Langsung ke konten utama

Adsense

OB tampan menggoda hati

Nama ku Denis. Saat ini usia ku sudah 28 tahun. Aku sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta. Aku bekerja di bagian divisi umum. Dan sudah setahun ini aku menjadi kepala divisi umum tersebut.

Sebagai seorang kepala, pada divisi yang aku pimpin, aku memang punya ruangan sendiri. Ruangan tersebut sebenarnya tidak cukup luas, namun aku cukup merasa nyaman berada di dalamnya, terutama saat aku sedang ingin sendiri.

Meski pun sudah memiliki kehidupan yang cukup mapan, sampai saat ini aku memang belum menikah. Aku memang berencana akan menikah pada saat usia ku sudah 30 tahun.

Aku tinggal di sebuah kawasan perumahan tak jauh dari kantor tempat aku bekerja. Aku memang sudah memiliki rumah sendiri, meski pun masih kredit. Dan aku juga sudah punya mobil sendiri.

Aku tinggal sendirian di kota besar ini, setidaknya sejak aku mulai bekerja di perusahaan tersebut. Sementara orangtua dan hampir semua keluarga ku, tinggal di kota kecil yang cukup jauh dari kota tempat aku tinggal.

Aku anak ketiga dari kami empat bersaudara. Kedua kakak ku laki-laki, sudah menikah dan juga sudah punya anak. Sementara adik bungsu yang perempuan, masih kuliah.

Aku memang sangat jarang pulang, paling ya hanya sekali setahun, itu pun di musim libur lebaran. Aku jarang pulang, karena setiap kali aku pulang, orangtua ku selalu bertanya tentang kapan aku akan menikah.

Aku sebenarnya sempat beberapa kali menjalin hubungan yang serius dengan cewek. Tapi selalu saja hubungan itu kandas. Mungkin karena aku memang tidak terlalu mengganggap penting hal tersebut.

Terlebih sebenarnya, sudah sejak lama aku menyadari, kalau aku memang lebih tertarik dengan sesama jenis ku. Namun selama ini, aku selalu berhasil memendam keinginan tersebut. Aku selalu berusaha untuk hidup normal, sebagaimana layaknya seorang laki-laki pada umumnya.

Aku memang pernah merasa jatuh cinta pada laki-laki, tapi aku tak pernah berani untuk memulai hal tersebut. Aku merasa takut. Takut kalau orang-orang tahu siapa aku sebenarnya. Karena itu aku hanya bisa memendam semua itu dalam hati ku.

Dan aku berusaha untuk melewati hari-hari ku dengan tetap menjaga rahasia tersebut. Aku pun beberapa kali mencoba berpacaran dengan perempuan. Meski pada akhirnya itu tak pernah berhasil.

*****

Hari-hari pun terus berlalu. Waktu memang tak pernah bisa  dicegah atau pun dipacu. Aku mencoba menikmati kesendirian ku, mencoba menjalani hari-hari ku dan berusaha menerima kodrat ku sebagai seorang laki-laki.

Namun hidup memang tidak pernah bisa kita tebak. Sesempurna apa pun kita merencanakan kehidupan ini, pada akhirnya semua yang terjadi kadang tidak seperti yang kita rencanakan.

Beberapa hari yang lalu, seorang OB baru mulai bekerja di kantor ku. Dari yang aku ketahui OB baru tersebut bernama Gusti. Aku sudah beberapa kali bertemu dengannya.

Gusti memang memiliki wajah yang cukup tampan. Hidungnya mancung, dengan rahangnya yang kokoh. Postur tubuhnya lumayan kekar, meski terlihat sedikit kurus.

Awalnya aku tidak terlalu memperhatikan Gusti. Meski ia sering masuk ke ruangan ku, untuk mengantarkan minuman, atau pun mengantarkan file-file yang aku butuhkan.

Namun semakin hari, kehadiran Gusti di kantor tempat aku bekerja, justru semakin menarik perhatian ku. Gusti memang cukup lincah orangnya, dia juga sangat mahir mengerjakan tugasnya.

Meski pun terlihat cukup pendiam, tapi Gusti terkenal sangat ramah dan murah senyum. Aku pun diam-diam jadi sering memperhatikan Gusti. Dan hal itu ternyata mampu menumbuhkan rasa simpati di hati ku untuk Gusti.

Bahkan saat malam menjelang tidur, aku jadi sering memikirkan Gusti. Dan aku pun menyadari, kalau aku mulai jatuh cinta pada Gusti.

Aku tahu itu, karena aku dulu pernah merasakan perasaan ini. Aku pernah jatuh cinta pada laki-laki dan kali ini aku mengalaminya lagi.

Tapi aku tidak ingin terlarut dengan semua itu. Aku harus segera menghentikan perasaan ini, sebelum semuanya semakin terlambat. Aku gak mungkin pacaran dengan Gusti kan?

Gusti itu cowok, aku juga cowok. nah kalau pun kami pacaran, hal itu terasa aneh bagiku. Apa lagi kalau sampai orang-orang tahu. Mau di taroh dimana muka ku ini. Lagi pula Gusti juga belum tentu punya perasaan yang sama dengan ku.

Namun semakin aku mencoba menepis semua rasa itu, semakin aku tak bisa menghapus bayangan Gusti dari pikiran ku. Senyum Gusti yang manis selalu menghiasi angan ku. Tubuhnya yang kekar selalu hadir dalam fantasi indah ku.

