"kamu kok jadi rajin datang ke sini? Hujan-hujan lagi.." ucap Karim lagi, sedikit bertanya.
"iya, pak. Aku merasa nyaman ngobrol sama pak Karim." balas ku sedikit terbuka.
"kamu gak takut, malam-malam begini, hujan lagi?" tanya pak Karim.
"kan ada pak Karim, untuk apa saya takut?" balas ku yakin.
"ah kamu bisa aja, nak Rian. Aku gak bisa menjamin keamanan kamu loh. Aku hanya punya senj4ta p3ntongan ini." ucap pak Karim, sambil mengangkat pentongan yang sejak tadi ia pegang.
"pentongannya besar, pak. Jadi aku merasa aman." balas ku dengan maksud tertentu.
"kamu mau peg4ng p3ntongannya, buat jaga-jaga. Takut kalau ada ular naik ke pos. Biasanya kalau hujan, banyak ular yang berkeliaran." suara pak Karim terdengar samar-samar, karena suara hujan semakin deras.
"aku mau pegang p3ntongan yang lain aja, pak. Boleh?" tanya ku sengaja mengecilkan suara, agar pak Karim tidak terlalu menyimak.
"p3ntongan yang m4na lagi? Bapak hanya puny4 satu p3ntongan ini." balas pak Karim. Sepertinya ia tak begitu pah4m maksud ku.
"kan ada p3ntongan yang satu lagi, pak. Pasti besar juga, kan?" ucapku semakin ceplas-ceplos.
Suasana malam itu, memang membuat pikiranku melayang kemana-mana.
Untuk beberapa saat, pak Karim pun menatapku penuh tanya. Sepertinya ia mulai mengerti ar4h dan tujuan pembicar4an ku.
"kamu suka ma!n p3ntongan?" tanya pak Karim akhirnya.
"gak semua p3ntongan, pak. Tapi p3ntongan pak Karim sepertinya cukup men4rik untuk di ma!nkan." ucapku membalas.
Pak Karim terdiam kembali. Ia sepertinya tak menyangka, kalau aku akan berani berkata demikian padanya.
"p3ntongan pak Karim kan udah lama gak digunakan, jadi sekali-kali boleh lah pak, aku m4inkan. Dari pada nganggur aja kan." ucapku lagi. Aku memang berniat untuk berusaha keras, agar bisa membuat pak Karim terp4ncing.
"mumpung s3pi dan huj4n, pak." tambah ku lagi.
Tiba-tiba lampu di kampung itu pun mati, yang membuat pos ronda itu pun menjadi gel4p. Di kampung memang kalau sudah hujan deras, lampu pasti akan mati.
"nak Rian serius?" tanya pak Karim dalam kegel4pan.
"saya serius, pak Karim. Bapak gak b4kal rugi, kok." balasku meyakinkan.
"tapi bapak g4k ngerti c4ranya, nak Rian. Selama ini, selain deng4n mend!ang istri b4pak, p3ntongan bapak mem4ng belum pern4h bapak gun4kan." ucap pak Karim pelan.
"udah... pak Karim ten4ng aja. Biar s4ya yang 4tur semu4nya. Bap4k ikuti saja intruks! saya. N4nti saya yang ak4n menunjukk4n j4lannya." balas ku lagi.
"terser4h nak Rian aja. Bapak ak4n ikuti 4pa yang nak Rian ing!n kan. Lagi pula sudah l4ma sek4li p3ntong4n b4pak tidak di gun4kan d3ngan ba!k." ucap pak Karim akhirnya d4lam k3pasr4hannya.
Mendengar hal itu, aku pun sem4kin beran!. Aku memang tid4k ingin menyia-ny!akan kes3mp4tan yang s4ngat l4ngka tersbut. Apa lagi ,sud4h sejak t4di m4lam aku memik!rkan pak Karim. T3rut4ma m3mik!rkan p3ntong4n nya.
Dan mal4m ini, aku puny4 kes3mpatan untuk bisa m3nggun4kan p3ntong4n tersebut dengan seba!k-b4iknya.
Segala kh4yalan ku tentang pak Karim, mal4m itu pun akh!rnya menj4di sebu4h k3nyat4an. S3buah kenyat4an yang sang4t ind4h. Bahkan j4uh lebih ind4h d4ri yang 4ku khay4lkan.
Pak Karim yang aw4lnya masih t3ras4 k4ku, lama k3lam4an menj4di terbi4sa deng4n h4l ters3but. Aku mem4ng berusah4 keras membu4t pak Karim t3rh4nyut dal4m perma!n4n ind4h ku. Aqu ingin m3mbu4t ia ben4r-ben4r t3rkes4n. Karena sejujurnya, aku berhar4p h4l ini tid4k hany4 terj4di mal4m ini.