Ah, aku benar-benar telah terlena dengan perasaan ku pada Gusti. Dan sepertinya aku tidak bisa menghindarinya lagi.

*****

"kopinya, pak." ucap Gusti dengan sopan, saat untuk kesekian kalinya, ia mengantarkan segelas kopi ke dalam ruangan ku.

"iya... makasih Gusti..." balasku seramah mungkin.

"saya permisi, pak." ucap Gusti kemudian, sambil ia melangkah untuk keluar.

"tunggu sebentar Gus...." ucapku tiba-tiba, dengan nada cukup akrab.

"iya, ada yang bisa saya bantu lagi, pak?" tanya Gusti, sambil menghentikan langkahnya.

Untuk sesaat aku terdiam. Aku sedang berpikir, mencari alasan yang tepat agar aku bisa ngobrol lebih lama dengan Gusti.

"nanti siang kamu ikut saya ya.." ucapku akhirnya.

"ikut bapak? Ikut kemana/" tanya Gusti merasa heran.

"aku mau traktir kamu makan siang." balasku berusaha sesantai mungkin.

"traktir makan? Tumben, pak?" tanya Gusti lagi.

"ya.... aku lihat kerja kamu bagus, jadi aku pengen mengucapkan terima kasih sama kamu. Dan ... juga sebenarnya .. aku lagi butuh teman untuk ngobrol. Jadi kamu bersedia kan?" balasku kemudian.

"wah... tapi ... saya sudah bawa bontot dari rumah, pak." balas Gusti pelan.

"ya.. gak apa-apa. Kamu bawa aja bontot kamu nanti ke kantin." ucapku meyakinkan.

Sesaat Gusti pun terdiam. Ia pasti merasa tidak enak hati menolak tawaran ku tersebut.

"baiklah, pak." ucap Gusti akhirnya, yang membuat ku merasa sedikit lega.

Aku memang sudah bertekad untuk bisa mendekati Gusti. Aku ingin mengenalnya lebih dekat lagi. Setidaknya aku ingin tahu seperti apa kehidupan Gusti yang sebenarnya.

****

Aku duduk berhadap-hadapan dengan Gusti, di meja makan kantin, yang berada di lantai bawah gedung tempat kami bekerja.

Makanan sudah terhidang di atas meja kami. Meski Gusti lebih memilih tidak memesan makanan apa pun, karena ia lebih suka makan bontot yang ia bawa. Tapi aku memaksanya untuk memesan setidaknya segelas minuman dingin.

"pak Denis mau ngobrol tentang apa?" tanya Gusti, sambil ia mulai makan.

"gak ada yang penting sih, yah... saya cuma mau ngobrol-ngobrol aja sama kamu.." balasku sedikit salah tingkah.

Gusti terlihat manggut-manggut ringan, sambil ia terus mengunyah makanannya.

"kamu betah gak kerja di sini?" tanya ku berbasa-basi.

"yah... betah gak betah lah, pak. Emangnya saya punya pilihan lain." balas Gusti ringan.

"tapi kamu masih kelihatan muda, kenapa kamu gak kuliah aja?" tanyaku selanjutnya.

"aku udah berhenti kuliah, pak." balas Gusti.

"kenapa?" tanyaku penasaran.

"panjang ceritanya, pak." balas Gusti lagi.

"kamu cerita aja, aku siap kok mendengarkannya." ucapku kemudian.

"bapak yakin, mau mendengar cerita saya?" tanya Gusti ragu.

"iya, saya yakin." balasku dengan nada yakin.

"aku terpaksa berhenti kuliah, karena harus bekerja untuk biaya hidup ku dan istri serta untuk calon bayi kami.." Gusti memulai ceritanya.

"kamu udah nikah?" potong ku sedikit tersedak. Aku segera meneguk minuman ku. Sungguh pengakuan Gusti barusan membuat tubuhku terasa lemas seketika.

"aku baru nikah beberapa bulan yang lalu, pak." Gusti melanjutkan ceritanya, tanpa pedulikan reaksi keterkejutan ku.

"tapi kamu masih kelihatan muda, loh." sela ku lagi.

"iya, pak. Aku masih 22 tahun. Istri ku juga masih 22 tahun. Kami terpaksa menikah, karena kami mengalami.... 'kecelakaan'" balas Gusti, sambil memberi tanda kutip dengan kedua tangannya.

Aku terpaku mendengarkannya.

"bapak ngerti kan maksud saya?" tanya Gusti meyakinkan.

Aku mengangguk pelan.

"aku dan istri ku sudah pacaran sejak kami sama-sama SMA, hingga kami pun kuliah di kampus yang sama. Hubungan kami pun akhirnya melewati batas. Dan ketika kami tahu, kalau pacar ku hamil, kami pun memutuskan untuk menikah." cerita Gusti kemudian.

"lalu bagaimana dengan orangtua kalian? Apa mereka juga setuju?" tanyaku ingin tahu.

"mereka tentu saja sangat marah sama kami. Tapi mereka sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mau tidak mau, kami memang harus menikah. Dan konsekuensi nya, kami memang harus sama-sama berhenti kuliah. Selain itu, orangtua ku juga memaksa ku untuk mencari pekerjaan, agar aku bisa menafkahi istri dan calon anak ku." balas Gusti menjelaskan.

"kami berdua memang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ayahku hanya seorang buruh pabrik, sedangkan ibu ku tidak bekerja. Sementara ayah istri ku juga hanya seorang satpam, ibunya juga tidak bekerja."

"aku anak sulung dari tiga bersaudara, kedua adik-adik ku masih sekolah dan masih butuh biaya banyak. Orangtua ku sebenarnya sangat berharap aku bisa menyelesaikan kuliah, tapi karena kejadian tersebut, mereka tak mau lagi membiayai kuliah ku, dan meminta aku untuk mencari pekerjaan."

"istriku juga mengalami hal yang sama, orangtuanya tidak mau lagi membiayai kuliahnya, karena mereka masih punya tiga anak lain yang harus mereka biayai. Jadi mau tidak mau, kami memang harus bisa hidup mandiri. Dan merasa beruntung bisa mendapatkan pekerjaan ini." cerita Gusti panjang lebar.

Meski pun sejujurnya, aku tidak terlalu menyimak cerita Gusti tersebut. Kekecewaan ku karena mengetahui, kalau Gusti sudah menikah, membuat aku jadi kehilangan selera untuk mengetahui kehidupan Gusti lebih lanjut.

Tadinya aku berharap, kalau Gusti masih lajang. Meski pun ia adalah laki-laki normal, tapi setidaknya jika ia masih lajang, aku masih punya banyak kesempatan untuk bisa mendekatinya. Namun karena ia sudah menikah, aku jadi kehilangan cara untuk bisa mendapatkan Gusti.

"maaf ya, pak. Aku jadi curhat sama pak Denis." suara Gusti kembali memecah keheningan.

"ya, gak apa-apa. Aku suka kamu mau terbuka padaku." balasku dengan nada datar.

"lalu bagaimana dengan pak Denis sendiri? Udah berapa anaknya?" tanya Gusti kemudian.

"aku belum menikah." balasku sedikit enggan.

"oh.." Gusti hanya membulatkan bibir.

"ya udah.. mari kita keatas.." ucapku akhirnya, setelah sejenak melihat jam di tangan ku. Jam Istirahat memang telah usai.

Kami pun sama-sama kembali ke lantai atas. Aku tak lagi banyak bicara.

Jujur, aku merasa sangat kecewa. Tapi aku juga tidak mungkin membenci Gusti kan? Aku gak mungkin membencinya hanya karena ia sudah menikah.

Namun ... aku jadi bingung.

Haruskah aku tetap berjuang untuk bisa mendapatkan Gusti?

Atau ku kubur saja semua rasa ini?

Lalu apakah yang akan terjadi selanjutnya?

Mungkinkah aku dan Gusti bisa menjalin sebuah hubungan, meski pun ia sudah punya istri?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di part berikutnya, salam sayang untuk kalian semua..

****


 Part 2

Dalam kekecewaan ku, setelah tahu kalau Gusti sudah menikah, aku tetap berusaha untuk mendekati Gusti. Aku tetap berusaha untuk menjadi akrab dengannya.

Gusti juga sangat terbuka padaku. Ia selalu siap sedia kapan pun aku membutuhkan bantuannya, terutama yang berhubungan dengan pekerjaannya di kantor.

Aku juga semakin sering mengajak Gusti makan siang bersama. Bahkan sekarang Gusti sengaja tidak membawa bontot dari rumah, tentu saja itu semua atas permintaan ku.

"itung-itung untuk kamu bisa berhemat juga kan.." ucapku beralasan, ketika Gusti bertanya kenapa aku memintanya untuk tidak lagi membawa bontot dari rumah.

"tapi aku jadi gak enak sama pak Denis, bapak sudah terlalu baik sama saya.." balas Gusti.

"bisa gak, a ... kalau kita lagi ngobrol berdua seperti ini, kami gak usah panggil aku bapak, aku merasa terlalu tua jadinya, padahal aku kan masih 28 tahun, jadi kamu cukup panggil mas Denis aja." ucapku, sengaja mengabaikan kalimat Gusti barusan.

"tapi itu kan kurang sopan, pak.." balas Gusti pelan.

"tetap sopan, kok. Cuma kalau lagi di kantor kamu boleh panggil bapak." timpal ku.

"baiklah, pak eh... mas.." balas Gusti sedikit ragu.

Keakraban ku dengan Gusti, memang cukup membuat aku bahagia. Setidaknya hampir setiap hari, aku bisa ngobrol dengannya, menatap wajahnya yang tampan, atau sekedar mengagumi senyumnya yang memang manis.

Ah, cinta memang unik. Kadang hal-hal sederhana saja, sudah bisa membuat kita bahagia. Dan aku cukup merasa bahagia, walau hanya sekedar menjadi teman bagi Gusti.

****

Hari-hari pun terus berlalu. Aku dan Gusti semakin akrab dan dekat. Aku juga jadi sering mengantar Gusti pulang. Karena kebetulan arah rumah kontrakan Gusti satu arah dengan perumahan tempat aku tinggal.

Gusti juga pernah mengajak aku mampir di rumahnya. Aku juga sudah kenal dengan istrinya.

"aku perhatikan, beberapa hari belakangan ini, kamu lebih sering murung. Ada apa?" tanya ku pada Gusti suatu hari, saat kami makan siang bersama kembali.

"gak ada apa-apa, mas." jawab Gusti lemah.

"udah... kamu cerita aja, ada apa?" ucapku meminta.

Beberapa saat Gusti terdiam. Ia terlihat sedang berpikir.