Aku ing!n h4l ini ak4n terus berul4ng di mal4m-mal4m sel4njutnya. Aku ingin pak Karim m3ras4 ket4g!han dengan ap4 yang aqu lakuk4n pad4nya.
Hingga petu4langan k4mi malam itu, pun ber4khir dengan sang4t ind4h dan penuh kes4n. Pak Karim pun sepert!nya juga sang4t men!km4ti hal ters3but. Terbukt!, ia member! sebu4h kecup4n m4nis di pip! ku, sesa4t setel4h ia menc4pai punc4k ke!nd4han ters3but.
"makasih nak Rian." bis!knya lembut.
"aku yang m4kasih, pak. Pak Karim ben4r-ben4r h3bat." bal4sku tak kal4h l3mbutnya.
Sesaat kemudi4n kam! pun sam4-s4ma t3rsenyum penuh m4kna.
****
Malam-malam selanjutnya, hal itu pun semakin sering terjadi. Kami semakin sering melakukannya. Pak Karim benar-benar terkesan dengan apa yang aku lakukan padanya. Sepertinya ia menemukan temp4t untuk mencur4hkan seg4la kesepi4nnya sel4ma ini.
Ia bagai mendapatkan setetes air di tengah kegersangan hidupnya. Dan aku berusha untuk memberikan yang terbaik padanya. Karena aku memang telah jatuh cinta kepada pak Karim.
"berapa lama lagi kamu libur?" tanya pak Karim suatu malam.
"masih lama, pak. Sekitar dua minggu lagi." jawabku.
"nanti kalau kamu udah berangkat kuliah, bapak jadi kesepian lagi, dong." ucap pak Karim.
"pak Karim tenang aja. Nanti aku akan sering-sering pulang kampung, pak. Jika perlu setiap minggu aku akan pulang." balas ku yakin.
"bapak benar-benar membutuhkan nak Rian di sini." ucap pak Karim sendu.
"iya, pak. Aku juga sangat membutuhkan bapak. Aku sayang sama pak Karim." balasku.
"bapak juga sayang sama nak Rian." ucap pak Karim lirih.
Dan begitulah, aku pun akhirnya menjalin hubungan cinta dengan pak Karim, si hansip kampung yang gagah dan seorang duda itu.
Lalu seperti apakah kelanjutan kisah ku bersama pak Karim?
Mungkinkah kami akan tetap bersama, meski terpisah jarak yang cukup jauh?
Simak kelanjutannya di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.
Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Salam sayang selalu buat kalian semua.. dan sampai jumpa lagi.
****
Part 2
"apa yang membuat kamu bisa jatuh cinta pada bapak, nak Rian? Padahal jarak usia kita sangat jauh. Bapak juga sudah cukup tua." tanya pak Karim pada suatu malam, ketika untuk kesekian kalinya kami kembali menghabiskan waktu berdua.
"bapak juga hanya seorang hansip, dan seorang duda yang sudah punya anak tiga. Apa yang kamu harapkan dengan hubungan kita ini, nak Rian?" lanjut pak Karim lagi.
"bukankah cinta itu buta, pak Karim? Cinta tak memandang usia. Kita juga tidak bisa menebak kapan dan kepada siapa kita akan jatuh cinta. Namun yang pasti sejak pertama kali ngobrol dengan pak Karim, hati ku sudah terpikat."
"pak Karim sangat tampan dan gagah. Aku tak bisa menolak pesona pak Karim. Apa lagi sejak pertama kali kita melakukan hal tersebut, aku semakin tergila-gila pada pak Karim. Aku benar-benar mencintai pak Karim, tak peduli berapa jarak usia di antara kita." jelasku panjang lebar.
"bapak juga mulai jatuh cinta pada nak Rian. Kesan yang nak Rian berikan, benar-benar membuat bapak terlena. Bapak seakan menemukan setetes air di tengah gurun gersang. Kamu mampu mengisi kekosongan hati bapak, dengan cinta mu yang begitu indah." ucap pak Karim penuh perasaan.
"terima kasih, pak Karim. Bapak sudah memberikan aku kesempatan untuk bisa merasakan indahnya cinta. Aku benar-benar bahagia bisa bersama pak Karim." balas ku juga dengan penuh perasaan.
"tapi sebentar lagi, nak Rian akan mulai kuliah. Itu artinya kita akan terpisah oleh jarak dan waktu." ucap pak Karim kemudian.
"seperti janji ku pada pak Karim, jika aku mulai kuliah lagi nanti, aku pasti akan sering-sering pulang ke kampung, pak. Jika perlu aku pulangnya sekali seminggu." balasku pelan.