"aku sedang cari pinjaman, mas. Untuk biaya melahirkan istri ku. Aku sudah coba pinjam sama atasan saya, tapi di tolak, karena saya baru bekerja di sini. Saya juga sudah coba ajukan pinjaman pada pihak Bank, tapi juga di tolak, karena aku memang tidak agunan yang cukup."

"aku juga sudah coba minta tolong sama orangtua ku dan juga orangtua istri ku, tapi mereka juga tidak punya uang. Aku jadi bingung, mas. Istri seminggu lagi akan melahirkan." cerita Gusti akhirnya.

"kamu gak pake BPJS?" tanya ku.

"susah, mas. ngurusnya. Apa lagi kami juga baru nikah. Kami juga belum punya kartu keluarga. Kalau pun bisa, itu juga butuh waktu yang lama. Sementara menurut dokter, istri ku tidak bisa melahirkan normal, jadi harus di operasi, dan biayanya cukup besar. Dan itu harus saya lunasi, sebelum jadwal istri saya melahirkan minggu depan." jelas Gusti lagi.

Aku terdiam beberapa saat. Aku merasa cukup tersentuh dengan cerita Gusti barusan.

"emangnya beberapa biayanya?" tanya ku kemudian.

"sekitar 15 juta, mas." balas Gusti. "itu sudah termasuk biaya menginap di rumah sakit." lanjutnya.

"aku ada tabungan. Kalau kamu mau, kamu bisa pakai dulu..." ucapku akhirnya.

"gak usah, mas. Saya jadi gak enak. Mas Denis sudah terlalu baik sama saya." balas Gusti.

"kamu gak usah merasa gak enak seperti itu, Gus. Saya ikhlas kok. Selagi saya mampu apa salahnya, saya bantu kamu." ucapku meyakinkan.

"tapi saya gak bisa membayar uang sebanyak itu dalam waktu dekat ini, mas. Kalau pun bisa,  itu pun cuma dengan cara di cicil." balas Gusti.

"kamu gak usah pikirkan dulu hal itu. Yang penting istri kamu bisa melahirkan dengan selamat." ucapku kemudian.

"terima kasih banyak, mas Denis. Saya pasti akan kembalikan uang tersebut secepatnya." Gusti berujar dengan sedikit ragu.

Dan dengan cukup berat, Gusti pun menerima uang yang aku transfer ke rekeningnya, untuk membayar biaya operasi melahirkan istrinya tersebut.

****

"gimana istrinya?" tanya ku pada Gusti, sekitar seminggu kemudian.

"alhamdulillah persalinannya lancar, mas. Istri dan anak ku dalam keadaan sehat. Besok mereka udah boleh pulang." jelas Gusti.

"syukurlah.." timpalku ringan.

"tapi aku belum bisa mengembalikan uang yang aku pinjam sama mas Denis." ucap Gusti tiba-tiba.

"ah, kamu ngomong apa sih, Gus. Kamu gak usah pikirkan hal itu dulu. Lagi pula baru satu minggu, kan?" balas ku.

"iya, mas. Tapi aku tetap merasa berhutang budi sama mas Denis. Kalau mas Denis tidak meminjami aku uang, aku pasti tidak tahu lagi harus bagaimana." ucap Gusti lagi.

"udah... santai aja. Itu lah gunanya teman, Gus." balas ku santai.

Entah mengapa aku merasa lega bisa membantu Gusti. Aku senang aja bisa membantunya. Seolah-olah hal itu bisa mewakili perasaanku pada Gusti. Seolah-olah itu salah satu bentuk ungkapan cinta ku padanya.

"kenapa mas Denis begitu baik pada ku? Padahal aku hanya seorang OB." tanya Gusti tiba-tiba memecah keheningan.

'karena aku sangat mencintai kamu, Gusti' balas ku di dalam hati.

"karena kamu orangnya baik, dan penuh semangat. Saya suka melihat cara kerja kamu." ucapku akhirnya.

"saya do'a kan semoga mas Denis bisa semakin sukses, dan semoga segera mendapatkan jodoh yang baik.." timpal Gusti kemudian.

"aamiin.." balasku singkat, meski aku tidak begitu yakin, kalau do'a itu lah yang aku harapkan dari Gusti.

"siapa pun yang menjadi istri mas Denis nantinya, tentunya ia adalah gadis yang beruntung." ucap Gusti lagi.

"kenapa begitu?" tanya ku sekedar ingin tahu.

"karena mas Denis orangnya sangat baik dan penuh perhatian. Selain itu, secara fisik, mas Denis juga sangat tampan dan gagah." balas Gusti terdengar apa adanya.

"ah, kamu bisa aja, Gus." balasku sedikit tersipu, "kamu juga tampan dan gagah..." lanjut ku sambil memuji.

"tapi sayangnya, aku gak seberuntung mas Denis.." timpal Gusti pelan.

"sebenarnya kamu jauh lebih beruntung dari pada saya, Gus. Setidaknya kamu sudah dipertemukan dengan jodoh kamu. Sementara aku, ... aku bahkan tidak tahu, apa aku bisa menjadi seorang suami.." balasku dengan nada lirih.

"kok mas Denis ngomongnya gitu?" sela Gusti cepat, "saya yakin, mas Denis pasti bisa menjadi suami yang baik nantinya." lanjut Gusti.

"kamu hanya belum tahu aja siapa aku sebenarnya, Gus." timpal ku pelan.

"maksud mas Denis?" tanya Gusti heran.

"udahlah, Gus. Saya belum bisa cerita hal itu sekarang sama kamu. Belum saatnya." balas ku lemah.