"tapi jarak antara kota tempat kamu kuliah dengan kampung kita ini, sangat jauh loh, nak Rian. Apa nak Rian gak keberatan akan hal itu?" ucap pak Karim sedikit bertanya.
"demi cinta ku kepada pak Karim, aku rela menempuh perjalanan sejauh apa pun, pak." balasku.
"tapi hal itu juga akan menambah biaya kamu loh. Jika kamu pulang sekali seminggu tentunya, kamu juga butuh uang bensin yang lebih banyak. Padahal selama ini, kamu sangat jarang pulang. Bapak tahu, bagaimana kondisi ekonomi orangtua nak Rian. Mereka pasti akan keberatan, jika kamu pulang sekali seminggu nantinya." ucap pak Karim lagi.
"iya, aku tahu, pak. Tapi aku akan berusaha memberi pengertian pada orangtua ku dan membuat alasan yang lebih masuk akal. Semoga saja mereka mau mengerti." balasku lemah, karena aku sendiri tidak begitu yakin kalau ayah dan ibu ku, akan mengizinkan aku pulang sekali seminggu, mengingat hal itu jelas menambah biaya.
Namun aku memang harus berupaya untuk membuat orangtua ku mengerti. Karena aku tidak ingin berpisah terlalu lama dengan pak Karim. Aku selalu ingin berada di dekatnya. Mendampinginya setiap malam. Menikmati indahnya cinta kami.
****
"aku ingin berhenti kuliah aja, pak Karim." ucapku lemah, ketika beberapa malam kemudian kami bertemu kembali. Itu adalah malam terakhir aku berada di kampung. Karena besok aku akan berangkat kuliah ke kota. Masa liburan ku memang telah usai.
"kenapa?" tanya pak Karim heran.
"karena aku tak ingin berpisah dengan pak Karim. Aku sangat mencintai pak Karim." jawabku lirih.
"tapi kita kan masih bisa bertemu sekali seminggu nak Rian." balas pak Karim.
"itu dia masalahnya, pak Karim. Orangtua ku tidak memberi aku izin untuk pulang sekali seminggu, karena hanya akan menambah biaya, dan juga bisa mengganggu kuliah ku." jelasku.
"lalu kamu ingin berhenti kuliah karena itu?" tanya pak Karim.
"iya, pak. Aku merasa tak sanggup berpisah begitu lama dengan pak Karim. Aku pasti tidak akan kuat menahan kerinduan ku pada pak Karim. Aku ingin selalu bersama pak Karim. Aku benar-benar mencintai pak Karim." suara ku begitu pilu.
"kamu jangan bodoh, nak Rian. Cinta boleh buta, tapi hati kita jangan buta. Kuliah mu itu adalah masa depan mu, sementara bapak ini, hanya lah pemberi warna dalam hidup mu. Lagi pula, hubungan cinta kita ini bukanlah hubungan yang sehat. Hubungan kita juga tidak mungkin bertahan selamanya."
"kamu tak perlu mengorbankan masa depanmu, hanya untuk orang seperti bapak. Itu sangat tidak sebanding, nak Rian. Kamu harus berpikir lebih matang lagi. Seberapa pun besar cinta yang kamu miliki untuk bapak, tetap saja masa depan mu jauh lebih penting." ucap pak Karim panjang lebar.
"aku rela mengorbankan apa saja, untuk bisa selalu bersama pak Karim. Aku tak peduli tentang masa depan ku, asalkan aku bisa selalu menghabiskan waktu bersama pak Karim." balasku yakin.
"tapi bapak yang tidak rela, jika kamu melakukan hal itu. Bapak tidak ingin menjadi orang yang menghancurkan masa depanmu, menghancurkan harapan orangtua kamu. Jika kamu benar-benar mencintai bapak, bapak mohon, kamu harus tetap kuliah. Dan kita bisa bertemu kembali, saat musim liburan berikutnya. Percayalah, nak Rian. Bapak pasti akan selalu setia menunggu nak Rian di sini, sampai kapan pun." pak Karim berucap kembali.
Kali ini aku terdiam. Terus terang, aku tidak bisa memungkiri sama sekali, kebenaran dari setiap kalimat yang pak Karim ucapkan. Tapi ... aku benar-benar belum siap untuk berpisah dengannya, apa lagi untuk jangka waktu yang sangat lama.
"percayalah, nak Rian. Waktu, keadaan dan jarak, akan membuat kamu terbiasa. Bukankah sebelum kita saling jatuh cinta, dulu kamu juga sangat jarang pulang." ucap pak Karim lagi.
"tapi sekarang semuanya berbeda, pak. Sekarang aku punya cinta yang aku tinggalkan di sini, dan aku belum siap berpisah terlalu lama." balasku berat.
"kita tidak akan pernah tahu, kita mampu atau tidak, sebelum kita mencobanya, nak Rian. Jadi saran bapak, kamu sebaiknya tetap berangkat kuliah besok pagi, dan biarkan sang waktu yang akan menjawab semuanya. Aku yakin, kamu pasti bisa, kok." ucap pak Karim kemudian.
"lalu bagaimana dengan pak Karim sendiri?" tanyaku tiba-tiba.
"bapak akan baik-baik saja. Meski jujur, bapak juga merasa sangat berat harus berpisah dengan nak Rian. Bapak sudah terlanjur merasa nyaman bersama nak Rian. Tapi biar bagaimana pun, bapak gak mungkin menahan kamu untuk tetap di sini. Kamu punya masa depan yang harus kamu perjuangkan, nak Rian. Dan kamu jangan pernah menyia-nyiakan hal itu." balas pak Karim bijak.
"baiklah, pak. Jika itu yang terbaik bagi pak Karim saat ini, aku akan mencobanya. Tapi pak Karim harus janji, setiap malam kita harus saling video call, atau minimal saling telponan." ucapku akhirnya.
"untuk hal itu bapak gak bisa janji, nak Rian. Kamu sendiri kan tahu keadaan kampung kita, jaringannya masih sangat terbatas. Jadi lebih baik nak Rian gak usah terlalu berharap. Nak Rian lebih fokus kuliah saja, agar kuliahnya cepat kelar, dan kita jadi punya banyak waktu untuk bersama nantinya." balas pak Karim lembut.
Sekali lagi, aku tidak bisa memungkiri hal itu. Jaringan telpon di desa ku memang agak payah, apa lalgi jaringan internetnya. Tapi aku benar-benar tidak tahu, bagaimana caranya nanti agar aku bisa melepaskan rasa rindu ku pada pak Karim, saat aku sudah berada di kota.
"yang penting kita bisa sama-sama menjaga hati kita untuk tidak berpaling satu sama lain, itu sudah lebih dari cukup." ucap pak Karim selanjutnya.
Dan aku tetap terdiam dalam ketidakrelaan hatiku. Aku memang tidak rela harus berpisah dengan pak Karim, namun aku juga tidak ingin kehilangan masa depanku. Lagi pula, pak Karim juga sangat ingin agar aku tetap kuliah.
"besok aku akan pergi, pak. Dan malam ini adalah malam terakhir kita bersama. Aku ingin kita menghabiskan malam ini dengan sebaik-baiknya bersama pak Karim." ucapku akhirnya, setelah untuk beberapa saat kami saling terdiam.
"iya, nak Rian. Bapak juga tidak ingin melewatkan malam ini dengan sia-sia. Malam ini bapak milik kamu seutuhnya. Bapak serahkan seluruh jiwa dan raga bapak hanya untuk nak Rian." balas pak Karim lembut.
Dan sesaat kemudian, kami pun saling dekap. Aku mendekap pak Karim dengan sangat erat, seakan tak ingin melepaskannya. Aku benar-benar ingin menghabiskan malam ini hanya berdua bersama pak Karim. Akan aku tumpahkan seluruh perasaan ku padanya. Akan aku curahkan segela rasa cinta ku hanya untuknya.
Hansip tampan dan gagah yang merupakan seorang duda itu, benar-benar telah memikat hati dan perasaan ku. Dia juga sudah semakin mahir melakukan tugasnya padaku. Dia sangat penuh gejol4k dan begitu beramb!si untuk membuat aku merasa terkesan. Aku pun berusaha untuk mengimb4ngi perm4inan nya.
Kami benar-benar terlena dengan perasaan cinta di antara kami malam itu. Kami benar-benar ingin mencurahkan semuanya. Tak tersisa, tanpa cela. Begitu indah dan sempurna. Sesempurna perasaan cinta yang tumbuh di hatiku untuk sang Hansip.
*****
Keesokan paginya, masih dengan perasaan yang begitu berat, aku pun berangkat ke kota, untuk kuliah. Tak pernah sebelumnya, aku merasa seberat ini, meninggalkan kampung halaman ku. Malahan biasanya, aku selalu ingin buru-buru kembali ke kota, karena selalu merasa suntuk berada di kampung.
Namun saat ini, hatiku benar-benar merasa berat untuk kembali kuliah. Semua itu karena pak Karim. Karena aku terlalu mencintainya. Aku merasa berat harus berpisah dengannya.