Gusti pun akhirnya hanya bisa terdiam. Dia sepertinya juga tidak berani untuk bertanya lebih lanjut. Dan aku memang tak berniat untuk menceritakan siapa aku sebenarnya pada Gusti. Setidaknya tidak untuk saat ini.

Aku takut, jika Gusti tahu siapa aku sebenarnya, dia akan menjauhi ku. Dan aku tidak ingin hubungan pertemanan ku dengan Gusti akan berakhir, hanya karena hal tersebut.

*****

"saya minta maaf, mas Denis. Sampai saat ini, saya belum bisa membayar hutang saya sama mas Denis." ucap Gusti beberapa bulan kemudian.

"sepertinya saya memang tidak akan mampu membayarnya, mas. Apa lagi sekarang, kebutuhan keluarga ku semakin besar. Gaji ku juga hanya cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari dan membayar kontrakan rumah. Aku bahkan tidak bisa mencicil hutang ku sama mas Denis." lanjut Gusti lagi.

"gak apa-apa, Gus. Aku juga lagi belum membutuhkan uang tersebut." balasku pelan.

"tapi aku gak mungkin selamanya berhutang sama mas Denis. Aku ingin sekali melunasinya, mas. Tapi aku benar-benar tidak tahu lagi bagaimana caranya. Aku akan lakukan apa saja, agar bisa melunasi hutang ku tersebut." ucap Gusti selanjutnya.

"kamu yakin, akan mau melakukan apa saja, untuk bisa melunasi hutang tersebut?" tanya ku tiba-tiba, setelah sebuah rencana terpikir olehku.

Aku memang masih mencintai Gusti hingga saat ini, bahkan semakin hari rasa cinta ku itu semakin tumbuh dengan subur. Aku sudah tidak mampu lagi membendungnya. Dan jika aku punya kesempatan untuk bisa memiliki Gusti, kenapa aku tidak manfaatkan saja kesempatan ini?

"saya yakin, mas." balas Gusti cukup tegas.

"kalau begitu, bagaimana jika nanti malam kamu datang ke rumahku?" tawarku cukup berani.

"emangnya kenapa, mas?" tanya Gusti dengan sedikit mengerutkan dahinya.

"nanti kamu juga bakal tahu.." balasku misterius.

"baiklah, mas. Aku pasti akan datang." ucap Gusti akhirnya.

Seharian ini aku sibuk menyusun rencana, bagaimana caranya agar aku bisa mengungkapkan perasaanku pada Gusti nanti malam. Aku harus membuat Gusti bisa menerima cinta ku. Aku tak ingin kehilangan kesempatan ini. Dengan semua kebaikan ku selama ini terhadap Gusti, aku yakin, ia tak akan berani menolak ku.

****

Setelah penantian yang cukup panjang, malam pun akhirnya datang. Aku pun sudah bersiap-siap untuk menyambut kedatangan Gusti.

Gusti datang tepat pukul delapan malam.

"kamu sudah makan?" tanya ku berbasa-basi.

"udah, mas." jawab Gusti singkat.

"kita ngobrolnya di kamar ku aja, ya." ajak ku kemudian.

Tanpa menunggu jawaban Gusti, aku pun melangkah menuju kamar ku yang berada di lantai atas. Gusti pun mengikuti langkah ku dengan pelan.

"ada apa sebenarnya ini, mas?" tanya Gusti, saat kami sudah berada di dalam kamarku.

"aku ingin menceritakan sesuatu sama kamu, Gus. Aku ingin menceritakan siapa aku sebenarnya. Tapi aku harap, kamu jangan membenci ku setelah ini, ya.." ucapku membalas.

"apa pun yang ingin mas Denis ceritakan, aku yakin, aku tak akan bisa membenci mas Denis. Karena mas Denis sudah sangat baik pada ku selama ini." balas Gusti terdengar yakin.

"baiklah, Gus. Sekali pun kamu akan membenci ku, aku juga sudah siap. Aku hanya ingin kamu tahu, tentang bagaimana perasaan ku selama ini sama kamu." ucapku dengan suara berat.

"maksud mas Denis?" Gusti mengerutkan kening.

"sebenarnya aku ini bukan seperti laki-laki pada umumnya, Gus. Aku ini berbeda. Aku tidak suka perempuan. Aku lebih punya rasa ketertarikan kepada sesama laki-laki. Hal itu sudah aku alami selama bertahun-tahun. Namun selama ini aku masih bisa menyimpannya dengan rapi."

"tapi sejak aku mengenal kamu, aku tak bisa lagi memendam semua rasa ini, Gus. Aku jatuh cinta sama kamu. Aku ingin menjalin hubungan yang lebih bersama kamu, Gus." cerita ku akhirnya.

"maksudnya mas Denis ini seorang gay?" tanya Gusti spontan.

"iya, Gus. Dan aku jatuh cinta sama kamu, bahkan sejak pertama kali melihat kamu." jelasku.

"jadi kebaikan mas Denis selama ini sama saya, hanya karena mas Denis menyukai saya?" tanya Gusti sedikit menghakimi.

"gak juga, Gus. Aku baik sama kamu, karena aku memang ingin membantu kamu. Meski jujur saja, aku memang berharap bisa memiliki kamu, lebih dari sekedar teman biasa." balasku sedikit membela diri.

Kali ini Gusti terdiam. Ia terlihat menarik napas beberapa kali. Sepertinya ia benar-benar shock menyadari hal tersebut.

"maafkan aku, Gus. Maafkan aku jika telah terlanjur jatuh cinta sama kamu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Rasa itu hadir begitu saja." ucap kemudian, berusaha membuat Gusti mengerti.

Gusti masih terdiam. Dia terlihat dalam kebimbangan. Aku yakin, ia tak menyangka sama sekali, akan semua ini.

Tapi ia juga tidak bisa menghindari ku. Biar bagaimana pun, kebaikan yang aku berikan selama ini padanya, telah mampu mengikatnya untuk tidak membenci ku.

Lalu bagaimanakah kelanjutan dari kisah ini?

Mungkinkah Gusti mau memberi kesempatan padaku?

Atau ia justru akan semakin menjauh?

Simak kelanjutannya di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menyimak video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di part berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.

*****


  Part 3

"jadi gimana, Gus? Apa kamu bersedia menjadi pacarku?" tanya ku akhirnya, setelah cukup lama kami saling terdiam.

"apa aku punya pilihan lain, mas?" balas Gusti, "mas Denis sudah sangat baik padaku selama ini. Lagi pula aku juga sudah tidak punya cara lagi untuk bisa melunasi hutang ku pada mas Denis. Dan jika ini satu-satunya cara agar hutangku bisa lunas, aku bersedia, mas." lanjut Gusti lagi.

"aku sangat bahagia mendengarkannya, Gus." ucapku kemudian.

"selama hal itu bisa membuat mas Denis bahagia, aku juga turut merasa bahagia, mas. Tapi, mas Denis sendiri tahu, kalau aku ini laki-laki tulen. Jadi hal ini tidaklah mudah bagi ku, mas. Aku harap mas Denis mengerti." balas Gusti.

"iya, aku mengerti, Gus. Aku tidak akan terlalu memaksa kamu, jika kamu belum siap." ucapku lagi.

"aku tidak tahu, apa aku akan siap untuk hal ini atau tidak. Tapi yang pasti aku akan mencobanya." balas Gusti lagi.

"jadi apa boleh, malam ini aku meny3ntuh kamu?" tanyaku lembut.

"silahkan, mas. Lakukan saja apa yang ingin mas Denis lakukan padaku." suara Gusti cukup berat.

Aku tahu, Gusti hanya merasa terpaksa dengan semua ini. Tapi setidaknya dia tak menolak ku. Setidaknya dia masih mau memberi aku kesempatan untuk bisa merasakan hal tersebut dengannya.

Perlahan aku pun mulai mendekat. Tanganku menyentuh pipi Gusti dengan lembut. Wajah itu sungguh sangat tampan. Dan aku begitu memujanya.

Selama ini aku hanya bisa mengkhayalkan hal tersebut. Dan malam ini, aku ingin mewujudkan semua impian ku tentang Gusti selama ini.

Aku mulai melakukan peran ku, memberikan kesan yang indah untuk Gusti. Aku ingin Gusti merasa terkesan, dengan semua ini. Aku ingin, dia tak akan pernah menyesali keputusannya kali ini.

Aku berusaha sekuat mungkin agar Gusti bisa menerima kehadiran ku dalam hidupnya, bukan hanya karena terpaksa.

"jadi apa kamu mau untuk menginap malam ini di sini, Gus?" tanya ku di sela-sela perjuangan ku, untuk melumpuhkan kekakuan Gusti.

"itu yang aku gak bisa, mas. Jika aku menginap, istri ku pasti akan curiga. Lagi pula, aku juga tak tega meninggalkannya bersama bayi kami malam-malam seperti ini terlalu lama." balas Gusti.

"iya, Gus. Aku ngerti. Aku memang harus siap berbagi dirimu dengan keluarga mu." ucapku ringan.

"kalau begitu, sekarang mas Denis tuntaskan apa yang telah mas Denis mulai malam ini pada ku." Gusti berucap, sambil mulai menikm4ti apa yang aku l4kukan padanya.

"baiklah, Gus." balasku singkat, sambil terus melakukan aksi ku padanya.

Dan perjuangan ku pun membuahkan hasil. Sebuah hasil yang sangat luar biasa bagi ku. Hal yang selama ini hanya ada dalam anganku, malam ini pun menjadi sebuah kenyataan.

Sungguh sebuah pengalaman yang luar biasa bagiku. Meski pun sebenarnya Gusti masih sangat kaku melakukannya. Tapi akhir dari semua itu, sungguh sangat indah.

*****

Sejak saat itu, aku dan Gusti pun resmi berpacaran. Meski hubungan kami hanyalah sebuah rahasia. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut, kecuali kami berdua.

Gusti memang tak pernah menginap di rumahku. Tapi setiap pulang kerja, kami selalu menyempatkan diri untuk singgah di rumah ku selama beberapa jam. Untuk menikmati indahnya cinta kami.

Gusti juga sudah mulai terbiasa dengan semua itu. Dia sudah mulai bisa menerima kehadiran ku, sebagai bagian dari hidupnya. Meski tentu saja, aku hanya jadi yang kedua baginya.

Namun bagi ku hal itu tidaklah jadi masalah. Selama Gusti masih punya waktu untuk ku.

Berbulan-bulan hubungan kami terjalin dengan sangat indah, terutama bagi ku. Aku merasa bahagia dengan semua itu. Aku bahagia bisa memiliki Gusti. Aku bahagia bisa menghabiskan waktu bersamanya.