Aku memang harus menempuh perjalanan hampir enam jam untuk sampai ke kota tempat aku kuliah. Hal itulah yang membuat orangtua ku merasa keberatan untuk aku pulang sekali seminggu. Karena selain jauh dan boros biaya, orangtua ku juga merasa takut kalau terjadi apa-apa dengan ku di sepanjang perjalanan.
Pada akhirnya aku memang harus berlapang dada, untuk bisa berpisah sementara dengan pak Karim. Meski pun hal itu tidak mudah bagiku. Biar bagaimana pun, pak Karim adalah laki-laki pertama yang mampu memberi kesan indah padaku.
Aku memang harus siap menjalin hubungan jarak jauh dengan pak Karim, meski pun akan sulit untuk aku bisa menghubunginya, mengingat keadaan sinyal di desa ku yang memang sangat terbatas.
Ah, entah bagaimana nantinya aku melewati hari-hari ku tanpa pak Karim, tanpa kabar apa pun darinya.
Entah aku mampu bertahan selama berbulan-bulan harus terpisah dengan pak Karim? Atau aku harus membantah permintaan orangtua ku, agar aku tidak pulang terlalu sering?
Aku tak tahu jawabannya saat ini. Seperti kata pak Karim, aku memang harus mencobanya, dan biarkan sang waktu yang akan menjelaskan semuanya. Namun yang pasti, aku memang harus kuat. Kuat berpisah dengan pak Karim, kuat untuk menahan kerinduan ku padanya.
Aku memang sangat mencintai pak Karim, dan aku juga tahu, kalau pak Karim juga mencintai ku. Tapi kami memang harus berpisah, bukan karena kami menginginkannya, tapi karena keadaanlah yang memaksa kami.
****
Aku sampai ke rumah paman ku di kota, saat hari sudah mulai sore. Saat senja pun akhirnya datang, tiba-tiba saja kerinduan ku pada Karim kian memuncak. Wajah tampannya selalu melintas dalam pikiran dan anganku.
Kenangan indah yang kami lewati bersama selama beberapa minggu, sungguh tidak bisa aku lupakan. Kejadian indah ku bersama pak Karim, selalu menghantui jiwa ku. Aku rindu senyumannya, aku rindu dekapan hangatnya, dan aku rindu akan belaian kasih sayangnya.
Apa yang terjadi antara aku dan pak Karim, terasa sangat indah bagiku. Terlintas kembali kenangan indah di malam terakhir kami bersama. Pak Karim benar-benar luar biasa malam itu. Dia seakan ingin memberi aku kesan yang tak akan pernah bisa aku lupakan.
Dia menyirami ku dengan bunga-bunga cinta yang penuh warna, penuh sensasi dan penuh dengan keindahan. Berkali-kali kami berhasil mencapai punc4k kesempurnaan cinta kami. Berkali-kali pak Karim membuat aku melay4ng dengan cinta yang indah dan terasa begitu sempurna. Rasanya hal itu terasa sangat berkesan bagi ku.
Kebersamaan kami memang sangat singkat, hanya satu bulan lebih. Namun hal itu cukup memberi kesan yang indah bagiku. Kesan yang tidak mungkin bisa aku lupakan seumur hidupku.
Aku tak tahu, dan aku tak berani untuk menebak, apa yang akan terjadi dengan hubunganku bersama pak Karim selanjutnya, setelah kami terpisah ratusan mil jauhnya.
Mungkinkah pak Karim akan tetap setia menunggu ku?
Mungkinkah aku akan mampu menahan kerinduanku, selama beberapa bulan ke depan?
Lalu seperti apakah akhir dari kisah cinta ku bersama pak Karim, si Hansip tampan yang merupakan seorang duda itu?
Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.
Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang untuk kalian semua.
*****
Part 3
Tiga bulan berlalu, semenjak aku berpisah dengan pak Karim. Rasanya rindu kian menggunung. Aku merasa tersiksa dengan semua ini. Jarak antara aku dan pak Karim terlalu jauh. Di tambah lagi, di kampung ku tidak ada jaringan sama sekali, yang membuat aku semakin kesulitan untuk sekedar menghubungi pak Karim.
Selama tiga bulan ini, aku hanya bisa mengkhayalkan pak Karim. Mengingat kejadian-kejadian indah bersama pak Karim, saat aku masih di kampung dulu. Kenangan indah itu tak pernah bisa aku lupakan. Hanya photo pak Karim yang ada di handphone ku, sebagai pelepas rasa rindu ku. Setiap malam sebelum tidur aku selalu menatap photo itu. Menatap wajah tampan pak Karim yang sudah mulai menua.
Aku benar-benar merindukan pak Karim. Aku merindukan segalanya. Aku memang sangat mencintainya. Terlebih karena pak Karim juga menyayangi ku. Rasanya aku tak akan bisa melupakannya. Bagi ku, pak Karim adalah lelaki terindah, yang pernah aku miliki.