Saat di kantor pun, aku juga masih sering curi-curi pandang pada Gusti. Perasaan ku pada Gusti memang semakin besar. Aku semakin takut kehilangan dirinya.

Sampai suatu saat...

"apa hutangku pada mas Denis sudah bisa dikatakan lunas?" tanya Gusti, saat kami bertemu lagi di rumahku.

"kenapa kamu bertanya seperti itu?" aku balik bertanya.

"karena kalau hutangku sudah lunas, berarti tugas ku untuk mas Denis juga sudah selesai." balas Gusti.

Aku terdiam sesaat mendengar kalimat Gusti barusan. Aku tidak menyangka kalau Gusti akan berkata demikian.

"oh, jadi kamu menganggap apa yang terjadi diantara kita selama ini, hanya sebatas soal hutang?" tanyaku akhirnya dengan nada tak percaya.

"bukankah perjanjian awalnya memang seperti itu, mas. Aku bersedia menjalin hubungan dengan mas Denis, hanya untuk melunasi hutangku." jelas Gusti menjawab.

"jadi selama ini, kamu melakukannya denganku, bukan karena kamu menyukainya?" tanya ku lagi.

"ya, jelas gak lah, mas. Sampai kapan pun aku tetap masih lelaki normal, mas. Aku melakukannya hanya karena terpaksa. Aku tak pernah benar-benar menikmatinya. Aku hanya ingin mas Denis merasa bahagia dengan semua itu, karena itu aku barusaha untuk terlihat sangat menikmatinya." jelas Gusti lagi.

Dan aku merasa sangat sakit mendengarkan semua itu. Hatiku hancur. Padahal aku sempat berharap, kalau Gusti akan berubah pikiran, dan akan membuka hatinya untukku. Tapi ternyata semua itu hanya semu. Hanya harapan yang tak bertepi.

"kalau begitu, hutangmu sudah lunas..." ucapku akhirnya dengan suara sangat lemah.

"mas Denis serius?" tanya Gusti tak percaya.

"aku bukan kamu, Gus. Aku bukan kamu yang bisa berpura-pura. Aku selalu jujur dengan perasaan ku." timpal ku datar.

"maafkan aku, mas. Aku harap mas Denis bisa mendapatkan laki-laki lain yang jauh lebih baik dari pada aku.." balas Gusti pelan.

"kamu gak usah sok perhatian sama aku, Gus. Sekarang kamu pulanglah. Dan mulai saat ini, kamu gak punya hutang apa-apa lagi pada ku." ucapku masih dengan nada datar.

Aku memang kecewa pada Gusti. Tapi aku juga tidak ingin memperlihatkan kelemahan ku di depannya. Aku harus kuat. Aku harus tegar. Meski hati ku merintih menahan sakit.

*****

Hari-hari pun terus berlalu. Aku berusaha tetap menjalani hari-hari ku dengan kesendirian ku lagi. Meski hampir setiap hari aku masih harus bertemu Gusti di kantor. Tapi aku berusaha mengabaikannya. Aku berusaha menganggapnya tak pernah ada.

Aku pun terus berusaha untuk bisa melupakan Gusti. Meski hal itu sebenarnya terasa sulit bagiku. Tak mudah bagiku melupakan seseorang yang sudah begitu dekat dengan ku. Apa lagi kesan yang aku rasakan saat bersamanya dulu, terasa sangat indah.

Kenangan-kenangan indah itu terus melintas di benak ku. Aku tak bisa melupakannya begitu saja. Gusti terlalu berarti bagiku. Dia terlalu indah untuk dilupakan begitu saja.

Tapi aku harus bisa melupakannya. Aku tak ingin selamanya terlarut dalam bayangan indahku bersama Gusti. Biar bagaimana pun, dia sekarang hanyalah masa lalu bagiku.

Hingga setelah lebih dari tiga bulan, tiba-tiba pada suatu malam, Gusti datang berkunjung ke rumahku.

"ada apa kamu kesini?" tanya ku tanpa selera, setelah mempersilahkan Gusti masuk dan duduk di ruang tamu.

"aku mau minta maaf, mas." ucap Gusti pelan.

"aku sudah memaafkan kamu, Gus. Dan rasanya tidak ada lagi yang perlu kita bahas." timpalku masih dengan tanpa selera.

"aku tahu mas Denis kecewa padaku. Dan aku benar-benar menyesal akan semua itu." Gusti berucap lagi, "setelah hampir tiga bulan kita tidak lagi saling berhubungan, aku mulai menyadari sesuatu, mas. Aku mulai menyadari, kalau sebenarnya aku sangat membutuhkan mas Denis dalam hidupku." lanjutnya.

"maksud kamu?" tanya ku sedikit penasaran.

"kebersamaan kita beberapa waktu yang lalu, sebenarnya telah menumbuhkan kesan yang teramat indah di hatiku. Aku merasa sangat nyaman saat berada di dekat mas Denis. Aku bahagia melewati hari-hari bersama mas Denis."

"aku menyadari kalau itu semua adalah sebuah kesalahan. Karena itu, aku pun mencari cara agar aku bisa menghindari semua itu. Itulah sebabnya, waktu itu, aku berusaha memutuskan hubungan dengan mas Denis. Aku berpura-pura kalau hubungan kita selama itu, hanya karena hutang. Padahal sebenarnya, aku juga telah jatuh cinta pada mas Denis."

"tapi aku tidak ingin mengakui hal tersebut. Aku hanya berharap, jika kita tidak lagi saling berhubungan, maka aku akan bisa menghapus segala rasaku untuk mas Denis. Namun ternyata aku salah. Setelah tiga bulan tak lagi bersama. Aku justru semakin merasa tersiksa."