Setelah tiga bulan berlalu, tiba-tiba sebuah kejutan datang. Pak Karim datang menemui ku di kota. Ia sengaja datang jauh-jauh dari desa, hanya untuk bisa bertemu dengan ku. Aku tentu saja merasa bahagia dengan semua itu.
Pak Karim tiba sore tadi di rumah pamanku. Pak Karim memang sudah tahu, alamat rumah paman ku. Apa lagi ia juga kenal dengan pamanku, yang juga berasal dari kampung.
Pak Karim beralasan pada pamanku, kalau ia ke kota, untuk membeli beberapa keperluan. Padahal aku tahu, tujuan pak Karim ke kota sebenarnya. Tapi pak Karim memang harus meyakinkan paman ku, jika ia ke kota benar-benar untuk urusan yang lain, bukan untuk menemui ku.
"apa kabar, nak Rian?" tanya pak Karim, ketika malam pun akhirnya datang.
Pak Karim memang meminta izin pada pamanku untuk menginap satu malam di rumah pamanku. Karena tidak ada kamar kosong, maka paman ku memintanya untuk menginap di kamar ku saja. Hal itu tentu saja menjadi keberuntungan bagi kami berdua. Setidaknya kami tidak harus mencari tempat di luar, untuk bisa menghabiskan waktu berdua malam ini.
"kabar baik, pak. Pak Karim gimana kabarnya?" balasku akhirnya.
"bapak juga baik. Tapi, jujur saja, bapak sangat merindukan nak Rian." ucap pak Karim lagi.
"aku juga sangat merindukan pak Karim." balasku jujur.
"karena itu, bapak nekat untuk datang ke sini, nak Rian. Bapak kesini hanya untuk menemui nak Rian." ucap Karim.
"iya, saya tahu, pak. Dan saya sangat merasa bahagia, bisa bertemu pak Karim lagi." balasku apa adanya.
"bapak juga merasa bahagia bisa bertemu nak Rian lagi." ucap pak Karim lembut.
"jadi apa saya boleh memeluk pak Karim malam ini?" balasku bertanya.
"kenapa kamu harus selalu bertanya, setiap kali ingin melakukan hal tersebut?" pak Karim balik bertanya.
"ya, karena aku.. aku hanya takut, pak Karim gak mau lagi." balasku.
"bapak jauh-jauh datang kesini hanya untuk menemui, nak Rian. Karena bapak sangat merindukan nak Rian. Jadi nak Rian gak perlu lagi bertanya hanya untuk memeluk bapak." ucap pak Karim.
Sesaat kemudian, kami pun saling dekap. Aku mendekap tubuh kekar pak Karim dengan erat, seakan enggan untuk melepaskannya.
"aku sangat menyayangi pak Karim." aku berucap dengan lirih.
"bapak juga sayang, nak Rian." balas pak Karim mesra.
Cukup lama kami saling dekap. Saling melepaskan rindu. Hingga kemudian, untuk pertama kalinya, setelah kami terpisah selama lebih dari tiga bulan, kami kembali memadu kasih. Mencurahkan segala cinta dan rindu kami.
Malam itu terasa sangat indah bagi kami. Tiga bulan kami tak pernah bertemu, kini segala kerinduan itu kami curahkan dengan segenap jiwa. Hati kami menyatu, raga kami berbaur dalam keindahan cinta. Dunia menjadi sangat berwarna malam itu ku rasakan.
Pak Karim begitu sempurna. Tanpa cela. Dia benar-benar laki-laki terindah dalam hidupku. Dan segala rasa cinta ku, aku serahkan hanya untuknya. Tak tersisa. Begitu indah dan penuh warna.
****
"pak Karim jadi pulang pagi ini?" tanya ku ke esokan paginya, saat kami selesai mandi dan sarapan.
"iya, nak Rian. Bapak harus pulang. Bapak gak mungkin lama-lama di sini. Bapak merasa gak enak hati sama paman kamu. Lagi pula, di kampung pekerjaan bapak sedang menunggu. Begitu juga anak-anak bapak, mereka pasti sedang menunggu bapak." balas pak Karim menjelaskan.
"tapi aku masih kangen sama pak Karim." ucapku pilu.
"bapak juga masih kangen sama nak Rian. Tapi kita harus tetap realistis. Kita harus berpisah lagi untuk sementara. semoga saja nanti kita bisa bertemu lagi." balas pak Karim ringkih.
"iya, pak Karim. Tiga bulan lagi, aku akan libur. Aku pasti akan pulang ke kampung." ucapku lemah.
"bapak pasti akan menunggu nak Rian." balas pak Karim kemudian.
Setelah itu, pak Karim pun pamit pada pamanku untuk ia kembali ke kampung. Pak karim memang datang dengan menggunakan sepeda motor bututnya. Sepeda motor yang sudah cukup tua, tapi pak Karim nekat mengendarai motor tersebut sendirian, dengan jarak tempuh yang sangat jauh. Dan itu semua ia lakukan, hanya untuk bisa bertemu denganku.
Sungguh tak ku sangka, pak Karim rela melakukan itu semua, hanya untuk ku. Pengorbanannya itu membuat aku semakin menyayanginya. Aku semakin yakin, kalau pak Karim juga benar-benar mencintai ku.
Aku tak tahu, hal apa yang membuat pak Karim bisa jatuh cinta padaku. Padahal yang aku tahu, dia adalah laki-laki normal, yang pernah menikah dan bahkan sudah punya tiga anak.
Meski pun saat ini, pak Karim sudah berstatus seorang duda dan hanya bekerja sebagai seorang hansip di kampung, juga harus membiaya tiga orang anaknya. Namun jika ia mau, ia bisa saja menikah dengan salah seorang perempuan yang ada di kampung. Karena aku yakin, masih banyak perempuan yang bersedia menjadi istri pak Karim.
Selain ia orang yang baik, pak Karim juga masih sangat gagah dan tampan. Pak Karim juga orang yang sangat bertanggungjawab, terutama terhadap ketiga anaknya. Semenjak istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu, otomatis pak Karim lah satu-satunya orangtua bagi anak-anaknya. Dan pak Karim mampu memerankan hal tersebut dengan baik.
Aku sungguh merasa beruntung, bisa mendapatkan pak Karim. Bukan saja karena fisiknya yang memang sangat menarik, tapi juga karena hatinya yang begitu baik dan penuh perhatian.
*****
Tiga bulan kembali berlalu. Tiga bulan yang sangat panjang bagiku. Selain karena terasa berat harus menahan segala kerinduanku pada pak Karim, tapi juga karena aku harus menghadapi ujian semester di kampus.
Kini masa liburan pun akhirnya tiba. Aku sudah tak sabar, ingin segera kembali ke kampung halaman ku. Aku sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan pak Karim. Rindu ini benar-benar sudah berkarat.
Setelah pamit kepada paman ku, aku pun segera mengendarai motor ku untuk pulang ke kampung halamanku. Dimana di sana sudah menunggu seseorang yang sangat aku cintai.
Selama tiga bulan belakangan ini, memang tidak ada kabar apa pun dari kampung, terutama kabar dari pak Karim. Karena kami memang tidak bisa saling berhubungan, karena jaringan di kampung ku memang hampir tak berfungsi sama sekali.
Aku memacu motor ku dengan kecepatan tinggi, agar aku bisa sampai lebih cepat ke kampung ku. Perasaan rindu ku pada pak Karim, sudah tidak bisa aku bendung. Hanya dia satu-satunya yang ingin aku jumpai saat ini.
Setelah menempun perjalanan hampir enam jam, aku pun akhirnya sampai di kampung ku. Aku langsung menuju rumah ku, dan segera menemui kedua orangtua ku
Aku hanya istirahat sejenak di rumah, lalu kemudian memacu motor ku lagi menuju tempat pos ronda, tempat biasa aku bisa bertemu pak Karim. Saat itu hari memang sudah malam, sekira pukul delapan malam.
Sesampai di pos ronda, aku tidak menemukan pak Karim di sana, di pos ronda hanya ada mas Iskandar, salah satu teman hansip pak Karim.
"mana pak Karim?" tanyaku tanpa basa-basi.
"pak Karim lagi sakit." jawab mas Iskandar lemah.
"sakit? Sakit apa?" tanya ku pedih.
"sudah seminggu ini pak Karim terbaring sakit di rumahnya. Sakitnya cukup parah, tapi pak Karim gak mau dibawa berobat ke rumah sakit." jelas mas Iskandar.
"kenapa dia gak mau ke rumah sakit?" tanyaku lagi.
"aku juga gak tahu pasti kenapa. Tapi menurut cerita anaknya, pak Karim gak mau ke rumah sakit, karena merasa tak punya cukup uang, untuk biayanya berobat." jelas mas Iskandar lagi.
Aku terpaku cukup lama mendengar hal tersebut. Hatiku terasa begitu perih. Berbulan-bulan aku menahan kerinduanku, namun saat aku punya kesempatan untuk bisa bertemu pak Karim, justru beliau dalam keadaan sakit parah.