"aku terus berusaha untuk bisa melupakan mas Denis. Tapi semakin aku mencobanya, semakin bayangan wajah mas Denis terus melintas di pikiran ku. Karena itulah, malam ini aku datang kesini, mas. Aku ingin mengungkapkan semuanya. Dan aku ... aku ingin kembali lagi pada mas Denis."

cerita Gusti yang panjang lebar tersebut, sungguh membuat aku cukup terhenyak. Pengakuannya yang cukup jujur tersebut, benar-benar membuat aku terkesima. Aku hampir tak percaya. Tapi Gusti terlihat sangat serius.

"aku rela harus berhutang pada mas Denis seumur hidup, selama aku bisa membayarnya dengan kebersamaan kita." ucap Gusti kemudian, melihat keterdiaman ku.

"aku juga rela memberi kamu hutang sebanyak apa pun, Gus. Selama kamu mau membayarnya dengan kebersamaan kita." balasku akhirnya.

"apa itu berarti, mas Denis mau kembali lagi padaku?" tanya Gusti ragu.

"aku mau. Tapi dengan syarat, kamu harus menginap malam ini disini." balasku ringan.

"untuk malam ini, aku pasti bisa, mas. Tapi untuk malam-malam selanjutnya, kita bisa atur jadwalnya. Mungkin bergiliran." ucap Gusti.

"oke, Gusti. Aku siap menjalani hari-hari selanjutnya bersama mu lagi." timpal ku penuh kebahagiaan.

"aku juga siap, mas. Menghabiskan sisa hidupku bersama mas Denis." balas Gusti penuh keyakinan.

Dan hubunganku bersama Gusti pun pulih kembali. Meski aku masih harus berbagi dirinya dengan istrinya. Tapi untuk selanjutnya, Gusti sudah menjadikan aku yang pertama dalam hidupnya. Dia lebih banyak menghabiskan waktu berdua bersama ku.

Hubuangan cinta kami pun terjalin dengan sangat indah. Sang OB tampan itu, kini telah menjadi milik ku seutuhnya dan semoga selamanya.

Demikianlah kisah cintaku bersama Gusti, sang OB tampan tersebut. Semoga kisah ini bisa memberi hiburan tersendiri bagi kalian semua.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini dari awal sampai akhir.

Sampai jumpa lagi pada kisah-kisah lainnya, salam sayang untuk kalian semua.

*****


Simak kisah menarik lainnya :

Abang penjual es krim

Pesona cowok pantai

Bersama ABK kapal

Pentongan pak hansip

Cowok penjaga toilet

abang tukang pangkas yang gagah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita gay : Sang duda tetangga baruku yang kekar

 Namanya mas Dodi, ia tetangga baruku. Baru beberapa bulan yang lalu ia pindah kesini. Saya sering bertemu mas Dodi, terutama saat belanja sayur-sayuran di pagi hari. Mas Dodi cukup menyita perhatianku. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun tubuhnya padat berisi. Bukan gendut tapi lebih berotot. Kami sering belanja sayuran bersama, tentu saja dengan beberapa orang ibu-ibu di kompleks tersebut. Para ibu-ibu tersebut serring kepo terhadap mas Dodi. Mas Dodi selalu menjawab setiap pertanyaan dari ibu-ibu tersebut, dengan sekedarnya. Saya dan mas Dodi sudah sering ngobrol. Dari mas Dodi akhirnya saya tahu, kalau ia seorang duda. Punya dua anak. Anak pertamanya seorang perempuan, sudah berusia 10 tahun lebih. Anak keduanya seorang laki-laki, baru berumur sekitar 6 tahun. Istri mas Dodi meninggal sekitar setahun yang lalu. Mas Dodi sebenarnya pindah kesini, hanya untuk mencoba melupakan segala kenangannya dengan sang istri. "jika saya terus tinggal di rumah kami yang lama, rasanya terla

Adik Iparku ternyata seorang gay (Part 1)

Aku sudah menikah. Sudah punya anak perempuan, berumur 3 tahun. Usia ku sendiri sudah hampir 31 tahun. Pernikahan ku baik-baik saja, bahkan cukup bahagia. Meski kami masih tinggal satu atap dengan mertua. Karena aku sendiri belum memiliki rumah. Lagi pula, rumah mertua ku cukup besar. Aku tinggal dengan istri, anak dan kedua mertua ku, serta adik ipar laki-laki yang baru berusia 21 tahun.   Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil di kota ini, sebagai seorang karyawan swasta. Gaji ku lumayanlah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami. Mertua ku sendiri seorang pedagang yang cukup sukses. Dan istri ku tidak ku perbolehkan bekerja. Cukuplah ia menjaga anak dan mengurus segala keperluan keluarga. Aku seorang laki-laki normal. Aku pernah dengar tentang gay, melalui media-media sosial. Tapi tak pernah terpikir oleh ku, kalau aku akan mengalaminya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa merasakan kenikmatan dengan laki-laki juga? Aku bertanya-tanya sendiri mendengar ka

Cerita gay : Nasib cinta seorang kuli bangunan

Namaku Ken (sebut saja begitu). Sekarang usiaku sudah hampir 30 tahun. Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan sesama jenis. Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang. Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun. Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku. Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP. Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan. Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan. Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belumm pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja. Tempat kerja kami y

Iklan google