Aku pun pamit pada mas Iskandar. Aku bertekad untuk menjenguk pak Karim di rumahnya. Aku pun terus berpikir, bagaimana caranya agar aku bisa membantu pak Karim, setidaknya agar dia mau diajak berobat ke rumah sakit.
Sesampai di depan rumah pak Karim, aku cukup kaget, karena orang-orang sudah ramai berada di sana. Para tetangga dan kaum kerabat sudah berkumpul di rumah pak Karim. Untuk sesaat aku hanya berpikir, kalau keadaan pak Karim semakin memburuk, karena itu orang-orang pun berdatangan untuk menjenguknya.
Tapi sungguh tidak aku sangka, kalau pak Karim telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Pak Karim telah meninggal dunia, beberapa saat yang lalu. Aku mencoba untuk tidak percaya. Tapi sebuah pengumuman terdengar dari toa mesjid. Mengabarkan bahwa pak Karim memang benar-benar telah pergi untuk selamanya.
Aku berusaha menerobos kerumunan orang-orang, untuk bisa melihat wajah pak Karim untuk yang terakhir kalinya. Anak-anak pak Karim terdengar menangis histeris. Hatiku terasa pilu mendengarkannya. Aku tahu, betapa mereka sangat merasa kehilangan.
Ingin rasanya saat itu aku ikut menjerit, meluahkan kepedihan di dalam hatiku. Kepedihan yang hanya bisa aku tanggung sendiri. Aku berusaha keras menahan genangan air mata yang mulai terasa memenuhi kelopak mataku. Tapi usaha ku sia-sia, aku jadi ikut menangis. Air mataku tidak bisa aku bendung.
Bukan hanya karena suasana haru yang memang sedang terjadi saat ini, tapi juga karena aku merasa hatiku begitu perih. Sakit. Pedih. Seperti sebilah pisau menggores hati ku.
Semua ini jauh lebih menyakitkan dari sekedar hanya menahan rindu. Pak Karim telah pergi untuk selama-lamanya, dan dia tidak akan pernah kembali. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana kehidupan ku ke depannya, tanpa pak Karim lagi.
Hati ku menjerit pilu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa memiliki orang yang aku cintai. Namun justru ia harus pergi untuk selama-lamanya. Rasanya hal ini terlalu berat bagi ku.
Aku segera memacu motor ku untuk kembali ke rumah. Aku tak ingin orang-orang melihat aku menangis. Biar bagaimana pun, tidak ada seorang pun yang tahu, tentang kedekatan kami selama ini.
Sesampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar ku. Beruntunglah kedua orangtua ku sudah pergi melayat ke rumah pak Karim. Jadi aku merasa sedikit bebas untuk meluahkan kesedihan ku dengan isak tangis penuh kepiluan.
****
Pak Karim telah pergi, dan dia tak akan pernah kembali, walau dengan alasan apa pun. Aku merasa sangat kehilangan. Aku juga sangat merasa bersalah padanya. Aku merasa telah menjerumuskan pak Karim ke dalam dunia ku.
Kini hari-hari ku terasa sangat sepi dan pilu. Ingin rasanya aku mengakhiri hidupku, agar aku bisa bertemu pak Karim kembali. Tapi jelas itu merupakan suatu tindakan bodoh.
Aku hanya harus belajar untuk mengikhlaskan kepergian pak Karim. Aku harus belajar untuk menjalani kehidupanku meski tanpa pak Karim lagi. Mungkin ini tidak mudah bagiku, tapi aku harus bisa.
"masa depan mu masih panjang nak Rian, jadi belajarlah dengan giat, agar kamu bisa menjadi orang yang sukses. Bukan hanya menjadi seorang hansip seperti bapak ini." terngiang kembali ucapan bijak pak Karim di pikiranku, yang membuat aku kian terluka.
Segala kenangan indah ku bersama pak Karim memang tidak bisa aku hapus dari ingatanku. Aku selalu mengingatnya. Aku selalu memikirkannya. Dan aku akan selalu mencintainya, meski saat ini kami sudah berada di dunia yang berbeda.
Kan ku simpan segala kenangan ku bersama pak Karim. Kan ku simpan segala rasa cinta ku untuknya. Kan ku jadikan ia sebagai kenangan terindah dalam hidupku. Selamanya dia akan tetap tersimpan di hatiku.
Dan begitulah kisah cintaku bersama pak Karim. Seorang hansip kampung, yang gagah dan tampan. Seorang duda yang punya hati yang begitu lembut dan baik.
Kisah ini akan selalu aku ingat selamanya.
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini dari awal sampai akhir, semoga terhibur.
Sampai jumpa lagi di kisah-kisah yang lain, salam sayang selalu untuk kalian semua.
******
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih